Wednesday, June 6, 2012

Mengikuti Jejak Kain Tenun Khas Sipirok (1)


Mengikuti Jejak Kain Tenun Khas Sipirok (1)

Oleh: Budi Hutasuhut *)— Pengajar di FISIP Universitas Bandar Lampung, putra daerah asal Kecamatan Sipirok – Pemerhati masalah sosial masyarakat.
Bangunan berornamen rumah adat Batak Angkola bercat putih itu sesungguhnya sangat mentereng. Tapi kondisinya tak terurus, bertahun-tahun tak dipakai, tersembunyi di dalam hutan semak belukar. Sebuah papan merek berupa plat besi seukuran 2 m x 80 cm dengan tiang dari pipa besi berdiri di halamannya, tapi tak ada lagi huruf yang terbaca di sana.
Sekitar 20 tahun lalu, saat pertama kali merek itu ditancapkan dan gedung seluas sekitar 350 m2 itu diresmikan Gubernur Sumatra Utara Raja Inal Siregar, tulisan yang tertera pada merek itu berbunyi: “Unit Pertenunan Mitra Usaha PT Indosat Kelurahan Bunga Bondar, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan”. Ketika itu, di dalam gedung itu ada 10 unit kelengkapan alat tenun bukan mesin (ATBM), dan para penenun yang sedang bekerja.

“Semua warga datang saat peresmian itu, karena yakin akan membantu perekonomian masyarakat,” kata Pangemanan (65), warga Kelurahan Bunga Bundar, Rabu lalu. “Tapi sudah bertahun-tahun tempat itu tak beroperasi setelah satu per satu para penenunnya menikah dan mengikuti suami mereka pindah ke daerah lain, tak ada lagi yang bertenun.”
Pangemanan tak ada kaitannya dengan unit pertenunan yang mengawali lahirnya kain tenun khas Sipirok itu. Seperti sebagian besar warga di Kelurahan Bunga Bondar, tidak seorang pun yang tahu persis kenapa pusat industri pertenunan ATBM itu tidak beroperasi lagi. Mereka hanya ingat, sekitar tahun 1989, Gubenur Raja Inal Siregar meresmikan unit usaha tenun itu sebagai salah satu project pilot dari konsep Marsipature Huta Na Be (Martabe).

Pada dekade 1980-an, Raja Inal Siregar menawarkan program Martabe yang intinya mengajak semua perantau asal Sumatra Utara agar turut serta memikirkan dan meningkatkan kualitas pembangunan di daerah kelahirannya masing-masing. Program itu mendapat tanggapan positif dari masyarakat perantau di berbagai daerah. Raja Inal Siregar sebagai perantau dari Kelurahan Bunga Bondar, merealisasikan gagasannya dengan menumbuhkan usaha-usaha kreatif di lingkungan masyarakat Kecamatan Sipirok sekaligus menciptakan peluang kerja baru bagi generasi muda. Salah satu usahanya adalah mengundang PT Indosat sebagai Bapak Angkat untuk membangun pusat industri pertenunan ATBM di Kecamatan Sipirok.
PT Indosat akhirnya menyetujui. Selain menggelontorkan dana guna membangun fasilitas gedung tempat usaha, badan usaha milik Negara (BUMN) ini juga menyediakan sebanyak 10 unit ATBM, dan melatih masyarakat sekitar sebagai tenaga penenunnya sekaligus sebagai pengusaha kecil menengah. Setelah peresmian berbagai infrastruktur itu, Kelurahan Bunga Bondar kemudian santer sebagai daerah produksi tenun kain khas Kecamatan Sipirok. Kain tenun ini mengandalkan ornament-ornamen tradisional seperti yang banyak ditemukan pada ulos (kain adat) Batak Angkola di Kecamatan Sipirok.
Pusat industri pertenunan ATBM yang menjadi mitra PT Indosat tidak cuma di Kelurahan Bunga Bondar. Pada saat bersamaan dibangun juga pusat industri pertenunan ATBM dibangun di Desa Pandang Bujur, lengakap dengan sarana gedung tempat usaha, 10 unit ATBM, dan pelatihan menenun bagi masyarakat di sekitar. Dengan dua unit usaha pertenunan ATBM yang menghasilkan kain khas ini, Kecamatan Sipirok pun dikenal luas sebagai daerah penghasil kain tenun.

Namun, dua unit pertenunan ATBM itu, dalam perkembangan akhir-akhir ini, tidak kedengaran lagi geliatnya sebagai pusat produksi kain tenun khas Sipirok. Kondisi paling parah terjadi di Kelurahan Bunga Bondar, karena fasilitas-fasilitas bantuan PT Indosat dibiarkan terbengkalai dan tak diurus. Gedung mentereng sebagai tempat usaha yang dibangun dengan disain khas rumah adat Batak Angkola, tersembunyi di dalam belukar dan rusak pada beberapa bagian. Gedung itu menjadi bangunan tua yang menunggu saat untuk rubuh. Berbagai fasilitas berupa peralatan ATMB di dalamnya sudah hilang, sebagian lainnya rusak dan tak bisa dimanfaatkan.

“Kami tak tahu siapa yang bertanggung jawab mengurus gedung dan fasilitas di dalamnya,” kata Pangemanan. “Beberapa tahun lalu ada orang yang mengambil peralatan ATBM untuk kepentingan usaha pribadi. Kami tak tahu siapa.” Kondisi unit pertenunan ATBM di Desa Padang Bujur memang jauh lebih terawat, meskipun kemampuan produksinya menurun jauh. Tak seperti unit usaha pertenunan ATBM di Kelurahan Bungan Bondar, unit usaha di Desa Padang Bujur mampu meregenerasi para penenun baru. Setelah penenun-penenun lama yang mendapat berbagai pelatihan berumah tangga dan tak bisa aktif lagi, muncul penenun-penenun baru. Namun, para penenun ini jarang bekerja karena unit usaha pertenunan ATBM Desa Padang Bujur kekurangan modal usaha.
“Kami bekerja tergantung pesanan,” kata Boru Regar, penenun yang mengelola unit tenun ATBM Desa Padang Bujur. Boru Regar sudah aktif di unit pertenunan itu sejak pertama kali dibangun. Selama ini, mereka bekerja berdasarkan order terutama dari kalangan pejabat pemerintah daerah, tapi belakangan order semakin berkurang karena seluruh bentuk pemesanan kain tenun khas Sipirok untuk keperluan Pemda Tapsel ditangani oleh Dewan Kerajinan Nasional (Dekranasda) Tapsel. Tapi, Dekranasda Tapsel tidak secara merata membeli hasil produksi unit-unit tenun ATBM yang ada di Kecamatan Sipirok, hanya membesarkan satu unit tenun yang dikelola oleh swasta. (Bersambung) –Teks/Foto oleh Budi Hutasuhut
*) Budi Hutasuhut, kelahiran Sipirok, Tapanuli Selatan. staf pengajar FISIP Universitas Bandar Lampung, melakukan sejumlah penelitian antropologi budaya dan komunikasi dan telah dipublikasikan di sejumlah jurnal. Menulis cerpen, sajak, esai, novel, dan telah dipublikasikan di berbagai media cetak dan terkumpul dalam 25 buku.
Redaksi, Pengiriman Berita, 
dan Informasi Pemasangan Iklan:
apakabarsidimpuan[at]gmail.comhttp://apakabarsidimpuan.com/2011/08/mengikuti-jejak-kain-tenun-khas-sipirok-1/ 


No comments:

Post a Comment