MENELUSURI LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK
Oleh: Edward Simanungkalit
Pantai Timur Sumatera bagian Utara lebih mudah diterima pikiran
sebagai pintu masuk kedatangan nenek-moyang Batak, karena berada bersebelahan dengan
Semenanjung Malaka di Benua Asia. Itulah sebabnya penelitian di pesisir Pantai
Timur Sumatera bagian Utara lebih banyak dan menarik untuk diikuti.
Penelitian yang dilakukan oleh H.M.E. Schurmann di dekat Binjai (1927), Van
Stein Callenfels di dekat Medan, Deli Serdang, Kupper di Langsa, Aceh Timur
(1930), Mc. Kinnon di DAS Wampu, Prof. Truman Simanjuntak dan Budisampurno di
Sukajadi, Langkat (1983), di Lhok Seumawe dan oleh Tim Balarmed di Aceh Tamiang
(2011) menemukan bahwa para pendukung budaya Hoabinhian sudah datang pada masa
Mesolitik di sekitar 10.000-6.000 tahun lalu (Wiradnyana, 2011:19-21).
Sedang di sebelah Barat dari Sumatera bagian Utara ditemukan juga
adanya kedatangan pendukung budaya Hoabinhian di Pulau Nias (Wiradnyana,
2011:25-29). Meskipun demikian, bahwa kehidupan yang lebih awal sudah ada yang
datang ke Pulau Nias dan Kuantan Singingi, Riau pada masa Paleolitik di sekitar
awal adanya manusia hingga 10.000 tahun lalu (Wiradnyana, 2011:9-17). Seperti
inilah gambaran keberadaan kehidupan manusia yang merupakan pendukung budaya
Hoabinhian yang berada di wilayah Sumatera bagian Utara pada masa hingga 6.000
tahun lalu.
Pembukaan hutan sebagaimana diperlihatkan oleh Bernard Kevin
Maloney di Pea Sim Sim yang berada di sebelah Barat dari Nagasaribu, Humbang
yang pentarikhannya diperkirakan sekitar 6.500 tahun lalu (bnd. Bellwood,
2000:339). Temuan ini tentulah tidak mengherankan, karena hasil penelitian di
pantai Timur Sumatera bagian Utara sudah memperlihatkan tentang kedatangan para
pendukung budaya Hoabinhian pada periode tersebut di berbagai tempat. Mereka
ini datang dari Vietnam bagian Utara melalui Semenanjung Malaka.
Pendukung budaya Hoabinhian ini merupakan bangsa setengah menetap
dan bertempat tinggal di gua, pemburu, dan bercocok-tanam sederhana. Mereka
menggunakan kapak genggam dari batu, kapak dari tulang dan tanduk, gerabah
berbentuk sederhana dari serpihan batu, batu giling, dan mayat yang dikubur
dengan kaki terlipat/jongkok dengan ditaburi zat warna merah, mata panah,
flakes. Makanannya berupa tumbuhan, buah-buahan, binatang buruan atau
kerang-kerangan.
Robert von Heine Geldern mengemukakan bahwa kelompok pendukung
budaya Dongson bermigrasi dari Selat Tonkin, Vietnam yang berkembang dengan
kebudayaan Dongson, melalui Semenanjung Malaka terus ke Sumatera bagian Utara
pada masa Neolitik sekitar 6.000-2.000 tahun lalu (Pasaribu, 2009:ii). Dari
sini terlihat masuknya pengaruh budaya Dongson ke dalam budaya Toba. Hal inipun
dikuatkan Ketut Wiradnyana dari Balar Medan mengatakan: “Sementara di Tanah
Batak didominasi oleh budaya Dongson (salah satu budaya berasal dari Veitnam
Utara) yang perkembangannya sekitar 2.500 tahun yang lalu. Budaya Dongson ini
ditandai dengan adanya logam dan pola hias yang ditemukan di rumah Batak Toba,
yang menggambarkan binatang atau manusia dengan hiasan bulu-bulu panjang.”
(Waspada: 11/01-2012).
