Thursday, June 7, 2012

KEMBALI KE ALAM


KEMBALI KE ALAM

Pekan-pekan terakhir sebelum libur lebaran lalu, saya kedatangan adik dan kakak ipar, yang bergiat di Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI). Sembari melepas kangen, ada kegiatan lain yang cukup menarik minat saya dan istri. Kebetulan, lembaga yang peduli dengan nasib petani ini punya perhatian lebih terhadap sistem pertanian yang ramah lingkungan. Salah satunya, dengan mengembangkan pertanian organik.

Di Bogor, mereka membuka lahan percobaan di kawasan Darmaga, Kampus IPB. Tepatnya sih, di belakang gudang DOLOG Bogor. Maka, Minggu sore tanggal 23 Oktober lalu, kami berempat meluncur ke lahan yang luasnya kurang lebih 7000 meter persegi tersebut.
Image hosted by Photobucket.com


Apa itu Pertanian Organik?

Mengutip dari beberapa situs di internet, pertanian organik merupakan sistem pertanian yang mempromosikan mutu lingkungan, sosial dan slogan ekonomi dalam memproduksi pangan dan serat. Intinya, sistem ini memberikan penghargaan terhadap kapasitas alami tanaman, hewan dan kondisi lokal, yang bertujuan untuk mengoptimalkan kualitas aspek pertanian dan lingkungan, dan pengendalian penggunaan pupuk sintetis, pestisida dan bahan-bahan farmasi. Pertanian organik secara dramatis mengurangi masukan luar (external input) pertanian.
Image hosted by Photobucket.com
Yang pernah saya baca, peningkatan produksi dan kesehatan tanaman untuk pertanian model ini berbeda dengan yang dilakukan oleh sistem intensifikasi yang sekarang lazim dilakukan. Untuk sistem organik, peningkatannya dilakukan dengan rotasi tanam, tumpang sari, penanaman varietas yang tepat, pengendalian hama secara biologis, daur ulang nutrisi dan tindakan lainnya.Di dunia saat ini, luas lahan yang bersertifikat pertanian organik diperkirakan mencapai 25 juta hektar. Ada kemungkinan bahwa terdapat 10-20 juta hektar lahan lainnya yang tidak bersertifikat pertanian organik, terutama di negara-negara berkembang (terutama di Amerika Latin), yang sering berkenaan sebagai pertanian ekologi (agro-ecology). Di beberapa negara berkembang, banyak petani yang mempraktikkan salah satu jenis pertanian tradisional yang tidak mengandalkan dan mengijinkan penggunaan masukan (input) yang dibeli. Di sebuah situs diungkap, bahwa di Uganda dan Tanzania rata-rata penggunaan pupuk kimia sintetis adalah kurang dari 1 kg per hektar per tahun. Ini artinya banyak lahan tidak pernah dipupuk.
Image hosted by Photobucket.com
Sesungguhnya, pertanian organik bukan soal tren atau gaya-gayaan. Basis pengembangan pertanian ini sebenarnya bisa ditarik secara lebih “ideologis”, yakni betapa sesuatu yang alami tengah dipinggirkan oleh artificial semacam pertanian intensif yang tampak mampu memberi keuntungan berlimpah, namun menyimpan sejuta ancaman di belakangnya. Sebut saja pola hama-penyakit yang juga berubah, penggunaan pupuk dan pestisida yang menggila dan mengganggu keseimbangan alam, hingga yang paling menyentuh kepentingan petani: penciptaan ketergantungan mereka pada pupuk dan pestisida buatan pabrik.


Selada, Kangkung, Bayam

Letak ladang itu tidak jauh dari rumah, tepatnya ke arah kampus IPB. Yang segera tampak ketika menyusuri pematang ladang pertanian organik ini adalah warna hijau segar selada dan bayam, yang mendominasi beberapa blok tanaman di sebelah selatan ladang. Tanamannya gemuk-gemuk, sehat, dan mengundang decak kagum. Di blok lainnya ada kangkung siap panen. Lalu ada blok berisikan jagung yang baru berbuah, deretan cabai merah, hingga sawi cesin dan kemangi. Nun di sebelah utara, ada beberapa blok dijadikan kolam ikan nila.
Image hosted by Photobucket.com
Ladang percobaan ini dikelola beberapa tenaga muda lulusan IPB. Mereka tampak berbaur dengan para pekerja lokal di saung yang berdiri tepat di tepi ladang. “Mereka juga kalau malam biasa tidur di situ,” kata adik saya. Hebat. Dalam hati saya agak malu juga. Saya sarjana perikanan, jurusan budidaya pula. Praktik lapang saya di semester akhir dahulu mengambil topik pembibitan dan pembesaran ikan hias air tawar. Sedangkan topik skripsi adalah meneliti bakteri Aeromonas hydrophila yang kerap menyerang ikan budidaya air tawar. Tapi, bujubuneng –kata Mandra- saya menjerumuskan diri ke dunia pers, lalu akhirnya di bidang komunikasi, hingga kini. Masih syukur (!) tiga tahun belakangan saya masih bersinggungan dengan dunia perikanan, tatkala bekerja di proyek pengelolaan sumberdaya pesisir alias CRMP.

