Mangaradja Hezekiel Manullang
Pejuang Pers dan Kemerdekaan
Digelari Tuan Manullang, seorang jurnalis, cendekiawan dan pendeta pejuang pers nasional dan pahlawan perintis kemerdekaan. Menimba ilmu hingga ke negeri singa, dan saat berusia 19 tahun telah menerbitkan koran Binsar Sinondang Batak (1906). Juga mendirikan organisasi sosial politik Hatopan Kristen Batak (HKB) setelah bergaul dengan para pendiri Syarikat Islam. Di bawah bendera HKB, ia menerbitkan surat kabar Soara Batak (1919-1930) untuk menentang penindasan penjajah Belanda lewat pena. Akibat tulisannya, ia dipenjara di Cipinang.
Mangihut Mangaradja Hezekiel Manullang digelari Tuan Manullang oleh gubernur jenderal kolonial Belanda karena penampilannya yang menyerupai bangsawan Eropa dan bertutur dalam bahasa Inggris. Pernah menjadi guru dan pensiun dengan pangkat bupati serta terakhir menjadi pendeta yang merintis kemandirian gereja serta ikut mendirikan Huria Kristen Indonesia (HKI).
Tidak banyak yang tahu siapa sosok bernama Mangaradja Hezekiel Manullang. Jurnalis dan pendeta yang Pahlawan Perintis Kemerdekaan Bangsa Indonesia & Pelopor Semangat Kemandirian Gereja di Tanah Batak ini bahkan nyaris tidak dikenali oleh generasi suku Batak kontemporer saat ini.
Jangankan mencari informasi tentangnya di internet, dalam buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah, nama MH Manullang terselip entah ke mana. Mungkin ini disebabkan orientasi buku sejarah yang lebih mengedepankan pahlawan-pahlawan Revolusi Kemerdekaan yang berada di Pulau Jawa. Padahal sama seperti perjuangan Sultan Hasanuddin (1970) Makassar, Pattimura (1817) Ambon, Diponegoro (1830) Jawa, Imam Bonjol (1864) Minangkabau, Tjik Di Tiro (1891) Aceh, perjuangan MH Manullang memimpin anak bangsa melawan penjajahan Belanda menoreh tinta emas dalam sejarah Indonesia.
Namun untunglah, setidaknya ada tiga buku yang mengulas lengkap sosok yang belakangan menjadi pendeta ini. Buku yang pertama ditulis oleh Lance Castles berjudul The Political Life of A Sumatran Residency: Tapanuli 1915-1940. Buku ini merupakan hasil penelitian Castles yang dituangkan dalam disertasi untuk menggapai gelar doktor dalam bidang ilmu politik di Yale University tahun 1972. Dalam dua bab penuh (Bab V dan Bab VI), Castles mengupas perjuangan MH Manullang – yang dijuluki Castles ‘Soekarno Orang Batak’ – dan organisasi perjuangan politik Hatopan Kristen Batak (KHB) yang dipimpinnya.
Buku yang kedua ditulis oleh Pdt. Dr. J.R. Hutauruk berjudul Kemandirian Gereja. Buku yang merupakan disertasi doktoral (di Jerman) Hutauruk ini lebih spesifik membahas tentang upaya MH Manullang memperjuangkan kemandirian gereja Batak.
Sedangkan buku ketiga, yang diluncurkan bertepatan dengan Satu Abad Kebangkitan Nasional, 28 Mei 2008, merupakan perpaduan dari kedua buku itu ditambah berbagai referensi yang belum pernah diterbitkan. Buku yang termasuk dalam Seri Sejarah Penginjilan di Tanah Batak ini ditulis oleh Dr.P.T.D. Sihombing, M.Sc., S.Pd, yang punya segudang pengalaman di dunia penelitian khususnya sejarah penginjilan di tanah Batak.
Berdasarkan uraian dari berbagai sumber termasuk tiga buku itu, kehidupan MH Manullang yang juga disebut Tuan Manullang digambarkan cukup berliku namun diselingi dengan berbagai kesempatan berharga yang menjadikannya pribadi yang diperhitungkan oleh penjajah Belanda. Darah perjuangan membela mereka yang tertindas, menetes dari ayah-ibunya, Singal Daniel Manullang, dan Chaterine Aratua boru Sihite. Sebagai anak sulung, lahir 20 Desember 1887 di Tarutung, MH Manullang turut menyaksikan dan merasakan perjuangan ayahnya sebagai intelijen pasukan Raja Sisingamangaraja XII melawan penjajah Belanda.
