Menyusuri Ulos Batak, Berkelana dengan Sandra (IV)
by Mja Nashir on Friday, 8 October 2010 at 20:37 ·
PERISTIWA-PERISTIWA SIHOTANG - (Sebuah tulisan perjalanan - Bagian Keempat)
Langit masih terang. Matahari sesekali ngumpet di balik gumpalan-gumpalan awan kelam. Namun sinarnya menerobos bagai garis-garis yang tegas. Sore ini Sandra Niessen memutuskan untuk melanjutkan satu tujuan lagi dengan menyerahkan bukunya “Legacy in Cloth – Batak Textiles of Indonesia” (KITLV Press Leiden, 2009) pada warga di Sihotang. Tujuan ke Sihotang kami sepakati bersama sebelum kami berbalik arah ke Pangururan. Mengingat tidak mungkin kami balik arah ke pangururan dulu terus besoknya kemari lagi sebab besok kami akan menuju lingkar danau Toba yang lainnya. Sedangkan hari-hari selanjutnya masih banyak tujuan ke huta-huta lain yang jarak tempuhnya jauh-jauh dalam Proyek Pulang Kampung ini. Semuanya sudah tercatat rapi di buku kerja Sandra.
Secara waktu sisa sore ini sebenarnya lumayan mepet. Untuk hanya keluar dari Harianboho amatlah mudah karena jalan landai. Namun berikutnya yang kami hadapi adalah jalan-jalan yang kondisi dan posisinya mengerikan. Keluar dari Harianboho status jalan sudah tak jelas lagi; apakah jalan aspal atau jalan tanah atau jalan batu tak kelihatan bedanya. Sejak ujung aspal di Harianboho itu gerak kami terus mendaki. Merayap di punggung-punggung perbukitan. Sampai di tempat yang lebih tinggi lagi dengan jalan melingkar dan relatif datar. Di sisi kiri, tepatnya di bawah kami danau toba luas terhampar.
Di sebelah kanan kondisi dinding-dinding perbukitan rentan longsor. Pada permukaan perbukitan yang semestinya indah di mata itu tampak beberapa sobekan-sobekan tanda kering, gersang dan longsor. Kulihat reruntuhan tanah dan batu yang lonsor itu berserakan sampai ke bibir-bibir jurang tepi danau. Pak Jerry, supir kami yang handal mengemudikan mobil dengan super-ekstra hati-hati. Apalagi ketika memasuki jalan bebatuan menanjak di depan kami dengan ujung tikungan tajam. Inilah pintu masuk perkampungan, sebuah huta bernama Simarmata. Sandra masih mengingat baik nama ini yang masih merupakan bagian dari wilayah Sihotang.
Lantaran Pak Jery tampak kesusahan menghadapi medan terjal, aku dan Sandra memutuskan turun dari mobil. Pak Jery terus berusaha merayapkan mobil ke atas. Aku dan Sandra jalan kaki mendaki. Di tikungan jalan tampak beberapa warga (bapak-bapak) sedang berdiri. Sandra menghampiri dan memberi salam pada mereka.
Sandra masuk ke dalam mobil mengambil sebuah foto yang telah dilaminasi dan telah disiapkan di samping tempat duduknya. Orang-orang itu mengikutinya sambil melongok ke dalam lewat jendela. Pada mereka Sandra tunjukkan foto seorang wanita dengan kebaya dan ulos panjang. Ompu Borsak namanya. Seorang ibu dengan sinar mata yang sejuk menyinarkan pribadinya yang halus. Di foto tersebut ia berpose rapi bersama anak perempuannya di depan sebuah sopo Batak (lumbung padi) yang masih asli dengan ukiran gorga yang eksotik. Menghadapi foto lama ini orang-orang Simarmata tampak berkeras mengingat-ingat. Sejak terakhir berjumpa dengan Ompu Borsak, 30 tahun lalu, Sandra tak pernah jumpa lagi dan tak tahu kabarnya. Apakah beliau masih hidup atau tidak, Sandra tidak tahu. Meskipun foto tersebut adalah gambaran 30 tahun lalu namun orang-orang Simarmata ini masih mengenali wajah di dalam foto dan sopo itu. Barangkali karena Ompu Borsak adalah anak ni raja di Sihotang, jadi orang-orang Simarmata pun mengenalinya. Mereka menyarankan agar kami terus melanjutkan perjalanan karena tempat Ompu Borsak masih jauh.
Sebelum kami pergi salah seorang dari mereka memberitahu kami bahwa ada sebuah situs rumah Batak yang tak jauh dari tempat kami berdiri. Telunjuknya mengarah pada pokok-pokok rerimbun bambu. Nun di seberang pada rerimbun bambu menghijau tinggi kurasakan suasana hening dan sunyi. Menurut lelaki itu disitulah terdapat rumah tradisi yang di halamannya ada peti kubur batu. Ternyata di masa risetnya yang lampau, Sandra pernah ke situ. Situs Simarmata adalah salah satu tempat yang Sandra sukai. Hatiku tergerak keinginan untuk ke situ. Aku yakin juga Sandra. Namun keinginan itu kami simpan saja di dalam hati. Mengingat tujuan bertemu Ompu Borsak atau keluarganya belum terlunasi. Kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan. Bertaruh lagi dengan waktu dan kondisi jalan yang berat.
Di dalam mobil foto Ompu Borsak masih erat di samping tempat duduk Sandra. “Dulu ibu itu banyak bercerita tentang kehalusan seorang raja di zaman dulu. Selain itu beliau banyak tunjukkan kepada saya bagaimana ibu-ibu di zaman dulu bertata busana, mengatur rambutnya, memakai perhiasan telinga, cara berbicara, cara menghormati raja dan segala macam itu,” ujar Sandra mengenang pelajaran dari Ompu Borsak tentang tata krama dalam keluarga raja. “Saya senang sekali daerah Sihotang ini. Orang-orangnya baik dan halus. Makanya saya merasa sedih sekali jika melihat kembali arsip-arsip dan foto-foto kuno di Belanda yang menggambarkan bagaimana daerah ini dibakar habis oleh Belanda di zaman penjajahan dulu. Banyak orang mati. Banyak peninggalan serta pusaka terbakar. Semua huta di daerah Sihotang ini dibakar waktu Van Daalen datang untuk pasifikasi karena Belanda takut orang-orang Batak mau melawan kekuatan penjajahan. Dulu di daerah ini banyak sekali sopo, bangunan tradisi yang berfungsi sebagai lumbung padi. Sopo-sopo itu ikut terbakar. Kecuali sopo keluarga Ompu Borsak yang masih berdiri. Itulah sopo yang terhebat di Sihotang.“
Banyak tentang sejarah di Sihotang ini yang dibuka kembali oleh Sandra selama menekuni arsip-arsip lama di Belanda. Zaman dulunya Sihotang termasuk daerah yang memiliki ke-khas-an dalam per- ulos-an tradisional Batak. Sandra menyebutnya sebagai “tradisi biru” yaitu tradisi ulos yang pewarnaanya secara alam; memanfaatkan selaon untuk warna biru (indigo). Menurutnya, pada zaman dulu ulos-ulos jenis Sibolang, Bolean dan Surisuri banyak ditenun oleh para partonun di sini. Namun dunia pertenunan tradisional itu sudah lama sekali hilang. Bahkan ketika 30 tahun lalu Sandra kemari sudah tak ada seorang pun yang menenun lagi. Padahal menurut Sandra daerah Sihotang adalah salah satu tempat menarik di Tano Batak.
