MENELUSURI JEJAK SEJARAH AWAL BATAK
Oleh: Edward Simanungkalit
Sebagaimana diakui juga oleh Sitor Situmorang tentang adanya
missing-link dalam kepustakaan yang ada tentang berbagai bidang dari
sejarah Batak dan Toba khususnya, maka hal itu dapat juga dirasakan oleh
berbagai pihak termasuk penulis sendiri. Adapun yang penulis maksudkan
ialah sejarah Batak-Toba yang masih perlu lebih jauh disingkapkan,
sehingga terbuka dengan lebih terang benderang. Salah satu karya yang
mencerahkan itu berupa buku berjudul “TOBA NA SAE: Sejarah Lembaga
Sosial Politik Abad XIII-XX” (Komunitas Bambu, 2009) yang ditulis Sitor
Situmorang berdasarkan hasil penelitiannya.
Pada awal abad ke-20, masyarakat Batak-Toba telah memiliki lebih dari 150 bius dengan perhitungan bahwa bius tersebut dihapus oleh Belanda
pada tahun 1918 menjadi 150 negeri. Sebagian kecil dari ke-150 negeri
tadi merupakan penggabungan dari beberapa bius. Adapun bius Sianjur
Mula-mula disebutkan sebagai bius pertama yang didirikan oleh keturunan
Si Raja Batak. “Puluhan generasi sebelumnya, demikian bunyi silsilah
para leluhur yang secara kolektif disebut Si Raja Batak, menurunkan suku
bangsa Batak-Toba dan membangun sebuah paguyuban yang disebut bius,
meliputi kedua lembah sebagai lembah otonom.” (Situmorang, 2009:11-12).
Kedua lembah dimaksud adalah Lembah Limbong dan Lembah Sagala.
Si Raja Batak adalah nama kolektif untuk para founding fathers
sebagaimana disebutkan oleh Sitor Situmorang: “Si Raja Batak: nama
kolektif semua leluhur marga; adat yang mempribadi, pewaris kolektif
tugas pengayoman adat dan kebudayaan dari Tuan Putri Deak Parujar, Bunda
Utama, Si Raja Batak, dan tercantum di setiap silsilah sebagai manusia
pertama.” (Situmorang, 2009:524). Dengan demikian, Si Raja Batak
bukanlah seorang pribadi yang masa hidupnya sekitar abad ke-13 atau
ke-14, melainkan nama kolektif dari masa yang lebih jauh, yaitu dari
awal Masehi.
Sejarah pantai Barat mengemukakan tentang Pliny yang berkunjung ke Barus
mencatat di dalam bukunya "The Natural History" pada tahun 77 Masehi
tentang keberadaan orang Batak. Kemudian pada sekitar tahun 150,
Claudius Ptolomeus dari Alexandria (sekarang Mesir), mencatat adanya
suatu Negara di wilayah masyarakat Batak yang sekarang. Negara itu
disebutnya “Lima Pulau Barus” dan membuat peta Barus di dalam bukunya
“Geographia”. Adapun orang-orang yang sudah menyebut Barus di masa lalu
antara lain: I Tsing (692), Ibnu Chordhadhbeh (846), Marcopolo (1292),
Ibnu Batutah (1345), dan lain-lain termasuk adanya prasasti Tamil di
Lobu Tua, Barus bertarikh 1088.
Keberadaan bius-bius yang sudah tua tersebut memperlihat adanya lembaga
masyarakat yang mengatur cara hidup masyarakat Toba sejak zaman dahulu
kala. Sementara Barus sudah ada sebagai pintu bagi Toba di mana Barus
merupakan pelabuhan niaga dengan komoditinya yang terkenal yaitu kamfer
atau kapur barus. Melihat laporan dari para musafir-musafir yang pernah
datang ke Sumatera di masa lalu, maka sangatlah mungkin akan keberadaan
Batak-Toba yang sudah tua.
