Tuesday, June 12, 2012

Tahura Bukit Barisan vs Pengenalan Ekosistem Hutan


PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Negara Indonesia mempunyai kawasan hutan yang luas dan berbagai macam ekosistem hutan. Wilayah Indonesia terdiri atas 17.058 pulau yang memiliki keanekaragaman tumbuhan, hewan jasad renik yang tinggi, termasuk tingkat endemisnya. Keanekaragaman yang tinggi akan menghasilkan kestabilan lingkungan yang mantap. Keanekaragaman hayati berfungsi untuk mendukung sistem kehidupan, seperti menjaga kualitas tanah, menyimpan dan memurnikan air, menjaga siklus pemurnian udara, siklus karbon, dan nutrisi (KLH, 1997).
Hutan hujan tropis adalah suatu masyarakat kompleks yang merupakan tempat menyediakan pohon dari berbagai ukuran. Dalam laporan ini istilah kanopi hutan digunakan sebagai suatu yang  umum untuk menjelaskan masyarakat tumbuhan keseluruhan di atas bumi. Di dalam kanopi iklim mikro berbeda dengan di luarnya; cahaya lebih sedikit, kelembaban sangat tinggi, dan suhu lebih rendah. Banyak dari pohon yang lebih kecil berkembang dalam naungan pohon yang lebih besar di dalam iklim mikro inilah terjadi pertumbuhan. Tumbuhan itu seperti epifit (anggrek), tanaman benalu, dan saprofit (Irwanto, 2008).
Pada hutan pegunungan didominasi oleh pepohonan yang selalu hijau. Keanekaragaman spesies tumbuhan dan binatang yang ada di hutan pegunungan sangat tinggi. Tajuk pohonnya juga sangat rapat, ditambah lagi adanya tetumbuhan yang memanjat, menggantung dan menempel pada dahan-dahan pohon misalnya rotan, anggrek dan paku-pakuan. Hal ini menyebabkan sinar matahari tidak dapat menembus tajuk hutan hingga ke lantai hutan, sehingga tidak memungkinkan bagi semak untuk berkembang di bawah naungan tajuk pohon kecuali spesies tumbuhan yang telah beradaptasi dengan baik untuk tumbuhan di bawah naungan (Arief, 1994).
Inventarisasi hutan sangat perlu dilakukan terutama di negara yang memiliki hutan luas dan berpotensi seperti Indonesia agar  keberadaan hutan tetap terkontrol dan dapat dilakukan pemanfaatan secara lestari. Dalam kegiatan pengukuran diameter pohon, maka dipergunakan alat-alat yang khusus yaitu seperti pita ukur, kaliper dan jugaphyband (Spuri, 1987). Menurut Kusmana (1997) dalam kegiatan penelitian di bidang ekologi hutan dikenal dua jenis tipe pengukuran untuk mendapatkan informasi atau data yang diinginkan. Kedua jenis pengukuran tersebut adalah pengukuran yang bersifat merusak dan pengukuran yang tidak merusak.
Hutan lindung dialokasikan untuk melindungi lereng, tanah, dan perairan agar tidak rusak oleh hilangnya vegetasi besar dari hutan. Agar fungsi pokok hutan lindung tidak terganggu, maka hutan lindung selalu bervegetasi hutan besar, tidak boleh ada kekosongan lahan yang menimbulkan erosi tanah, fluktuasi debit air jernih, dan timbulnya sedimentasi di hilir sungai ( Widhiastuti, 2008).
Menurut Sagala (1994), ciri hutan hujan tropis yang kebanyakan dari gudang unsur hara total ada dalam tumbuhan; secara relatif kecil disimpan dalam tanah. Unsur hara dikembalikan ke tanah lewat pembusukan dari bagian yang jatuh dan dengan pencucian dari daun-daun oleh air hujan.
Palmae atau Arecaceae termasuk famili yang terbesar keanekaragamannya di dalam kelas monokotil. Anggota famili ini secara alami tumbuh di hutan mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi dan sangat beragam ditinjau dari habit, ukuran serta morfologinya. Ada jenis-jenis palmae yang berupa semak, pohon, ataupun liana. (Tjitrosoepomo, 1993).

B. Tujuan
  1. Mengenal potensi ekowisata sebagai bagian dari ekosistem hutan serta komponen-komponen penyusun ekosistem hutan tersebut.
  2. Memahami perilaku , interaksi, proses-proses dan peranan masing-masing ekosistem hutan bagi kehidupan.
  3. Mengetahui ekosistem hutan berdasarkan status,kepemilikan, dan pengelolanya.
  4. Memahamiaspek-aspek pengelolaan hutan beserta manfaatnya.
  5. Mengenal potensi jasa lingkungan khususnya ekowisata (baik berupa jasa penyediaan/provisioning services, pengaturan/regulating service maupun budaya /cultural service ) yang diberikan oleh fungsi ekosistem hutan.
  6. Memahami interaksi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan dengan kawasan hutan.

KONDISI UMUM LOKASI PRAKTIK PENGENALAN
EKOSISTEM HUTAN (P2EH)

Praktik pengenalan ekosistem hutan (P2EH) tahun 2011 dilaksanakan di dua tempat yaitu di Taman Hutan Raya Bukit Barisan (Tahura BB) dan di Hutan pendidikan USU yang terletak di Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara.
  1. Kondisi fisik lingkungan
Tahura Bukit Barisan dibangun dalam satu unit pengelolaan yang berintikan kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi. Keadaan lapangan Tahura Bukit Barisan ini pada umumnya terjal hingga puncak gunung berapi Sinabung yang tingginya 2.451 meter dan Sibayak 2.211 meter, dan sebagian kecil bergelombang dan landai di kaki perbukitan.  Bukit Barisan merupakan berupa tanah datar, curam, dan berbukit-bukit.
Hutan pendidikan USU direncanakan akan berada di kawasan Hutan Tahura-BB yang berlokasi di Desa Tongkoh Kecamatan Dolat Rayat Kabupaten KaroProvinsi SumateraUtara. Jarak yang ditempuh sekitar 40 km dari kampus USU Padang Bulan, lokasi Hutan Pendidikan USU terletak di depan Kantor Balai Tahura-BB tepatnya di sisi kiri jalan Medan-Brastagi. Hutan Pendidikan USU direncanakan seluas 1.000 Ha.
Kawasan Tahura Bukit Barisan ini merupakan daerah hulu sungai (DHS) yang utama bermuara ke pantai timur Sumatera Utara  seperti Sungai Ular, Sungai Belumai, dan Sungai Tuntungan di Kabupaten Deli Serdang; serta Sungai Denai, Sungai Babura, Sungai Deli dan Sungai Belawan (sumber air bersih Perusahaan Daerah Air Minum/ PDAM Tirtanadi Medan) di kodya Medan. Juga mencakup Sungai Bingei dan Sungai Mencirim di kota Binjai; serta Wampu dan Sungai Batang Serangan di Kabupaten Langkat.
Elevasi kawasan Tahura Bukit Barisan, berkisar sekitar 400- 2.451 mdpl, sehingga kondisi wilayah dan vegetasi kawasan sangat menentukan kualitas lingkungan, terutama faktor air minum warga kota Medan, karena instalasi PDAM Tirtanadi yang sangat vital berada di kawasan Lau Kaban, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang.
Sebagian besar kawasan Tahura Bukit Barisan telah dihubungkan dengan jalan lintas Sumatera, Provinsi, Kabupaten, dan Kecamatan, yang sudah diaspal, yang menghubungkan Tanah Karo ke Deli Serdang, Bahorok ( Langkat ) Prapat (Simalungun) dan Kotacane (Aceh Tenggara), Sidikalang (Dairi).