Hasil pertanian organik di ladang percobaan ini bahkan sudah mulai dijual secara lokal. Jangan heran, saya dan istri adalah penggemar dan pelanggan tetap. Mereka melepas hasil panen ke sebuah kios milik seorang Ibu di Pasar Yasmin. Pasokannya juga lumayan teratur, sepekan sekali, terutama untuk produk kangkung, bayam, dan kemangi.

Panen Euy…
Image hosted by Photobucket.com
Tentu, saya dan istri tidak sekadar melihat. Oleh Bang Henry, kami ditawari untuk memanen beberapa jenis tanaman. Maka, kami memetik kangkung, selada, dan bayam. Di blok kacang tanah, saya tak tahan untuk mencoba melihat hasilnya. Tinggal cabut, maka kumpulan kacang tanah segar hasil panen langsung ditumpuk di baskom. Jumlah sayur yang kami ambil cukup banyak. Soalnya, mau dibagi-bagikan ke beberapa teman di komplek. Sekalian promosi untuk back to nature, boleh toh? Hitung-hitung jadi voluntary publicist buat gerakan ini.

Sekadar informasi, di Sumatera Utara kampung saya sendiri, pengembangan pertanian organik juga pesat dilakukan oleh FSPI ini. Mereka punya Green Shop tempat memasarkan produk-produk dari ladang pertanian bebas pestisida yang mereka fasilitasi.

Organik di Siantar
Image hosted by Photobucket.com
Yang menyenangkan lagi, saya berkesempatan sekali lagi mengunjungi lahan pengembangan pertanian organik di Sumatera Utara, tepatnya di pinggiran Kota Pematang Siantar. Ceritanya, saat mudik lebaran, kami sekeluarga sempat berwisata ke Danau Toba. Ketika dalam perjalanan pulang ke Medan, abang ipar saya mengajak kami untuk singgah di pertanian organik yang dikelola oleh Jandri Damanik. Beliau ini alumnus FISIP-USU, tapi segera jatuh hati dengan sistem pertanian organik, dan sempat belajar khusus tentang hal tersebut ke Jepang.

Di ladang seluas sekitar setengah hektar tersebut, pemandangan spektakuler yang pertama kali menyambut adalah ratusan bibit ikan mas merah yang berenang-renang di kolam. Wuih… Kami disambut oleh Jandri (yang punya kebiasaan unik, bicara dengan anak balitanya dalam bahasa Inggris agar si bocah sekalian belajar). Ia mengembangkan juga pembuatan pupuk bokashi, yang mencampurkan beberapa jenis tanaman dan pupuk kandang.

  Image hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.com
COba lihat! Ikan-ikan yang sehat, bibit tomat, tomat muda, dan pupuk bokashi di ladang....

Di bukit sebelah rumahnya, ada sepetak tanah tempat memelihara ayam. Lalu di atasnya, lahan yang tengah dipersiapkan untuk menanam beberapa jenis sayuran. Saya melihat bibit-bibit tomat yang tengah disiapkan untuk dipindah. Hanya saja, dari segi sistematisasinya, lahan di Darmaga sudah lebih tertata. Kami sempat pula mengambil beberapa paket beras organik sebagai oleh-oleh ke Medan.

Sebenarnya, ada satu tempat lagi yang saya penasaran ingin mengunjunginya, yaitu lahan pertanian organik yang dikelola Hiro, pemuda asal Jepang, di kawasan Berastagi, Tanah Karo. Hiro juga sudah teratur mengirimkan hasil panennya ke Medan untuk dijual. Mungkin lain kali, kalau ada kesempatan, saya ingin mendatangi lahannya tersebut.

Saatnya Dikampanyekan

Produk pertanian organik lokal sendiri, dari yang saya baca di koran, kini mengalami lonjakan peningkatan pangsa pasar nasional. Di harian Pikiran Rakyat, disebutkan oleh Asosiasi Pelaku Agrobisnis Pertanian Organik (Aspaindo), peningkatan itu mencapai 60 persen selama beberapa bulan terakhir. Ini terutama terjadi di sejumlah pasar modern di Bandung dan Jakarta. Tak tanggung-tanggung, permintaan pasar itu dua sampai tiga kali lipat bertambah.

Itu berita bagus. Hanya, sistem pertanian organik hendaknya bertujuan tidak sekadar mengikuti selera pasar. Lebih penting dari itu, kesejahteraan petani kecil, kesadaran untuk mencegah dominasi pemodal melalui penyediaan pupuk pabrik dan pestisida, dan pelestarian lingkungan alam, hendaknya justru dijadikan sasaran utama.

Dari jalan-jalan ke dua lokasi pertanian organik itu, saya jadi makin kesengsem dan suatu saat mungkin akan lebih serius mengkampanyekannya. Namun, setidaknya, jika anda ingin mengetahui soal sistem pertanian ramah lingkungan ini lebih lanjut, dan bagaimana ia dapat membantu memberdayakan petani, silakan kontak kantor FSPI yang ada di Mampang XIV No. 5 (www.fspi.or.id). Yang ada di sekitar Bogor, silakan datang ke Pasar Yasmin, tepatnya Kios Pa Tani (singkatan dari Pasar Tani), yang dikelola oleh Ibu Ginting. Di sana, insya-allah, tiap minggu pasokan sayur organik dan beras ada disediakan. (ah)


Sumber:
http://madhusein.multiply.com/journal/item/27?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

No comments:

Post a Comment