Setelah menyelesaikan studi di Sekolah Raja di Narumonda, Porsea, Tapanuli Utara, tahun 1906, di usianya ke-19 tahun, ia menerbitkan Koran Binsar Sinondang Batak (BSB). Lewat surat kabar berbahasa Batak itu, MH Manullang mengawali gerakan membuka mata warganya agar memperjuangkan nasibnya. Ia juga mulai mengkritik tindakan pemerintah kolonial Belanda, yang menyakiti jiwa masyarakat dengan rodi-stelsel.
Pemerintah kolonial di Tapanuli menilai kehadiran “Binsar Sinodang Batak” merugikannya. Mereka menyerukan agar rakyat tidak berlangganan dan membacanya. Bahkan MH Manullang direncanakan akan ditangkap jika terus melakukan provokasi. BSB-pun akhimya berhenti terbit.
Kuatnya tekanan pemerintah kolonial dan petinggi misi Zending, dengan bijak ia sikapi dengan ‘menyingkir’ ke Singapura tahun 1907. Sambil mengecap pendidikan di Senior Cambridge School, MH Manullang memperluas cakrawala pemikirannya sekaligus memberikan semangat baru akan nasib bangsanya.
Sekembalinya di tanah air pada tahun 1910, ia dengan sukarela direkrut misi Methodist yang dinilainya lebih demokratis, diangkat menjadi guru, dan sempat membuka beberapa sekolah rakyat Misi di Jawa Barat (Cibinong, Cileungsi, Jonggol, Cikeumeuh dan Cisarua) dan Batavia (Jakarta)-pinggiran dari tahun 1910 hingga 1916. Pada waktu itu, ia sudah berpandangan, “Pendidikan untuk semua anak bangsa; semua anak pribumi harus dipintarkan”.
Kehidupan bermasyarakat dan berpolitik yang ia lalui selama tujuh tahun (1910-1917) di Pulau Jawa, membuat MH Manullang cukup matang untuk berjuang melawan kekejaman pemerintah kolonial dan gaya otoriterisme petinggi Zending. Pergaulannya dengan tokoh-tokoh Syarikat Islam, H. Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, dan Abdul Muis telah memberikan manifest baru dalam perjuangan. Dukungan mereka menebalkan tekad MH Manullang untuk meninggalkan sekolah Methodist, kembali ke Tarutung, Tapanuli, daerah asalnya.
Model organisasi Syarikat Islam jualah yang mengilhami MH Manullang mendirikan Hatopan Kristen Batak (Hatopan bisa diartikan Syarikat) pada tahun 1918 di Tapanuli Utara. Dengan tema Hamajuon bangso Batak dan Patanakkohon hakristenon (mewujudnyatakan kekristenan), organisasi ini segera mendapat sambutan luas. Atas dukungan teman-temannya, Guru Polin Siahaan, Sutan Sumurung Lumbantobing, dan lain-lainnya, serta tokoh-tokoh Sarikat Tapanuli, HKB berkembang pesat sebagai komunitas yang gigih memperjuangkan perbaikan kehidupan sosial, ekonomi, politik dan agama.
MH Manullang bersama dengan pemimpin gereja setempat mengadakan pertemuan, rapat-rapat besar, kongres untuk mendesak perbaikan kehidupan dan hubungan yang harmonis antar masyarakat setempat dengan pemerintah Belanda. Di sisi lain, HKB banyak dihujat oleh pemerintah kolonial Belanda dan petinggi Zending Jerman, yang menuduh MH Manullang sudah ‘menjual’ imannya kepada pemeluk agama lain. Mereka yang menghujat tidak menyadari, bahwa Hatopan Kristen Batak menjadi poros para nasionalis Indonesia yang karismatis.
Perjuangan MH menentang penjajah semakin intens setelah Pemerintah Belanda, melalui perantaraan kesultanan-kesultanan ciptaannya di daerah Sumatra Timur, membagi-bagi tanah pribumi kepada perkebunan besar tanpa menghiraukan hak rakyat. Tanah dinyatakan milik “kesultanan” yang kemudian disewakan kepada Belanda. Pemerintah kolonial itu lalu memberikan konsesi kepada pemodal perkebunan untuk mengolahnya. Rakyat yang ingin menggarap tanah harus menyewa kepada Pemilik Afdeling. Penguasaan atas tanah ini menyengsarakan rakyat. Padahal, dari tanahlah sumber kehidupan rakyat diperoleh. Akal-akalan itulah yang ditentang oleh MH Manullang. Dia menyadarkan, menghimpun dan menyuarakan tuntutan masyarakatnya dengan menerbitkan surat kabar Soeara Batak pada tahun 1919.
Sebagai pemimpin redaksi sekaligus editor, ia menyuarakan semangat anti kolonialisme yang dapat dilihat pada tulisan berikut: “Saudara-saudara kita jang menjadi koeli selamanja hidoep sebagai kerbau pedati dan kerbau badjak, kena hantam poekoel, tjatji maki dan berbagai siksaan kaoem planters (toean-toean keboen) sedjak dari ketjil sampai chef-nja semoea memandang sebagai perkakas jang tidak berperasaan boleh dipengapakan sadja” (H. Mohammad Said:1978).
Gaya tulisan MH Manullang memang bisa dibilang provokatif untuk ukuran masa itu. Ketika Soeara Batak pertama kali terbit, surat kabar ini juga sudah langsung menyatakan solidaritasnya dan menyindir pedas penangkapan dan penahanan terhadap Parada Harahap. Sebagaimana diketahui, Parada Harahap dikenal sebagai raja delik pers dari Sumatera Utara. Ini berkaitan dengan tulisan-tulisan Parada yang banyak terkena pers delik akibat kecaman-kecamannya terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Seruan MH Manullang makin ‘provokatif’ dalam tulisan tentang konsesi “Pansoer Batu”. Pansoer Batu adalah areal tanah seluas 1.020 bau yang hendak disewakan (erfacht) kepada pengusaha perkebunan Eropa. Namun masyarakat Pansoer Batu menolak menyewakan tanah mereka dan tetap menanami tanah tersebut. Dalam demonstrasi petani yang diorganisir MH Manullang , 7 Juli 1919, terjadi insiden para demonstran perempuan ditempelengi oleh Asisten Residen Ypes.
MH Manullang kemudian mengklaim insiden itu sebagai penghinaan paling berat bagi ‘bangso Batak’ (bangsa Batak) yang menghormati martabat kaum perempuannya, dan karenanya tidak pernah memukul kaum itu di muka umum.
Tulisannya di Soeara Batak itu membuat ia terkena delik pers pada bulan Desember 1920. la dituduh menimbulkan bibit permusuhan di antara golongan bangsa Hindia; menyerang kehormatan seorang Openbare Ambtenaar (Asisten Residen Ypes) dan sengaja mencaci pemerintah Belanda.
Sebelum terkena pers delik pada surat kabar yang dipimpinnya, MH Manullang juga pernah menulis kasus Pansoer Batu pada surat kabar Poestaha, yang terbit di Padang Sidempuan. Pada Poestaha edisi 4 Juli 1919, MH Manullang menulis: “Teman-teman Batak! Dengan sangat menyesal saya memberitahukan kepada Saudara-saudara: tanah di Pansurbatu di subdistrik Tarutung telah dicuri oleh pengisap darah (kapitalis bermata putih). Ada ribuan pohon kemenyan dan ratusan bau lahan yang ditanami padi, milik saudara-saudara kita, tetapi pemerintah di Tapanuli tidak melarangnya …sekarang kita mengetahui bahwa pemerintah hanyalah bersandiwara.” (Lance Castles: 2001).
Gugatannya terhadap insiden Pansoer Batu mengantarkannya ke depan pengadilan kolonial di Padang Sidempuan. Dengan tegar, ia membela dirinya sendiri di depan pengadilan dan menggugat penindasan Belanda kepada bangsa Indonesia. Semangat kebangsaan yang ia kobarkan di depan pengadilan dan semangat anti kolonialisme membuat ia memprakarsai Persatuan Tapanuli (1921) dan Persatuan Sumatera (1922). Ini bertahun-tahun sebelum pelaksanaan Sumpah Pemuda tahun 1928.
Pengadilan kemudian memvonisnya hukuman penjara kolonial untuk 3 tahun di pembuangan Nusakambangan. Rakyat menyambutnya dengan protes dan demonstrasi di mana-mana. Mereka menulis surat kepada gubernur jenderal sampai Ratu Wilhelmina. Rapat-rapat besar diadakan di mana-mana, di alun-alun, di gereja-gereja. Reaksi itu memaksa Belanda mengurangi hukuman menjadi 15 bulan di penjara Cipinang, Jakarta.
