Tuesday, June 12, 2012

SIMANGAMBAT, CANDI HINDU DI SUMATERA UTARA


SIMANGAMBAT, CANDI HINDU DI SUMATERA UTARA
Eka Asih Putrina Taim
Pusat Penelitian Dan Pengembangan Arkeologi Nasional

Abstract
Simangambat temple was reported by Schnitger, a Dutch Scholar, in 1935. At that time Simangambat was already became a brick ruins, some of sandstones were bare a very beautiful relief. In 2008 and 2009 a team from National research and development center for archaeology and Medan archaeological office tried to revealed all of things about Simangambat, its architecture, religious, art, and style.
Kata kunci : Simangambat, candi, Hindu

1. Pendahuluan
Di daerah Padang Lawas banyak ditemukan tinggalan budaya masa lampau dari Masa Klasik Indonesia. Tinggalan-tinggalan tersebut ada yang berupa arca, baik utuh maupun fragmen, ada yang berada dalam konteks bangunan maupun lepasan; ada yang berupa prasasti, baik utuh maupun fragmen; dan ada pula yang berupa bangunan maupun runtuhan bangunan. Sebagian dari tinggalan-tinggalan tersebut sudah termuat dalam  Oudheidkundig Verslag (OV) dan  Laporan Dinas Purbakala. Di samping itu ada pula yang dibuat oleh perorangan seperti FM. Schnitger dalam beberapa bukunya mengenai kepurbakalaan di Sumatra; Satyawati Suleiman (1954; 1976; 1980); Rumbi Mulia (1980); dan Nik Hassan Shuhaimi (1992).

Situs-situs arkeologi di Padang Lawas meliputi lembah-lembah sungai Barumun, Pane dan sungai-sungai lain yang luas arealnya sekitar 1500 km² (Miksic, 1979: 97). Di lokasi ini terdapat sisa-sisa biaro yang dibuat dari bata dan beberapa fragmen arca yang ditemukan mulai dari hulu di tepian Batang Pane, yaitu Gunung Tua, Si Topayan, Hayuara, Haloban, Rondaman, Bara, Pulo, Bahal 1, Bahal 2, dan Bahal 3; di tepian Sungai Sirumambe, yaitu Batu Gana, Si Soldop, Padangbujur, Nagasaribu, dan Mangaledang; dan di tepian Sungai Barumun yaitu Pageranbira, Pordak Dolok, Si Sangkilon, Tandihat 1, Tandihat 2, dan Si Pamutung (Schnitger, 1937:  plate XXI). Tidak semua lokasi tersebut terdapat runtuhan bangunan, tetapi di beberapa situs ditemukan artefak seperti prasasti, arca, dan stambha.

Tulisan mengenai komplek percandian (di Sumatra biasa disebut “biaro”) Padang Lawas diperoleh dari beberapa peneliti asing yaitu Franz Junghun (1846), von Rosenberg (1854), Kerkhoff (1887), dan PV. van Stein Callenfels (1920). Tulisan mereka umumnya bersifat deskriptif sesuai dengan keadaan pada waktu itu yang menyebutkan adanya beberapa peninggalan purbakala di Padang Lawas (Suleiman, 1985).

Van Stein Callenfels (1925) memberi gambaran susunan bangunan di Si Topayan, Biaro Bahal 1, Bahal 2, dan Bahal 3. Selanjutnya dikatakan bahwa penyebab kerusakan bangunan biaro adalah banyaknya ternak (sapi) yang berkeliaran. Laporan ini kemudian mendapat tanggapan dari de Haan dan kemudian pada tahun 1926 diadakan sedikit perbaikan dan pengukuran pada biaro Si Topayan, Bahal 1 dan Bahal 2.

Simangambat sendiri dilaporkan pertama kali oleh Schnitger pada tahun 1937. Pada saat itu dikatakan bahwa candi ini berupa candi bata yang sudah runtuh  terdiri dari bangunan induk dan  beberapa perwara. (Schnitger, 1937). Batu-batu candi yang berelief kemudian dikumpulkan pada sebuah tanah lapang (ibid, 1937). Tinjauan kedua dilakukan oleh Bennet Bronson pada tahun 1970 an , dan dikatakan bahwa candi ini sudah ditutupi oleh tanah dan alang-alang. Tim Puslitbang Arkenas melakukan survei dan pendataan pada tahun 2007, candi diketahui hanya berupa gundukan yang dibagian permukaannya ditutupi semak belukar dan batu berelief berserakan di sekitarnya. Menurut Bronson (1973) sebagian batu berelief sudah hilang atau diambil oleh penduduk dan digunakan sebagai tangga atau umpak rumah, serta tungku untuk memasak nilam. Lokasi candi juga sudah  berubah menjadi kebun pohon pinang.