“Pada zaman dulu daerah Sihotang ini merupakan satu tempat yang luar biasa, Mas. Selalu ada sebuah pesta ritual tradisi. Dan pesta ritual ini adalah yang paling besar di regionnya. Pesta Mengasih Tahun. Pesta Horba. Pesta yang mempertautkan penciptaan Tano Batak lewat mitologi turunnya Si Boru Deak Parujar. Pesta ini di zaman dulu berlangsung setiap tahun. Selalu ada jembatan antara tahun yang lama, yang habis, yang sudah dengan tahun yang baru penuh harapan. Itulah makna pesta Mengasih Tahun, membersihkan tahun yang telah berlalu dengan pengharapan pada tahun yang baru. Di zaman kolonial pesta ritual di Sihotang ini pernah didokumentasikan. Seorang Korn Belanda membuat catatan, tulisan, serta foto-foto tentang pesta ini dan pernah dikeluarkan di majalah antropologi di Belanda,” ujar Sandra padaku dengan semangat.
Tak terasa mobil kami kini berada di jalanan yang agak landai dengan tepi hamparan sawah luas di sisi kanan kami. Di pinggir ladang itu berdiri sebuah atap tenda plastik darurat. Di bawahnya seorang petani sedang memanen padi, di bantu tiga orang anaknya. Pak Tani dan dua anaknya yang kecil mengumpulkan padi menjadi tumpukan-tumpukan. Sedangkan anak laki-lakinya paling besar menggiling padi-padi itu dengan mesin giling sederhana. Seketika Sandra minta Pak Jerry menghentikan laju mobil. Rupanya dari jendela Sandra juga memperhatikan pak tani dan anak-anaknya yang sedang bekerja di sawah. Ku tak tahu persis apa yang menyebabkan Sandra minta berhenti. Dengan ‘peristiwa’ ini aku merasa bahwa Sandra adalah seorang wanita yang punya kepekaan bathin yang tinggi. Meskipun kepekaan macam ini seringkali dianggap berlawanan dengan patokan-patokan rasionalitas. Padahal kepekaan semacam ini menurutku termasuk pengetahuan namun dalam ilmu pengetahuan modern dikesampingkan. Ilmu pengetahuan modern dengan ‘pisau bedah’ bernama rasionalitas membuang jauh hal macam itu. Bagaimanapun Sandra adalah seorang ilmuwan yang tentunya selalu dituntut untuk berpatokan pada rasionalitas. Namun dengan kenyataan ini aku kagum bahwa ia masih punya kedaulatan penuh atas gerak bathin manusia. Gerak bathin dalam dirinya.
Melihat mobil kami berhenti, Pak Tani menghampiri kami. Diikuti oleh anak-anaknya. Sandra menunjukkan foto Ompu Borsak ke Pak Tani. Lelaki dengan debu-debu tanah di tangan itu menunjuk ke arah depan, miring ke atas. Tanda bahwa rumah Ompu Borsak masih jauh. Tentang masih jauhnya jarak tempuh ke rumah Ompu Borsak ini sebenarnya Sandra sudah tahu. Namun ada sesuatu yang lain yang menggerakkan hati Sandra untuk mendekati petani ini. Dan ternyata petani ini masih ada hubungan keluarga dengan Ompu Borsak. Katanya Ompu Borsak masih hidup meskipun usianya sudah tua sekali. Kabar tentang masih hidupnya Ompu Borsak membuat hati Sandra lega. Petani memberitahu kami bahwa anak-anak Ompu Borsak tinggal di Pangururan.
Sejurus kemudian muncul mobil kijang putih dari arah depan. Kijang itu bergerak cepat seperti memburu waktu. Melihat kami akhirnya berhenti setelah pak tani menghentikannya. Seorang pemuda turun dari mobil bertanda Dinas Kesehatan itu dan bergabung dengan kami. Pemuda ini ternyata juga tahu tentang Ompu Borsak dan tentang anak-anaknya. Dia sanggup mengantar kami besok ke rumah anaknya untuk menyerahkan buku di Pangururan. Menurutnya, jika sekarang ke rumah Ompu Borsak maka secara waktu sudah tidak memungkinkan. Apalagi sebentar lagi akan gelap. Tidak mungkin ke Ompu Borsak lalu sesudahnya terus langsung pulang menuju ke Pangururan. Segera Sandra lari ke mobil dan membuka bagasi mengeluarkan bukunya. Sejak awal tadi berhenti rupanya Sandra memang ingin memberikan buku pada Pak Tani. Kami semua menuju ke tenda di sawah tempat pak tani dan anak-anaknya memanen padi. Sandra menjelaskan tentang siapa dirinya, tentang hasil riset dan bukunya.
“30 tahun yang lalu saya berada di sini. Saya adalah seorang antropolog…,” ujar Sandra kepada pak Tani.
“Apa itu antroplog?” tanya Pak Tani. Kedua matanya yang berkilat memandangi wajah anaknya yang paling besar yang berdiri di seberangnya.
“Ahli budaya,” jawab si anak laki-laki pada bapaknya.
Ada senyum puas pada petani ini melihat anaknya ternyata cerdas. Aku terkesima menyaksikan adegan ini yang boleh jadi dibilang sederhana namun bermakna. Kurasakan jawaban singkat, padat dan jelas tadi seketika itu pula membuat ayahnya merasa bangga. Tidak sia-sia rasanya dia telah bekerja keras untuk menyekolahkan anaknya.
Kulihat Sandra pun senang atas peristiwa sederhana ini. Ia pun tersenyum. Kemudian Sandra melanjutkan kembali menjelasan tentang bukunya. Pemuda Dinas Kesehatan yang telah bersama kami secara spontan membantu menerangkan pada pak Tani tentang betapa pentingnya buku Sandra bagi kebudayaan Batak, khususnya untuk kawasan Sihotang ini. Tampak Pak Tani mendengarkan semua urain itu dengan perasaan suka cita. Begitu pula anak-anaknya. Muncul ibu-ibu warga huta bergabung bersama kami. Semua menyimak dengan baik kata-kata Sandra sambil melihat foto-foto yang dibawa Sandra.