  1. Flora dan Fauna
            Tipe habitat utama adalah hutan pegunungan bawah yang menutupi sebagian besar lereng gunung. Kawasan hutan ini didominasi oleh jenis-jenis pohon pegunungan baik jenis lokal maupun yang berasal dari luar. Jenis-jenis pohonnya antara lain Pinus merkusi, Altingia exelsa, Schima walichii, Pinus caribea, Pinus insularis, Ecalyptus sp, Alseodaphne sp, Podocarpus sp, Toona Surei, Pinus akasia, Aganthis sp, dan jenis yang lain seperti durian, dadap, rambutan, pulai, aren, rutan, dan lain-lain.
            Bebarapa fauna yang hidup di kawasan ini antara lain monyet, harimau, siamang, babi hutan, ular, elang, burung hantu, kancil, beruk, katak, biawak, landak, rusa, labi-labi, bajing, kalong, mawas, murai batu, trenggiling, anjing, beruang, dan lain-lain.
  1. Wisata
            Tahura Bukit Barisan di Tongkoh memiliki obyek wisata berupa kawasan hutan seluas kurang 7 ha yang ditumbuhi berbagai jenis kayu-kayuan hutan tropis berusia di atas 60 tahun dan didalamnya berkembang berbagai jenis kupu-kupu langka. Taman itu memiliki koleksi binatang, jalan setapak menuju hutan untuk pengunjung yang meneliti ataupun sekedar melihat tumbuhan hutan, anggrek liar, pakis-pakis besar, berbagai tumbuahan kayu liar berselimut lumut dan jamur serta burung-burung, monyet, kera, dan flora-fauna lainnya. Dahulu di obyek wisata ini dipelihara kuda dan gajah yang dapat dimanfaatkan sebagai transportasi wisatawan mengelilingi hutan.
            Di sekitar Tahura Bukit Barisan juga ditemui bekas peninggalan sajarah, legenda pecahan meriam Putri Hijau di Sukanalu, dan adat tradisional Karo, seperti rumah adat yang dibangun ratusan tahun yang lalu tanpa menggunakan paku di Desa Lingga, Dokan dan Paceren, Kabupaten Tanah Karo. Disekitar 150 meter dari pusat Tahura Bukit Barisan di Tongkoh, ditemukan bekas benteng pertahanan peninggalan Jepang, dan kolam renang peninggalan Belanda pada tahun 1924 di sekitar Tongkoh.
           Bagi yang berminat didunia penelitian, Tahura Bukit Barisan juga dapat dijadikan gudang ilmu pengetahuan. Penelitian tidak terbatas pada bidang flora dan fauna saja tetapi juga mencakup bidang hidrologis serta sosial budaya.
            Sejak tahun 1920 pada masa penjajahan Belanda, sebagian dari kawasan ini, terutama sekitar Tongkoh dan Brastagi, telah berkembang menjadi salah satu tujuan wisata baik domestik maupun mancanegara yang vital dan ramai dikunjungi wisatawan. Sebagian dari kawasan Tahura, terutama sekitar Tongkoh dan Brastagi telah berkembang menjadi salah satu daerah tujuan wisata yang penting di Sumatera Utara.
            Faktor utama penunjang sebagai objek wisata adalah indahnya dan udaranya sejuk, vegetasi alam dan hutan yang masih perawan, landsekap yang indah dan menarik, perbukitan dan pegunungan yang tepat untuk lintas alam dan berkemah, sumber air panas dan air bening yang cukup banyak tersedia, obyek-obyek wisata alam seperti air panas Lau Debuk-debuk (Doulu) di kaki gunung berapi Sibayak, Panorama Danau Lau Kawar di kaki gunung berapi Sinabung panorama penatapan air terjun Sipiso-piso, yang dilator belakangi Danau Toba, air terjun Sikulalap, rumah adat tradisional yang indah ratusan tahun usianya tetap berdiri kokoh walaupun tanpa menggunakan paku. Atraksi budaya tembut-tembut dan perkolong-kolong, hasil buah-buahan seperti jeruk, marquisa, kasmak, pokat, terong belanda, sayur-sayuran, dan berbagai jenis bunga, mendaki gunung berapi Sibayak dan Sinabung.
            Disamping itu sarana prasarana juga cukup memadai, saperti jalan raya dengan kondisi yang baik dan mulus yang menghubungkan sebagian besar kawasan Tahura, sarana akomodasi dan penginapan, lokasi perkemahan dan jalan setapak di beberapa kawasan. Sarana akomodasi dan penginapan sudah tersebar disekitar, mulai dari Sibolangit sampai dengan Brastagi baik berupa penginapan sederhana mauun hotel berbintang taraf internasional. Di Tongkoh telah disediakan fasilitas penginapan, ruangan primer, perpustakaan, restoran, panggung budaya, juga aktraksi tunggang gajah, serta sarana karaantina satwa. Selain untuk wisata, lokasi Tongkoh juga cocok untuk kegiatan penelitian, olahraga misalnya lintas wisata alam.
         Kawasan Tahura Bukit Barisan memiliki duah buah gunung yaitu Gunung Sibayak dan Gunung Sinabung, yang sering menjadi tantangan bagi para pendaki untuk menaklukkannya. Dianjurkan bila ingin mendaki gunung ini minta izin lebih dahulu kepada instasi yang berwenang, untuk persiapan segala sesuatu serta sangat diperlukan adanya pemandu keselamatan.

  1. Sosial, Ekonomi, dan Budaya
            Luas wilayah Kabupaten Karo 2.127.25 km2 atau 2,9% dari luas provinsi Sumatera Utara. Total jumlah penduduk 311.012 jiwa yang tersebar di 13 kecamatan. Pendapatan masyarakat per kapita di kawasan ini terutama Karo cukup tinggi, dan berada di atas rata-rata pendapata penduduk Provinsi Sumatera Utara.
            Warga yang bermukim di kawasa Tahura Bukit Barisan, mayoritasnya suku Karo, dan yang lainnya adalah Simalungun, Tapanuli, Melayu, Alas, dan Gayo (Aceh). Mata pencaharian utama masyarakatnya pada umumnya bertani sayur mayor, bunga, dan berkebun buah-buahan seperti marquisa, jeruk, terong belanda, kopi, cengkeh, dan kemiri. Kawasan ini, terutama Karo khususnya merupakan pengekspor sayur-mayur dan bibit bunga terbesar di Indonesia. Kabupaten Karo sangatlah terkenal demikian pula buah marquisa banyak dikebunkan disisni dan dapat dinikmati rasanya dalam bentuk sirup marquisa.
            Budaya masyarakatnya cukup terkenal ke seantero dunia, yang terkenal ramah, jujur, rajin, ulet, dan ahli dibidang pertanian khususnya tanaman holtikultura, serta memiliki aneka ragam budaya, atraksi-atraksi yang menarik wisatawan seperti tari tembut-tembut, perkolong-kolong, kulcapi, serunai dan ukiran-ukiran kayu. Pemerintah Daerah sangat konsen dalam pengembangan budaya, misalnya dalam pentas budaya, pameran buah dalam Festival Buah yang diselenggarakan tiap tahun. Upaya pelestarian budaya juga dilakukan terhadap peninggalan rumah adat seperti di Lingga.