Kegiatan itu kemudian memunculkan permasalahan, antara lain bagaimanakah teknik yang digunakan untuk membangun candi ? Pembangunannya diperuntukkan bagi pemeluk agama apa ? Selanjutnya untuk menjawab permasalahan itu dilakukan kegiatan ekskavasi untuk memperoleh data-data yang lebih lengkap.

Kemudian pada tahun 2008, tim Puslitbang Arkenas melakukan ekskavasi pertama kali di situs ini. Hasilnya adalah ditemukannya pintu masuk candi yang berada di sisi timur, beserta salah satu makara, kepala kala, lapik kala dan  dorpeel, dan ceplok bunga hiasan makara. Bentuk makara candi ini berbeda dengan makara pada umumnya di candi-candi Padang Lawas. Pada tahun 2009, tim Puslibang Arkenas melanjutkan penelitian di candi ini. Bersama-sama dengan tim dari Balai Arkeologi Medan, tim membuka 24 kotak atau grid. Hasil dari ekskavasi ini, delapan puluh persen bagian candi berhasil ditampakkan.

2. Lokasi dan lingkungan situs
Secara administratif situs Biaro Simangambat termasuk wilayah Lingkungan VI, Kelurahan Simangambat, Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing-Natal, Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis terletak pada 01°02'33,0" LU dan 99°28'46,7" BT, serta tercantum pada Peta Rupa Bumi Indonesia, lembar 0717-12 (Pintu Padang), berskala 1: 50.000.

Untuk mencapai Biaro Simangambat cukup mudah karena situs ini berada hanya 100 meter di sebelah timur jalan raya Simangambat-Panyabungan, tepatnya di seberang kantor kelurahan Desa Simangambat. Situs ini berada di kebun milik bapak Ali Darmin Nasution yang ditanami pohon pinang. Pada 500 meter ke timur mengalir Sungai Muara Sada, sedangkan Gunung (Dolok) Silodaha berada sekitar 2 Km ke arah barat laut.

Bentang lahan situs Simangambat merupakan daerah aluvial dengan ketinggian sekitar 200 m dari permukaan air laut. Bentang aluvial di daerah ini terbentuk sebagai hasil sedimentasi DAS Batang Angkola yang diapit oleh jajaran Pegunungan Bukit Barisan di sisi barat dan timurnya. Bentukan lembah di sepanjang DAS Batang Angkola yang tidak terlalu lebar ini merupakan daerah yang subur, sehingga banyak masyarakat daerah ini yang bercocoktanam padi sawah (Oryza sativa). Saat ini sawah-sawah tersebut telah diairi oleh irigasi teknis yang memungkinkan para petani menanam padi 3 kali dalam setahun. Selain ditopang oleh irigasi teknis, masih banyak juga sawah-sawah yang  diairi oleh sungai-sungai kecil di sepanjang DAS Batang Angkola, antara lain Sungai Aek Muara Sada yang mengalir di daerah Simangambat dan Sungai Aek Siancing yang mengalir di daerah Siabu.

3. Temuan permukaan dan hasil ekskavasi di Candi Simangambat
Kegiatan penelitian tersebut juga menghasilkan beberapa artefak sebagai temuan
permukaan dan hasil ekskavasi di situs itu. Adapun beberapa batu candi yang masih terdapat di sekitar Biaro Simangambat adalah fragmen ambang pintu berbentuk kepala kala dan fragmen batu berelief pilar. Fragmen ambang pintu candi terbuat dari batu pasir (sandstone) berukuran 50 X 50 X 20 Cm. Muka kala ini mempunyai mata bulat, hidung lebar, dan pipi tebal. Di bagian bawah muka kala ini dipahat sulur-suluran. Di bagian atas batu ini merupakan bidang datar dan terdapat goresan di tepinya yang diduga merupakan takikan untuk mengaitkan batu di bagian atasnya. Demikian juga pada fragmen batu berelief pilar juga terdapat lubang berbentuk segi empat, yang fungsinya diperkirakan sebagai batu kunci. Hasil analisis terhadap artefak-artefak yang ditemukan di permukaan tanah maupun hasil ekskavasi adalah:

a. Teknologi bangunan candi
Candi Simangambat berukuran 4 x 4 m dengan pintu candi berada di  sisi timur. Bahan
bangunan terdiri dari bata dan batu pasiran, umumnya bahan bata berada pada bagian
dalam. Bahan batu pasiran (sandstone) berada pada sisi luar dan umumnya memiliki
fungsi dekoratif dan berelief. Konstruksi fondasi candi memakai sistem batu isian, hal
ini nampak pada kotak ekskavasi yang menunjukkan adanya ruangan struktur bata
dengan batu isian yang terdiri kerakal dan pecahan bata di dalamnya. Pada beberapa
Fragmen ambang pintu(jendela?) berbentuk kepala kala (kiri), Fragmen batu berelief pilar (kanan). Salah satu batu kunci bahan batu pasiran (sandstone)36 BAS NO. 25 / 2010 batu pasiran berfungsi sebagai bagian dari sistim ikatan batu kunci dan beberapa bata berbentuk sudut yang juga berfungsi sebagai batu kunci.

b. Dekorasi dan seni hias
Sebagian besar relief dekorasi candi/biaro Simangambat tertatah pada  batu candi dari bahan batu pasiran (sandstone). Berbeda dengan dekorasi candi /biaro di Padang Lawas atau Sumatra Utara pada umumnya. Dekorasi di candi/ biaro ini nampak lebih raya dengan teknik high relief.
Beberapa contoh batu relief dari Candi Simangambat  adalah sebagai berikut :

N.J. Krom (1923) dalam tulisannya menyebutkan bahwa peninggalan-peninggalan di Padang Lawas disebut "on Javaansch" yang berarti "gaya seni pahat bangunan-bangunan di Padang Lawas tidak mirip dengan gaya seni pada bangunan-bangunan di Jawa". Ia melihat banyaknya persamaan dengan pahatan di India Selatan atau Asia Tenggara daratan (Myanmar, Thailand, dan Vietnam). Selanjutnya Krom menghubungkan peninggalan di Padang Lawas dengan  Śrīwijaya. Akan tetapi apakah gaya seni di Simangambat ini termasuk yang disebut Krom di atas, hal ini masih diperlukan telaah dan penelitian lebih lanjut.

c. Unsur keagamaan
Pada ekskavasi tahun 2009, di bawah makara candi ditemukan arca Nandi pada kotak S9T6. Dengan adanya temuan ini maka dapat dipastikan bahwa candi /biaro
Simangambat merupakan candi berunsur agama Hindu. Selain arca Nandi, pada
bagian lain dari candi ditemukan dua buah periuk yang setengah tertanam. Kedua  Arca Nandi dari Candi Simangambat periuk tersebut ditemukan pada sisi luar dinding candi bagian utara berisikan beberapa fragmen emas, batuan kecil seperti serpih bilah, pecahan kaca, dan beberapa manik-manik. Setelah diangkat dan dibersihkan, isi dua buah  periuk atau guci pendeman yang ditemukan pada kotak S6T5 spit 5 (125 cm), adalah berupa fragmen emas seberat 3 gr dengan kadar 20 karat, batuan serpih bilah, fragmen kaca, dan manik-manik. Fungsi periuk dan isinya ini masih belum diketahui secara pasti dan masih jarus diteliti lebih lanjut.
 
4. Candi Simangambat dan Hindu Buddha di Sumatera
Kadātuan Śrīwijaya dikenal sebagai sebuah kerajaan yang mengembangkan ajaran Buddha, khususnya Buddha Mahāyāna. Berbagai tinggalan budaya yang menunjukkan identitas tersebut banyak ditemukan di Sumatra, seperti runtuhan bangunan stūpa, arca-arca Buddhis, dan atribut lain. Pusat pemerintahan kerajaan ini pada masa awal berdirinya sampai masa kejayaannya diduga berlokasi di kota Palembang sekarang. Banyaknya temuan prasasti dan arca-arca Buddha di Palembang, merupakan suatu bukti kuat yang mengarah pada lokasi pusat kerajaan.

Kadātuan Śrīwijaya selain dikenal sebagai pusat pengajaran Buddha, dikenal juga sebagai sebuah kerajaan maritim dan perdagangan yang banyak berhubungan dengan kerajaan lain di Nusantara (Jawa) dan di daratan Asia (Tiongkok, Angkor, Dwarawati, India, Persia, dan Arab). Akibat dari kerapnya intensitas hubungannya dengan kerajaan-kerajaan lain, tidak mustahil beberapa unsur budaya dapat masuk dan berkembang di Kadātuan Śrīwijaya. Salah satu unsur budaya yang ada di Kadātuan Śrīwijaya adalah agama.