Sandra memberitahu pada Pak tani bahwa ia ingin meninggalkan bukunya - satu - untuk huta ini agar bisa dinikmati para warga. Dan ia mempercayakan penuh untuk menyerahkan padanya, pada petani ini. Dengan polos dan sangat jujur - dari ekspresi yang bisa kutangkap dari wajah - ia menolaknya karena ia merasa tidak berhak atas buku Sandra. Dia merasa bahwa yang berhak atas buku ini adalah Ompu Borsak atau anak-anaknya. Namun Sandra menjelaskan kembali bahwa ia memang ingin menyerahkan buku ini padanya secara tulus atas nama bantuan dari Jan Hofstede, suami Sandra yang dalam hidupnya sangat dekat dengan dunia pertanian. Sedangkan yang untuk Ompu Borsak besok akan Sandra serahkan pada anaknya di Pangururan. Akhirnya Pak Tani bersedia menerimanya dengan perasaan lega, senang dan bangga mendapat kepercayaan Sandra. Anak-anaknya serta segenap warga yang berkumpul di sini juga merasa senang atas pemberian ini. Pak tani menyalami Sandra. Berterima kasih serta menyampaikan bahwa ia akan memegang amanah dengan baik.
Kurasakan ada perasaan lega pula yang menyusup di hati Sandra. Meskipun kami tak bisa sampai ke rumah Ompu Borsak. Kami semua harus kembali ke Pangururan. Kami menyalami dan mengucapkan terimakasih pada semua warga. Juga kepada pemuda Dinas kesehatan atas kesediaanya besok mengantar kami. Cuaca agak mendung. Pemuda yang ternyata bernama Arthur Sihotang itu bergegas masuk ke dalam mobil kijang dan menyeru padaku, “Kita harus segera jalan. Sebentar lagi pasti hujan. Jika hujan maka kita tak kan sampai di Pangururan karena bukit itu…”, ujar dia sambil menunjuk ke suatu arah, “..selalu longsor jika hujan”.
Kami pun segera masuk mobil setelah Pak Jery memutar haluan. Mobil kami bergerak melintasi jalan-jalan yang semula kami lewati. Di depan kami tampak Arthur dengan kijang putih meluncur kencang. Lalu menghilang dari jarak pandang kami. Untungnya sebelum berpisah tadi telah kucatat nomor hand phonenya sehingga akan mudah besok kami jumpai dia kembali.
Masuk huta Simarmata aku dan Sandra tertarik berhenti. Meskipun kulihat Pak Jery tampaknya agak masam mengingat perjalanan pulang ke Pangururan masih jauh dan berbahaya. Apalagi cuaca memang mendung dan rasanya memang akan terjadi hujan di tengah jalan. Tapi kami berdua - aku dan Sandra - tak merisaukan semua itu. Kami serahkan sepenuhnya pada alam. Kami keluar dari mobil lalu berlari ke arah nun di bawah, ke rerimbunan bambu. Tak terasa kakiku melewati batu-batu cadas bekas sungai mengering, setelah memintas sawah-sawah terasering. Rerimbunan bambu itu kini persis di depan kami. Ada dinding tebal memanjang dan melingkar berupa batu-batu tersusun sedemikian rupa di bawah pohon-pohon bambu. Kurasakan batu-batu ini seperti berfungsi sebagai sebuah benteng yang kokoh. Kami mengelingi dinding batu mencari pintu. Lobang gerbang menganganga. Kami masuk. Aku ternganga. Di dalam pagar dinding batu ini berdiri rumah-rumah tua. Di tengah halaman ada semacam sarkofagus yang besar dari batu tempat kubur orang mati. Kubur leluhur orang-orang di rumah-rumah ini. Sarkofagus itu berhias pahatan berartistik tinggi. Ada semacam patung kepala manusia di ujung atas, di bagian tutupnya. Di bagian bawah juga ada lagi relief manusia yang dipahat pada diding batu sarkofagus itu. Kubidikkan kameraku. Rasanya seperti memotret patung seekor singa yang terbaring pada bangunan Sphinx. Namun tiba-tiba ada seorang lelaki yang duduk di dekat bangunan batu itu sambil menikmati hisapan rokoknya dalam-dalam. Aku merasa agak segan untuk memintanya sebentar saja berjauh dari situ. Secara fotografi adanya orang itu kurasa agak ‘mengganggu’. Toh akhirnya kubiarkan saja. Meskipun sebenarnya kutahu orang itu memang sengaja berpose, bermaksud untuk difoto. Aku sadar sepenuhnya aku hanya seorang tamu, seorang pengunjung, maka bagaimanapun aku harus menghormatinya. Maka aku foto juga dia. Lelaki itu adalah salah seorang yang kami temui sewaktu kami masuk ke huta ini sebelum menuju persawahan Sihotang tadi. Dialah lelaki yang telah menunjukkan arah situs ini dengan jari. Kurasa situs ini merupakan bagian dari sejarah nenek moyangnya. Terasa ada kebanggaan mendalam pada dirinya akan situs ini. Dan aku menghormati hal itu seperti aku menghormati situs Simarmata yang luar biasa ini. Usai memotret kami segera permisi dan mengucap terimakasih.
Kami tak ingin membuat Pak Jery terlalu lama menunggu. Segera kami menuju ke arah mobil. Di tengah jalan beberapa orang laki-laki bergantian mencegat Sandra dan meminta uang. Sekilas pandang aku lihat Sandra, kepada seorang yang paling tua renta ia memberi. Selama perjalanan dengan Sandra, aku sering merasa kasihan pada Sandra. Menyayangkan sikap orang-orang semacam ini yang telah menancapkan di kepala suatu anggapan bahwa ‘si bontar mata’ (orang bule) pasti selalu banyak uang yang bisa diberikan untuk mereka. Bahkan meskipun orang-orang itu tahu apa yang telah Sandra perbuat untuk daerahnya, untuk kebudayaan mereka. Rasanya jika mau fair apa yang Sandra lakukan sejak dulu untuk tanah dan kebudayaan mereka lebih tinggi nilainya dan tak bisa diukur dengan besarnya nilai uang seberapun nominalnya. Kejadian-kejadian semacam ini masih terus sering terjadi di sepanjang perjalanan kami. Dan terus meretas ke dalam perasaan hatiku. Oh..betapa uang seperti telah menjadi sebuah tata nilai yang begitu tinggi dalam kehidupan ini yang lama kelamaan bisa meruntuhkan nilai-nilai luhur lainnya dalam kebudayaan suatu masyarakat. Seolah-olah nilai-nilai luhur yang telah tertanam sejak nenek moyang bisa pudar di peradaban modern yang kini. Rasanya kepada langit aku ingin berteriak selantang-lantangnya menyaksikan kenyataan semacam ini. Dan perasaan ini membuatku semakin kencang berlari di atas batu-batu cadas yang bertebaran di sungai yang mengering. Ke arah mobil aku berlari. Disusul Sandra. Dengan mobil segera kembali kami melaju.
