LUAH KITEDDOH
Kiteddoh, dulu bagi orang Pakpak adalah tradisi mengunjungi keluarga, baik sesama “dengan sebeltek”, atau tutur “kula-kula”, maupun “berru”. Adakalanya ada pesan spesifik yang ingin disampaikan melalui kunjungan itu, ataupun sekedar silaturahmi melepas rasa rindu karena mungkin lama tidak ketemu. Bagi orang Pakpak biasanya tidak ada kiteddoh tanpa “luah” (oleh-oleh) yang disesuaikan dengan posisinya dalam kekerabatan. Dengan sebeltek dan kula-kula membawa “manuk” (ayam) sedangkan pihak berru membawa “oles” berupa sarung (“mandar”). Seringpula disertai dengan “sira” (garam) dan ikan asin. Sira dan ikan asin, menjadi oleh-oleh penting terutama oleh karena daerahnya yang terdiri dari pegunungan dan jauh dari laut. Kedua jenis barang itu merupakan sesuatu yang mahal, langka tetapi merupakan kebutuhan sehari-hari. Oleh karenanya sebagai luah tentu sangat disambut sebagai sesuatu yang berharga.
Kiteddoh, dulu merupakan tradisi oleh karena transportasi terbatas, infrastruktur jalan belum tersedia luas sehingga intensitas pertemuan rendah. Mobiltas masyarakat untuk saling mengunjungi juga rendah. Meski hubungan keluarga teramat dekat, tetapi oleh jarak yang jika ditempuh dengan berjalan kaki teramat jauh maka dapat dipastikan sangat jarang bertemu. Sehingga, kiteddoh melembaga menjadi tradisi, menjadi sakral sehingga jangan melakukannya jika tidak disertai “luah”. Akibatnya, hubungan komunikasi antar keluarga memiliki jarak, karena sangat ditentukan dengan keberadaan dan kondisi ekonomi. Sebab “alang ate” mengunjungi kerabat jika tidak punya “sibaingen”. Kondisi itu dipahami dalam logika dan pandangan rasio secara umum. Faktanya kini tradisinya tetap berlangsung, meski mengalami penurunan. Saling mengunjungi masih dilakukan dengan landasan adat, tidak asal berkunjung. Luah masih menjadi kebutuhan bahkan mungkin keharusan.
Kini budaya itu memang semakin menghilang. Keberhasilan pembangunan dengan semakin tersedianya infrastruktur jalan yang memadai, lancarnya arus transportasi, sehingga mobilitas penduduk meningkat drastic, bisa jadi menjadi faktor penting Intensitas pertemuan meningkat, tidak lagi hanya dirumah, bisa di jalan, di “onan”, di “lapo” atau ditempat lainnya bahkan mungkin di kantor kantor. Rasa rindu tidak lagi terpendam dan menumpuk, semakin longgar dan hubungan semakin terbuka. Secara institusional, kiteddoh kehilangan kesakralan dan menjadi biasa-biasa saja.
Luah, terutama dalam bentuk “oles” atau ”mandar” terikut kehilangan makna. Dalam pemilihan Kepala Desa, Pemilu Legislatif, Pemilihan Kepala Daerah, tradisi oles mengalami perubahan makna yang signifikan. Sosialisasi dan ajakan untuk memilih orang tertentu, diawali dengan pemberian oles disertai pula dengan “rambu”nya berupa uang. Ia menjadi alat pengikat, semacam komitmen diantara pemilih dan yang dipilih. Pola yang dilakukan bisa jadi masih merupakan refleksi kiteddoh, meski tidak lewat pendekatan kekerabatan, Dengan oles dan rambunya, kedekatan hubungan bisa dibangun kendatipun bersifat sementara dan hanya pada satu agenda. Agenda lain, tentu akan lain pula ceritanya. Dan hubungan yang dibangun bisa terhenti dan putus seketika, karena dianggap kontraknya berakhir.
Tulisan ini tidak bermaksud memberikan penilaian terhadap pola seperti yang diungkapkan diatas, melainkan hanya membagi cerita tentang fakta sosial yang terjadi. Terserah pembaca memberikan penilaian, pembenaran maupun penolakan terhadap keadaan semacam itu. Yang pasti, bahwa pergeseran makna pemberian “oles” dan tradisi kiteddoh dimungkinkan karena tradisi itu sendiri telah mulai hilang dan jarang dilakukan. Tersedianya sarana dan inrastruktur, terbukanya hubungan komunikasi elektronik dan telepon selular, merupakan salah satu factor penyebabnya. Selain karena ikan asin tidak lagi menu lauk idola, karena tingkat pendapatan yang meningkat, atau mungkin karena ketakutan terhadap formalin. Sudah banyak orang menikmati “gule”. Atau mungkin pula karena perikanan darat sudah mendekati sukses bagi masyarakat. Sira memang masih menjadi kebutuhan utama, namun untuk mendapatkannya kini semakin mudah dan harganya relative tidak bergeser jauh dari hari-kehari sehingga masih dapat terjangkau masyarakat. Yang perlu dikhawatirkan adalah jangan sampai bentuk kerja adat kita bertambah, karena kerja politik kini memiliki kecenderungan menjadi kerja adat. Atau pertanyaannya apakah akan terbangun kesepakatan bahwa kerja politik menjadi agenda tambahan dalam adat kita. Artinya sesuai perkembangan akan tambah jenis-jenis “kerja” dalam struktur peradatan kita.
Sumber:
No comments:
Post a Comment