Aktivitas keagamaan pada masyarakat di wilayah Kadātuan Śrīwijaya bukan hanya agama Buddha Mahāyāna saja, agama/ajaran lain juga berkesempatan untuk berkembang. Buktibukti arkeologis berupa arca batu yang mewakili agama Hindu dan Tantris, juga ditemukan di wilayah Kadātuan Śrīwijaya. Di Palembang, selain ditemukan arca Buddha juga ditemukan arca Hindu yang berupa arca Ganeśa (abad ke-9 Masehi)1 dan arca Śiwa. Ini membuktikan bahwa di Śrīwijaya terdapat juga kelompok masyarakat pemeluk ajaran Hindu yang hidup di antara kelompok masyarakat pemeluk ajaran Buddha.

Aktivitas selanjutnya berlangsung pada sekitar abad ke- 10--12 Masehi, yaitu mulai
masuknya aliran Tantris. Bukti masuknya aliran ini dapat ditemukan di Situs Percandian Bumiayu (Sumatra Selatan). Dari situs ini selain ditemukan runtuhan-runtuhan bangunan, ditemukan juga arca-arca yang bersifat tantris dan prasasti yang digoreskan pada lembaran emas suwarnnapattra.    
______________________________________                                                           1
  Berdasarkan gaya seninya arca Ganeśa ini berlanggam Jawa Tengah yang berkembang pada sekitar abad ke-9-10 Masehi. Robert L. Brown mengemukakan pendapat bahwa arca  Ganeśa  ini kemungkinan besar dibuat pada sekitar abad ke-8 Masehi. Mengenai asalnya, ada dua kemungkinan, yaitu 1) diimport langsung dari India, dan 2) dibuat di “Palembang” oleh pemahat lokal yang  dilatih di India atau oleh pemahat asing yang didatangkan dari India. (Brown, Robert L. 1987: 95--100).
______________________________________


Arca Tantris dari Situs Bumiayu berupa sebuah arca Bhairāwi yang dibuat dari bahan
terrakota. Prasasti yang ditemukan bertuliskan mantra-mantra Tantrik yang berbunyi //bajra ri pritiwi//  pada sisi 1, recto; dan //pagani (paganu) carmani (camani) //tan kuwu om myam//pada sisi 2, verso (Atmodjo, 1993: 3--5). Dari segi paleografis, tulisan itu berasal dari sekitar abad ke-10-12 Masehi, jadi jauh lebih muda apabila dibandingkan dengan tulisan prasasti Śrīwijaya (abad ke- 7 Masehi).

Hubungan pelayaran dan perdagangan antara bangsa Arab, Persia, dan  Śrīwijaya ruparupanya dibarengi dengan hubungan persahabatan di antara kerajaan-kerajaan di kawasan yang berhubungan dagang. Sebuah sumber Arab menyebutkan adanya beberapa surat dari Mahārāja  Śrīwijaya yang dikirimkan melalui utusan kepada Khalifah Umar b. Abd Al-Aziz (717--720 Masehi). Isi surat tersebut antara lain tentang pemberian hadiah sebagai tanda persahabatan, juga permintaan agar mengirimkan  mubaligh untuk mengajarkan Islam ke Śrīwijaya (Azra, 1994: 28--29). Berdasarkan informasi tersebut, dapat diduga bahwa di Śrīwijaya telah ada komunitas masyarakat yang sudah memeluk agama Islam.

Dalam sejarah perkembangannya yang disertai juga dengan bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di Sumatra, dapat dilihat bahwa ajaran Buddha mengalami suatu perkembangan. Data arkeologis menunjukkan bahwa pada mulanya masyarakat di Sumatra memeluk ajaran Buddha Hīnayāna, kemudian berkembang menjadi Buddha Mahāyāna. Akibat adanya pengaruh Hindu dan Buddha itu sendiri, ajaran Buddha Mahāyāna berkembang menjadi Buddha Tantrayāna atau Wajrayāna.