LAPORAN KEGIATAN HARIAN
Nama Kegiatan          : Analisis Vegetasi Hutan
Hari/tanggal               : Selasa/ 28 Juni 2011
Waktu                         : 09.30 - 14.00 WIB
Lokasi Kegiatan        : Kawasan Hutan Gunung Barus

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada kegiatan Analisis Vegetasi Hutan di Gunung Barus adalah (1) tali tambang, (2) kompas, (3) pita ukur, (4) christeenmeter, (5) alat tulis (6) parang, dan (7) kamera digital. Bahan yang digunakan adalah (1) ekosistem Hutan Gunung Barus, dan (2) buku identifikasi tumbuhan (Indriyanto, 2006).
Metode Kegiatan
  1. Dibuat regu kerja, setiap regu beranggotakan 6-10 orang
  2. Ditentukan lokasi analisis vegetasi
  3. Dibuat plot setiap 1 plot 20 meter
  4. Dirintis setiap ada batang atau cabang kayu yang menghalangi
  5. Dipakai kompas untuk menentukan arah yang akan dirintis selanjutnya
6.      Dibuat unit jalur untuk setiap jenis seperti pada Gambar 1 berikut.
                
                              Gambar 1. Desain kombinasi antara metode jalur dan metode berpetak

     Keterangan :
           Petak A           : petak ukur untuk semai dan tumbuhan bawah dengan ukuran  2 × 2 m
           Petak B            : petak ukur untuk pancang dengan ukuran 5 × 5 m
                       Petak C            : petak ukur dengan ukuran 10 × 10 m
Petak D            : petak ukur untuk pohon dengan ukuran 20 × 20 m
  1. Diidentifikasi jenis dan jumlah individu untuk semai, pancang, tiang dan pohon, selain dihitung jumlahnya diukur diameter dan tingginya
  2. Dicatat data hasil pengukuran di tallysheet yang telah dibuat pada buku folio.
Hasil dan Pembahasan
Pengamatan yang dilakukan membutuhkan waktu yang cukup banyak untuk  menganalisis vegetasi. Berikut disajikan tabel Analisis Vegetasi pada tingkat Tiang di Hutan Gunung Barus.
Tabel 1. Analisis vegetasi tingkat tiang di Hutan Gunung Barus
 No
Jenis
Jlh
K
KR (%)
F
FR (%)
D
DR (%)
INP
1
Alangium  javanicum
7
38.88
18.91
0.38
18.91
3.43
33
70.84
2
Solenocarpus philippinensis
7
38.88
18.91
0.38
18.91
0.79
7.60
45.43
3
Lithocarpus meijeri
6
33.33
16.21
0.33
16.21
0.78
7.51
39.94
4
Garcinia mangostana
4
22.22
10.81
0.22
10.81
0.55
5.37
26.99
5
Actinodaphne glomerata
4
22.22
10.81
0.22
10.81
0.58
5.60
27.22
6
Santina Apiculata
3
16.66
8.10
0.16
8.10
2.16
20.83
37.04
7
Triomma malaccensis
3
16.66
8.10
0.16
8.10
1.59
15.31
31.52
8
Dillenia indica
3
16.66
8.108
0.16
8.10
0.49
4.75
20.96


37
205.55

2.06

10.39

300

Hasil di atas menunjukkan bahwa Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi pada tingkat tiang terdapat pada jenisAlangium javanicum dan yang terendah terdapat pada jenis Dillenia indica. Hal ini menunjukkan bahwa jenis Alangium javanicum merupakan jenis yang paling banyak berada di tingkat ini. Nilai kerapatan setiap jenis yang terdapat pada Tabel ini menunjukkan bahwa terdapat variasi yang mencolok mengenai kerapatan delapan spesies yang ditemukan. Jumlah individu  dari tujuh spesies tersebut adalah 37. Hal tersebut menunjukkan bahwa Alangium javanicummempunyai kemampuan adaptasi dan reproduksi yang tinggi pada lokasi tersebut . Nilai frekuensi yang ditemukan pada beberapa plot membuktikan bahwa jenis Alangium javanicum dan Dillenia indica memiliki Frekuensi sebesar 18,31 % artinya  jenis ini merupakan jenis yang nilai kerapatan dan frekuensinya dapat dianggap sebagai jenis yang rapat serta tersebar luas pada seluruh plot. Nilai dominasi masing-masing spesies juga bervariasi dari yang terendah sebesar 0,49 % untuk jenis Dillenia indica sampai dengan dominasi tertinggi sebesar 33,01% pada jenis Alangium javanicum.
Tabel 2. Analisis Vegetasi tingkat pohon di Hutan Gunung barus
Jenis
Jlh
K
KR (%)
F
FR (%)
D
DR (%)
INP (%)
Alangium javanicum
9
12.5
8.99
0.44
10
2.75
5,91
19.09
Solenocarpus philippinensis
8
11.11
7.99
0.44
10
5.08
10,93
18.10
Polyalthia rumphii
10
13.88
9.99
0.44
10
5.84
12,56
20.01
Lithocarpus meijeri
10
13.88
9.99
0.33
7.5
0.97
2,08
17.59
Cratoxylum formosum
5
6.94
5
0.22
5.0
5.22
11,23
10.11
Actinodaphne glomerata
11
15.27
11
0.38
8.75
6.30
13,56
19.87
Dacroydes rugosa
12
16.66
12
0.66
15
6.63
14,27
126.23
Triomma malaccensis
12
16.66
12
0.55
12.5
5.31
11,42
24.59
Parihari oblongifolia
12
16.66
12
0.33
7.50
4.86
10,46
19.56
Dillenia indica
11
15.27
11
0.61
13.75
3.50
7,53
24.75

100
138.88

4.44

46,46



Tabel di atas menunjukkan bahwa Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi pada tingkat pohon terdapat pada jenisDacroydes rugosa dan yang terendah terdapat pada jenis Cratoxylum formosum. Hal ini menunjukkan bahwa jenisDacroydes rugosa merupakan jenis yang paling banyak berada di tingkat ini. Nilai kerapatan setiap jenis yang terdapat pada tabel ini menunjukkan bahwa terdapat variasi yang mencolok mengenai kerapatan sepuluh spesies yang ditemukan. Jumlah individu  dari sepuluh spesies tersebut adalah 100. Hal tersebut menunjukkan bahwa Dacroydes rugosa mempunyai kemampuan adaptasi dan reproduksi yang tinggi pada lokasi tersebut . Nilai frekuensi yang ditemukan pada beberapa plot membuktikan bahwa jenis Dacroydes rugosa memiliki Frekuensi sebesar 15 % artinya jenis ini merupakan jenis yang nilai kerapatan dan frekuensinya dapat dianggap sebagai jenis yang rapat serta tersebar luas pada seluruh plot. Nilai dominasi masing-masing spesies juga bervariasi dari yang terendah sebesar 0,97 untuk jenis Lithocarpus meijeri sampai dengan dominasi tertinggi sebesar 6,63 pada jenis Dacroydes rugosa.
Tabel 3. Analisis vegetasi tingkat pancang di Gunung Barus
o
Nama Spesies
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)


1
Polyanthia rumpii
1884.44
23.57
0.83
20.14
43.71

2
Durio acutifdius
600
7.67
0.33
8.00
15.67

3
Dacrofdes rugosa
1155.56
14.77
0.66
16.01
30.78

4
Santiria apiculata
1022.22
13.06
0.55
13.34
26.40

5
Mothophoee umbelliflora
311.11
3.97
0.22
5.33
9.30

6
Canatium litturale
755.56
9.65
0.33
8.00
17.65

7
Mastma cuspidate
333.33
4.26
0,22
5.33
9.59

8
Drypetes longofolia
111.11
1.42
0.11
2.66
4.08

9
Castanopsis fruits
555.56
7.10
0.22
5.33
12.43

10
Lithocarpus meijeri
177.78
2.27
0.11
2.66
4.93

11
Quercus karangensis
377.78
4.82
0.16
3.88
8.7

12
Citronella svavelens
333.33
4.26
0.22
5.33
9.59

13
Stemonorus scorpluidies
133.33
1.70
0.11
2.66
4.36

14
Endiandra kinglana
111.11
1.42
0.05
1.21
2.63


Total
7822.22

2,04

199.82


Hasil yang disajikan dari tabel diatas di dapat nilai INP yang terbesar ada pada Polyanthia rumpii sebesar 43,71 %, sedangkan hasil yang terendah ada pada   Endiandra kinglana sebesar 2,63 %. Jadi beberapa spesies penting yang paling doiminan di temukan untuk tingkat pancang adalah Polyanthia rumpii. Hasil frekuensi relative yang paling tinggi di dapat pada Polyanthia rumpii sebesar 20,14 % dan terkecil sebesar 1,21 % di jenis Endiandra kinglana.
Gambar 2. Analisis Vegetasi di Gunung Barus