Kebudayaan Dongson mulai berkembang di Vietnam. Kebudayaan ini
merupakan kebudayaan zaman perunggu, yang berkembang antara abad ke-5 hingga
abad ke-2 Sebelum Masehi. Masyarakat Dongson adalah masyarakat petani dan
peternak yang handal. Mereka terampil menanam padi, memelihara kerbau dan babi,
serta memancing. Mereka agaknya menetap di pematang-pematang pesisir,
terlindung dari bahaya banjir, dalam rumah-rumah panggung besar dengan atap
yang melengkung lebar dan menjulur menaungi emperannya. Selain bertani,
masyarakat Dongson juga dikenal sebagai masyarakat pelaut, bukan hanya nelayan
tetapi juga pelaut yang melayari seluruh Laut Cina dan sebagian laut-laut
selatan dengan perahu yang panjang.
Bermacam-macam benda seperti kapak dengan selongsong, ujung
tombak, pisau belati, mata bajak, topangan berkaki tiga dengan bentuk yang kaya
dan indah. Ada juga gerabah dan jambangan rumah tangga, mata timbangan dan
kepala pemintal benang, perhiasan-perhiasan termasuk gelang dari tulang dan
kerang, manik-manik dari kaca dan lain-lain. Hampir semuanya benda tersebut
diberi hiasan. Bentuk geometri merupakan ciri dasar dari kesenian ini di
antaranya berupa jalinan arsir-arsir, segitiga dan spiral yang tepinya dihiasi
garis-garis yang bersinggungan.
Ciri-ciri kebudayaan Dongson terlihat di dalam budaya Toba hingga
sekarang ini, tetapi bagaimana hubungan antara pendukung budaya Hoabinhian
sebagaimana ditemukan di Pea Sim Sim dengan pendukung budaya Dongson ini masih
memerlukan penjelasan melalui penelitian ilmiah. Mungkin saja telah terjadi
percampuran antara para pendukung budaya Hoabinhian dengan pendukung budaya
Dongson. Untuk itu masih diperlukan penelitian tentang kapan masuknya para
pendukung budaya Dongson ini ke Tanah Batak (Toba) hingga terjadi percampuran
tadi. Kalau percampuan antara pendukung budaya Hoabinhian dan Dongson itu yang
terjadi, maka mereka jugalah yang membangun masyarakat di Sianjur Mula-mula.
Masyarakat Toba ini kemudian membangun huta, horja, dan bius di Sianjur
Mula-mula. Masyarakat dengan sistim organisasi bius yang hidup dari pertanian
sawah di lembah-lembah sekitar Danau Toba dan juga di lembah-lembah Humbang dan
Silindung tentulah sangat menarik untuk diteliti lebih jauh. Di masa lalu
masyarakat Toba ini telah mampu menata hidup mereka dan mengorganisir
masyarakatnya ke dalam sistim huta, horja, dan bius dengan mata pencaharian
melalui bertani di sawah. Mereka hidup makmur, teratur dan damai di alam yang
indah seperti disaksikan oleh penginjil Burton dan Ward dari Inggris ketika
beberapa waktu melakukan misi-penginjilan di lembah Silindung. ***
Tulisan ini telah dimuat di:
Harian BATAK POS,
Edisi Sabtu, 28 Juli 2012
Kebudayaan Bacson-Hoabinh : Perkembangan, Pengaruh, Peradaban, Alat-alat, Penemuan, Ciri-ciri, Persebaran
ReplyDeleteArtikel dan Makalah tentang Kebudayaan Bacson-Hoabinh : Perkembangan, Pengaruh, Peradaban, Alat-alat, Penemuan, Ciri-ciri, Persebaran - Istilah Bacson-Hoabinh dipergunakan sejak tahun 1920. Istilah ini ditujukan bagi sebuah tempat penemuan alat-alat batu yang khas, yakni pada satu atau kedua permukaan batu terdapat bekas pangkasan. Tempat temuan kebudayaan Bacson-Hoabinh ini hampir ditemukan di wilayah Asia Tenggara hingga Myanmar. Kebudayaan ini berlangsung dari 18.000 hingga 3.000 tahun yang lalu. Proses berkebudayaan ini masih terus berlangsung di kemudian waktu di beberapa kawasan hingga masa yang lebih baru.
