Ketika Legenda Sudah Tidak Lagi Dihormati
KONON, sebelum terbentuk menjadi sebuah danau, Lau Kawar adalah kawasan pertanian (juma atau ladang) yang sangat subur. Ladang tersebut merupakan bagian dari wilayah Desa Kuta Gugung.
Menurut alkisah di desa itu, hiduplah satu keluarga petani. Sebagaimana tradisi setempat, menjelang panen lahan pertanian selalu ditunggui oleh salah seorang anggota keluarga mereka. Pada suatu siang, sang nenek yang mendapat giliran untuk menjaga ladang.
Dan sebagaimana biasanya, sang cucu yang bernama Kawar selalu menjadi pengantar makanan untuk anggota yang menjaga ladang, tak terkecuali pada hari itu.
Namun, saat itu ketika ia mengantar makanan untuk sang nenek, di tengah jalan Kawar merasa sangat kelaparan. Maka, tanpa pikir panjang dimakanlah daging ayam yang dan lauk pauk lainnya sehingga hanya tersisa tulang-tulangnya.
Tulang-tulang itulah yang kemudian diberikan kepada sang nenek tanpa rasa kasihan. Dan alangkah kecewanya sang nenek yang juga sudah sangat lapar karena pada saat membuka bekal sudah tidak ditemui lagi lauk pauknya.
Sambil menangis ia berkata, "Daging saja aku sulit mengunyahnya karena gigiku sudah ompong. Tetapi, kenapa cucuku sendiri tega memberikan aku tulang, seakan aku memang sudah tidak berguna di dunia ini."
Merasa sangat tidak berguna, sang nenek meminta kepada Tuhan agar mencabut nyawanya. Rupanya permintaan sang nenek didengar dan pada saat itu petir pun terdengar menggelegar dan turun hujan lebat.
Akibatnya, sang nenek dan seluruh lahan pertanian yang ditungguinya, bahkan termasuk seluruh desa, lambat laun tenggelam oleh air bah yang memenuhi kawasan itu. Akhirnya terbentuklah sebuah danau yang kemudian dinamakan Lau (air) Kawar.
Tidak ada yang bisa menjamin kebenaran akan sebuah legenda. Demikian pula terhadap legenda terbentuknya Danau Lau Kawar ini. Tetapi, setidaknya legenda ini telah membentuk kepercayaan yang kuat dari generasi ke generasi bagi masyarakat setempat. Keyakinan ini yang membuat mereka senantiasa menghormati orangtua mereka.
Legenda itu juga memberikan ikatan yang kuat bagi masyarakat sekitar untuk senantiasa mensakralkan danau. Pepohonan di sekitar danau juga selalu dijaga dan tidak boleh ditebang sembarangan.
Bagaimanapun, tempat itu telah dipercaya menjadi persemayaman leluhur mereka yang meninggal sebelumnya. Dan ikan-ikan air tawar yang bertabur di danau juga tidak boleh diambil semaunya, apalagi dengan obat-obatan beracun ataupun bahan peledak.
Semua kearifan lokal ini selama bertahun-tahun telah menyebabkan ekologi danau tetap terpelihara dengan baik. Mereka tidak ingin mengecewakan leluhur, seperti sang nenek yang terkubur bersama air hujan tersebut.
NAMUN, seiring dengan perjalanan waktu, legenda itu pun kian pupus. Tuntutan zaman membuat orang sudah tidak lagi menghormati peninggalan itu, apalagi ditambah tuntutan ekonomi dan modernisasi membuat generasi beru berpikir lain.
Seperti yang dituturkan Pelin Sembiring (35 tahun), pengelola Lau Kawar sekaligus anggota Tim Penyelamat Danau Lau Kawar dan Gunung Sinabung, legenda itu kian luntur. Masyarakat, terutama dari luar daerah yang tidak memiliki akar budaya dari kawasan itu, kian berani merambah hutan yang oleh para orangtua di daerah itu disakralkan.
"Orang akhirnya hanya menganggap Lau Kawar sebagai tempat yang angker saja karena di sini memang sering ada anak tenggelam saat berenang. Tetapi, hikmah dari legenda ini agar kita menjaga lingkungan danau sebagai warisan leluhur dan titipan untuk anak cucu tidak lagi dipegang teguh," katanya.
Dan kini, Lau Kawar, danau yang semula disakralkan oleh masyarakat Tanah Karo itu, ternyata tidak luput dari degradasi ekologi. Setiap tahun danau ini mengalami pendangkalan rata-rata satu meter.
Berdasarkan survei terakhir pada tahun 1980 menunjukkan bahwa titik terdalam danau ini mencapai 40 meter. Namun, survei yang baru saja dilakukan pada bulan Februari 2001 hanya mendapatkan titik terdalam itu tinggal 19 meter saja.
Hasil survei yang dilakukan oleh para peserta pelatihan monitoring fauna ikan yang diselenggarakan Unit Manajemen Leuser ini sangat menyedihkan. Ini menunjukkan warisan lokal tidak lagi dihormati. (AIK)
KCM, Sabtu, 14 Mei 2005
--
Sumber:
Sumber:
No comments:
Post a Comment