Soeara Batak masih sempat terbit di bawah kepemimpinan Soetan Soemoeroeng, pengganti MH Manullang, yang juga dikenal memiliki sikap anti kolonialis Belanda. Sama halnya dengan MH Manullang, Soemoeroeng juga terkena delik pers, ketika Soeara Batak pada terbitan 2 dan 6 Juni mengupas soal konsesi Sioebanoeban dan Pansoer Batoe. Soemoerong kemudian disidang oleh Pengadilan Kerapatan Besar Tarutung pada tanggal 7 Februari 1924. Kemudian diputuskan bahwa Soemoeroeng dihukum 1,5 tahun penjara karena dinggap telah melanggar pasal 207 dan 145 KUHP Hindia Belanda, yaitu memberi rasa malu dan menerbitkan bibit kebencian antara rakyat dan pemerintah. Akibatnya Soeara Batak tidak terbit lagi.
Setelah keluar dari penjara pada tahun 1924, MH Manullang kemudian menerbitkan koran baru bernama Persamaan. Kemudian ketika pindah ke Sibolga Persamaan diubah namanya menjadi Pertjatoeran. Semangat anti kolonialisme MH Manullang tak pudar walau ia sempat mendekam selama setahun di penjara. Bersama teman-teman seperjuangan ia melaksanakan Kongres Persatuan Tapanuli, 17 Februari 1924. Kongres menyerukan Dalihan Na Tolu. Seluruh bangso Batak bersaudara. Semangat “dalihan na tolu” ini merupakan ikrar bersama untuk mengusir penjajah.
Organisasi HKB yang dipimpinnya kemudian berubah haluan kepada upaya ‘kemandirian’ gereja Batak setelah putusan-putusan HKB sering mendapat mosi dari para pendeta yang mendapatkan tekanan dari Belanda. Bahkan kemudian, pada usia 52 tahun, ia menjadi pendeta setelah lebih dulu mengikuti pendidikan kependetaan. Cita-citanya adalah mendirikan Gereja Batak Raya yang lepas dari kontrol dan dominasi orang Eropa pada zaman itu. Untuk itu, MH Manullang bersama rekan-rekannya, 1 Mei 1927, mendirikan Huria Christen Batak (HChB) sebagai gereja yang berdiri sendiri. HChB terus berkembang. Tahun 1950 berubah menjadi HKI (Huria Kristen Indonesia) yang berkantor pusat di Pematang Siantar.
Gerak perjuangan MH Manullang dalam usia senjanya masih berlanjut di zaman pendudukan militer Jepang dan masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang, MH Manullang sempat dipenjara selama 1,5 tahun dengan tuduhan tidak mau bekerja sama. Dua tahun kemudian dalam usaha Jepang menarik simpati rakyat, MH Manullang dibebaskan. la diangkat sebagai Kepala Penerangan Tapanuli, sampai Proklamasi Kemerdekaan. Ia kemudian menjalani masa pensiun penuh dengan pangkat Bupati pada usia 70 tahun.
Pengabdian dan perjuangan MH Manullang dikukuhkan oleh Pemerintah RI pada tanggal 2 Oktober 1967 sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan. Hari-hari terakhirnya terus diabdikan dalam kegiatan gerejani.
Setelah menerima upacara perjamuan kudus di Rumah Sakit PGI Cikini tempat ia dirawat, MH Simanullang menghadap Allah di Surga, 20 April 1979. Meski berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, MH Manullang memilih dibaringkan di samping istrinya dan pusara ibunda dan bapaknya Singal Manullang, prajurit setia Sisingamangaraja XII di Huta Bangunan Peanajagar, Siulu Ompu, Silindung, Tarutung. Ia meninggalkan 5 orang putra, 4 orang putri dengan 105 orang cucu, 126 orang buyut dan 6 cicit.
_________________________________________________________________
Tuan Manullang
Pemred Soeara Batak (1919-1930)
Soeara Batak Perlawanan terhadap kolonialisme Belanda lewat media jurnalisme juga terjadi di Tarutung. Tokohnya MH(Mangaraja Hezkiel) Manullang. Pada tahun 1919, ia menjadi pimpinan redaksi sekaligus editor surat kabar Soara Batak. Bertindak sebagai penerbit adalah perkumpulan HKB (Hatopan Kristen Batak).
MH Manullang selain menjabat sebagai pimpinan redaksi Soara Batak, juga dikenal sebagai salah seorang pemimpin rakyat di Tarutung. Soera Batak lahir sebagai reaksi terhadap rencana pemerintah Hindia Belanda yang pada tahun 1916 telah menyetujui untuk menyerahkan konsesi perkebunan besar asing di wilayah Tapanuli Utara. M.H. Manulang tidak menginginkan tanah-tanah yang masih kosong di Tapanuli Utara untuk “di-tanah Deli-kan kepada para pemodal asing.