Di dalam mobil pak Jery berusaha menghibur kami dengan canda dan cerita-cerita lucu. Sambil sesekali memutar kaset di mobil yang penuh dengan koleksi tembang-tembang lawas. Namun setiap dia mau putar lagu pasti dia izin pada kami. Kuatir kami tak suka. Sikap Pak Jery ini membuatku tersenyum lagi.
Selama perjalanan pulang ke Pangururan hatiku masih tertawan pada pertemuan dengan petani Sihotang tadi juga ‘peristiwa’ di Simarmata. Bathinku mencoba mengurai semua itu apa maknanya. Sosok petani itu meski hidup dalam keserbasederhanaan namun bagiku dia seorang yang luar biasa. Aku yakin bagi Sandra penilaian atas petani itu juga sama denganku. Kemampuan naluriah dan bathiniah yang mampu menangkap secara cepat dan tepat petani itu menurutku itulah kemampuan Sandra yang luar biasa. “Mas, dari perjalananku disini - saya berasal dari tanah dan petani. Bapak saya petani. Suami saya juga petani. Jadi saya selalu punya tangan di tanah dalam seluruh hidupku. Saya cinta daerah ini. Orang-orang di sini seperti sudah menjadi bagian dari saya,” ujarnya padaku. Aku jadi teringat Sandra pernah bercerita tentang ayahnya yang petani. Saya merasakan ada suatu gerak alam dalam diri Sandra yang telah menggerakkan kedatangan Sandra ke Indonesia. Ayah Sandra pernah punya keinginan untuk bisa datang ke Indonesia yaitu untuk belajar pertanian. Waktu itu menurut sang ayah pertanian di Indonesia terkenal baik. Namun sampai ujung hayatnya, obsesi sang ayah tak bisa terwujudkan. Secara tak langsung Sandra lah yang menyambungnya dan mewujudkan keinginan ayah meskipun kenyataannya pada ranah yang lain. Ranah budaya tradisi. Dan ranah budaya tradisi selalu berkaitan erat dengan tanah. Dengan alam.
Begitu kuatnya hubungan tanah itu pada diri manusia. Hubungan alam. Menurutku karena hal itu pulalah yang telah menggerakkan mata bathin Sandra menjadi tajam untuk menangkap sosok petani Sihotang tadi. “Matanya, mas. Mata si petani itu luar biasa. Hatinya baik. Saya suka bapak itu,”ujarnya padaku.
Baik Sandra maupun aku sama-sama melihat bahwa petani itu masih memiliki keotentikan pada dunia bathinnya. Dengan keuletan dan kepasrahan jiwa mendalam pada alam ia mengolah alam dengan tangan-tangannya. Mengajarkan pada anak-anaknya tentang arti daya hidup seorang manusia. Saat tadi bersama mereka aku menyaksikan energi yang luar biasa yang bergerak di antara mereka. Pada wajah mereka tak ada secuil pun keluh. Justru rasa syukur yang tumbuh. Mereka lakoni semua itu dengan suka cita. Melihat bagaimana mereka melakoni hidup aku jadi semakin yakin bahwa tak kan pernah ada kegagahan tanpa kegigihan. Seperti rasa syukur yang kulihat hari ini mereka memanen sawahnya dengan perasaan suka cita. Dan betapa kuhargai teramat sangat kejujuran petani itu karena dia telah membiasakan diri untuk tidak mudah tergoda pada sesuatu yang bukan hak miliknya.
“Saya merasa cocok dengan filosofi hidupnya. Saya yakin dia orang yang bisa dipercaya,” ujar Sandra menegaskan kembali penghayatan yang bergerak dalam jiwaku tentang petani itu. Keorisinalan dunia bathin petani itu kurasakan masih dijaga baik oleh alam karena hubungan yang baik pula dengan alam. Berbeda rasanya dengan beberapa orang yang kutemui setelah keluar dari situs sejarah di Simarmata itu yang memelas-memelaskan diri dan meminta uang pada Sandra. Ah, ada apa yang sedang terjadi dalam kehidupan di sini? Padahal alam di sini rasanya masih kuat sekali. Pada sepanjang jalan pulang aku masih terus merenungkan semua itu.
Rintik-rintik hujan membasahi jalanan di saat mobil kami keluar dari hutan. Untunglah hujan muncul di saat yang tepat setelah kami lepas dari jalan-jalan yang mengerikan. Di remang malam kami memasuki Pangururan. Perjalanan panjang membuat kami semua kelaparan. Mobil kami bergerak mencari restoran.
Jalanan aspal basah oleh hujan, berkilat-kilat oleh cahaya-cahaya lampu, fikiranku masih terus melaju. Kurenungkan kembali betapa halusnya ulos Batak. Kuyakini tentu lahir dari kebudayaan yang halus. Aku percaya bahwa yang halus akan melahirkan yang halus. Dan hanya yang haluslah yang bisa masuk ke dalam sesuatu yang halus.
***
Di restoran sederhana kami alamatkan sajian makanan pada perut kami yang kelaparan. Pada sumber air panas alam kami usir rasa dingin yang memagut tubuh kami. Ke dalam tidurku kutampung segala pengalaman, selaksa peristiwa serta renung yang telah berlangsung hari ini. Di tepi danau Toba aku masuk ke alam mimpi dan menyambut esok pagi. (***mjansr2010***)
***
(bersambung)
**
MJA Nashir, kuituliskan kembali di Jogjakarta di kediaman sahabatku Ds.Priyadi, 7 Oktober 2010
(Bagian Pertama) bisa klik ini --> http://www.facebook.com/notes/mja-nashir/menyusuri-ulos-batak-berkelana-dengan-sandra/434462987855
(Bagian Kedua) bisa klik ini --> http://www.facebook.com/notes/mja-nashir/menyusuri-ulos-batak-berkelana-dengan-sandra-ii/436327202855
(Bagian Ketiga) bisa klik ini --> http://www.facebook.com/note.php?note_id=438797277855
Share
Sumber:
http://www.facebook.com/note.php?note_id=444268947855
by Mja Nashir on Friday, 8 October 2010 at 20:37 ·
PERISTIWA-PERISTIWA SIHOTANG - (Sebuah tulisan perjalanan - Bagian Keempat)
Langit masih terang. Matahari sesekali ngumpet di balik gumpalan-gumpalan awan kelam. Namun sinarnya menerobos bagai garis-garis yang tegas. Sore ini Sandra Niessen memutuskan untuk melanjutkan satu tujuan lagi dengan menyerahkan bukunya “Legacy in Cloth – Batak Textiles of Indonesia” (KITLV Press Leiden, 2009) pada warga di Sihotang. Tujuan ke Sihotang kami sepakati bersama sebelum kami berbalik arah ke Pangururan. Mengingat tidak mungkin kami balik arah ke pangururan dulu terus besoknya kemari lagi sebab besok kami akan menuju lingkar danau Toba yang lainnya. Sedangkan hari-hari selanjutnya masih banyak tujuan ke huta-huta lain yang jarak tempuhnya jauh-jauh dalam Proyek Pulang Kampung ini. Semuanya sudah tercatat rapi di buku kerja Sandra.
Secara waktu sisa sore ini sebenarnya lumayan mepet. Untuk hanya keluar dari Harianboho amatlah mudah karena jalan landai. Namun berikutnya yang kami hadapi adalah jalan-jalan yang kondisi dan posisinya mengerikan. Keluar dari Harianboho status jalan sudah tak jelas lagi; apakah jalan aspal atau jalan tanah atau jalan batu tak kelihatan bedanya. Sejak ujung aspal di Harianboho itu gerak kami terus mendaki. Merayap di punggung-punggung perbukitan. Sampai di tempat yang lebih tinggi lagi dengan jalan melingkar dan relatif datar. Di sisi kiri, tepatnya di bawah kami danau toba luas terhampar.
Di sebelah kanan kondisi dinding-dinding perbukitan rentan longsor. Pada permukaan perbukitan yang semestinya indah di mata itu tampak beberapa sobekan-sobekan tanda kering, gersang dan longsor. Kulihat reruntuhan tanah dan batu yang lonsor itu berserakan sampai ke bibir-bibir jurang tepi danau. Pak Jerry, supir kami yang handal mengemudikan mobil dengan super-ekstra hati-hati. Apalagi ketika memasuki jalan bebatuan menanjak di depan kami dengan ujung tikungan tajam. Inilah pintu masuk perkampungan, sebuah huta bernama Simarmata. Sandra masih mengingat baik nama ini yang masih merupakan bagian dari wilayah Sihotang.
Lantaran Pak Jery tampak kesusahan menghadapi medan terjal, aku dan Sandra memutuskan turun dari mobil. Pak Jery terus berusaha merayapkan mobil ke atas. Aku dan Sandra jalan kaki mendaki. Di tikungan jalan tampak beberapa warga (bapak-bapak) sedang berdiri. Sandra menghampiri dan memberi salam pada mereka.
Sandra masuk ke dalam mobil mengambil sebuah foto yang telah dilaminasi dan telah disiapkan di samping tempat duduknya. Orang-orang itu mengikutinya sambil melongok ke dalam lewat jendela. Pada mereka Sandra tunjukkan foto seorang wanita dengan kebaya dan ulos panjang. Ompu Borsak namanya. Seorang ibu dengan sinar mata yang sejuk menyinarkan pribadinya yang halus. Di foto tersebut ia berpose rapi bersama anak perempuannya di depan sebuah sopo Batak (lumbung padi) yang masih asli dengan ukiran gorga yang eksotik. Menghadapi foto lama ini orang-orang Simarmata tampak berkeras mengingat-ingat. Sejak terakhir berjumpa dengan Ompu Borsak, 30 tahun lalu, Sandra tak pernah jumpa lagi dan tak tahu kabarnya. Apakah beliau masih hidup atau tidak, Sandra tidak tahu. Meskipun foto tersebut adalah gambaran 30 tahun lalu namun orang-orang Simarmata ini masih mengenali wajah di dalam foto dan sopo itu. Barangkali karena Ompu Borsak adalah anak ni raja di Sihotang, jadi orang-orang Simarmata pun mengenalinya. Mereka menyarankan agar kami terus melanjutkan perjalanan karena tempat Ompu Borsak masih jauh.
Sebelum kami pergi salah seorang dari mereka memberitahu kami bahwa ada sebuah situs rumah Batak yang tak jauh dari tempat kami berdiri. Telunjuknya mengarah pada pokok-pokok rerimbun bambu. Nun di seberang pada rerimbun bambu menghijau tinggi kurasakan suasana hening dan sunyi. Menurut lelaki itu disitulah terdapat rumah tradisi yang di halamannya ada peti kubur batu. Ternyata di masa risetnya yang lampau, Sandra pernah ke situ. Situs Simarmata adalah salah satu tempat yang Sandra sukai. Hatiku tergerak keinginan untuk ke situ. Aku yakin juga Sandra. Namun keinginan itu kami simpan saja di dalam hati. Mengingat tujuan bertemu Ompu Borsak atau keluarganya belum terlunasi. Kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan. Bertaruh lagi dengan waktu dan kondisi jalan yang berat.
Di dalam mobil foto Ompu Borsak masih erat di samping tempat duduk Sandra. “Dulu ibu itu banyak bercerita tentang kehalusan seorang raja di zaman dulu. Selain itu beliau banyak tunjukkan kepada saya bagaimana ibu-ibu di zaman dulu bertata busana, mengatur rambutnya, memakai perhiasan telinga, cara berbicara, cara menghormati raja dan segala macam itu,” ujar Sandra mengenang pelajaran dari Ompu Borsak tentang tata krama dalam keluarga raja. “Saya senang sekali daerah Sihotang ini. Orang-orangnya baik dan halus. Makanya saya merasa sedih sekali jika melihat kembali arsip-arsip dan foto-foto kuno di Belanda yang menggambarkan bagaimana daerah ini dibakar habis oleh Belanda di zaman penjajahan dulu. Banyak orang mati. Banyak peninggalan serta pusaka terbakar. Semua huta di daerah Sihotang ini dibakar waktu Van Daalen datang untuk pasifikasi karena Belanda takut orang-orang Batak mau melawan kekuatan penjajahan. Dulu di daerah ini banyak sekali sopo, bangunan tradisi yang berfungsi sebagai lumbung padi. Sopo-sopo itu ikut terbakar. Kecuali sopo keluarga Ompu Borsak yang masih berdiri. Itulah sopo yang terhebat di Sihotang.“
Banyak tentang sejarah di Sihotang ini yang dibuka kembali oleh Sandra selama menekuni arsip-arsip lama di Belanda. Zaman dulunya Sihotang termasuk daerah yang memiliki ke-khas-an dalam per- ulos-an tradisional Batak. Sandra menyebutnya sebagai “tradisi biru” yaitu tradisi ulos yang pewarnaanya secara alam; memanfaatkan selaon untuk warna biru (indigo). Menurutnya, pada zaman dulu ulos-ulos jenis Sibolang, Bolean dan Surisuri banyak ditenun oleh para partonun di sini. Namun dunia pertenunan tradisional itu sudah lama sekali hilang. Bahkan ketika 30 tahun lalu Sandra kemari sudah tak ada seorang pun yang menenun lagi. Padahal menurut Sandra daerah Sihotang adalah salah satu tempat menarik di Tano Batak.
