Wednesday, June 13, 2012
Taneh Karo-ku Nake!
Taneh Karo-ku Nake!
Sering orang bertanya kepada saya: “Kamu berasal dari daerah mana?” Dan, dengan mudah saya menjawab: “Taneh Karo Simalem!”
........................................................
Taneh Karo! Mungkin yang terpikir oleh kita ialah daerah yang terletak di dataran tinggi Karo (Kabupaten Karo) yang terbentang diatas “Pegunungan Bukit Barisan,” dengan luas 2.127, 25 km2 atau 212.725 Ha atau 2,97% dari luas daerah Tingkat I Sumatera Utara, dengan pemandangan alam yang indah dan tanah yang subur, Deleng (gunung) Sibayak dan Deleng Sinabung, serta dengan kota-kota wisatanya seperti Berastagi, Kabanjahe, Lingga, dll.
Akan tetapi tahukah Anda, jika sebenarnya Taneh Karo itu jauh lebih luas dari apa yang kita bayangkan; apa yang kita ketahui sekarang ini? Hem.... Tidak percaya?
Taneh Karo
Jika bicara tentang Taneh Karo, maka kita akan cepat katakan Kabupaten Karo! Tetapi, sesungguhnya Tanah Karo bukanlah hanya sekedar kabupaten Karo saja, melainkan: ‘daerah-daerah yang didiami masyarakat Karo secara alami, maupun dikuasai (penguasaan secara permanen), ataupun dipanteki (dibangun, didirikan, dikembangkan, dibuka) dan dipinpin oleh orang Karo. Atau dengan kata lain adalah wilayah-wilayah yang memiliki keterkaitan ataupun pengaruh langsung dengan etnis Karo serta budaya Karo.’
Seperti contoh: “Kota Medan” (Deli) yang dimana kita ketahui didirikan oleh seorang Putra Karo bernama: Guru Patimpus Sembiring Pelawi (Juli 1590) serta didiami (penduduk lokalnya) oleh etnis Karo. Ataupun seperti daerah “Langkat” (skrg Kab. Langkat) merupakan daerah dimana etnis Karo merupakan salah satu penduduk aslinya dan juga dipinpin oleh seorang putra Karo bermerga “Perangin-angin Bangun” yang cukup dikenal, yaitu: Sultan Amir Hamzah Perangin-angin, yang adalah keturunan langsung dari Sibayak (Raja) Kuta Buluh. Selain itu seperti: “Kesultanan Sunggal” yang didirikan oleh merga Karo-karo Surbakti, dimana dimasa kejayaannya dipinpin oleh Sultan Badiuzzaman Surbakti (Datuk Item Surbakti/Datuk Sunggal Surbakti, 1631). Bukan itu saja! Dalam bukunya “ Karo Dari Zaman Ke Zaman,” karya: “Brahma Putra (Brahma Putro),1979 (Resume)” dikatakan kalau ada penduduk asli Karo di wilayah Aceh Besar yang dalam logat Acehnya “Karee” dengan rajanya yang terakhir bermerga Ginting Suka, yang bernama Manang Ginting Suka. Hal ini juga diakui oleh: H. Muhammad Said dalam bukunya “Aceh Sepanjang Abat” (1981) dan diperkuat dengan keterangan dalam buku “Tarikh Aceh Dan Nusantara” (1961) karya: H. M. Zainuddin, yang mengatakan ‘dilembah Aceh Besar selain ada kerajaan Islam juga ada kerajaan Karo.’
Jika kita menilik dari wilayah kekuasaan salah satu kerajaan Karo terbesar yang pernah berdiri di “Sumatera” (kerajaan Karo Kuno), atau kita ketahui kerajaan “Haru-Karo” (Aru) yang diperkirakan berdiri pada abat 1 Masehi dengan Rajanya “Pa Lagan” (Petra, Darwin Prints, S. H., 2004) yang dimana selanjutnya kerajaan ini dikenal dengan “Ratu-nya” yang sangat cantik, bernama: “Seh Ngenana Br. Sembiring Meliala” (beru/br = sebutan untuk wanita, menandakan gen/kelamin wanita) atau: “Putri Hijau” Dikatakan kalau pengaruh (wilayah kekuasaan) dari kerajaan Haru-Karo itu, meliputi: ‘Aceh Besar (Kuta Raja, skrg Banda Aceh) hingga ke tepian “Sungai Siak” di “Riau.” Luas bukan? Dan masih banya lainnya! (tapi ini dulu ye, capek!) Hehehehe...
Selain melihat dari luas wilayah kerajaan Karo-Haru, kita juga dapt melihat dari sejarah asal-usul merga-merga Karo (Merga Silima/Silima Merga) serta penyebarannya, yang jika kita petakan secara umum meliputi: Kabubaten Karo, Langkat, Deiri, Deli Serdang, dan Simalungun, dan daerah lainnya.