Perasaan anti kolonialisme M.H. Manullang sangat tajam sebagaimana dapat dilihat pada kupasan berikut: “Saudara-saudara kita jang menjadi koeli selamanja hidoep sebagai kerbau pedati dan kerbau badjak, kena hantam poekoel, tjoetji maki dan berbagai siksaan kaoem planters (toean-toean keboen) sedjak dari ketjil sampai chef-nja semoe memandang sebagai perkakas jang tidak berperasaan boleh dipengapakan sadja”. (H. Mohammad Said:1978).
Gaya tulisan M.H. Manullang memang bisa dibilang provokatif untuk ukuran masa itu. Barangkali ini juga sekaligus juga cerminan dari tipologi masyarakat Batak yang kalau bicara biasanya lugas tanpa tedeng aling-aling.Ketika Soara Batak pertama kali terbit, surat kabar ini juga sudah langsung menyatakan solidaritasnya dan menyindir pedas penangkapan dan penahanan terhadap Parada Harahap. Sebagaimana diketahui, Parada Harahap dikenal sebagai raja delik pers dari Sumatera Utara.
Ini berkaitan dengan tulisan-tulisan Parada yang banyak terkena pers delik akibat kecaman-kecamannya terhadap pemerintah Hindia Belanda. Sewaktu tinggal di Sibolga dan memimpin harian Sinar Merdeka, Parada terkena sebanyak 12 kali pers delik. Sebelum terjun ke jurnalistik, Parada pernah bekerja sebagai kerani pada perkebunan Soengai Dadap, milik H.A.P. Mij pada Kantor Besar Boenoet, Kisaran. Karena dinilai cakap dalam menjalankan pekerjaannya, dalam tempo dua tahun gaji Parada naik dari f 10 menjadi f 100. Itu artinya naik hampir 10 kali lipat!Dalam bukunya “Pers dan Jurnalistiek” yang sebagian merupakan autobiographie-nya, Parada menuturkan antara lain bahwa: “suatu hal yang menarik hati administrateur, adalah kerasnya ingatan saya. Hafal di kepala saya nama-nama dan tempo kontractnya 3000 koeli laki-laki dan perempuan.
Walau menempati posisi yang menguntungkan secara ekonomi, namun Parada tidak bisa menutupi mata hatinya tentang penderitaan para koeli kontrak. Oleh karena itu pada suatu waktu Parada mengirimkan surat pembaca yang berisi tentang nasib para koeli kontrak tersebut ke Pewarta Deli, surat kabar yang ia langgani. Namun Parada tidak menduga kalau surat itu oleh pihak redaktur Pewarta Deli dijadikan tajuk karangan dengan inisial P. Sejak itu Parada menjadi terpicu untuk aktif menulis di Pewarta Deli. Pada 3 Agustus 1919, Parada Harahap menerbitkan surat kabar Sinar Merdeka di Sibolga.
Tahun 1922 Parada Harahap kemudian hijrah ke Jakarta dan tahun 1926 ia kemudian menerbitkan surat kabar Bintang Timoer yang terkenal itu.Soara Batak menulis: “Kandang koeda assitent resident lebih cantik dari boei”. Dalam edisi perdananya, Manullang juga menulis sebuah manifesto, yang mencerminkan sikap anti kolonial sekaligus tumbuhnya kesadaran akan rasa nasionalismenya, yang kerap dicampurbaurkan dengan bangsa Tapanuli: /Sebagaimana masa kini merupakan masa perubahan, pergerakan dan konflik yang ditujukan untuk mencapai hak-hak asasi manusia, persamaan hak, hak nasional, perkumpulan-perkumpulan muncul di mana-mana yang tujuannya untuk mencapai kemerdekaan dan kehidupan yang baik; perkumpulan-perkumpulan bangsa kita bermunculan bak jamur musim hujan. Dalam perjalanan waktu, bahwa bangsaku, bangsa Batak, telah mulai mengerti arti solidaritas, bukankah begitu?/ ….. Saudara-saudaraku!/ Lihatlah tanah kita yang disewakan oleh Guiernur Jenderal kepada para kapitalis karena kita tidak mengerjakannya/ Tanah kita itu …. menghasilkan untung besar; semua pemegang saham Eropa dan Amerika dengan gembira membagi-bagi keuntungan yang berlipat ganda…….” (Lance Castle: 2001)
Pada bulan Desember 1920, Manullang terkena delik pers ketika Soara Batak memuat tulisan tentang konsesi “Pansoer Batu”. Pansoer Batu adalah areal tanah seluas 1.020 bau yang hendak disewakan (erfacht) kepada pengusaha perkebunan Eropa. Namun masyarakat Pansoer Batu menolak menyewakan tanah mereka dan tetap menanami tanah tersebut. Akibatnya sebanyak 12 orang pemimpin rakyat ditahan selama 12 hari dan disuruh membayar denda f 10 karena dituduh sebagai dalang yang mempengaruhi rakyat Pansoer-batoe melawan kebijakan pemerintah Belanda. Sebelum terkena pers delik pada surat kabar yang dipimpinnya, M.H. Manullang juga pernah menulis kasus Pansoer Batu pada surat kabar Poestaha, yang terbit di Padang Sidempuan.