“Pada zaman dulu daerah Sihotang ini merupakan satu tempat yang luar biasa, Mas. Selalu ada sebuah pesta ritual tradisi. Dan pesta ritual ini adalah yang paling besar di regionnya. Pesta Mengasih Tahun. Pesta Horba. Pesta yang mempertautkan penciptaan Tano Batak lewat mitologi turunnya Si Boru Deak Parujar. Pesta ini di zaman dulu berlangsung setiap tahun. Selalu ada jembatan antara tahun yang lama, yang habis, yang sudah dengan tahun yang baru penuh harapan. Itulah makna pesta Mengasih Tahun, membersihkan tahun yang telah berlalu dengan pengharapan pada tahun yang baru. Di zaman kolonial pesta ritual di Sihotang ini pernah didokumentasikan. Seorang Korn Belanda membuat catatan, tulisan, serta foto-foto tentang pesta ini dan pernah dikeluarkan di majalah antropologi di Belanda,” ujar Sandra padaku dengan semangat.
Tak terasa mobil kami kini berada di jalanan yang agak landai dengan tepi hamparan sawah luas di sisi kanan kami. Di pinggir ladang itu berdiri sebuah atap tenda plastik darurat. Di bawahnya seorang petani sedang memanen padi, di bantu tiga orang anaknya. Pak Tani dan dua anaknya yang kecil mengumpulkan padi menjadi tumpukan-tumpukan. Sedangkan anak laki-lakinya paling besar menggiling padi-padi itu dengan mesin giling sederhana. Seketika Sandra minta Pak Jerry menghentikan laju mobil. Rupanya dari jendela Sandra juga memperhatikan pak tani dan anak-anaknya yang sedang bekerja di sawah. Ku tak tahu persis apa yang menyebabkan Sandra minta berhenti. Dengan ‘peristiwa’ ini aku merasa bahwa Sandra adalah seorang wanita yang punya kepekaan bathin yang tinggi. Meskipun kepekaan macam ini seringkali dianggap berlawanan dengan patokan-patokan rasionalitas. Padahal kepekaan semacam ini menurutku termasuk pengetahuan namun dalam ilmu pengetahuan modern dikesampingkan. Ilmu pengetahuan modern dengan ‘pisau bedah’ bernama rasionalitas membuang jauh hal macam itu. Bagaimanapun Sandra adalah seorang ilmuwan yang tentunya selalu dituntut untuk berpatokan pada rasionalitas. Namun dengan kenyataan ini aku kagum bahwa ia masih punya kedaulatan penuh atas gerak bathin manusia. Gerak bathin dalam dirinya.
Melihat mobil kami berhenti, Pak Tani menghampiri kami. Diikuti oleh anak-anaknya. Sandra menunjukkan foto Ompu Borsak ke Pak Tani. Lelaki dengan debu-debu tanah di tangan itu menunjuk ke arah depan, miring ke atas. Tanda bahwa rumah Ompu Borsak masih jauh. Tentang masih jauhnya jarak tempuh ke rumah Ompu Borsak ini sebenarnya Sandra sudah tahu. Namun ada sesuatu yang lain yang menggerakkan hati Sandra untuk mendekati petani ini. Dan ternyata petani ini masih ada hubungan keluarga dengan Ompu Borsak. Katanya Ompu Borsak masih hidup meskipun usianya sudah tua sekali. Kabar tentang masih hidupnya Ompu Borsak membuat hati Sandra lega. Petani memberitahu kami bahwa anak-anak Ompu Borsak tinggal di Pangururan.
Sejurus kemudian muncul mobil kijang putih dari arah depan. Kijang itu bergerak cepat seperti memburu waktu. Melihat kami akhirnya berhenti setelah pak tani menghentikannya. Seorang pemuda turun dari mobil bertanda Dinas Kesehatan itu dan bergabung dengan kami. Pemuda ini ternyata juga tahu tentang Ompu Borsak dan tentang anak-anaknya. Dia sanggup mengantar kami besok ke rumah anaknya untuk menyerahkan buku di Pangururan. Menurutnya, jika sekarang ke rumah Ompu Borsak maka secara waktu sudah tidak memungkinkan. Apalagi sebentar lagi akan gelap. Tidak mungkin ke Ompu Borsak lalu sesudahnya terus langsung pulang menuju ke Pangururan. Segera Sandra lari ke mobil dan membuka bagasi mengeluarkan bukunya. Sejak awal tadi berhenti rupanya Sandra memang ingin memberikan buku pada Pak Tani. Kami semua menuju ke tenda di sawah tempat pak tani dan anak-anaknya memanen padi. Sandra menjelaskan tentang siapa dirinya, tentang hasil riset dan bukunya.
“30 tahun yang lalu saya berada di sini. Saya adalah seorang antropolog…,” ujar Sandra kepada pak Tani.
“Apa itu antroplog?” tanya Pak Tani. Kedua matanya yang berkilat memandangi wajah anaknya yang paling besar yang berdiri di seberangnya.
“Ahli budaya,” jawab si anak laki-laki pada bapaknya.
Ada senyum puas pada petani ini melihat anaknya ternyata cerdas. Aku terkesima menyaksikan adegan ini yang boleh jadi dibilang sederhana namun bermakna. Kurasakan jawaban singkat, padat dan jelas tadi seketika itu pula membuat ayahnya merasa bangga. Tidak sia-sia rasanya dia telah bekerja keras untuk menyekolahkan anaknya.
Kulihat Sandra pun senang atas peristiwa sederhana ini. Ia pun tersenyum. Kemudian Sandra melanjutkan kembali menjelasan tentang bukunya. Pemuda Dinas Kesehatan yang telah bersama kami secara spontan membantu menerangkan pada pak Tani tentang betapa pentingnya buku Sandra bagi kebudayaan Batak, khususnya untuk kawasan Sihotang ini. Tampak Pak Tani mendengarkan semua urain itu dengan perasaan suka cita. Begitu pula anak-anaknya. Muncul ibu-ibu warga huta bergabung bersama kami. Semua menyimak dengan baik kata-kata Sandra sambil melihat foto-foto yang dibawa Sandra.
Sandra memberitahu pada Pak tani bahwa ia ingin meninggalkan bukunya - satu - untuk huta ini agar bisa dinikmati para warga. Dan ia mempercayakan penuh untuk menyerahkan padanya, pada petani ini. Dengan polos dan sangat jujur - dari ekspresi yang bisa kutangkap dari wajah - ia menolaknya karena ia merasa tidak berhak atas buku Sandra. Dia merasa bahwa yang berhak atas buku ini adalah Ompu Borsak atau anak-anaknya. Namun Sandra menjelaskan kembali bahwa ia memang ingin menyerahkan buku ini padanya secara tulus atas nama bantuan dari Jan Hofstede, suami Sandra yang dalam hidupnya sangat dekat dengan dunia pertanian. Sedangkan yang untuk Ompu Borsak besok akan Sandra serahkan pada anaknya di Pangururan. Akhirnya Pak Tani bersedia menerimanya dengan perasaan lega, senang dan bangga mendapat kepercayaan Sandra. Anak-anaknya serta segenap warga yang berkumpul di sini juga merasa senang atas pemberian ini. Pak tani menyalami Sandra. Berterima kasih serta menyampaikan bahwa ia akan memegang amanah dengan baik.
Kurasakan ada perasaan lega pula yang menyusup di hati Sandra. Meskipun kami tak bisa sampai ke rumah Ompu Borsak. Kami semua harus kembali ke Pangururan. Kami menyalami dan mengucapkan terimakasih pada semua warga. Juga kepada pemuda Dinas kesehatan atas kesediaanya besok mengantar kami. Cuaca agak mendung. Pemuda yang ternyata bernama Arthur Sihotang itu bergegas masuk ke dalam mobil kijang dan menyeru padaku, “Kita harus segera jalan. Sebentar lagi pasti hujan. Jika hujan maka kita tak kan sampai di Pangururan karena bukit itu…”, ujar dia sambil menunjuk ke suatu arah, “..selalu longsor jika hujan”.
Kami pun segera masuk mobil setelah Pak Jery memutar haluan. Mobil kami bergerak melintasi jalan-jalan yang semula kami lewati. Di depan kami tampak Arthur dengan kijang putih meluncur kencang. Lalu menghilang dari jarak pandang kami. Untungnya sebelum berpisah tadi telah kucatat nomor hand phonenya sehingga akan mudah besok kami jumpai dia kembali.
Masuk huta Simarmata aku dan Sandra tertarik berhenti. Meskipun kulihat Pak Jery tampaknya agak masam mengingat perjalanan pulang ke Pangururan masih jauh dan berbahaya. Apalagi cuaca memang mendung dan rasanya memang akan terjadi hujan di tengah jalan. Tapi kami berdua - aku dan Sandra - tak merisaukan semua itu. Kami serahkan sepenuhnya pada alam. Kami keluar dari mobil lalu berlari ke arah nun di bawah, ke rerimbunan bambu. Tak terasa kakiku melewati batu-batu cadas bekas sungai mengering, setelah memintas sawah-sawah terasering. Rerimbunan bambu itu kini persis di depan kami. Ada dinding tebal memanjang dan melingkar berupa batu-batu tersusun sedemikian rupa di bawah pohon-pohon bambu. Kurasakan batu-batu ini seperti berfungsi sebagai sebuah benteng yang kokoh. Kami mengelingi dinding batu mencari pintu. Lobang gerbang menganganga. Kami masuk. Aku ternganga. Di dalam pagar dinding batu ini berdiri rumah-rumah tua. Di tengah halaman ada semacam sarkofagus yang besar dari batu tempat kubur orang mati. Kubur leluhur orang-orang di rumah-rumah ini. Sarkofagus itu berhias pahatan berartistik tinggi. Ada semacam patung kepala manusia di ujung atas, di bagian tutupnya. Di bagian bawah juga ada lagi relief manusia yang dipahat pada diding batu sarkofagus itu. Kubidikkan kameraku. Rasanya seperti memotret patung seekor singa yang terbaring pada bangunan Sphinx. Namun tiba-tiba ada seorang lelaki yang duduk di dekat bangunan batu itu sambil menikmati hisapan rokoknya dalam-dalam. Aku merasa agak segan untuk memintanya sebentar saja berjauh dari situ. Secara fotografi adanya orang itu kurasa agak ‘mengganggu’. Toh akhirnya kubiarkan saja. Meskipun sebenarnya kutahu orang itu memang sengaja berpose, bermaksud untuk difoto. Aku sadar sepenuhnya aku hanya seorang tamu, seorang pengunjung, maka bagaimanapun aku harus menghormatinya. Maka aku foto juga dia. Lelaki itu adalah salah seorang yang kami temui sewaktu kami masuk ke huta ini sebelum menuju persawahan Sihotang tadi. Dialah lelaki yang telah menunjukkan arah situs ini dengan jari. Kurasa situs ini merupakan bagian dari sejarah nenek moyangnya. Terasa ada kebanggaan mendalam pada dirinya akan situs ini. Dan aku menghormati hal itu seperti aku menghormati situs Simarmata yang luar biasa ini. Usai memotret kami segera permisi dan mengucap terimakasih.
Kami tak ingin membuat Pak Jery terlalu lama menunggu. Segera kami menuju ke arah mobil. Di tengah jalan beberapa orang laki-laki bergantian mencegat Sandra dan meminta uang. Sekilas pandang aku lihat Sandra, kepada seorang yang paling tua renta ia memberi. Selama perjalanan dengan Sandra, aku sering merasa kasihan pada Sandra. Menyayangkan sikap orang-orang semacam ini yang telah menancapkan di kepala suatu anggapan bahwa ‘si bontar mata’ (orang bule) pasti selalu banyak uang yang bisa diberikan untuk mereka. Bahkan meskipun orang-orang itu tahu apa yang telah Sandra perbuat untuk daerahnya, untuk kebudayaan mereka. Rasanya jika mau fair apa yang Sandra lakukan sejak dulu untuk tanah dan kebudayaan mereka lebih tinggi nilainya dan tak bisa diukur dengan besarnya nilai uang seberapun nominalnya. Kejadian-kejadian semacam ini masih terus sering terjadi di sepanjang perjalanan kami. Dan terus meretas ke dalam perasaan hatiku. Oh..betapa uang seperti telah menjadi sebuah tata nilai yang begitu tinggi dalam kehidupan ini yang lama kelamaan bisa meruntuhkan nilai-nilai luhur lainnya dalam kebudayaan suatu masyarakat. Seolah-olah nilai-nilai luhur yang telah tertanam sejak nenek moyang bisa pudar di peradaban modern yang kini. Rasanya kepada langit aku ingin berteriak selantang-lantangnya menyaksikan kenyataan semacam ini. Dan perasaan ini membuatku semakin kencang berlari di atas batu-batu cadas yang bertebaran di sungai yang mengering. Ke arah mobil aku berlari. Disusul Sandra. Dengan mobil segera kembali kami melaju.
