Asal Usul Masyarakat Gayo
Oleh : Maya Agusyani, S.Pd*
Secara administrative, suku bangsa Gayo adalah orang-orang yang mendiami kabupaten yang disebut Aceh Tengah dan Bener Meriah. Penduduk daerah Gayo pada masa sekarang ini terdiri dari suku bangsa Gayo sendiri, yang juga berasal dari suku bangsa lain seperti Aceh, Jawa, Minangkabau bahkan orang-orang Cina, baik WNI maupun WNA yang menetap di Takengon.
Tetapi pada masa lampau penduduk daerah Gayo dibagi menjadi dua bagian, yaitu penduduk daerah Gayo yang bertempat tinggal di Kebayakan dan penduduk Gayo yang bertempat tinggal di Bebesan.
Kampung Kebayakan terletak di sebelah barat laut danau Laut Tawar. Sedangkan Kampung Bebesan terdapat di sebelah barat Kebayakan. Kedua kampung tersebut dihubungkan oleh jalan kurang lebih 1 Km.
Asal Usul
Dalam sejarah, penduduk yang mendiami kampun Kebayakan dan Bebesan merupakan kampung “inti” di Gayo Laut, mempunyai satu anggapan bahwa asal usul mereka berbeda. Penduduk kampung Kebayakan mengatakan mereka adalah penduduk asli di daerah Gayo ini.
Sedangkan yang satu pihak lagi, yakni penduduk kampung Bebesan, memang menyadari bahwa mereka berasal dari Batak (Tapanuli), lebih popular disebut dengan Batak 27 (disebut dengan Batak 27 karena dalam sejarah kedatangan mereka ke Gayo pada jaman lampau, orang-orang Batak ini berjumlah 27 orang).
Belum jelas pada abad berapa peristiwa kedatangan Batak Karo 27 tersebut ke Tanah Gayo. Namun, pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar, pada abad ke 16 M pernah tujuh pemuda dari tanah Karo bertamasya ke Tanah Gayo. Kedatangan mereka guna menyaksikan kebenaran keindahan laut tawar (H. AR. Latief, 1995 : 81).
Sementara menurut Dr. C. Snouck Hougronje, kedatangan Batak Karo 27 adalah pada masa kejuruan (raja) bukit telah memeluk Islam. Kejuruan Bukit adalah suatu bagian dari raja-raja yang terdapat di tanah Gayo yang memiliki hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan (kejuruan) lain.
Kedatangan orang-orang dari Tapanuli yang dikenal dengan istilah “Batak 27” ini melahirkan nama-nama Belah atau Clan di Gayo dengan nama yang hamper sama dengan marga yang ada di Tanah Karo sendiri. Seperti Clan Munthe, Cibero, Melala, Lingga, Tebe yang di Karo disebut Munthe, Sibero, Meliala dan sebagainya.
Batak 27 pada masa itu mendapat sebagian wilayah kekuasaan Raja Bukit sebagai diyat untuk mengganti kerugian akibat matinya suku Batak Karo yang terbunuh dalam peperangan.
Ganti rugi tersebut diwujudkan dengan membelah danau Laut Tawar menjadi dua sampai Kala Bintang sebelah utara termasuk daratan, mulai dari kampung Kebayakan, Rebe Gedung, Simpang Tiga, Delung Tue win Ilang hingga Ramung Kengkang perbatasan Aceh Timur (sekarang Kabupaten Bener Meriah, red) dan arah selatan sampai perbatasan Lingga.
Setelah batas wilayah ditentukan oleh kedua belah pihak yang berdamai, Raja Bukit ke II Panglima Perang Dagang mengajukan sebuuah tuntutan kampung bukit berikut bangunannya yang telah diduduki oleh Batak 27.
Raja Leube Keder berkata dengan tegas bebaskan, dalam bahasa Karo artinya dibebaskan dari tuntutan, lambat laun kata bebaskan berubah menjadi kata Bebesan sampai sekarang ini (AR. Latief, 1995). Raja Bukit Panglima Perang Dagang, kemudian bersumpah tidak berkeberatan kampung Bebesan berikut bangunannya dijadikan hak milik Batak 27.
Beberapa hari kemudian penduduk bukit sendiri membangun pemukiman baru yang terletak dipinggir Danau Laut Tawar yang sekarang disebut dengan daerah Kebayakan. Mula-mula kampung ini disebut dengan Kebanyakan karena penduduknya yang terbanyak, kemudian setelah penjajah Belanda datang dan tidak dapat menyebutkan nama kampung tersebut dengan tepat, berubah menjadi Kebayakan.
Marcopolo yang pernah singgah di Peureulak, Aceh Timur sekembali dari Cina menuju Italia tahun 1292 mengatakan bahwa penduduk Aceh telah memeluk agama Islam. Penduduk yang tidak mau memeluk agama Islam menyingkir ke pedalaman dan menjumpai kerajaan kecil di pedalaman tersebut.
Penduduk asli pedalaman ini menyebut daerahnya sebagai “Lainggow” dan menyebut rajanya dengan Ghayo-Ghayo atau raja gunung yang suci. Di daerah Lianggow tersebut telah berdiri kerajaan kecil, yaitu “Kerajaan Linggow” dan kerajaan besar yaitu kerajaan ‘Lingga’ dan sudah memiliki hubungan dengan kerajaan Peureulak di Aceh Timur dengan mengirim bingkisan (MH Gayo, 1983).