Pada Poestaha edisi 4 Juli 1919, M.H. Manullang menulis: “Teman-teman Batak! Dengan sangat menyesal saya memberitahukan kepada Saudara-saudara: tanah di Pansurbatu di subdistrik Tarutung telah dicuri oleh pengisap darah (kapitalis bermata putih). Ada ribuan pohon kemenyan dan ratusan bau lahan yang ditanami padi, milik saudara-saudara kita, tetapi pemerintah di Tapanuli tidak melarangnya … sekarang kita mengetahui bahwa pemerintah hanyalah bersandiwara.” (Lance Castle: 2001)Manullang sendiri akhirnya dihadapkan ke raad van justisi (Pengadilan Tinggi) Padang.
Sesudah perkarasanya diproses selama kurang lebih setahun oleh raad van justisi, Manullang kemudian diputuskan untuk menjalani hukuman kurungan selama setahun di penjara Cipinang, Jakarta. Pengganti Manullang adalah Soetan Soemoeroeng, yang juga dikenal memiliki sikap anti kolonialis Belanda. Sama halnya dengan Manullang, Soemoeroeng juga terkena delik pers, ketika Soara Batak pada terbitan 2 dan 6 Juni mengupas soal konsesi Sioebanoeban dan Pansoer Batoe. Soemoerong kemudian disidang oleh Pengadilan Kerapatan Besar Tarutung pada tanggal 7 Februari 1924. Kemudian diputuskan bahwa Soemoeroeng dihukum 1,5 tahun penjara karena dinggap telah melanggar pasal 207 dan 145 KUHP Hindia Belanda, yaitu memberi rasa malu dan menerbitkan bibit kebencian antara rakyat dan pemerintah.
Tanggal 5 Juni 1924, Residen Sibolga memperteguh putusan rapat, dan setelah grasi Soemoeroeng ditolak Gubernur Jendral Hinda Belanda, maka pada tanggal 27 Oktober Soemoeroeng dibawa ke Sibolga untuk menjalani hukumannya. Akibatnya Soeara Batak tidak terbit lagi. MH Manullang sendiri sekeluar dari penjara Cipinang pada tahun 1924, kemudian menerbitkan koran baru bernama Persamaan. Kemudian ketika pindah ke Sibolga Persamaan diubah namanya menjadi Pertjatoeran. Semangat anti kolonialisme M.H. Manullang rupanya tak pudar walau ia sempat mendekam selama setahun di penjara.
Pertjaturan edisi 9 Juli 1925 (Soebagijo I.N: 1981) misalnya dalam tajuknya di hamalan muka menulis: /Dr. Adam memukul wanita Tiong Hoa, tetapi oleh Pengadilan dinyatakan bebas/Seorang jonggos memegang tangan seorang noni, tanpa meninggalkan bekas apa-apa; kecuali hanya disangka hendak berbuat kurang baik terhadap noni itu, dijatuhi hukuman 8 bulan penjara/Korupsi yang dilakukan pejabat kulit putih sampai puluhan bahkan ratusan ribu gulden, hukumannya hanya separo dari apa yang tercantumkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana/ Seorang Kepala negeri menyelewengkan seratus gulden diganjar hukuman sekian tahun/Dimanakah keadilan, persamaan dan kemanusiaan yang disebut undang-undang akan berlaku sama rata dalam keadilan? (Harian Analisa, Medan, 10 Februari 2004)
_______________________________________________________________
Tuan Manullang
Pemred Soeara Batak (1919-1930)
Soeara Batak Perlawanan terhadap kolonialisme Belanda lewat media jurnalisme juga terjadi di Tarutung. Tokohnya MH(Mangaraja Hezkiel) Manullang. Pada tahun 1919, ia menjadi pimpinan redaksi sekaligus editor surat kabar Soara Batak. Bertindak sebagai penerbit adalah perkumpulan HKB (Hatopan Kristen Batak).