Hasil yang di dapat dari tingkat tiang, pohon, dan pancang sangatlah berbeda-beda. Berikut disajikan hasil analisis vegetsai di tingkat semai sebagai perbandingan dari ketiga tabel sebelumnya.
Tabel 4. Analisis vegetasi tingkat semai di Gunung Barus
No
Jenis
Jumlah
K(ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP
H'
1
Polyanthia rumpii
39
5416.66
23.92
0.55
20.83
44.75
2.18
2
Durio acutifdius
10
1388.88
6.13
0.16
6.24
12.38

3
Dacrofdes rugosa
7
972.22
4.29
0.16
6.24
10.54

4
Santiria apiculata
9
1250
5.52
0.27
10.41
15.93

5
Mothophoee umbelliflora
11
1527.77
6.74
0.16
6.24
12.99

6
Canatium litturale
4
555.55
2.45
0.11
4.16
6.62

7
Mastma cuspidate
31
4305.55
19.01
0.33
12.5
31.51

8
Drypetes longofolia
24
3333.33
14.72
0.33
12.5
27.22

9
Castanopsis fruits
15
2083.33
9.20
0.22
8.33
17.53

10
Lithocarpus meijeri
7
972.22
4.29
0.11
4.16
8.46

11
Quercus karangensis
3
416.66
1.84
0.11
4.16
6.007

12
Citronella svavelens
3
416.66
1.84
0.11
4.16
6.007


              Total
163
22638.89

2.66

200


Hasil analisis membuktikan bahwa Indeks Nilai penting (INP) yang tertinggi di dapat pada jenis Polynthia rumpii yang mencapai 44,75 dari total keseluruhan yaitu  200. Bila dilihat dari kerapatan,  jumlah individu, frekuensi, kerapatan relative, dan frekuensi relative maka jenis Polynthia rumpii merupakan jenis yang mampu beradaptasi dengan baik di daerah ini.
Permasalahan
Lapangan yang dihadapi di Gunung Barus terlalu curam, dengan harus melewati lembah dengan kecuraman >450.Dari 50 petak ukur yang ditargetkan, praktikan hanya mampu menganalisis 18 sub petak karena waktu yang digunakan singkat.
Pemecahan Masalah
Untuk menghadapi permasalahan tersebut dapat menggunakan tali tambang untuk pegangan diperjalanan.
Kesimpulan
Jika dari beberapa hasil analisis vegetasi kita bandingkan satu persatu, mulai dari tingkat pancang, semai, tiang, dan Pohon. Maka kita akan menemukan jenis Polynthia rumpii yang menjadi jenis dominansinya. Polynthia rumpiimewakili nilai INP tertinggi pada tingkat semai dan pancang. Sedangkan pada tingkat tiang, nilai INP tertinggi ada padaAlangium javanicum dan tingkat pohon nilai INP tertinggi ada pada Dacroydes rugosa.

Nama Kegiatan          : Analisis Vegetasi Hutan
Hari/tanggal               : Rabu/ 29 Juni 2011
Waktu                                    : 09.30 - 14.00 WIB
Lokasikegiatan          : Kawasan Hutan di Hutan Pendidikan USU
Alat dan Bahan
            Alat yang digunakan pada kegiatan Analisis Vegetasi Hutan di Pendidian USU adalah (1) tali tambang, (2) Kompas, (3) pita ukur, (4) Christeenmeter, (5) alat tulis, (6) parang, dan (7) kamera digital. Adapun bahan yang digunakan adalah ekosistem Hutan Pendidikan USU dan buku identifikasi tumbuhan (Indriyanto, 2006).
Metode Kegiatan
  1. Dibuat regu kerja, setiap regu beranggotakan 6-10 orang
1        Ditentukan lokasi analisis vegetasi
2        Dibuat plot setiap 1 plot 20 meter
3        Dirintis setiap ada batang atau cabang kayu yang menghalangi
4        Dipakai kompas untuk menentukan arah yang akan dirintis selanjutnya
5        Dibuat unit jalur untuk setap jenis seperti pada Gambar 2  berikut.
                
                              Gambar 3. Desain kombinasi antara metode jalur dan metode berpetak
     Keterangan :
     Petak A       : petak ukur untuk semai dan tumbuhan bawah dengan ukuran
                            2 × 2 m
                 Petak B        : petak ukur untuk pancang dengan ukuran 5 × 5 m
                 Petak C        : petak ukur dengan ukuran 10 × 10 m
     Petak D       : petak ukur untuk pohon dengan ukuran 20 × 20 m
6        Diidentifikasi jenis dan jumlah individu untuk semai, pancang, tiang dan pohon, selain dihitung jumlahnya diukur diameter dan tingginya
7        Dicatat data hasil pengukuran di tallysheet.


Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) yang dilakukan pada tanggal 29 Juni 2011, yang diadakan di Hutan Pendidikan USU arah Air Terjun dapat dilihat bahwa total Kerapatan (∑K) pada setiap tingkatan berbeda-beda tergantung pada banyaknya spesies yang ditemukan.
Tabel 5. Analisis Vegetasi tingkat Tiang di Hutan Pendidikan USU
No
Jenis
 jlh
K
KR (%)
F
FR (%)
D
DR (%)
INP
H'
1
Gersap
3
21.42
15.78
0.21
16.67
0.49
15.88
48.34
1.85
2
Ndellang
3
21.42
15.78
0.21
16.67
0.47
15.25
47.71

3
Tampu
5
35.71
26.31
0.28
22.23
0.79
25.79
74.32

4
Rasamala
3
21.42
15.78
0.21
16.67
0.43
14.09
46.54

5
Limprah
1
7.14
5.26
0.07
5.55
0.14
4.65
15.47

6
Pipi Udan
2
14.29
10.52
0.14
11.11
0.34
11.18
32.82

7
Kecihe
2
14.29
10.52
0.14
11.11
0.40
13.15
34.79

Total

19
0.14
135.71
1.28

3.07




Tabel menunjukkan bahwa Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi pada tingkat tiang terdapat pada jenis Gersapdan yang terendah terdapat pada jenis Limprah. Hal ini menunjukkan bahwa jenis Tampu merupakan jenis yang paling banyak berada di tingkat ini. Nilai kerapatan setiap jenis yang terdapat pada Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat variasi yang mencolok mengenai kerapatan tujuh spesies yang ditemukan. Jumlah individu  dari tujuh spesies tersebut adalah 19 dengan nilai kerapatan tertinggi sebesar 36 pohon/hektar atau 25,79% untuk jenis Tampu. Nilai kerapatan terendah sebesar 7 pohon/hektar atau 5,26% ditemukan pada jenis Limprah. Hal tersebut menunjukkan bahwa Tampu mempunyai kemampuan adaptasi dan reproduksi yang tinggi pada lokasi tersebut . Nilai frekuensi yang ditemukan pada beberapa plot membuktikan bahwa jenis Gersap, Ndellang, dan Rasamala memiliki Frekuensi sebesar 15.78 %artinya  jenis ini merupakan jenis yang nilai kerapatan dan frekuensinya dapat dianggap sebagai jenis yang rapat serta tersebar luas pada seluruh plot. Nilai dominasi masing-masing spesies juga bervariasi dari yang terendah sebesar 0,14 % untuk jenis Limprah sampai dengan dominasi tertinggi sebesar 0,79% pada jenis Tampu.
Berdasarkan nilai INP yang diperoleh pada masing-masing tingkatan, maka spesies yang mendominasi berbeda pula. Tidak semua spesies yang ada pada tingkat semai ada pada tingkat pancang, begitu juga pada tiang maupun pohon. Diketahui bahwa pada hutan alam memilki beberapa kriteria pertumbuhan. Berikut disajikan hasil analisis Vegetasi pada Tingkat pohon pada tabel 6 di bawah ini.
Tabel 6. Analisis vegetasi tingkat pohon di Hutan Pendidikan USU
No
Jenis
Jlh
K
KR (%)
F
FR (%)
D
DR (%)
INP
H'
1
Pinus
23
41.07
28.75
0.22
10.52
22
52.70
91.98
1.82
2
Rasamala
20
35.71
25
0.5
23.68
7.43
17.79
66.48

3
Tampu
11
19.64
13.75
0.5
23.68
4.66
11.16
48.60

4
Gersap
3
5.35
3.75
0.055
2.63
0.27
0.66
7.04

5
Ndellang
10
17.85
12.5
0.33
15.78
3.15
7.56
35.85

6
Limprah
6
10.71
7.50
0.22
10.52
2.64
6.34
24.37

7
Kecihe
3
5.35
3.75
0.11
5.26
0.99
2.38
11.40

8
Pipi Udan
4
7.14
5
0.16
7.89
0.57
1.36
14.26



80
142.85

2.11

41.74

300


Nilai kerapatan setiap jenis yang terdapat pada Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat variasi yang mencolok mengenai kerapatan 8 spesies yang ditemukan. Jumlah individu  dari 8 spesies tersebut adalah 80 dengan nilai kerapatan tertinggi sebesar 41 pohon/hektar atau 28,75% untuk jenis Pinus. Hal tersebut menunjukkan bahwa Pinus mempunyai kemampuan adaptasi dan reproduksi yang tinggi pada lokasi tersebut. Nilai kerapatan terendah sebesar 5 pohon/hektar atau 3,75% ditemukan pada jenis Gersap. Nilai frekuensi tertinggi ditemukan pada jenis Rasamala dan Tampu sebesar 0,5% artinya jenis ini merupakan jenis yang nilai kerapatan dan frekuensinya tertinggi sehingga dapat dianggap sebagai jenis yang rapat serta tersebar luas pada plot. Jenis Pinus memiliki nilai dominasi tertinggi karena nilai kerapatannya paling tinggi dan ukuran batangnya cukup besar, hal tersebut menunjukkan bahwa Pinus mendominasi daerah tersebut. Nilai INP tertinggi ditemukan pada jenis Pinus  yaitu sebesar 91,98 hal tersebut menunjukkan bahwa Pinus mempunyai peranan penting pada lokasi tersebut.
               Tabel 7. Hasil analisis vegetasi pada tingkat semai di hutan Pendidikan USU
No
Jenis
Jumlah Individu
Jumlah Plot Ditemukan
K
KR (%)
F
FR (%)
INP
H'
1
Deleng
39
10
5416.66
23.92
0.55
20.83
44.75
2.18
2
Siuban-uban
10
3
1388.88
6.13
0.16
6.25
12.38

3
Belo-belo
7
3
972.22
4.29
0.16
6.25
10.54

4
Pinus
9
5
1250.00
5.52
0.27
10.41
15.93

5
Benig-bening
11
3
1527.77
6.74
0.16
6.25
12.99

6
Cepeng indot
4
2
555.55
2.45
0.11
4.16
6.62

7
Drasi
31
6
4305.55
19.02
0.33
12.50
31.51

8
Jaton
24
6
3333.33
14.72
0.33
12.50
27.22

9
Tampu
15
4
2083.33
9.20
0.22
8.33
17.53

10
Limprah
7
2
972.22
4.29
0.11
4.16
8.46

11
Pipi udan
3
2
416.66
1.84
0.11
4.16
6.00

12
Kecihe
3
2
416.66
1.84
0.11
4.16
6.00


Æ©
163
18
22638.89

2.67

200


Tabel di atas menunjukkan bahwa Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi pada tingkat semai terdapat pada jenis Deleng dan yang terendah terdapat pada jenis Pipi Udan dan Kecihe. Hal ini menunjukkan bahwa jenis ini merupakan jenis yang paling banyak berada di tingkat ini. Nilai kerapatan setiap jenis yang menunjukkan bahwa terdapat variasi yang mencolok mengenai kerapatan 12 spesies yang ditemukan. Jumlah individu  dari 12 spesies tersebut adalah 163 dengan nilai kerapatan tertinggi sebesar 5416 semai/hektar atau  23, 93 % untuk jenis Deleng. Nilai kerapatan terendah sebesar 416 semai/hektar atau 1.84% ditemukan pada jenis Pipi Udan dan Kecihe. Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis Deleng mempunyai kemampuan adaptasi dan reproduksi yang tinggi pada lokasi tersebut.
Perbedaaan jenis vegetasi diatas menunjukan bahwa jenis-jenis tertentu dapat dijumpai pada lokasi yang berbeda. Pada semai misalnya ada dijumpai 12 jenis vegetasi, pada pohon ada 8 jenis, dan pada tiang ada 7 jenis vegetasi.  Hal ini memberikan gambaran bahwa setiap lokasi analisis vegetasi akan memberikan hasil yang berbeda-beda tergantung jenis vegetasi tersebut dapat tumbuh. Berikut disajikan hasil analisis vegetasi pada tingkat pancang.
Tabel 8.  Analisis vegetasi tingkat pancang di Hutan Pendidikan USU
No
Nama Spesies
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)