Di dalam mobil pak Jery berusaha menghibur kami dengan canda dan cerita-cerita lucu. Sambil sesekali memutar kaset di mobil yang penuh dengan koleksi tembang-tembang lawas. Namun setiap dia mau putar lagu pasti dia izin pada kami. Kuatir kami tak suka. Sikap Pak Jery ini membuatku tersenyum lagi.
Selama perjalanan pulang ke Pangururan hatiku masih tertawan pada pertemuan dengan petani Sihotang tadi juga ‘peristiwa’ di Simarmata. Bathinku mencoba mengurai semua itu apa maknanya. Sosok petani itu meski hidup dalam keserbasederhanaan namun bagiku dia seorang yang luar biasa. Aku yakin bagi Sandra penilaian atas petani itu juga sama denganku. Kemampuan naluriah dan bathiniah yang mampu menangkap secara cepat dan tepat petani itu menurutku itulah kemampuan Sandra yang luar biasa. “Mas, dari perjalananku disini - saya berasal dari tanah dan petani. Bapak saya petani. Suami saya juga petani. Jadi saya selalu punya tangan di tanah dalam seluruh hidupku. Saya cinta daerah ini. Orang-orang di sini seperti sudah menjadi bagian dari saya,” ujarnya padaku. Aku jadi teringat Sandra pernah bercerita tentang ayahnya yang petani. Saya merasakan ada suatu gerak alam dalam diri Sandra yang telah menggerakkan kedatangan Sandra ke Indonesia. Ayah Sandra pernah punya keinginan untuk bisa datang ke Indonesia yaitu untuk belajar pertanian. Waktu itu menurut sang ayah pertanian di Indonesia terkenal baik. Namun sampai ujung hayatnya, obsesi sang ayah tak bisa terwujudkan. Secara tak langsung Sandra lah yang menyambungnya dan mewujudkan keinginan ayah meskipun kenyataannya pada ranah yang lain. Ranah budaya tradisi. Dan ranah budaya tradisi selalu berkaitan erat dengan tanah. Dengan alam.
Begitu kuatnya hubungan tanah itu pada diri manusia. Hubungan alam. Menurutku karena hal itu pulalah yang telah menggerakkan mata bathin Sandra menjadi tajam untuk menangkap sosok petani Sihotang tadi. “Matanya, mas. Mata si petani itu luar biasa. Hatinya baik. Saya suka bapak itu,”ujarnya padaku.
Baik Sandra maupun aku sama-sama melihat bahwa petani itu masih memiliki keotentikan pada dunia bathinnya. Dengan keuletan dan kepasrahan jiwa mendalam pada alam ia mengolah alam dengan tangan-tangannya. Mengajarkan pada anak-anaknya tentang arti daya hidup seorang manusia. Saat tadi bersama mereka aku menyaksikan energi yang luar biasa yang bergerak di antara mereka. Pada wajah mereka tak ada secuil pun keluh. Justru rasa syukur yang tumbuh. Mereka lakoni semua itu dengan suka cita. Melihat bagaimana mereka melakoni hidup aku jadi semakin yakin bahwa tak kan pernah ada kegagahan tanpa kegigihan. Seperti rasa syukur yang kulihat hari ini mereka memanen sawahnya dengan perasaan suka cita. Dan betapa kuhargai teramat sangat kejujuran petani itu karena dia telah membiasakan diri untuk tidak mudah tergoda pada sesuatu yang bukan hak miliknya.
“Saya merasa cocok dengan filosofi hidupnya. Saya yakin dia orang yang bisa dipercaya,” ujar Sandra menegaskan kembali penghayatan yang bergerak dalam jiwaku tentang petani itu. Keorisinalan dunia bathin petani itu kurasakan masih dijaga baik oleh alam karena hubungan yang baik pula dengan alam. Berbeda rasanya dengan beberapa orang yang kutemui setelah keluar dari situs sejarah di Simarmata itu yang memelas-memelaskan diri dan meminta uang pada Sandra. Ah, ada apa yang sedang terjadi dalam kehidupan di sini? Padahal alam di sini rasanya masih kuat sekali. Pada sepanjang jalan pulang aku masih terus merenungkan semua itu.
Rintik-rintik hujan membasahi jalanan di saat mobil kami keluar dari hutan. Untunglah hujan muncul di saat yang tepat setelah kami lepas dari jalan-jalan yang mengerikan. Di remang malam kami memasuki Pangururan. Perjalanan panjang membuat kami semua kelaparan. Mobil kami bergerak mencari restoran.
Jalanan aspal basah oleh hujan, berkilat-kilat oleh cahaya-cahaya lampu, fikiranku masih terus melaju. Kurenungkan kembali betapa halusnya ulos Batak. Kuyakini tentu lahir dari kebudayaan yang halus. Aku percaya bahwa yang halus akan melahirkan yang halus. Dan hanya yang haluslah yang bisa masuk ke dalam sesuatu yang halus.
***
Di restoran sederhana kami alamatkan sajian makanan pada perut kami yang kelaparan. Pada sumber air panas alam kami usir rasa dingin yang memagut tubuh kami. Ke dalam tidurku kutampung segala pengalaman, selaksa peristiwa serta renung yang telah berlangsung hari ini. Di tepi danau Toba aku masuk ke alam mimpi dan menyambut esok pagi. (***mjansr2010***)
***
(bersambung)
**
MJA Nashir, kuituliskan kembali di Jogjakarta di kediaman sahabatku Ds.Priyadi, 7 Oktober 2010
(Bagian Pertama) bisa klik ini --> http://www.facebook.com/notes/mja-nashir/menyusuri-ulos-batak-berkelana-dengan-sandra/434462987855
(Bagian Kedua) bisa klik ini --> http://www.facebook.com/notes/mja-nashir/menyusuri-ulos-batak-berkelana-dengan-sandra-ii/436327202855
(Bagian Ketiga) bisa klik ini --> http://www.facebook.com/note.php?note_id=438797277855
Share
Sumber:
http://www.facebook.com/note.php?note_id=444268947855
No comments:
Post a Comment