Keberadaan Buddha Tantrayāna atau Wajrayāna di Sumatra dapat ditemukan bukti-buktinya di Percandian Bumiayu (Sumatra Selatan), Padangroco (Dharmasraya, Sumatra Barat), Tanjung Medan (Passaman, Sumatra Barat), dan Padang Lawas (Sumatra Utara). Adapun pertanggalan dari tinggalan-tinggalan tersebut berbeda-beda. Akibat dari perbedaan ini sulit untuk merekonstruksi darimana asal masuknya ajaran Tantrayāna atau Wajrayāna ini, apakah melalui “pintu” utara (Barus atau Kota Cina, Medan), atau melalui “pintu” selatan (Bumiayu – Sumatra Barat – Padang Lawas). Bukti arkeologis melalui tinggalan arca dan bukti sejarah melalui tinggalan prasasti, menunjukkan bahwa Tantrayāna atau Wajrayāna berkembang pesat pada masa pemerintahan Ādityawarmman dari Kerajaan Mālayu.

Dari bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di wilayah Sumatra, dapat diketahui bahwa
tinggalan budaya masa lampau yang menunjukkan tinggalan ajaran Tantrayāna atau
Wajrayāna yang menempati areal terluas ada di Padang Lawas (Sumatra Utara). Namun, di antara tinggalan Tantrayāna atau Wajrayāna tersebut, ada juga tinggalan ajaran Hindu. Beberapa kompleks percandian di areal Padang Lawas menunjukkan bukti-bukti tersebut, seperti tinggalan di Simangambat, Bonan Dolok, Porlak Dolok (Schnitger, 1937: 14--15, 17). Meskipun Biaro Bahal II diindikasikan sebagai tinggalan pemujaan ajaran Tantrayāna atau Wajrayāna, namun ada juga indikator ajaran Hindu di biaro ini, terbukti dari pada tahun 1980-an ditemukannya sebuah arca Ganeśa di antara runtuhan bangunan biaro. Demikian juga dengan situs Biaro Bara yang memberikan petunjuk adanya sisa pemujaan Hindu dengan ditemukannya sebuah yoni. Jika dibandingkan dengan tinggalan Tantrayāna atau Wajrayāna di Padang Lawas, jumlah dari tinggalan Hindu ini tidaklah banyak.

FDK. Bosch dalam tulisannya mengajukan suatu asumsi bahwa masyarakat pendukung biaro di Padang Lawas adalah pemeluk agama Budha aliran Wajrayāna (Bosch, 1930 dalam Suleiman, 1985). Asumsi ini didasarkan pada temuan artefak berupa arca dan relief yang menggambarkan wajah-wajah raksasa serta prasasti singkat bertuliskan mantra-mantra aliran Tantris. Hinayāna, kemudian berkembang menjadi Buddha Mahāyāna. Akibat adanya pengaruh Hindu dan Buddha itu sendiri, ajaran Buddha Mahāyāna berkembang menjadi Buddha Tantrayāna atau Wajrayāna.

Keberadaan Buddha Tantrayāna atau Wajrayāna di Sumatra dapat ditemukan bukti-buktinya di Percandian Bumiayu (Sumatra Selatan), Padangroco (Dharmasraya, Sumatra Barat), Tanjung Medan (Passaman, Sumatra Barat), dan Padang Lawas (Sumatra Utara). Adapun pertanggalan dari tinggalan-tinggalan tersebut berbeda-beda. Akibat dari perbedaan ini sulit untuk merekonstruksi darimana asal masuknya ajaran Tantrayāna atau Wajrayāna ini, apakah melalui “pintu” utara (Barus atau Kota Cina, Medan), atau melalui “pintu” selatan (Bumiayu – Sumatra Barat – Padang Lawas). Bukti arkeologis melalui tinggalan arca dan bukti sejarah melalui tinggalan prasasti, menunjukkan bahwa Tantrayāna atau Wajrayāna berkembang pesat pada masa pemerintahan Ādityawarmman dari Kerajaan Mālayu.

Dari bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di wilayah Sumatra, dapat diketahui bahwa
tinggalan budaya masa lampau yang menunjukkan tinggalan ajaran Tantrayāna atau
Wajrayāna yang menempati areal terluas ada di Padang Lawas (Sumatra Utara). Namun, di antara tinggalan Tantrayāna atau Wajrayāna tersebut, ada juga tinggalan ajaran Hindu, seperti tinggalan di Simangambat, Bonan Dolok, Porlak Dolok (Schnitger, 1937: 14--15, 17). Meskipun Biaro Bahal II diindikasikan sebagai tinggalan pemujaan ajaran Tantrayāna atau Wajrayāna, namun ada juga indikator ajaran Hindu di biaro ini, terbukti dari pada tahun 1980-an ditemukannya sebuah arca Ganeśa di antara runtuhan bangunan biaro. Demikian juga dengan situs Biaro Bara yang memberikan petunjuk adanya sisa pemujaan Hindu dengan ditemukannya sebuah yoni. Jika dibandingkan dengan tinggalan Tantrayāna atau Wajrayāna di Padang Lawas, jumlah dari tinggalan Hindu ini tidaklah banyak.