1
Deleng
285,71
19.23
0,36
17.64
36.87

2
Siuban-uban
200
13.46
0,21
10.29
23.75

3
Belo-belo
85,71
5.76
0,07
3.43
9.19

4
Pinus
85,71
5.76
0,21
10.29
16.05

5
Limprah
114,28
7.69
0,07
3.43
11.12

6
Ndellang
57,14
3.84
0,14
6.86
10.70

7
Benig-bening
85,71
5.76
0,14
6.86
12.62

8
Cepeng indot
114,28
7.69
0,21
10.29
17.98

9
Drasi
85,71
5.76
0,14
6.86
12.62

10
Jaton
142,86
9.61
0,14
6.86
16.47

11
Kecihe
85,71
5.76
0,14
6.86
12.62

12
Pipi Udan
142,86
9.61
0,21
10.29
19.90


Σ
1485,68
99.93
2,04
99.96
199.89


Pada hasil diatas di dapat bahwa nilai INP tertinggi ada pada spesies Deleng dengan nilai 36,87 %. Sedangkan terendah ada pada jenis Belo-belo dengan nilai 9,19 %. Nilai kerapatan setiap jenis pada tingkat pancang berbeda-beda satu sama lain. Nilai kerapatan paling tinggi di dominansi oleh jenis Deleng yaitu 285 pancang/hektar atau setiap hektarnya ada 19,23 % di tempati olehnya. Sedangkan nilai kerapatan yang paling rendah pada tingkat ini di tempati oleh jenis Ndellang yaitu hanya ada 57  pancang/hektar atau sekitar 3,84 % dari total kerapatan relative.
Permasalahan
Jalur yang dilalui untuk melakukan analisis vegetasi pada Hutan PendidikanUSU cukup terjal dan curam sehingga mempersulit dalam pelaksanaan kegiatan pengidentifikasian yang mana menyebabkan banyaknya waktu yang terbuang sia-sia dan tidak efisiennya pelaksanaan identifikasi. Kemudian jalur petak contoh terdapat jurang dengan kecuraman >450 sehingga praktikan terhambat untuk menganalisis vegetasi. Hal membuat regu praktikan hanya mampu menganalisis 14 sub petak contoh dengan waktu kurang lebih tiga jam karena daerah analisis petak contoh telah berbatasan langsung dengan lahan milik masyarakat.
Pemecahan Masalah
Untuk menghadapi permasalahan tersebut, regu menggunakan tali tambang untuk pegangan di perjalanan, sehingga regu dituntut untuk saling tolong menolong. Untuk pohon-pohon yang terlalu tinggi dan tidak memiliki anakan hendaknya dalam mengidentifikasi ditemani oleh orang-orang lokal yang sudah mengetahui betul keadaan hutan atau orang-orang yang ahli dalam mengidentifikasi pepohonan di hutan Pendidikan USU.
Kesimpulan
Spesies yang dominan dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi, sehingga spesies yang dominan tentu saja memiliki indeks nilai penting yang paling besar. Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi pada tingkat tiang terdapat pada jenis Gersap, sedangkan pada pohon adalah pinus, pada tingkat pancang dan semai adalah jenis Deleng.

Nama Kegiatan          : Inventarisasi dan Pengamatan Satwa Liar

Hari/tanggal               : Kamis/ 30 Juni 2011 dan Sabtu/ 2 juli 2011
Waktu                                    : 08.00 - 13.00 WIB dan 06.00 – 07.30 WIB
Lokasi Kegiatan        : Kawasan Hutan Gunung Barus dan Hutan Pendidikan USU
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam pengamatan satwa liar di Hutan gunung Barus dan Hutan pendidikan USU adalah (1) kompas, (2) parang, (3) kamera digital, (4) buku indentifikasi satwa liar (Alikodra, 1993), dan (5) teropong. Bahan yang digunakan adalah Kawasan Hutan Gunung Barus dan Hutan Pendidikan USU.
Metode kegiatan :
  1. Secara Langsung yaitu dengan menggunakan metode Line Transects (garis transek/jalur) secara langsung. Metode langsung dilakukan dengan menggunakan metode Line Transect (Garis Transek/ Jalur). Garis transek merupakan suatu petak contoh, di mana seseorang petugas berjalan sepanjang garis transek dan mencatat setiap jenis satwa liar yang dilihat, baik jumlah (Z) maupun jaraknya dengan pencatat (D). Jarak terpendek (Y) adalah jarak antara garis transek dengan posisi satwa liar (Gambar 5).

                           D1= 9,43m
                                                    Y1= 24m                             D3= 5,4
  Y3= 9m

                                                         

D2= 8,5m
Keterangan:
 : Posisi satwa
: Posisi pencatat
Gambar 4. Contoh sederhana metode garis transek

  1. Secara tidak langsung dengan menggunakan metode Tracks Count (jejak) dan Pellet Group Count(feses/kotoran) yang objeknya satwa tidak langsung, tetapi hanya dengan melihat jejak dan kotorannya. Metode tidak langsung dipakai untuk satwa liar yang objeknya tidak mudah ditemui secara langsung, antara lain dengan kemungkinan ditemukan populasi satwa liar melalui jejak-jejak kaki, bekas cakaran pada batang pohon, feses, sisa makan, kaisan pada tanah, sarangnya dan lain-lain. Metode terkonsentrasi dapat digunakan juga untuk menghitung populasi, juga sekaligus untuk pengamatan pola perilaku hariannya. Misalnya kapan kelompok satwa tersebut mengunjungi lokasi pencarian makannya, kapan biasanya ke sungai untuk minum ataupun mandi dan membuat kubangan. Pada saat itulah kita bisa melakukan penghitungan populasi.  Kemudian ditulis hasil pengamatan di tallysheet.
Hasil dan Pembahasan
Dari hasil pengamatan yang diperoleh secara langsung yaitu dengan menggunakan teropong dapat ditemukan tiga jenis burung yang belum diidentifikasi. Hal ini sulit untuk diidentifikasi karena jenis burung tersebut selalu terbang dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Adapun hasil yang diperoleh dari pengamatan satwa liar dapat dilihat di tabel dibawah ini.
Tabel 9. Identifikasi dan Pengamatan Satwa Liar di Hutan  Gunung barus          
No
Nama Lokal
Nama Latin
Jumlah
Metode
Keterangan
1
Burung Kutilang
Pycnonotus aurigaster
8
Langsung

2
Burung Jenis A

7
Langsung

3
Burung Jenis B

3
Langsung

4
Tupai
Anathana ellioti
‑‑
Tidak Langsung
Melalui bekas gigitan

            Ketinggian pohon dan rapatnya tajuk pohon juga menyebabkan satwa yang lain sulit terlihat. Kemungkinan yang lain yaitu jumlah pengamat satwa yang terlalu banyak dalam satu jalur yang sama menyebabkan kebisingan yang diduga membuat satwa menghindar dari jalur transek yang dilalui praktikan.
            Pengamatan lain tidak hanya melihat dan mendengarkan suara satwa. Pengamatan lain seperti mengamati feses satwa juga merupakan pendugaan secara tidak langsung dilapangan. Buah hutan yang telah ada bekas gigitan satwa yang kemudian diduga adalah bekas gigitan tupai merupakan salah satu contoh pendugaan secara tidak langsung. Adapun gambarnya dapat dilihat di bawah ini.
Gambar 5. Bekas gigitan satwa liar yang diduga adalah bekas gigitan Tupai yang ditemukan di hutan Gunung Barus

            Tabel 10. Identifikasi dan Pengamatan Satwa Liar di Tahura
No
Nama Lokal
Nama Latin
Jumlah
Metode
Keterangan
1
Burung Kutilang
Pycnonotus aurigaster
10
Langsung

2
Burung Walet
Collocalia linchi
3
Langsung

3
Burung Tekukur
Geopelia Striata
5
Langsung

4
Spesies A

--
Tak Langsung
Melalui feses

Pengamatan satwa di Tahura dilakukan pada pagi hari dan sore hari. Pengamatan ini berlokasi tidak jauh dari camp praktikan.  Pada pagi hari yang dimulai pada pukul 06.00 - 07.00 WIB dapat ditemukannya satwa seperti burung kutilang dan tekukur, juga beberapa bekas kotoran burung yang tidak teridentifikasi. Feses ini diduga adalah feses burung karena memiliki persamaan dengan feses burung pada umumnya yaitu berwarna putih dan sedikit berwarna hitam.  Pengamatan pada sore hari yaitu pada pukul 17.30-18.30 WIB dapat ditemukannya burung yang sama seperti kutilang, dan tekukur. Hanya saja pada sore hari ditemukannya beberapa burung walet yang kemungkinan sedang melintas atau mencari makan.
Permasalahan
Pengamatan  ini memiliki daerah yang hanya memiliki satu jalur transect dan daerah tersebut sudah di dahului oleh kelompok lain. Kondisi topografi yang curam di hutan Gunung barus menyebabkan pengamat sulit dalam mengamati satwa karena terkadang praktikan harus terfokus pada jalan setapak. Pengamatan yang hanya menggunakan alat sederhana seperti teropong  binokuler akan menyebabkan pengamat salah dalam menganalisis satwa seperti burung.
Berbeda halnya dengan pengamatan yang dilakuan di daerah dekat camping ground. Daerah itu kemungkinan bukan daerah tempat satwa liar hidup atau mencari makanan. Daerah yang diamati merupakan daerah bekas ekowisata sebelumnya, sehingga hanya satwa burung-burung saja yang akan tinggaldi daerah itu.
Pemecahan masalah
Pengamatan di Gunung Barus dapat diantisipasi dengan memberikan jarak yang cukup jauh dari praktikan sehingga praktikan tidak terlalu terganggu dalam hal pengamatan. Sedangkan pengamatan di dekat camping gound, harusnya di lakukan pengamatan di daerah yang di duga tempat satwa liar hidup dan mencari makan.
Kesimpulan
Pengamatan satwa liar yang dilakukan di Tahura dan di kawasan Hutan Gunung Barus menemukan adanya persamaan satwa yang teridentifikasi. Satwa  yang paling dominan adalah  burung. Kemungkinan satwa liar lain masih ada di hutan Gunung Barus namun tidak menampakan diri.

Nama Kegiatan          : Analisis Vegetasi Hasil Hutan Non kayu

Hari/tanggal               : Jumat, 1 juli 2011
Waktu                                    : 10.00 – 12.00 WIB
Lokasi Kegiatan        : Taman Hutan Raya Bukit Barisan
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada analisis Vegetasi Hasil Hutan Non Kayu adalah (1) kompas, (2) parang, (3) kamera digital, (4) tali, (5) alat tulis, dan (6) tally sheet. Bahan yang digunakan untuk menganalisis adalah kawasan HutanTahura.
Metode kegiatan
1.      Ditentukan kawasan yang akan dijadikan petak contoh sepanjang jalur
2.      Dibuat petak ukur dengan ukuran 10 m x 10 m
3.      Diamati Hasil Hutan Non Kayu dan Tanaman Obat yang ada di petak ukur
4.      Dicatat Hasil pengamatan ke dalam tally sheet.
Hasil dan Pembahasan
Dari hasil pengamatan yang dilakukan di Tahura Bukit Barisan dapat ditemukan ada delapan jenis Hasil Hutan Non Kayu yang dapat disajikan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 11. Hasil HHNK di Tahura Bukit Barisan
No
Nama Lokal
Nama latin
Kegunaan

1
Markisa
Passiflora quadrangularis
Tanaman Konsumsi (buah)
2
Arbei
Fragaira vesca
Tanaman Konsumsi (buah)
3
Daun cimpa

Tanaman Konsumsi (daun)
4
Pakis anggrek

Tanaman Hias

5
Pakis sayur
Diplazium esculentum
Tanaman Konsumsi (daun)
6
Pandan
Pandanus amaryllifolius
Tanaman Hias

7
Cikala
Amomum magnificum
Tanaman Obat

8
Pinus
Pinus sp.
Diambil getah


              Dari hasil yang di dapat, bahwa hanya kelompok nabati yang ditemukan sebagai Hasil Hutan Non kayu. Hal  ini kemungkinan karena jalur yang dilalui bukan lagi hutan yang masih alami. Hutan yang dilalui telah di dominasi oleh pakis-pakisan dan semak belukar. Akibatnya tidak ditemukan lagi tanaman obat-obatan ataupun hasil hutan dari hewani.

Permasalahan
            Adapun permasalahan yang ditemukan adalah sulitnya untuk mengidentifikasi jenis dari hasil hutan non kayu ini dikarenakan kurangnya pengetahuan mengenai jenis-jenis hasil hutan non kayu selain itu jalan yang dilalui pun cukup curam dan terdapat banyak semak-semak yang tinggi dan rimbun sehingga sulit untuk membuka jalan.
Pemecahan Masalah
            Upaya yang dilakukan dalam menangani masalah lokasi yang curam adalah dengan menggunakan alat bantu seperti tali pandu dan potongan batang kayu yang kuat untuk menopang. Sudah seharusnya ada orang-orang yang ahli dalam mengidentifikasi hasil hutan non kayu tersebut serta dapat menjelaskan manfaatnya dengan baik.
Kesimpulan
                   
Gambar 6. Hasil Hutan Non Kayu di kawasan Tahura, (a). Pakis yang digunakan sebagai penyangga hidup anggrek, (b). Arbei

Hasil Hutan non kayu yang ditemukan di kawasan Tahura adalah pakis anggrek, cimpa, markisa hutan, arbei, pakis sayur, pandan, cikala dan pinus. Semuanya merupakan Hasil Hutan Non kayu yang tidak memiliki nilai jual yang tinggi. Bahkan untuk Arbei dan Daun Cimpa tidak ada diperjualbelikan sampai sekarang.

Nama Kegiatan          : Kegiatan Ekowisata Hutan

Hari/tanggal               : Sabtu, 2 juli 2011
Waktu                                    : 10.00 – 14.00 WIB
Lokasi Kegiatan        : Air Terjun Hutan Pendidikan USU

Alat dan Bahan
            Alat yang digunakan dalam kegiatan Ekowisata Hutan adalah (1) parang, (2) kamera digital, (3) teropong, dan (4) alat tulis. Adapun  bahan yang digunakan adalah kawasan ekosistem Hutan Pendidikan USU.

Metode Kegiatan
  1. Disiapkan bahan dan alat
  2. Ditentukan lokasi atau tempat pengamtan sesuai jalur yang ditentukan
  3. Ditelusuri jalan menuju puncak gunung sebelumnya melewati shelter 1, shelter 2, shelter 3, shelter 4, cadas, puncak
  4. Diamati dan diambil dokumentasi di sekitar puncak

Hasil dan Pembahasan
Keindahan alam air terjun yang ditemukan di hutan pendidikan USU merupakan salah satu alasan yang baik untuk dijadikannya sebagai objek Wisata. Jalur yang ditempuh menuju air terjun kira-kira 500 meter dari jalan raya Tahura.  Dengan pengelolaan yang baik maka sangat memungkinkan lokasi air terjun di kawasan Hutan Pendidikan USU Gunung Barus ini menjadi objek wisata yang menarik. Selain dijadikan objek wisata, air terjun ini juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber air bersih. Tidak hanya keindahan alam yang didapat di areal ini tetapi juga didapatkan keanekaragaman hayati dan hasil hutan non kayu yang dapat dimanfaatkan masyarakat sekitar.
Air terjun tersebut cukup memiliki potensi untuk dikembangkan, namum keadaan sekitar masih dipenuhi rumput-rumput dan semak-semak lainnya. Karena itu perlu dilakukan pembersihan agar lebih menarik dan dapat menjadi daerah tujuan wisata lainnya. Adapun gambar Air Terjun Tahura yang dapat dijadikan ekowisata nantinya dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
            Gambar 7. Air terjun Tahura Hutan pendidikan USU
Lokasi air terjun yang terdapat di kawasan Hutan Pendidikan USU  tersebut cukup curam dan diperlukan kehati-hatian dalam perjalanan menuju ke lokasi. Di perjalanan menuju Air Terjun Tahura dapat ditemukan bambu yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk penyangga tanaman seperti tomat, sayur-sayuran, dan pagar. Diharapkan dengan adanya jalur menuju air terjun, dapat dijadikan objek wisata yang dapat menaikan nilaiekonomis,ekologis, dan sosial masyarakat tanah karo Tahura.
Permasalahan
            Jalan menuju air terjun pada saat ini sangatlah berbahaya, curam, dan licin. Selain itu lokasi air terjun tersebut masih belum dapat menampung banyak orang dan banyak dijumpai binatang-binatang yang cukup ditakuti masyarakat seperti lintah, pacet dan serangga-serangga lainnya.
Pemecahan Masalah
            Jalur yang harusnya menuju air terjun harus dibuat seaman mungkin. Jalanan yang cukup curam dapat dilalui dengan pembukaan jalan baru yang lebih efektif dan aman dilalui orang banyak atau dengan menggunakan alat bantu yang mendukung serta disertai oleh pemandu yang dapat membantu melalui jalan curam tersebut. Untuk lokasi air terjun yang sempit, yang belum bisa menampung banyak orang perlu dilakukan pembenahan lebih lanjut seperti pembukaan wilayah sekitar lokasi air terjun tersebut dan dilakukan pembersihan semak-semak di lokasi tersebut.
Kesimpulan
Air terjun tersebut cukup memiliki potensi untuk dikembangkan. Dengan pengelolaan yang baik maka sangat memungkinkan lokasi air terjun di kawasan Hutan Pendidikan USU Gunung Barus ini menjadi objek wisata yang menarik. Karena itu perlu dilakukan pembersihan agar lebih menarik dan dapat menjadi daerah tujuan wisata lainnya.

Nama Kegiatan          : Sosialisasi Dan Penyuluhan Masyarakat Sekitar Hutan
Hari/tanggal               : Minggu/ 03 Juli 2011
Waktu                                    : 09.30  - 17.00 WIB
Lokasi Kegiatan        : Desa Dolat Rayat, Sumatera Utara
Alat dan Bahan
            Alat yang digunakan dalam kegiatan Sosialisasi dan Penyuluhan Masyarakat Sekitar Hutan di Desa Dolat Rayat adalah alat tulis, dan kamera digital. Bahan yang digunakan untuk wawancara adalah kuisioner wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Metode kegiatan
1.      Disiapkan kuesioner yang akan digunakan
2.      Ditentukan responden yang akan diwawancara
3.      Diwawancarai respon sesuai pertanyaan yang ada di dalam kuesioner
4.      Hasil wawancara dicatat oleh pewawancara dan diambil gambar responden sebagai dokumentasi.

Hasil dan Pembahasan
Masyarakat Desa Dolat Rayat umumnya tidak memiliki keyakinan terhadap kekuatan dinamisme. Mereka sudah memiliki kebebasan untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Pemahaman masyarakat akan pentingnya hutan bagi kehidupan sangatlah tinggi. Hal ini dapat di lihat dari perubahan masyarakat yang tidak lagi mengambil humus hutan untuk keperluan pribadi atau golongan, meskipun tidak dapat dipungkiri jika masih ada saja yang mau mencuri serasah hutan.  Meskipun masih ada tetua adat yang dihormati di kalangan masyarakat Desa Dolat Rayat, namun urusan tentang keamanan desa sudah diserahkan sepenuhnya kepada kepala desa dan instansi yang berwenang.

Permasalahan
            Kemampuan komunikasi antara praktikan dan responden kurang baik, beberapa responden lebih lancar berbahasa daerah (karo), sedangkan praktikan lebih lancar berbahasa Indonesia dan ada yang bahkan tidak mengerti bahasa karo. Dan beberapa responden lebih memilih untuk tidak diwawancara atau kurang terbuka kepada mahasiswa. 

Pemecahan Masalah
            Praktikan perlu didampingi oleh orang-orang yang mampu berkomunikasi dengan baik dengan responden.
Kesimpulan
Masyarakat Desa Dolat Rayat umumnya memiliki pemahaman akan pentingnya hutan bagi kehidupan sangatlah tinggi. Hal ini dapat di lihat dari perubahan masyarakat yang tidak lagi mengambil humus hutan untuk keperluan pribadi atau golongan.

Nama Kegiatan          : Penanaman Pohon
Hari/tanggal               : Senin/ 04 Juli 2011
Waktu                                    : 09.00 - 14.00 WIB
Lokasi Kegiatan        : Kawasan Hutan Tongkoh Menuju Air Terjun

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada kegiatan Penanaman Pohon di Kawasan Hutan Pendidikan USU adalah (1) Cangkul, (2) parang, (3) ember, dan (4) kamera digital. Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah bibit mangga, manggis, durian, alpukat, dan nangka.

Hasil Dan Pembahasan
Penanaman yang dilakukan menggunakan bibit MPTS (Multi Purpuse Tree Species) yang berlokasi di alur jalan menuju air Terjun TAHURA. Bibit ini antara lain Nangka, manggis, mangga, durian, dan alpukat. Pertama kali ditentukan lokasi yang layak untuk menanam bibit ini dengan kriteria bebas dari semak-belukar, mendapatkan intensitas cahaya yang cukup bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, dan bebas dari gangguan pejalan kaki menuju Air Terjun. Setelah ditemukan lokasi yang tepat maka praktikan membuat lubang tanam kira-kira 20 cm atau disesuaikan dengan keadaan bibit yang ditanam. Pembebasan dari semak-belukar kira-kira 1 meter dari bibit yang ditanam. Sebelum bibit ditanam, polibag terlebih dahulu dibuka untuk membebaskan akar tanaman. Ajir ditancapkan tepat disamping bibit yang ditanam untuk pertanda penanaman, dan bekas polibag dapat ditutupkan di atas ajir.

Permasalahan                  
            Bibit yang di tanam adalah bibit MPTS (Multi Purpuse Tree Species) yang biasanya memerlukan banyak cahaya, sedangkan di lokasi penanaman banyak terdapat pohon-pohon yang besar yang memiliki tajuk yang luas sehingga mengakibatkan bibit tersebut kekurangan cahaya, jarak penanaman yang dilakukan tidak beraturan.

Pemecahan Masalah
            Tempat penanaman bibit dibebaskan dari semak belukar dan pohon-pohon muda (pancang dan tiang) dan di usahakan bibit mendapatkan cahaya yang banyak .

Kesimpulan
Bibit yang di tanam adalah bibit MPTS (Multi Purpuse Tree Species) yaitu  bibit nangka, manggis, mangga, durian, dan alpukat yang di tanam di Kawasan Hutan Tongkoh Menuju Air Terjun.

KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1.      Tipe ekosistem pada pengenalan ekosistem hutan pada Gunung Barus berupa hutan alam.
2.      Perilaku interaksi satwa liar dengan tumbuhan di hutan Gunung Barus lebih banyak daripada di Hutan pendidikan USU. Hutan Ini dapat berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi dan memelihara kesuburan tanah, fungsi hutan di Gunung Sinabung untuk mencegah terjadinya banjir.
3.      Diharapkan pada Hutan Pendidikan USU dapat dijadikan Ekowisata sebagai Hutan yang asri dan Air terjun yang Indah.
B. Saran
Diharapkan para peserta praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PEH) di tahun mendatang agar lebih teliti dan akurat dalam menganalisis data terutama untuk analisis vegetasi dan pengamatan satwa liar.

DAFTAR PUSTAKA
Arief, A. 1994. Hutan Hakekat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia


Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta


Irwanto, 2008. Struktur Hutan Tropis. Diakses dari www.hutan.co.id. [26 Juni 2010]

Kementerian Lingkungan Hidup, 1997, Agenda 21 Indonesia: A National Strategy for Sustainable Development, Jakarta, KLH dan UNDP

Kusmana, C.1997. Metode Survey Vegetasi. ITB. Bogor


Sagala. P, 1994. Mengelola Lahan Kehutanan Indonesia. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta


Spuri, S.H. 1987. Photogrametry. The Ronald American Press. New York

Tjitrosoepomo G. 1993. Taksonomi Tumbuhan Spermatophyta. Gadjah Mada University Press. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.


Widhiastuti, R., Aththorick, T.A. 2008. A Studi of Vegetation in Sinabung Mountain Forest North Sumatera. International Seminar The 20 Years of Biology Departement Faculty of Mathematics and Natural Sciences the University of Sumatera Utara. Wisma Pariwisata the University of Sumatera Utara. Medan.

No comments:

Post a Comment