Kalau kita berbicara mengenai pengaruh langsung dari masyarakat serta budaya Karo, maka masih kita lihat di daerah-daerah seperti: Kota Medan, Kab. Deli Serdang, Kab. Serdang Begadai, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi (Kecamatan Taneh Pinem, Tiga Lingga, dan Gunung Sitember: Yang dimana mayoritas penduduknya adalah etnis Karo), Aceh Tenggara (Kecamatan Lau Sigala-gala (Desa Lau Deski, Lau Perbunga, dan Lau Kinga.) dan Kecamatan Simpang Simadam), beberapa daerah (kecamatan, desa) di Simalungun, serta daerah-daerah lainnya.
Dan hal yang paling mengejutkan ialah. Apa yang kita lihat di Tanah Gayo dan Alas. Jika kita perhatikan, maka segala aspek yang berkaitan dengan kehidupan alami masyarakat (bahasa/logat, seni, dan cara hidup) di Gayo maupun Alas jauh lebih mirip dengan Karo dibandingkan etnis-etnis Aceh lainnya (mungkin hanya Agama-nya yang sama dengan etnis Aceh lainnya.). Begitu juga dengan Dairi.
Kenapa saya katakan ini suatu hal yang mengejutkan.....? Ya, karena ini sudah berlangsung sangat lama dan bahkan sudah beribu tahu lamanya, akan tetapi masih tetap terjaga. Jika boleh saya berandai-andai, tidaklah mungkin kesamaan itu dapat terus berlangsung dan terjaga dengan baik jikalau tidak memiliki kedekatan, ataupun keterkaitan yang sangat erat. Ataupun kita ambil sebuah logika: “tidaklah mungkin dapat berdiri sebuah atau lebih kerajaan/negara di suatu wilayah asing yang didukung oleh masyarakatnya.” Benar tidak? Memang ada diceritakan di beberapa daerah, kalau yang memimpin (menjadi raja, pejabat, ataupun bangsawan) orang/keturunan asing (sprti: Roberto Fujimori seorang Jepang yang menjadi Presiden Peru, Ester (Hadasa) yang Jahudi menjadi ratu Persia dan pada akhirnya membawa pamannya Moderkhai menjadi bangsawan yang paling dihormati dan berkuasa di Persia, Cleopatra (diduga seorang Jahudi) yang menjadi Ratu Mesir, Yusuf (Jahudi) menjadi bangsawan di Mesir, dll) tetapi, tidak ada/belum ada bangsa yang mendirikan negara/kerajaan di derah asing, kecuali daerah yang tak bertuan ataupun dengan penaklukan secara permanen (bdg. Zionisme mendirikan negara Israel di tanah Palestina karena ada faktor historis.) He-he-he. J
Jadi kalau saya ditanya diteilnya Tanah Karo itu meliputi: Kabupaten Karo, Deli Serdang, Serdang Begadai, Langkat, Binjai, kota Medan, beberapa daerah di Dairi, Simalungen, dan Aceh Tenggara. Luas bukan? Bayak Kita Nake..!!!! He-he-he.. “Gak salah dong, saya kelahiran Medan, dibesarkan di Deli Serdang, tinggal di Suban, Jambi mengaku orang Taneh Karo!”
Ok! Deh. Jadi itulah konsep (pemetaan) Tanah Karo menurut saya! Pendapat boleh beda tetapi tujuan saya bukanlah menggugat, memprovokasi, ataupun memanipulasi data, tetapi lebih bagaimana menggugah kesadaran kita akan makna dan nilai-nilai sejarah, bagaimana kita menghargai sejarah dan menempatkannya di posisi yang semestinya. Yang lebih pentingnya ialah, mari kita membangun jembatan-jembatan untuk mempersatu kita, bukannya membangun tembok-tembok ataupun mengeruk jurang pemisah yang dalam bagi kita. Dan, diantara itu semua adalah Negara Kesatuan Repoblik INDONESIA diatas segalanya. “Merah Putih Harga Mati, Tanah Karo Tetap di Hati!” Hem... ^_^
Uga! Me mbelang nge taneh-ta si i tadingken nini-ninita man banta nake? Engkai maka la si rawat ras pertahenken? Enda, malah si tadingkenka, uga la asak kalak adi la nggo pernah si pekena baleng-balengna.! He-he-he.. ;-)
Jadi, marilah si persada arihta, gelah reh gegehna kita.. Mari si runtuhken deleng-deleng pembatas antara kita ‘Karo Gugung (Gunung), Karo Binge, Karo Deli, Karo Jahe, Karo Julu, rsd’ jadiken si e hanya sebagai penunjuk ja nari kutata, ula sebagai pemisah man banta. Merga, kuta, ras agama kaipe kita.., mari sipersada arihta guna majuken Karo ras Indonesia si kelengi kita enda! Bujur ras Mejuah-juah kita kerina!
Sumber:
http://arikokena.blogspot.com/2011/05/taneh-karo-ku-nake.html
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment