Friday, September 28, 2012

Menyusuri Ulos Batak, Berkelana dengan Sandra (I)

Menyusuri Ulos Batak, Berkelana dengan Sandra (I)
by Mja Nashir on Monday, 13 September 2010 at 07:03 ·
SAMOSIR - (Sebuah tulisan perjalanan -- Bagian Pertama)

29 Juni 2010, Mas Nashir yang baik,

Kita pernah melihat kain ini di Muara. Suri Suri namanya, khusus untuk laki-laki (tapi tidak selalu). Kain ini dengan indigo (warna biru) alam. Supaya selalu ada kain Batak dalam hidupmu.

Dengan hormat,

Sandra.


Buku Sandra "LEGACY IN CLOTH" Secarik kertas darinya dalam bingkisan itu kubaca saat melangkah keluar dari hotel Aston Medan. Sandra Niessen begitu namanya. Ia meninggalkan bingkisan yang tak kusangka-sangka sebelum  menuju ke negerinya, Belanda.  Sebuah bingkisan yang amat berharga. Sesuatu yang tak kan pernah kulupa sampai kapanpun. Apalagi itu adalah salah satu ulos Batak yang langka. Dan yang memberikannya pun adalah ahli tentangnya. Sekitar 30 tahun lamanya sejak masa remaja ia telah ‘mengorbankan’ hidupnya untuk mendalami ulos Batak. Aku sering membayangkan Sandra yang remaja kala itu menyusuri semua pedalaman Tano Batak, menerobos hutan-hutan, mendaki bukit-bukit atau kadang dengan perahu kecil meluncur di atas Danau Toba. Semua itu ia lakukan untuk menyambangi  partonun, para penenun tradisi yang tinggal di huta-huta.  Oh, ia begitu akrab dengan orang-orang desa itu. Mereka semua telah memperlakukannya seperti keluarga sendiri.  Kehangatan yang disambut kehangatan.  Dan sebagian besar huta (kampung) di seantero Tano Batak ia hafal namanya dan telah ia kunjungi semua. Tak ayal jika sampai sekarang ia masih faham semua jenis ulos. Bahkan ragam ulos yang mulai menghilang dari tanah lahirnya sendiri.

       "Sekitar empat ribu tahun pengetahuan tentang ulos ini menjadi tradisi yang turun temurun di masyarakat Batak,” ujar Sandra suatu hari padaku. Aku terkesima mendengarnya. Tanpa kusadari bayanganku mengembara ke masa lampau, ke alam mythology Batak. Di depanku adalah Sandra, tapi aku merasakan seperti kehadiran seorang Dewi bernama Si Boru Deak Parujar yang telah turun melewati seutas benang dari langit membawa turak (alat untuk menenun). Dan dengan gigih ia mencipta bumi tahap demi tahap dengan tangannya. Mithology ini menyiratkan betapa pentingnya ulos dalam kehidupan masyarakat Batak dimana ulos merupakan dunia bathin manusia Batak yang secara kosmologis dan spiritual menghubungkan dirinya dengan Sang Mulajadi Na Bolon (Tuhan Yang Esa). “Sayang sekali jika tradisi ulos yang sudah lama turun temurun ini hilang begitu saja,” katanya dengan nada yang prihatin.

       Itulah kenapa ia berusaha untuk kembali ke tanah Batak membawa hasil kerjanya selama 30 tahun itu. Kerja kerasnya tentang Ulos Batak ini telah ia tuangkan menjadi buku berukuran 23X29 cm setebal 568 halaman dengan judul  “Legacy in Cloth – Batak Textiles of Indonesia” (KITLV Press Leiden, 2009). Ia namakan usahanya kembali ke Tano Batak ini dengan nama “Proyek Pulang Kampung 2010”, di mana dengan buku itu ia ingin mengembalikan lagi apa yang telah ia dapati, ia geluti, ia teliti sejak 30 tahun lalu ke masyarakat Batak.  Menurutku hal ini adalah sesuatu yang luar biasa karena jarang seorang peneliti melakukan ini.  Jadi lewat pulang kampungnya ia berusaha menemui kembali semua orang yang pernah ia jumpai di masa lalu, baik para penenun atau keluarganya dan semua huta yang pernah ia singgahi 30 tahun lalu. Dan aku merasa bersyukur dalam “Proyek Pulang Kampung” ini Tuhan telah memberi  kesempatan padaku untuk menjadi saksi atas perjuangan seorang antropolog bernama Sandra Niessen ini.

                                                                                           ***

       Pagi itu aku terlambat bangun. HP ku tlah berdering berkali-kali. Ia telah menungguku di hotel Aston. Aku terlambat bangun.  Jam 2 dinihari tadi aku baru saja sampai kota Medan, di rumah sahabatku (Bang Irwansyah Harahap & Kak Rithaony Hutajulu). Aku baru saja menyelesaikan  perjalanan panjang selama beberapa hari untuk acara Napak Tilas Sisingamangaraja XII dengan team Landrover Club Medan mengelilingi lembah-lembah yang menjadi dinding Danau Toba yang luas bagai lautan itu. Dan pagi ini kenyataannya aku akan kembali ke wilayah itu dengan acara yang lain lagi, juga misi yang lain lagi.  Dering telpon darinya akhirnya membangunkanku. Untunglah ia adalah seorang wanita yang cukup bisa mengerti. Mengingat hari sudah mulai siang, akhirnya ia menjemputku. Janji makan pagi dengannya di Aston tak mampu kutepati karena keterlambatanku bangun. Ini kesalahanku yang pertama padanya (maafkan aku Sandra).

       Selama awal perjalanan di dalam mobil dari kota Medan sampai Siantar aku juga masih tak kuasa menahan kantukku (ini kesalahanku lagi padanya). Sehingga selama perjalanan ke Siantar di mobil itu sepi tak ada suara. Tak ada dialog. Suasana baru mulai hidup setelah kami berhenti  istirahat di Siantar dan mulai bergerak menuju Parapat.  Pada saat itulah aku sudah mulai segar kembali.  Apalagi aku menjadi lega ketika Sandra bilang bahwa tanpa aku dia akan merasa sia-sia melakukan perjalanan ‘pulang kampung’ nya ini. Memang, seharusnya mulai kemarin kami memulai perjalanan ini. Tapi tampaknya kesibukanku di hari kemarin tak bisa kutinggalkan untuk menemui  Sandra.  Ketika kemarin aku bicara degannya di telpon aku mengusulkan agar ia berangkat dulu dan aku pasti akan menyusulnya di mana pun tempatnya. Toh ternyata  ia memilih untuk menungguku. Di hari  kemarin itulah rasanya aku tlah berdosa karena tlah membuat Sandra tersandera di kota Medan. Untuk menebus dosa dan kesalahanku itu hanya satu tekad yang terbersit dan menjadi semangat dalam hatiku, “I’ll do my best - untuknya!”

       Dalam perjalanan “Proyek Pulang Kampung” ini aku dipercaya olehnya untuk urusan dokumentasi (fotografi dan video).  Aku tidak tahu secara persisnya bagaimana ia bisa mempercayakan tugas ini padaku. Toh barangkali ia hanya mengenal aku dari sahabatku yang juga sahabatnya di Jogja (Mbak Nia dan Mas Ismoyo). Kendati demikian yang kuyakini secara pasti bahwa Tuhan telah meletakkan keindahan misteri tersendiri atas pertemuan kami.Tak terasa mobil kami sudah masuk  kota Parapat. Pak Gery supir kami mengarahkan mobil ke pompa bensin untuk isi bahan bakar. Sandra mengajakku untuk mampir sebentar di sebuah restoran sederhana milik seseorang dari marga Hutabarat. Antara Sandra dan lelaki Batak ini kurasakan sebuah keakraban keluarga. Sebelumnya Sandra pernah bilang padaku bahwa di waktu yang lampau pada masa-masa penelitiannya dia telah diangkat sebagai keluarga Hutabarat. Ia menceritakan hal ini padaku karena aku pernah bertanya saat pertama kali bertemu dengannya. Pertanyan itu lantaran rasa penasaranku karena di suatu hari ketika aku masih berada di Jogja pernah membaca buku karya dia yang sebelumnya. Tertera di belakang namanya pada halaman pengantar ada tanda kurung di dalamnya tertulis ‘br Hutabarat’.  Dan ‘kebetulan’ nama Hutabarat sudah tak asing lagi dalam bagian sejarah hidupku. Nama itulah yang begitu besar yang tanpa kusadari tlah menggerakkan naluri  di setiap langkahku. Meskipun sosok Hutabarat yang pernah kukenal (dan selamanya) telah berpulang dari dunia fana ini.

Dua Bocah Menyanyi Dalam Feri

       Di pelabuhan Ajibata-Parapat mobil kami masuk ke kapal setelah Sandra membeli tiket.  Kami menuju ke ruang penumpang. Sabtu sore selalu penuh dengan penumpang. Mereka menyeberang ke Samosir untuk weekend, seperti yang kusaksikan sore ini bangku-bangku itu penuh dengan penumpang. Kami duduk di barisan paling depan. Rombongan bocah kecil lantang suaranya menyanyi . Sandra menyaksikan dan menikmati nyanyian mereka dengan senyumannya yang hangat.  Sandra sudah tahu betul orang Batak pandai menyanyi dan suaranya bagus, seperti juga mereka yang masih kecil itu. Setelah menyusun rencana dengan Sandra untuk sore ini di Samosir  kami melangkah ke lantai di atas ruangan penumpang untuk menikmati angin dan panorama danau Toba. Danau ini memang luar biasa begitu luas seperti samudra.  Sesekali kuliat elang mengepak di langit biru dengan gumpalan awan bagi kapas. Kapal-kapal dan perahu kecil bergerak seperti membentuk garis panjang pada air di belakangnya. Tak terasa Pulau Samosir sudah dekat, samar-samar sudah mulai terlihat garis pantainya. Sandra duluan menuju ke mobil di lantai bawah. Aku masih melanjutkan membidik pemandangan dengan kameraku. Ketika turun di lantai bawah mobil sudah siap meluncur kembali. Aku pun segera melompat ke mobil. Pak Gery dengan sigap menggerakkan mobil keluar dari kapal melewati dermaga lalu meluncur ke Tuk Tuk.

       Sore itu mestinya agenda kami ke Simanindo menemui satu keluarga yang dulu menjadi informan dalam penelitian Sandra. Namun Sandra memutuskan untuk besok pagi saja sekalian menuju ke arah Pangururan. Mengingat dari Tuk Tuk ke Pangururan adalah perjalanan dari ujung pulau ke ujung yang satunya lagi. Setelah menikmati sunset di tepi danau serta makan malam dan ngobrol sebntar di hotel Carolina tempat kami menginap akhirnya kami pun istirahat. Ketika bangun matahari mulai merayap dari garis cakrawala dan menyepuh air danau dengan cahaya terangnya.Pagi Datang Tao Toba

       Sebelum menuju arah Simanindo dari Tuk Tuk, di huta Sialagan yang terkenal dengan peninggalan megalith “Batu Kursi Parhapuran” (Batu Kursi Pengadilan) kami berhenti sebentar karena ada kios ulos. Ulos-ulos yang terpajang di kios itu tak ada yang menarik hati Sandra. Ulos-ulos antik yang ingin ia lihat tak terdapat disitu, yang terpajang disitu hanyalah ulos-ulos baru dan kebanyakan masinal. Penjual kios tetap merayu-rayu Sandra dengan ramah, dan Sandra menolak dengan bahasa Batak yang sopan. Lantas segera kami melanjutkan perjalanan.

       Sepanjang perjalanan berkelebatan orang-orang berjalan di tepian.  Mereka adalah anak-anak kecil, remaja dan para orang tua dengan baju-baju bersih dan rapi. Para ibu bersanggul, mengenakan kebaya atau baju kurung dengan ulos berselempang di tubuhnya. Pagi itu mereka berbondong-bondong menuju gereja untuk Misa hari Minggu.  Sepanjang jalan yang menjulang bukit2 di sisi kiri kami dan di sisi kanan terhampar danau Toba yang luas itu kami terus menyaksikan mereka. Sesekali mobil kami berhenti karena Sandra mengingat ada beberapa tempat atau huta yang dulunya adalah kampung pertenunan tradisi sebelum kami sampai Simanindo.

       Tak segan Sandra menyapa ibu-ibu dan menanya dengan bahasa Batak. Selalu kudengar setiapkali Sandra berbicara dengan bahasa Batak, orang-orang Batak itu pasti terkejut. Meskipun demikian sambutan mereka pada Sandra selalu baik dan hangat. Bahkan beberapa tukang Ojeg yang adalah laki-laki dengan tampang garang mencoba membantu Sandra dengan baik dan sabar. Sandra selalu menunjukkan foto yang telah ia cetak dan ia laminasi rapi. Dengan foto-foto itu ia mencari. Namun banyak kenyataan yang harus ia terima karena kondisi saat ini banyak yang berubah jika dibandingkan dengan masa lalu yang pernah ia jumpai. Kebanyakan orang yang ada dalam foto itu kini sudah mati. Dan desa-desa yang dulunya banyak partonun (penenun) kini sudah jarang sekali. Begitulah kondisi yang kami temui dalam perjalanan ini.

       Kini kami memasuki Simanindo. Di areal tanah yang luas itu tertera papan tulisan yang mengabarkan bahwa tempat itu merupakan sebuah museum. Museum Hutabolon Simanindo. Suasana di sini lengang sekali tak ada orang. Pintu masuk museum (loket) juga tak tampak penjaganya. Barangkali karena hari Minggu, orang-orang sedang kebaktian di gereja, fikir kami. Kami berjalan menuju sebuah rumah melewati jalan disamping rumah adat yang besar sekali yang menjadi bangunan museum itu.  Rumah yang kami tuju ini sebuah bangunan lama yang secara arsitekuralnya terpengaruh gaya hindia Belanda. Di rumah itulah dulu Sandra pernah tinggal ketika berada di Simanindo dan belajar tentang tenun batak dari pasangan suami isteri Sidauruk yang adalah pemilik rumah dan museum itu. Keluarga Sidauruk itu pulalah yang dulu pernah memperkenalkannya dengan seseorang di huta itu yang ahli dalam hal esoterik dari ulos dan budaya Batak. Rumah yang bersih rapi itu pintunya tertutup rapat. Terdengar suara seorang wanita membuka pintu, dan mempersilakan kami masuk. Sandra memberitahukan tentang kedatangannya. Wanita ini adalah anak menantu dari suami-isteri Sidauruk. Setelah kami dipersilakan duduk di ruang tamu akhirya wanita ini mengabarkan bahwa bapak-ibu menantunya itu sudah lama meninggal dunia. Begitu pula anaknya yang adalah suaminya. Setelah lama berbincang akhirnya Sandra menyerahkan buku itu. Harapan Sandra padanya agar buku itu bermafaat bagi keluarga besar Sidauruk dan masyarakat sekitar. Kami pun akhirnya pamit dan berpisah dengan wanita itu.


Museum Hutabolon Simanindo


       Dari rumah keluarga Sidauruk kami berjalan kaki menuju museum. Museum itu terdiri dari dua bangunan utama yang merupakan rumah tradisional Batak yang terbuat dari kayu. Tampak kokoh dan megah. Di halaman tumbuh pohon besar berusia ratusan tahun yang berjuntai-juntai dengan cabang-cabang yang berlilitan, terasa menggenapi cita rasa dan kewibawaan bangunan arsitektur batak. Membuat kita berasa nyaman dan tenang. Kami memasuki ruang museum. Ah sayang sekali isinya tak tertata dan tak termenej dengan baik. Begitu menurut Sandra. Padahal semestinya dengan adanya museum itu banyak informasi yang bisa didapat oleh para pengunjung. Ada beberapa ulos kuno terpajang di lemari kaca namun tanpa informasi yang mendalam.  Beberapa keterangan yang ada tentang ulos-ulos itu saling tertukar di sana-sini tidak pada tempatnya yang tepat. Sandra menyayangkan hal seperti ini terjadi.

Dari bangunan museum itu kami berjalan memasuki semacam pintu gerbang tembok batu dengan ornamen gorga. Di dalamnya terdapat rumah-rumah tradisional Batak yang saling berjejer rapi dan saling berhadapan.  Di tengah-tengah halaman yang luas berdiri semacam patung kayu lumayan besar dan panjang menjulang ke langit.  Patung kayu yang menancap di tanah ini bentuknya mirip dengan Tungkot Tunggal Panuluan, tongkat pusaka Batak yang biasa dipakai saat Martonggo (berdoa) untuk memohon berkat kepada Mulajadi Na Bolon (Tuhan Yang Esa).  Suasana di areal cagar budaya rumah tradisi Batak ini sepi di hari Minggu. Biasanya selain hari Minggu sering diadakan pertunjukan tarian tortor dan gondang (musik tradisional) Batak bagi para pengunjung. Setelah menikmati suasana cagar budaya kami pun keluar melangkahkan kaki melewati bangunan museum lagi.

Solu Bolon

        Persis di depan museum pandanganku terantuk pada sebuah perahu kayu yang besar dengan tata ornamen sangat khas.  Di depan perahu tertera tulisan “Solu Bolon”. Perahu tradisional itu penuh dengan ragam dan ukiran gorga dalam tata warna merah-hitam-putih.  Meski perahu itu tampak diam dan membisu namun pada perahu itu anganku melayang mereka-reka pemandangan danau Toba yang berlintasan perahu-perahu semacam itu, di mana orang-orang yang berada di dalamnya mengenakan ulos-ulos batak, diselempangkan di dada, dililitkan sebagai sarung, dan sebagian menjadi penutup kepala. Para balita merasa damai dalam dekap selendang ulos ibunya. Para lelaki yang tegap mendayung perahu-perahu. Semua orang bersuka cita di atas danau dalam iring-iringan perahu Solu Bolon. Lamunanku akhirnya pudar karena suara lelaki tua menyapa kami.

     Kami ditanyai sedang apa dan tujuannya apa di museum itu. Dia lah sang penjaga museum. Sandra menerangkan tujuannya. Pak tua yang bernama Lemar Sidauruk itu akhirnya bisa mengerti. Dan Pak tua itu meminta satu buku kepada Sandra. Semula Sandra merasa kaget karena memberi buku untuk Pak tua itu tak ada dalam agendanya yang telah tersusun rapi. Menurut Pak tua agar jangan hanya keluarga almarhum Sidauruk saja yang diberi buku, tapi museum ini juga perlu. Dan Pak tua berjanji akan menjaga buku itu di museum Simanindo agar bisa dibaca oleh banyak orang setempat dan para pengunjung museum. Akhirnya Sandra pun tergerak hatinya untuk memberikan satu buku secara spesial untuk museum ini kepada Pak tua mengingat memang beliaulah yang tiap hari selalu menjaga museum. Wajah Pak tua tampak berbinar gembira menerima buku tebal. Tangannya yang tua namun masih kekar itu menyalami tangan Sandra dan menjabat erat sebagai rasa terimakasih yang dalam. Tak lama kemudian ia langsung membuka-buka isinya dan hanyut dalam lembar demi lembar buku itu. Konsentrasinya tercurah ke situ. Matanya berseri-seri. Orang-orang setempat mengerumuninya. Mereka bersama-sama menikmati buku Sandra sambil saling bercerita. Pemandangan itu masih kami saksikan sampai mobil kami keluar dari lokasi. Memandangi peristiwa itu ada satu perasaan yang meluncur di hatiku. Terkesima dan haru menjadi satu.

                                                                                          ***
                                                                                 (bersambung)
==============
mja nashir, Medan-Batang Agustus-September 2010

(Bagian Kedua)--->http://www.facebook.com/note.php?note_id=436327202855
(Bagian Ketiga)--->http://www.facebook.com/notes/mja-nashir/menyusuri-ulos-batak-berkelana-dengan-sandra-iii/438797277855



http://www.facebook.com/note.php?note_id=434462987855&amp

No comments:

Post a Comment