Thursday, June 7, 2012

Lubuk Larangan dan Mata Air Kehidupan Warga Mandailing


Lubuk Larangan dan Mata Air Kehidupan Warga Mandailing



Sungai Batang Gadis yang mengaliri kawasan Mandailing Natal
(Foto: Erwin A. Perbatakusuma/CI)

Lubuk Larangan dan Mata Air Kehidupan Warga Mandailing

Orang yang bermarga Lubis, tentu mengenal betul hikayat Namora Pande Bosi yang menasihatkan anaknya Silangkitang dan Sibaitang, ketika mereka harus meninggalkan kampung Hatongga, agar menyusuri Sungai Batang Gadis untuk membuka tempat pemukiman baru. Sebab itulah, kebanyakan perkampungan warga Mandailing hingga sekarang selalu didirikan berdekatan dengan sumber-sumber air.

Ada beberapa istilah yang diberikan pada sumber air di kawasan Mandailing: sungai disebut batang, anak sungai, aek, atau ranting sungai rura dan mata air yang disebut mual. Nama-nama sungai atau muaranya bahkan banyak dijadikan sebagai acuan nama pemukiman orang-orang Mandailing.

Pada masyarakat Mandailing, eksistensi air sungai maupun anak sungai yang ada di sekitar pemukiman mereka berperan multi-fungsi, sebagai air minum dan mandi cuci kakus (MCK), mengairi lahan pertanian, mendukung fungsi sosial budaya (misalnya dalam ritus patuaekkon boru), relijius (mendukung pelaksanaan ibadah), dan juga ekonomi (mencari emas/manggore, ikan, bahan bangunan berupa pasir, kerikil dan juga batu). Dengan kata lain, bagi orang Mandailing air merupakan "mata air kehidupan" yang sekaligus bertali-temali dengan institusi sosial, budaya, ekonomi dan ekologis.

Lubuk Larangan

Oleh karena banyak sekali kepentingan orang Mandailing terhadap sumber daya air, maka tidak heran, sejak tahun 1980-an bermunculan gagasan di 70 desa Kabupaten Mandailing Natal untuk menyelenggarakan sistem pengelolaan sungai dengan model lubuk larangan (river protected area).

Memang mayoritas desa di Mandailing berdekatan dengan aliran sungai. Keberadaan desa tersebut dapat ditelusuri mulai dari Kecamatan Muara Sipongi -- hulu Sungai Batang Gadis ke arah hilir Kecamatan Kotanopan hingga ke Kecamatan Penyambungan. Selain itu terdapat juga desa di sepanjang Sungai Batang Natal dan beberapa anak sungai yang ada di Kec. Batang Natal, serta sepanjang sungai Batang Selai sampai Danau Rinaete di Tapanuli Selatan.

Pada sebagian aliran sungai yang melintasi wilayah suatu desa-desa itulah, penduduk desa bersepakat untuk menetapkan sebuah wilayah yang terlarang untuk diambil hasil ikannya selama jangka waktu tertentu (berkisar 6-12 bulan). Kawasan terlarang itu disebut ‘lubuk larangan’. Hasil pengelolaan lubuk larangan tersebut akan digunakan untuk berbagai keperluan pembangunan desa. Jadi konsep “larangan” yang ada dalam khasanah budaya Mandailing dan Angkola telah ditransformasikan ke dalam bentuk baru yang lebih rasional oleh komunitas-komunitas desa di sepanjang aliran sungai-sungai Batang Gadis, Batang Natal dan Batang Selai.

Paling tidak ada dua hal yang istimewa dari munculnya fenomena pengelolaan sungai dengan sistem lubuk larangan tersebut. Pertama, kemampuan komunitas setempat di kawasan Mandailing melakukan perubahan radikal dalam konsepsi penguasaan sumberdaya alam (sungai), dari yang semula dipahami sebagai sumberdaya yang bisa diakses secara bebas oleh siapapun menjadi sumberdaya yang dimiliki secara komunal (communally owned resources). Dengan perubahan konsepsi tersebut, maka kecenderungan eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya alam menjadi terkurangi, sehingga gejala "tragedi milik bersama" (tragedy of the common) dalam pengelolaan sumberdaya yang bersifat akses terbuka tidak terjadi, khususnya dalam konteks pengelolaan sumberdaya yang ada di sungai.

Kedua, komunitas-komunitas desa pengelola lubuk larangan di Kabupaten Mandailing Natal mampu menanam dan mengembangkan investasi modal sosial (social capital) diantara mereka dalam pengelolaan sumberdaya 'milik bersama'. Komunitas desa pengelola lubuk larangan di Mandailing samapi batas-batas tertentu mampu menyiasati kondisi yang tidak sehat itu, yang terlihat dari tetap kukuhnya mereka membangun sistem pengelolaan lubuk larangan yang relatif terbebas dari 'campur tangan penguasa.

Hasilnya cukup mengagetkan, ketika setiap tahun pemerintah menyalurkan dana Bangdes ke desa-desa melalui jalur formal, kita sudah banyak mengetahui apa hasil pembangunan yang bisa dicapai di desa-desa itu; tetapi pengelolaan lubuk larangan yang dibangun dengan mengandalkan modal sosial (bukan modal material/finansial), mampu menghasilkan banyak hal di desa, misalnya mendirikan gedung madrasah (seperti di Desa Hutarimbaru dan desa Singengu, Kec.Kotanopan), masjid (di banyak desa di Kec. Muara Sipongi, Kotanopan dan Batang Natal), menggaji guru SD Negeri (di Batang Natal), menyantuni anak yatim dan fakir miskin ( di banyak desa Kec. Batang Natal), membangun titi/rambin dan jalan desa (di desa Koto Baringin, Kec. Muara Sipongi, desa Husor Tolang, Kotanopan ), dan banyak lagi contoh lainnya.

Ketika dana Bangdes dan dana-dana pembangunan lainnya masuk ke desa, yang sering terjadi adalah sikut-sikutan antar elit desa (bahkan konflik terbuka), dalam sistem pengelolaan dan pemanfaatan hasil lubuk larangan hal itu tidak ditemukan. (Erwin A. Perbatakusuma, Policy Analist, NSC Project)

http://www.conservation.or.id/home.php?modul=news&catid=22&tcatid=62&page=g_news.detail


http://horasmadina.blogspot.com/2007/07/lubuk-larangan-dan-mata-air-kehidupan.html

No comments:

Post a Comment