Peta pusat kebudayaan Bacson-Hoabinh, Dong Son, dan Sa Huynh di Vietnam.
Gambar 1. Peta pusat kebudayaan Bacson-Hoabinh, Dong Son, dan Sa Huynh di Vietnam.
Ciri khas alat batu hasil budaya Bacson-Hoabinh ini adalah penyerpihan pada satu atau kedua sisi permukaan batu kali yang dapat dikepal oleh tangan. Sering kali seluruh tepian batu tersebut tajam dan hasil penyerpihan inii menunjukkan bermacam-macam bentuk, misalnya lonjong, segi empat, segi tiga, dan lain-lain. Seorang ahli sejarah, C.F. Gorman, menyatakan bahwa alat-alat batu paling banyak ditemukan di pegunungan batu kapur di Vietnam utara, yaitu di daerah Bacson pegunungan Hoabinh.
Selain alat-alat dari batu, di Bacson ditemukan pula alat-alat serpih, batu giling dari berbagai ukuran, alat-alat dari tulang, dan sisa-sisa tulang belulang manusia purba yang dikuburkan dalam posisi terlipat dan ditaburi zat warna merah. Di Gua Xom Trai, masih di Vietnam Utara, ditemukan alat-alat batu yang telah diasah tajam pada sisi-sisinya. Alat ini diperkirakan berasal dari 18.000 tahun yang lalu. Dalam perkembangan selanjutnya, alat batu yang diasah ini tersebar hampir di seluruh Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, alat-alat batu kebudayaan Bacson-Hoabinh bisa dilihat di daerah Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi (Semenanjung Minahasa), Maluku Utara, Flores, hingga Papua. Di Sumatera, alat-alat batu Bacson-Hoabinh ada di Lhokseumawe dan Medan. Alat-alat batu ini ditemukan pada bukit-bukit sampah kerang yang berdiameter sampai 100 meter dengan kedalaman 10 meter. Lapisan kerang tersebut bersatu dengan tanah dan abu. Tempat penemuan bukit kerang tersebut ada pada daerah dengan ketinggian yang hampir sama dengan permukaan garis pantai. Kebanyakan tempat penemuan alat-alat batu ini di sepanjang pantai, telah terkubur di bawah endapan tanah sebagai akibat dari proses pengendapan yang berlangsung selama beberapa milenium. Alat-alat batu yang ditemukan di sini adalah yang telah diserpih pada satu sisi berbentuk lonjong atau bulat telur.
Sementara itu, di Jawa, alat-alat batu kebudayaan Bacson-Hoabinh banyak ditemukan di Lembah Sungai Bengawan Solo. Alat-alat batu di lembah ini diperkirakan berusia lebih tua dari yang ada di Sumatera. Perkakas batu yang ada di Bengawan Solo ini belum diserpih atau diasah; batu kali yang dibelah langsung digenggam tanpa diserpih dulu. Menurut Koenigswalg, peralatan batu itu digunakan oleh manusia purba Jawa, yaitu Pithecanthropus erectus.
Di daerah Cabbenge, Sulawesi Selatan, berhasil ditemukan perkakas-perkakas batu dari masa Pleistosen dan Holosen. Penelitian juga dilakukan di pedalaman Maros. Dari beberapa penggalian berhasil ditemukan alat serpih berpunggung dan mkrolit yang disebut Toalian. Perkakas batu Toalian ditafsirkan berasal dari 7.000 tahun yang lalu. Perkembangan batu dari daerah Maros diperkirakan hampir berbarengan dengan munculnya tradisi membuat tembikar di daerah tersebut.
Anda sekarang sudah mengetahui Bacson-Hoabinh. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber .
Referensi :
Hendrayana. 2009. Sejarah 1 : Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah Jilid 1 Kelas X. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 202.