Lebih jauh lagi, kemungkinan akan keberadaan manusia di daerah
Batak-Toba telah ditunjukkan lewat hasil penelitian arkeologi. Di dalam
bukunya “Prasejarah Kepuluan Indo-Malaysia” (Gramedia: 2000), Peter
Bellwood menulis: “Sebagai contoh, sebuah inti polen dari rawa Pea Sim
Sim dekat Danau Toba di Sumatera bagian Utara (1.450 m di atas permukaan
laut) menunjukkan bahwa pembukaan hutan kecil-kecilan mungkin sudah
dimulai pada 4.500 Sebelum Masehi.” (Bellwood, 2000:339). Di sini Peter
Bellwood sebenarnya mengutip dari laporan hasil penelitian Bernard Kevin
Maloney di daerah Humbang, tepatnya di Tao Sipinggan dekat Silaban, Pea
Sijajap di Simamora, Pea Bullok di dekat Sibisa - Siborong-borong, dan
Pea Sim Sim di sekitar sebelah Barat dari Naga Saribu. Di dalam laporan
penelitian itu diungkapkan tentang kemungkinan adanya kehidupan di Tao
Sipinggan pada sekitar 2.500 tahun lalu, di Pea Sijajap pada sekitar
2.600 tahun lalu, Pea Bullock pada sekitar 2.700 tahun lalu. Sedang yang
paling tua dari itu ditemukan kemungkinan kehidupan di Pea Sim Sim
pada sekitar 6.500 tahun lalu
(http://ejournal.anu.edu.au/index.php/bippa/article/viewFile/432/421).
Apa yang dikemukakan oleh Peter Bellwood dan Bernard Kevin Maloney
bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Bila menilik pada hasil penelitian
yang sudah pernah dilakukan di sekitar daerah tersebut, maka hal itu
semakin mungkin. Sebagaimana penelitian arkeologi yang pernah dilakukan
telah ditemukan jejak-jejak manusia dari pendukung budaya Hoa Bin Hian
di daerah pantai Timur sekitar Deli Serdang, Langkat, Aceh Tamiang,
hingga Lhokseumawe. Pendukung budaya Hoa Bin Hian ini datangnya dari
Vietnam bagian Utara pada masa Mesolitik, yaitu sekitar 10.000 – 6.000
tahun lalu. Dari pantai Barat ada juga kemungkinannya mengingat Pulau
Nias juga sudah didatangani oleh para pendukung budaya Hoa Bin Hian ini
pada masa Mesolitik dan kelompok lain yang lebih awal (Wiradnyana, 2011:
19-30; Wiradnyana & Setiawan, 2011:79-158).
Penelitian Maloney yang dipadukan dengan penelitian-penelitian di pantai Timur dan dari arah pantai Barat seperti Nias tadi memperlihatkan adanya kemungkinan yang besar tentang asal-usul Batak-Toba. Meskipun demikian masih diperlukan penelitian ilmiah selanjutnya untuk menjelaskan hubungan dari hasil penelitian barusan dengan masyarakat Toba yang memulai bius di Sianjur Mula-mula. Melihat kepada hasil-hasil penelitian tadi, maka semakin kuat dorongan agar dilakukannya penelitian arkeologi juga di daerah Samosir terutama di sekitar Sianjur Mula-mula dan Pusuk Buhit. Keahlian bertani di sawah dan kemampuan membangun organisasi bius sebagaimana telah berlangsung sejak awal Masehi memerlukan penelitian yang lebih jauh lagi. Adanya missing-link tentang berbagai bidang mengundang pertanyaan yang memerlukan jawaban, agar semuanya menjadi terang-benderang. Kiranya ini menjadi penantian kita bersama dan harapan hita bersama, agar peneliti-peneliti muncul untuk melakukan penelitian tentang berbagai hal di Tanah Batak. ***
Tulisan ini sudah dimuat di
Harian BATAK POS
Edisi Jumat, 20 Juli 2012
No comments:
Post a Comment