Adalah masuk akal jika catatan Marcopolo tersebut dipegang kebenarannya, maka dalam perkembangan sejarah selanjutnya penduduk pedalaman ini disebut dengan Suku Gayo.
Sementara itu ada pula orang yang beranggapan bahwa orang Gayo adalah berasal dari orang-orang yang lari dari daerah Peureulak, Aceh Timur ke daerah pedalaman karena tidak mau masuk Islam. Dan kata-kata Gayo sama artinya dengan kata-kata dalam bahasa Aceh, yaitu “Ka-yo” yang artinya “sudah takut.
Meskipun tidak ada penjelasan ilmiah mengenai hal ini, namun demikian jika dilihat dari letak daerah Gayo dalam peta Aceh, tidaklah mustahil jika orang-orang Gayo di zaman dahulu kala berasal dari penduduk daerah Peureulak, Aceh Timur atau daerah Pasee, Aceh Utara melalui sungai-sungai yang hulunya berada di daerah Gayo di pedalaman.
Kemungkinan itu lebih besar lagi mengingat kedua daerah Peureulak dan Pasee berada di pinggir pantai Aceh yang menghadap ke Selat Melaka, yaitu daerah hubungan lalu lintas antar bangsa-bangsa yang ramai dalam sejarah di kawasan Asia Tenggara.
Komunitas Gayo
Hingga saat ini penduduk Gayo ini dibagi menurut daerah kediamannya. Suku Gayo disebut sebagai orang Gayo Laut atau Gayo Lut bagi mereka dan berdiam di sekitar Gayo Lues dan orang Gayo serba jadi bagi mereka yang berdiam diri di sekitar serba jadi sembung-lukup (sekarang Kabupaten Gayo Lues-red).
Selain itu masih ada orang-orang Gayo yang terdapat dalam kelompok-kelompok kecil yang terpisah-pisah yang berdiam di sekitar Aceh Timur dan sekitar perbatasan Aceh Timur-Sumatera Utara, seperti orang Gayo Kalul, orang Gayo Johar dan lain-lain. Sedangkan suku Alas berdiam di berbagai daerah tanah Alas yang berbatasan langsung dengan Gayo Lues, Asel, daerah Karo dan Sumatera Utara.
Islam Di Gayo
Memperhatikan keaneka ragaman penduduk Gayo yang tinggal di tanah Gayo, Aceh Tengah itu menunjukkan bahwa daerah gayo itu tidak menutup pintu bagi orang-orang yang hendak tinggal di sana. Kemungkinan besar bagi pendatang itu mendapat tempat yang layak dikalangan masyarakat, maka suatu dugaan keras bahwa masuknya Islam ke daerah Gayo di bawa oleh pendatang-pendatang.
Baik pendatang itu sebagai pedagang maupun sebagai mubaligh. Salah satu bukti yang dapat dilihat adalah adanya sebuah kuburan Ya’kub, saudara Misan dari Al-Malik Al-Kamil yang terdapat di desa Lingga. Ya’kub meninggal pada hari Jum’at, 15 Muharram 630 H (1232 M). Namun, untuk hal ini diperlukan lagi penelitian yang lebih mendalam.
Menurut Belanda, daerah Gayo adalah suatu daerah yang menentukan hidup matinya kekuasaan Belanda di Aceh. Sebab ketika Batee Iliek jatuh ke tangan Belanda, Sultan mundur ke Tanah Gayo yang bertepatan dengan disusunnya gerakan mempertahankan kemerdekaan yang dipimpin oleh Teungku Tapa sejak tahun 1898.
Rakyat Gayo yang menyadari Agresi Belanda sangat berbahaya, maka dengan serempak rakyat Gayo menaikkan bendera putih yang disebut “Pepanyi ni Umah”, panji tersebut dilukis dengan kalimah Allah, Rasul dan keempat sahabat. Panji-panji tersebut dinaikkan oleh rakyat di tiap-tiap rumahnya sebagai pertanda datangnya syaitan yang bermaksud menjahanamkan ummat Islam (Mohd. Said 1981: 632) sehingga rakyat Gayo dengan serta merta mengadakan perlawanan terhadap Belanda.
Batak 27 di Laut Tawar
Batak 27 yang datang ke Gayo mempunyai seorang pemimpin Batak Karo muslim dan seorang ulama yang arif dan bijaksana. Pemimpinnya tersebut bernama Leubee Kader yang merupakan cucu dari Adi Genali, anak dari Johansyah atau Sibayak Lingga (AR. Latief 1995 : 68) yang kemudian berhasil menjadi raja Bebesan yang pertama setelah menuntut diyat dari raja bukit. Setelah menguasai daerah dan masyarakat sekitarnya pun ikut memeluk agama Islam. Bahkan anggota Batak Karo itu ikut meleburkan diri dalam masyarakat Gayo melalui perkawinan.
Leubee Kader sendiri menikahi seorang putri raja Bukit yang bernama Sri Bulan Si Merah Mata. Proses peleburan diri itu telah berlangsung demikian rupa hingga lambat laun menjadi satu dengan penduduk, baik agamanya, bahasa maupun adat istiadatnya. []
*Penulis adalah Alumni Mahasiswa Pendidikan Sejarah Unsyiah
Sumber:
http://alhafizniselianymailcom.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment