Thursday, September 27, 2012

Sejarah Singkil

Sejarah Singkil

Pada permulaan abad ke 16 Kerajaan Aceh berada pada masa puncak kejayaannya, dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda ( 1607 – 1638 ). Daerah kekuasaannya meliputi pantai barat pulau Sumatera dari Bengkulu hingga ke pantai timur pulau Sumatera yang meliputi Riau. Pada masa itu terdapat pula Kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Aceh itu sendiri, salah satunya terdapat di wilayah Aceh Singkil.

Dari peninggalan-peninggalan sejarah yang ada serta cerita rakyat yang berkembang menunjukkan bukti adanya kerajaan-kerajaan di wilayah Singkil itu sendiri. Beberapa peninggalan-peninggalan bersejarah tersebut dapat dilihat dari ditemukannya situs-situs bangunan serta alat-alat perlengkapan hidup seperti senjata, peralatan makan, perhiasan, perlengkapan pertanian, adat istiadat. Hal ini menunjukkan adanya struktur masyarakat berlapis yang ditunjukkan dengan terdapanya nama (gelar) Raja, pembantu-pembantu raja dan rakyat biasa. Sewaktu kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, didudukkanlah Syeikh Abdul Rauf as Singkili yang berasal dari wilayah Singkil sebagai tempat orang merujuk hukum agama atau hukum Syara.

Lahir di Singkil dari keluarga yang ada hubungannya dengan Hamzah Fansuri seorang tokoh kepenyairan di Indonesia. Pada masa itu masyarakat Aceh Singkil sudah memiliki peradaban yang tinggi serta mempunyai pemerintahan, hal ini dikuatkan dengan adanya Kerajaan Batu-batu, Penanggalan, Binanga dan lain-lainnya.

Masa Pemerintahan Kolonial Belanda

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda , wilayah Singkil merupakan Onderrafdeeling (Kewedanan) yang dikepalai oleh Controleur , dimana Onderrafdeeling ini membawahi empat Landschap (Kecamatan) yaitu Singkil, Pulau Banyak, Simpang Kiri dan Simpang Kanan yang masing-masing kecamatan tersebut dikepalai oleh seorang “Zelfbestuurder ” (Camat) yang juga membawahi empat kemukiman yang dikepalai oleh seorang Mukim. Dan Mukim juga membawahi beberapa Kepala Kampong di kemukimannya. Onderrafdeeling (Kewedanan) pada masa indonesia merdeka diganti namanya menjadi Pembantu Bupati Wilayah Singkil.
Adapun peninggalan-peninggalan dari masa penjajahan kolonial Belanda ini berupa kantor pemerintahan,kantor pelabuhan, kantor pos, rumah controleur , sekolah (volgschool dan vervolgschool ), Mesjid serta rumah-rumah yang pernah dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada akhir abad ke 19. Wilayah Singkil pada masa itu masih berupa hutan belantara, dimana sebahagian besar mata pencaharian penduduk masih sangat tergantung dari potensi yang ada pada alam, terutama dibidang hasil kehutanan seperti kayu, kapur barus, kemenyan, dibidang pertanian, perikanan, serta pelayaran. Selain itu didaerah pesisir pantai Singkil banyak dihuni oleh pembuat garam dapur dari air laut. Wilayah Singkil merupakan salah satu daerah yang diperbolehkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk membuat garam, dimana garam yang dihasilkan kemudian diperdagangkan dengan pedagang-pedagang yang datang ke Singkil terutama sekali dari Alas, Blangkejeren yang diangkut melalui jalur sungai di Singkil. Pemerintah penjajahan kolonial Belanda pada saat itu juga telah membuka perkebunan kelapa sawit dan karet di daerah Lae Butar Rimo.
Pada masa itu banyak didatangkan pekerja (buruh) dari daerah pulau Jawa yang dipekerjakan diperkebunan milik Belanda dengan cara sistem kontrak yang lebih dikenal dengan “Kuli Kontrak”. Seiring dengan dibukanya perkebunan milik pemerintah kolonial Belanda ini maka semakin terbukalah wilayah Singkil bagi masuknya penduduk lain diluar wilayah Singkil.
Etnis Masyarakat Aceh Singkil
Ada beberapa etnis awal atau asal dari penduduk yang menetap di wilayah Singkil, dan dengan penelusuran jejak asalnya secara global maka terdapat berbagai etnis didalamnya yaitu : Etnis Aceh, Etnis Batak, Etnis Minangkabau, Etnis Nias, dan Etnis-etnis lainnya dalam jumlah kecil.
Pengelompokan ini didasarkan karena dari setiap etnis masih dapat dirinci asal muasal etnis tersebut datang ke Singkil.Faktor-faktor yang menjadi tujuan utama etnis-etnis tersebut datang ke wilayah Singkil adalah karena faktor ekonomi serta faktor-faktor sekunder lainnya.
Etnis Aceh
Dimasa yang lalu kelompok etnis Aceh ini terkelompokkan dalam komunitas wilayah tertentu. Diantara komunitas Aceh yang ada di wilayah Singkil adalah di Kuala Baru.
Budaya etnis Aceh berada dalam kehidupan bersama di kelompok yang telah ada acuan kebersamaannya. Kelompok ini dipimpin oleh seoarang yang berwibawa dan terpandang. Tetapi pimpinan ini tidak lantas menjadi pimpinan yang absolut. Pemimpin etnis ini ditunjuk untuk mengurus soal adat (kepala adat), yang sangat erat hubungannya dengan pemerintahan, ekonomi, politik dan kegiatan masyarakat lainnya. Pemimpin didampingi oleh pemuka agama atau imam, yang menuntun kehidupan keagamaan. Hukum yang dibuat oleh pimpinan dan masyarakat harus sesuai dengan hukum agama. Oleh karena itu kedudukan seorang pimpinan keagamaan sama dengan pimpinan kelompok.
Keadaan ini sama antara gampong (kampung), kerajaan besar atau kecil. Tradisi ini memungkinkan adanya kerajaan kecil yang muncul di Kabupaten Aceh Singkil pada waktu yang lalu, atas inisiatif etnis Aceh.
Sistem kemasyarakatan etnis Aceh adalah menurut garis keturunan Ayah dan juga Ibu. Perpaduan patrilineal dan matrilineal ini dalam hubungan kekerabatan yang mengakibatkan terjadinya pembauran etnis ini dengan etnis lainnya sehingga terjadinya asimilasi sehingga menumbuhkan bentuk ke-Singkil-an suku. Terlebih lagi mencairnya pemisahan antara berbagai etnis maka terjadilah perkawinan antar etnis yang memunculkan kehidupan harmonis saling menghargai serta timbulnya rasa kesatuan wilayah SINGKIL dan bahasa pergaulan tidak mutlak lagi dengan menggunakan bahasa Aceh.
Etnis Batak
Wilayah Singkil merupakan bagian dari wilayah Aceh secara keseluruhan, tetapi wilayah Singkil pada masa yang lalu jauh lebih sulit untuk dicapai atau didatangi oleh masyarakat /penduduk Aceh lainnya. Hal ini disebabkan karena adanya kendala-kendala hubungan, keterikatan pada adat istiadat dan kendala lainnya yang menyebabkan perpindahan penduduk dari etnis Aceh ini menjadi sedikit. Kendala utama yang menjadi penghambat utama masuknya etnis Aceh ini adalah karena faktor keadaan alam Singkil pada masa lalu.
Sebaliknya dari etnis Batak kendalanya lebih kecil, dan didorong untuk mendapat kehidupan yang lebih baik karena keterbatasan tanah suku (adat) yang ada didaerah asalnya yang menyebabkan lebih mudahnya mereka datang ke wilayah Aceh Singkil.
Terjadinya perpindahan penduduk (migrasi) dari daerah wilayah Batak telah berlangsung sejak lama. Migrasi etnis Batak ini datang dengan cara berkelompok di suatu lokasi yang kemudian menjadi Huta atau Kota/Kampung. Tradisi etnis batak, marga pertama yang membuka huta adalah yang menjadi penguasa daerah itu.Pendatang baru yang datang kemudian akan menempati daerah yang bertetangga dengan penduduk yang datang sebelumnya, sehingga tersusun suatu tatanan kemasyarakatan yang telah dihuni oleh masyarakat batak diatas.
Daerah yang telah ditempati diatas diatur oleh raja setempat, seperti Raja Penyusunan Bulung merupakan raja yang menguasai pemerintahan Huta, Raja Torbin Balok yang berkuasa di daerah tetangga Raja Penyusunan Bulung. Kedua kerajaan saling mengakui kekuasaan masing-masing, sampai akhirnya kerajaan-kerajaan ini mengembangkan kekuasaan ke daerah lain dan membuat sistem pemerintahan yang lebih teratur di daerah masing-masing.
Secara psikologis penduduk batak (yang biasanya memakai marga di akhir namanya) dengan penduduk lainnya tidak memakai marga bergaul harmonis diantara sesama mereka. Karena marga itu sebuah nama, yang membedakan pemanggilan antara seseorang dengan lainnya. Banyak juga dari etnis Batak ini sudah tidak memakai marga, tetapi hanya menjadi pegangan dalam silsilah keturunan dan pergaulan sesama marganya.
Etnis Minangkabau
Etnis ini lebih lazim disebut orang Padang. Migrasi etnis ini lebih di dorong oleh faktor dagang. Orang Padang terkenal sebagai pedagang ulung dan gigih. Kedatangan etnis ini ke wilayah Singkil berdagang membawa barang kebutuhan penduduk dan juga merupakan penjaja jasa seperti tukang emas, tukang pangkas (cukur), penjahit pakaian laki-laki dan perempuan serta jasa lainnya yang diminati penduduk.
Orang padang lebih banyak mendatangi /menetap di wilayah singkil sekitar pantai/laut, karena mudah dihubingi dengan perahu layar/kapal laut. Budaya orang padang yang dibawa oleh pedagang-pedagang yang datang ke wilayah Singkil ikut terlarut berasimilasi dengan kebudayaan-kebudayaan setempat, sehingga menghasilkan kebudayaan yang unik, tidak sama dengan kebudayaan asli yang dibawa oleh etnis-etnis yang datang ke wilayah Singkil. Perkawinan yang menurunkan generasi penerus telah membaurkan penduduk dalam wajah orang Singkil.
Di masyarakat minangkabau juga mengenal kelompok-kelompok keturunan seperti halnya etnis batak yang disebut marga. Seperti halnya etnis Batak, orang Padang tidak menonjolkan kelompok keturunan asalnya.
Etnis Nias
Etnis ini mempunyai Bahasa sendiri dan dikenal oleh penduduk wilayah Singkil, tapi tidak digunakan secara umum dengan etnis lainnya. Etnis nias bermigrasi ke Singkil melalui laut dengan perahu layar. Etnis Nias terkenal juga dengan Pelaut-nya, karena etnis ini merupakan penduduk dari sebuah Pulau di samudera Hindia, di sebelah barat daya wilayah Singkil.
Dari segi fisik etnis ini pada umumnya mempunyai ciri khusus kuning langsat. Asli etnis ini tidak menggunakan huruf n, m ng (sengau) dalam menyebutkan kata-kata.
Etnis lainnya
Di wilayah Singkil terdapat juga beberapa etnis lain, seperti Bugis, Jawa, Cina, Arab dan Keling. Migrasinya etnis-etnis ini ke wilyah Singkil berlatar belakang perdagangan dan mencari pekerjaan.
Pembuktian etnis Bugis di Aceh Singkil adalah adanya nama-nama benda yang sama dengan bahasa Bugis asli, dendang bugis yang irama dan kata-katanya mirip (walau tidak sama) dengan dendang singkil begitu pula adat istiadatnya.
Untuk etnis Cina, di Singkil terdapat kampung yang bernama kampung Cina, walau sekarang tidak lagi dihuni oleh orang-orang Cina.
Untuk Etnis Arab, salah satu buktinya terdapat nama said, syarifah dan makanan khas arab yang telah disesuaikan dengan lidah orang Singkil.
Untuk etnis Keling (India), dulu terdapat kampung keling terdapat penjual susu murni.
Untuk etnis Eropa, tidak jelas apakah mereka meninggalkan keturunan di Singkil, karena mereka dulunya berdiam di lokasi khusus perumahan perkebunan sawit dan karet milik perusahaan Eropa di onderneming Lae Butar Rimo.
Etnis Jawa yang berada di Aceh Singkil, terutama bekerja di perkebunan dan karet di wilayah Simpang Kanan yang disebut Perkebunan Lae Butar bergabung dalam PT Socfindo.Perpindahan etnis Jawa ini berlangsung sejak jaman kolonial Belanda. Saat itu diperlukan banyak tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit. Transmigrasi ini berlanjut pada masa pemerintahan Republik Indonesia. Generasi keturunan lanjut mereka yang telah menciptakan gerak sosial ( social mobility ) dalam kehidupan di Aceh Singkil.
Selanjutnya adalah Etnis Aceh yang mempunyai hubungan dengan penduduk wilayah Singkil yang berasal dari Kuta Cane dan Blangkejeren (Aceh Tenggara).
_________________________
· Kesultanan Trumon merupakan bagian dari kerajaan Batak yang diakuisisi oleh Kesultanan Aceh setelah rajanya masuk Islam. Bendera Kerajaan Trumon merupakan cikal-bakal bendera yang dipakai oleh Sisingamangaraja XII.
Kerajaan Batak Sisingamangaraja XII disinyalir masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Kerajaan di Singkil khususnya Kerajaan Trumon ini. Karena sebelum diakuisisi oleh Aceh, Kerajaan Trumon merupakan provinsi dari Kesultanan Barus.
Kesultanan Barus di Kawasan Fansur, bukan yang Hulu, didirikan oleh Keturunan Raja Uti dimana Raja Uti diyakini masih merupakan "paman adat" Dinasti Sisingamangaraja di Bakkara. Sekarang ini masih terdapat bangunan benteng di Trumon sebagai bukti sejarah kerajaan ini.
Bangunan benteng Kuta Batee dibangun ketika Kerajaan Trumon dipimpin atau di bawah pemerintahan Teuku Raja Fansuri Alamsyah yang juga dikenal dengan sebutan Teuku Raja Batak. Dalam masa ini pula, Trumon meraih kejayaannya hingga berhasil mencetak mata uang sendiri sebagai alat tukar yang sah.
Teuku Raja Batak ini merupakan raja ketiga, menggantikan ayahnya bernama Teuku Raja Bujang yang sebelumnya menerima tahta dari kakeknya (ayah Raja Bujang) yaitu Teuku Djakfar selaku pendiri Kerajaan Trumon dan Kerajaan Singkil.
Selain berfungsi sebagai benteng pertahanan ketika diserang musuh (penjajah), benteng ini juga digunakan sebagai kantor pusat pengendalikan pemerintahan oleh raja. Di dalamnya juga terdapat istana raja dan sebuah gudang tempat menyimpan barang-barang penting milik kerajaan.
Luas bangunannya sekitar 60 x 60 meter dengan tinggi sekira empat meter. Sedangkan tebal dindingnya mencapai satu meter dengan tiga lapisan. Dinding bagian luar terbuat dari batu bata, kemudian pasir setebal tiga puluh sentimeter dan dinding bagian dalam terbuat dari batu bata tanah liat.
Di sekeliling benteng terdapat balai sidang. Balai ini biasanya digunakan untuk kegiatan rapat atau sidang-sidang adat kerajaan yang dipimpin langsung oleh raja. Selain itu juga terdapat rumah sula (penjara). Sula adalah besi-besi yang diruncingkan dan terpancang di tanah sebagai tempat hukuman mati bagi penjahat yang divonis hukuman mati.
[sunting] Pendiri kerajaan
Almarhum H. Mohammad Said, dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad menceritakan, Kerajaan Trumon didirikan oleh seorang saudagar sekaligus pemuka agama (labai) berasal dari XXV Mukim Aceh Besar dalam abad ke-18. Ia tidak lain adalah Labai Daffa (Labai Dafna-sebutan Belanda) yang nama aslinya adalah Teuku Djakfar.
Raja ini sebelum mendirikan Kerajaan Trumon dan Singkil, sempat belajar agama Islam di Ujung Serangga, Kecamatan Susoh, Aceh Barat Daya sehingga meraih gelar labai atau teungku, panggilan ulama dalam masyarakat Aceh.
Dengan demikian tidak heran, kalau Benteng Kuta Batee ini akhirnya selamat dan terhindar dari bencana gelombang tsunami, berkat doa Raja-raja Trumon yang terkenal alim heroik itu.
Wilayah Singkil saat ini merupakan bagian dari wilayah Provinsi Aceh Darussalam (NAD). Penduduk dalam wilayah Kabupaten Aceh Singkil secara garis besar dapat dikelompokkan berdasarkan asal-usulnya, walaupun sekarang ini sudah samar (tidak kentara lagi).
Ada beberapa etnis awal atau asal dari penduduk yang menetap di wilayah Singkil, dan dengan penelusuran jejak asalnya secara global maka terdapat berbagai etnis didalamnya yaitu : Etnis Aceh, Etnis Batak, Etnis Minangkabau, Etnis Nias, dan Etnis-etnis lainnya dalam jumlah kecil.
Pada masa yang lalu daerah Singkil pernah berjaya dengan Kesultanan Singkel/Singkil yang berbudaya Batak Singkil. Budaya Batak Singkil ini hampir mirip dengan budaya Batak Pakpak yang memang berbatasan langsung dengan Wilayah Singkil. Salah satu Sub Suku Batak Pakpak yaitu Pakpak Boang sejak dahulu kala bermukim di Tanah yang kini masuk dalam wilayah administrative Singkil. Secara adat dan bahasa mereka memiliki kemiripan. bahkan mereka tetap mempertahankan budaya Batak. Etnis Batak biasanya memakai marga di ujung nama mereka. Walaupun begitu saat ini sudah banyak yang tidak memakai marga di ujung nama mereka, namun mereka berpegang pada silsilah.
Etnis Batak Merupkan Etnis Mayoritas di Subulussalam dan Aceh Singkil. Di wilayah Singkil, Etnis Batak ini sendiri terbagi menjadi dua bagian yaitu: Suku Pakpak dan Suku Boang.
Secara umum keduanya memiliki banyak persamaan dari segi bahasa dan akar budaya, akan tetapi ada perbedaan kedua bagian ini diantaranya sebagai berikut :
- Suku Boang adalah mereka yang pada awalinya yang Tinggal di Daerah Aliran Sungai (DAS). Walaupun saat ini mereka sudah menyebar ke daerah perkotaan. Ada juga yang mengatakan inilah penduduk asli Aceh Singkil, tapi berita ini masih simpang siur.
- Sedangkan Batak Pakpak adalah Mereka yang tinggal lebih dekat ke daerah perbatasan Sumut. Dalam keseharian mereka ini lebih sering dikenal dengan istilah Pakpak Boang, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek Boang. Antara lain marga Sambo, Penarik, dan Saraan.
Adapun perbedaan yang jelas terlihat adalah dari segi bahasa yang di gunakan oleh mereka. Bahasa Pakpak pengucapan konsonan ‘R’ sedangkan dalam Bahasa Singkil diucapkan secara uvular sebagai ‘Kh’. Misalnya Orang Pakpak Mengucapkan ROH KE WEH. Dan orang Boang Mengucapkan KHO KENE KAUM. Atau arti sopannya dalam basasa Indonesia adalah Selamat Datang.
Walaupun ada perbedaan seperti itu kedua suku mayoritas yang ada di Aceh Singkil dan Subulussaam, namun mereka tetap hidup harmonis dan tidak pernah mempermasalahkan suku antara satu dengan yang lain.
Hubungan Kesultanan Singkil dengan Kerajaan Batak Dinasti Sisingamangaradja
Kerajaan Batak di bawah Dinasti Sisingamangaradja dalam sejarahnya mempunyai ikatan darah dan persaudaraan dengan Kesultanan Singkil. Bahkan tercatat Raja Sisingamangaradja XI pernah mengenyam pendidikan militer di Kesultanan Singkil sejak masa remajanya. Hubungan ini terus berlanjut hingga saat terjadinya perang antara Sisingamangaradja X-XII melawan Belanda, dimana Kesultanan Singkil secara penuh mendukung perjuangan kerabatnya dari Tanah Batak Toba ini.
Pada masa perang ini Gubernur militer Belanda dari Sumatra's Oostkust (Sumatera Timur) meminta bantuan kepada Gubernur mIliter Belanda di Atjeh untuk memotong kekuatan Sisingamangaradja yang bertahan di Tanah Dairi dari arah Utara. Bantuan dari Utara (Aceh) dmaksudkan untuk memotong jalur bantuan dari Kesultanan Batak Singkil sekutu setia Sisingamangaradja yang memiliki akses ke pesisir pantai Barat. Juga dimaksudkan untuk memotong jalur masuknya bantuan paramiliter dari Kesultanan Aceh via pengiriman para penglima perang beretnis Batak Gayo dan Batak Alas yang telah berlangsung cukup lama.
Akibat dari perang ini penaklukan kerajaan Singkil dn bertekuk lutut kepada pasukan Belanda yang menyerang dari Utara.
Implikasi lanjutannya adalah :
Daerah Batak Singkil, Batak Gayo, Batak Kluet, dan Batak Alas atas permintaan komandan tentara Belanda di Kotapraja, dimasukkan ke dalam wiklayah Keresidenan Atjeh sebagai bagian kompensasi bantuan mereka sekaligus pelaksanaan Politik Devide et impera. Di sana mereka menjadi suku-suku Batak minoritas dalam lingkungan budaya mayoritas suku Aceh.
Dimana pada saat yang hampir bersamaan wilayah Batak lainnya dibagi pula ke dalam beberapa wilayah Keresidenan yang berbeda yakni :
1. Keresidenan Tapanuli. Direct Bestuur Gebied, sebuah daerah Pamong Praja dilepaskan dari daerah Keresidenan Sumatra's Westkust (Sumatera Barat) dengan wilayah administrativenya : Tapanoeli Utara, Tapanoeli Selatan, Tanah Dairi. Kemudian ditambahkan daerah kepulauan Nias yang secara etnis dan budaya sangat berbeda dari etnis Batak.
2. Sumatera Timur, Zelbestuurs Gebied, Swapraja yang menjadi suatu Keresidenan sendiri yaitu Sumatra's Oostrkust dengan wilayah Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara yang umumnya berbudaya Melayu Pesisir Timur dengan tambahan wilayah Suku Batak Karo dan wilayah Suku Batak Simaloengen. Akibatnya kedua suku Batak ini menjadi minoritas dalam ruang wilayah khazanah budaya Melayu Pesisir Timur.
Pembagian ini masih berlangsung hingga saat ini karena tetap dilanjutkan oleh Pemerintah Republik Indonesia pasaca Proklamasi 17 Agustus 1945.
Sejarah Masa lalu Singkil
Pada masa abad ke-16M (1590-1604 M) Tanah Singkil pernah melahirkan tokoh Batak terkenal yang banyak meninggalkan karya seni berupa syair-syair yaitu Hamzah Fansur. Seorang tokoh inteletual Batak pesisir yang berasal dari kota Pansur di Sungkil. Beliau menggambarkan keindahan kota Barus saat itu. Keramaian dan kesibukan kota pelabuhan dengan pasar-pasar dan pandai emasnya yang cekatan mengubah emas menjadi “ashrafi”, kapal-kapal dagang besar yang datang dan pergi dari dan ke negeri-negeri jauh, para penjual lemang tapai di pasar-pasar, proses pembuatan kamfer dari kayu barus dan keramaian pembelinya, lelaki-lelaki yang memakai sarung dan membawa obor yang telah dihiasi dalam kotak-kotak tempurung bila berjalan malam.
Gadis-gadis dengan baju kurung yang anggun dan di leher mereka bergantung kalung emas penuh untaian permata, yang bila usia nikah hampir tiba akan dipingit di rumah-rumah anjung yang pintu-pintunya dihiasi berbagai ukiran yang indah.
Pada bagian lain syair-syairnya juga memperlihatkan kekecewaanya terhadap perilaku politik Sultan Aceh, para bangsawan dan orang-orang kaya yang tamak dan zalim yang saat itu pernah menguasai bandar Barus hingga Singkil.
Sebagaimana para sarjana Batak, Hamzah Fansuri mendapat pengaruh besar di Aceh. Van Nieuwenhuijze (1945) dan Voerhoeve (1952) berpendapat bahwa Hamzah Fansuri memainkan peran penting di dalam kehidupan kerohanian di Aceh sampai akhir pemerintahan Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil (1590-1604).