MH Manullang selain menjabat sebagai pimpinan redaksi Soara Batak, juga dikenal sebagai salah seorang pemimpin rakyat di Tarutung. Soera Batak lahir sebagai reaksi terhadap rencana pemerintah Hindia Belanda yang pada tahun 1916 telah menyetujui untuk menyerahkan konsesi perkebunan besar asing di wilayah Tapanuli Utara. M.H. Manulang tidak menginginkan tanah-tanah yang masih kosong di Tapanuli Utara untuk “di-tanah Deli-kan kepada para pemodal asing.
Perasaan anti kolonialisme M.H. Manullang sangat tajam sebagaimana dapat dilihat pada kupasan berikut: “Saudara-saudara kita jang menjadi koeli selamanja hidoep sebagai kerbau pedati dan kerbau badjak, kena hantam poekoel, tjoetji maki dan berbagai siksaan kaoem planters (toean-toean keboen) sedjak dari ketjil sampai chef-nja semoe memandang sebagai perkakas jang tidak berperasaan boleh dipengapakan sadja”. (H. Mohammad Said:1978).
Gaya tulisan M.H. Manullang memang bisa dibilang provokatif untuk ukuran masa itu. Barangkali ini juga sekaligus juga cerminan dari tipologi masyarakat Batak yang kalau bicara biasanya lugas tanpa tedeng aling-aling.Ketika Soara Batak pertama kali terbit, surat kabar ini juga sudah langsung menyatakan solidaritasnya dan menyindir pedas penangkapan dan penahanan terhadap Parada Harahap. Sebagaimana diketahui, Parada Harahap dikenal sebagai raja delik pers dari Sumatera Utara.
Ini berkaitan dengan tulisan-tulisan Parada yang banyak terkena pers delik akibat kecaman-kecamannya terhadap pemerintah Hindia Belanda. Sewaktu tinggal di Sibolga dan memimpin harian Sinar Merdeka, Parada terkena sebanyak 12 kali pers delik. Sebelum terjun ke jurnalistik, Parada pernah bekerja sebagai kerani pada perkebunan Soengai Dadap, milik H.A.P. Mij pada Kantor Besar Boenoet, Kisaran. Karena dinilai cakap dalam menjalankan pekerjaannya, dalam tempo dua tahun gaji Parada naik dari f 10 menjadi f 100. Itu artinya naik hampir 10 kali lipat!Dalam bukunya “Pers dan Jurnalistiek” yang sebagian merupakan autobiographie-nya, Parada menuturkan antara lain bahwa: “suatu hal yang menarik hati administrateur, adalah kerasnya ingatan saya. Hafal di kepala saya nama-nama dan tempo kontractnya 3000 koeli laki-laki dan perempuan.
Walau menempati posisi yang menguntungkan secara ekonomi, namun Parada tidak bisa menutupi mata hatinya tentang penderitaan para koeli kontrak. Oleh karena itu pada suatu waktu Parada mengirimkan surat pembaca yang berisi tentang nasib para koeli kontrak tersebut ke Pewarta Deli, surat kabar yang ia langgani. Namun Parada tidak menduga kalau surat itu oleh pihak redaktur Pewarta Deli dijadikan tajuk karangan dengan inisial P. Sejak itu Parada menjadi terpicu untuk aktif menulis di Pewarta Deli. Pada 3 Agustus 1919, Parada Harahap menerbitkan surat kabar Sinar Merdeka di Sibolga.
Tahun 1922 Parada Harahap kemudian hijrah ke Jakarta dan tahun 1926 ia kemudian menerbitkan surat kabar Bintang Timoer yang terkenal itu.Soara Batak menulis: “Kandang koeda assitent resident lebih cantik dari boei”. Dalam edisi perdananya, Manullang juga menulis sebuah manifesto, yang mencerminkan sikap anti kolonial sekaligus tumbuhnya kesadaran akan rasa nasionalismenya, yang kerap dicampurbaurkan dengan bangsa Tapanuli: /Sebagaimana masa kini merupakan masa perubahan, pergerakan dan konflik yang ditujukan untuk mencapai hak-hak asasi manusia, persamaan hak, hak nasional, perkumpulan-perkumpulan muncul di mana-mana yang tujuannya untuk mencapai kemerdekaan dan kehidupan yang baik; perkumpulan-perkumpulan bangsa kita bermunculan bak jamur musim hujan. Dalam perjalanan waktu, bahwa bangsaku, bangsa Batak, telah mulai mengerti arti solidaritas, bukankah begitu?/ ….. Saudara-saudaraku!/ Lihatlah tanah kita yang disewakan oleh Guiernur Jenderal kepada para kapitalis karena kita tidak mengerjakannya/ Tanah kita itu …. menghasilkan untung besar; semua pemegang saham Eropa dan Amerika dengan gembira membagi-bagi keuntungan yang berlipat ganda…….” (Lance Castle: 2001)
Pada bulan Desember 1920, Manullang terkena delik pers ketika Soara Batak memuat tulisan tentang konsesi “Pansoer Batu”. Pansoer Batu adalah areal tanah seluas 1.020 bau yang hendak disewakan (erfacht) kepada pengusaha perkebunan Eropa. Namun masyarakat Pansoer Batu menolak menyewakan tanah mereka dan tetap menanami tanah tersebut. Akibatnya sebanyak 12 orang pemimpin rakyat ditahan selama 12 hari dan disuruh membayar denda f 10 karena dituduh sebagai dalang yang mempengaruhi rakyat Pansoer-batoe melawan kebijakan pemerintah Belanda. Sebelum terkena pers delik pada surat kabar yang dipimpinnya, M.H. Manullang juga pernah menulis kasus Pansoer Batu pada surat kabar Poestaha, yang terbit di Padang Sidempuan.
Pada Poestaha edisi 4 Juli 1919, M.H. Manullang menulis: “Teman-teman Batak! Dengan sangat menyesal saya memberitahukan kepada Saudara-saudara: tanah di Pansurbatu di subdistrik Tarutung telah dicuri oleh pengisap darah (kapitalis bermata putih). Ada ribuan pohon kemenyan dan ratusan bau lahan yang ditanami padi, milik saudara-saudara kita, tetapi pemerintah di Tapanuli tidak melarangnya … sekarang kita mengetahui bahwa pemerintah hanyalah bersandiwara.” (Lance Castle: 2001)Manullang sendiri akhirnya dihadapkan ke raad van justisi (Pengadilan Tinggi) Padang.
Sesudah perkarasanya diproses selama kurang lebih setahun oleh raad van justisi, Manullang kemudian diputuskan untuk menjalani hukuman kurungan selama setahun di penjara Cipinang, Jakarta. Pengganti Manullang adalah Soetan Soemoeroeng, yang juga dikenal memiliki sikap anti kolonialis Belanda. Sama halnya dengan Manullang, Soemoeroeng juga terkena delik pers, ketika Soara Batak pada terbitan 2 dan 6 Juni mengupas soal konsesi Sioebanoeban dan Pansoer Batoe. Soemoerong kemudian disidang oleh Pengadilan Kerapatan Besar Tarutung pada tanggal 7 Februari 1924. Kemudian diputuskan bahwa Soemoeroeng dihukum 1,5 tahun penjara karena dinggap telah melanggar pasal 207 dan 145 KUHP Hindia Belanda, yaitu memberi rasa malu dan menerbitkan bibit kebencian antara rakyat dan pemerintah.
Tanggal 5 Juni 1924, Residen Sibolga memperteguh putusan rapat, dan setelah grasi Soemoeroeng ditolak Gubernur Jendral Hinda Belanda, maka pada tanggal 27 Oktober Soemoeroeng dibawa ke Sibolga untuk menjalani hukumannya. Akibatnya Soeara Batak tidak terbit lagi. MH Manullang sendiri sekeluar dari penjara Cipinang pada tahun 1924, kemudian menerbitkan koran baru bernama Persamaan. Kemudian ketika pindah ke Sibolga Persamaan diubah namanya menjadi Pertjatoeran. Semangat anti kolonialisme M.H. Manullang rupanya tak pudar walau ia sempat mendekam selama setahun di penjara.
Pertjaturan edisi 9 Juli 1925 (Soebagijo I.N: 1981) misalnya dalam tajuknya di hamalan muka menulis: /Dr. Adam memukul wanita Tiong Hoa, tetapi oleh Pengadilan dinyatakan bebas/Seorang jonggos memegang tangan seorang noni, tanpa meninggalkan bekas apa-apa; kecuali hanya disangka hendak berbuat kurang baik terhadap noni itu, dijatuhi hukuman 8 bulan penjara/Korupsi yang dilakukan pejabat kulit putih sampai puluhan bahkan ratusan ribu gulden, hukumannya hanya separo dari apa yang tercantumkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana/ Seorang Kepala negeri menyelewengkan seratus gulden diganjar hukuman sekian tahun/Dimanakah keadilan, persamaan dan kemanusiaan yang disebut undang-undang akan berlaku sama rata dalam keadilan? (Harian Analisa, Medan, 10 Februari 2004)
Sumber:
http://tokohbatak.wordpress.com/2009/03/26/mangaradja-hezekiel-manullang/
No comments:
Post a Comment