Di antara runtuhan tinggalan pemujaan ajaran Hindu, hal yang menjadi pertanyaan adalah mengapa petunjuknya berupa arca Ganeśa, dan bukan arca lainnya seperti yang umum ditemukan berupa arca  Śiwa,  Śiwa Mahādewa, atau Agastya. Dengan ditemukannya arca Ganesha di Porlak Dolok yang terletak 2 km dari Candi Simangambat dapat dikatakan bahwa gugusan candi Hindu lebih terkosentrasi pada wilayah Mandailing dan sekitarnya. Arca Ganeśa yang ditemukan di Porlak Dolok pada bagian tubuhnya terdapat prasasti dan angka tahun 25 Oktober 1213 Masehi (Schnitger, 1937: 17; Damais, 1952: 100--101). Keberadaan  Candi Simangambat bercorak Hindu di wilayah Mandailing Natal, membuat semakin terbuka khasanah keagamaan Hindu Buddha di Sumatera terutama di wilayah Sumatera Utara dan
sekitarnya.

5. Kesimpulan
Candi Simangambat merupakan candi Hindu di wilayah Sumatera Utara terutama di bagian selatan.  Dengan ditemukannya arca Nandi pada Candi Simangambat dan arca Ganesha di Porlak Dolok menggambarkan adanya unsur Hindu di wilayah itu. Meski pada arca Ganesha di Porlak Dolok terdapat angka tahun 1213 M, akan tetapi belum dapat dipastikan apakah arca tersebut adalah semasa dengan Candi Simangambat. Keberadaan tinggalan Hindu ini merupakan bukti keberadaan agama Hindu di antara padatnya temuan agama Budha di wilayah Sumatra Utara bagian selatan. Teknologi dalam konstruksi candi menggunakan  sistem batu isian adalah sama seperti yang ditemukan pada candi-candi tua di Jawa Barat (Batu Jaya ) dan Jawa Tengah (Kedulan) abad ke- 9 Masehi. Gaya seni yang terdapat pada relief makara dan kala berbeda dengan yang ada di biaro-biaro Padang Lawas pada umumnya, memberikan kemungkinan Candi Simangambat berasal dari masa yang berbeda dengan biaro-biaro itu.

Kesimpulan yang diuraikan di atas masih memiliki banyak pertanyaan dan penelitian yang lebih lanjut. Selain itu apabila pendapat Schnitger benar bahwa Candi Simangambat terdiri dari sebuah candi induk dengan beberapa perwara maka masih banyak hal yang belum diungkapkan.

Kepustakaan
Atmodjo, Soekarto Karto M.M., 1993, “Om yam”, dalam Kadatuan Sriwijaya dalam Perspektif Sejarah
dan Arkeologi.  Palembang: Pemerintah Daerah Tk. I Propinsi Sumatra Selatan
Azra, Azyumardi, 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII:
Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, hlm.
28-29.
Bronson, Bennet dkk. 1973. Laporan Penelitian Arkeologi di Sumatera. Jakarta: Lembaga Purbakala
dan Peninggalan Nasional dan The University of Pensylvania Museum (tidak
diterbitkan)
Mundardjito, 1990. “Metode Penelitian Pemukiman Arkeologi” dalam  Monumen Karya Persembahan
untuk Prof. Dr. R. Soekmono, Depok: Fak. Sastra UI
Mulia, Rumbi,  1980. “The Ancient Kingdom of Pannai and The Ruins of Padang Lawas”, Bulletin of
The Research Center of Archaeology of Indonesia No. 14, Jakarta: Puslit Arkeologi
Nasional
Schnitger, 1937 The Archaeology of Hindoo Sumatra, Leiden: E.J. Brill.
Soedewo, Ery, 2008 Laporan Penelitian Arkeologi di Situs Simangambat, Kabupaten Mandailing Natal,
Provinsi Sumatera Utara. Medan: Balai Arkeologi Medan (belum diterbitkan)
Suleiman, Satyawati, 1976. Survai Sumatera Utara, Berita Penelitian Arkeologi No. 4, Jakarta: Proyek
Penelitian Purbakala
--------------------, 1980. “Peninggalan-peninggalan Purbakala di Padang Lawas”, Amerta No. 2, Jakarta:
Puslit Arkenas


Sumber:
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/1325103241.pdf

No comments:

Post a Comment