Sekitar tahun 1630 M murid Hamzah Fansuri bernama Syamsuddin al-Sumatrani kemudian merantau ke Aceh dan menjadi penasihat politik dan agama di Pasai bagi Sultan Iskandar Muda. Dia wafat tahun 1630 M. Dia satu angkatan dengan Abdulrauf Fansuri, tokoh lain inteletual Batak.
Pada masa yang lalu daerah Singkil jauh dan sulit untuk dicapai atau didatangi oleh masyarakat / penduduk etnis Aceh dari daerah Utara. Hal ini disebabkan karena adanya kendala-kendala hubungan, keterikatan pada adat istiadat dan kendala lainnya yang menyebabkan perpindahan penduduk dari etnis Aceh ini menjadi sedikit. Kendala utama yang menjadi penghambat utama masuknya etnis Aceh ini adalah karena faktor keadaan alam Singkil pada masa lalu.
Sebaliknya dari etnis Batak kendalanya lebih kecil, dan didorong untuk mendapat kehidupan yang lebih baik karena keterbatasan tanah suku (adat) yang ada di daerah asalnya yang menyebabkan lebih mudahnya mereka datang ke wilayah Singkil.
Terjadinya perpindahan penduduk (migrasi) dari daerah wilayah Batak telah berlangsung sejak lama. Migrasi etnis Batak ini datang dengan cara berkelompok di suatu lokasi yang kemudian menjadi Huta atau Kota/Kampung. Tradisi etnis Batak, marga pertama yang membuka huta adalah yang menjadi penguasa daerah itu. Pendatang baru yang datang kemudian akan menempati daerah yang bertetangga dengan penduduk yang datang sebelumnya, sehingga tersusun suatu tatanan kemasyarakatan yang telah dihuni oleh masyarakat Batak di atas.
Daerah yang telah ditempati diatas diatur oleh raja setempat, seperti Raja Penyusunan Bulung merupakan raja yang menguasai pemerintahan Huta, Raja Torbin Balok yang berkuasa di daerah tetangga Raja Penyusunan Bulung. Kedua kerajaan saling mengakui kekuasaan masing-masing, sampai akhirnya kerajaan-kerajaan ini mengembangkan kekuasaan ke daerah lain dan membuat sistem pemerintahan yang lebih teratur di daerah masing-masing.
Pada tahun 1814, John Canning, seorang penyusup dan pegawai perusahaan Inggris berhasil memasuki Barus setelah sebelumnya perusahaan Inggris telah membuka kantor cabangnya di kota pelabuhan Natal. Canning diberi misi untuk memata-matai dan mengukur kekuatan pengusaha Aceh dan pengaruh Kesultanan Aceh di Barus. Menurut informasi orang-orang Eropa saat itu, pasukan Aceh telah ditempatkan secara temporer di Taruman, sebuah wilayah Barus perbatasan antara Kesultanan Barus dan Aceh. Wilayah Taruman itu mencakup Singkil sampai Meulaboh. Paska bercokolnya kembali Belanda, wilayah Taruman berhasil memproklamirkan diri menjadi Kesultanan Tarumon dengan sultan yang berasal dari Batak Singkil serta dengan pengakuan dari Aceh.
MARGA-MARGA BATAK SINGKIL
Secara psikologis penduduk etnis Batak (yang biasanya memakai marga di akhir namanya) dengan penduduk lainnya tidak memakai marga bergaul harmonis diantara sesama mereka. Karena marga itu sebuah nama, yang membedakan pemanggilan antara seseorang dengan lainnya. Banyak juga dari etnis Batak ini sudah tidak memakai marga, tetapi hanya menjadi pegangan dalam silsilah keturunan dan pergaulan sesama marganya.
Marga-Marga Asli Batak Singkil diantaranya :
- Kombih (Kumbi)
- Ramin
- Buluara
- Palis
- Melayu
- Goci,
- dll
Merga Batak Pakpak Boang :
- Sambo
- Penarik
- Seraan,
- dll
Disamping itu juga banyak marga Batak pendatang yang telah menjadi pengusung budaya Singkil, diantaranya :
- Sinambela
- Bakkara
- Manik
- Sigalingging
- Mukkur
- Sitorus
- Pasaribu
- Pardosi,
-dll.


Sumber:
http://et-ee.facebook.com/topic.php?uid=72582435999&topic=11060&post=44337

No comments:

Post a Comment