Menyusuri Ulos Batak, Berkelana dengan Sandra (VI)
by Mja Nashir on Friday, 22 October 2010 at 03:59 ·
NAINGGOLAN - MUARA, ADA BAHAGIA ADA DERITA (Sebuah tulisan perjalanan - Bagian Keenam)
Siang ini mobil kami memasuki Nainggolan. Sebuah kota Kecamatan di ujung Selatan Pulau Samosir. Kota kecil namun ramai. Mungkin karena hari pajak (hari pasar) jalanan penuh dengan aktivitas orang. Banyak orang berjalan kaki membawa barang. Di tiap sisi jalan penuh orang berdagang. Mobil kami merayap pelan di antara keramaian. Dari kaca mobil kupandang danau Toba di depan. Kusaksikan anak-anak berseragam sekolah berdiri di bibir dermaga menunggu keberangkatan kapal untuk pulang ke rumah mereka di Muara.
Di Nainggolan tujuan Sandra untuk mencari seorang laki-laki yang pada tahun 1979 pernah ditemui. Amang Parhusip, demikian ia menyebutnya. Bapak ini menjadi gambar pada lembar 523 dari buku Sandra Niessen “Legacy in Cloth – Batak Textiles of Indonesia” (KITLV Press Leiden, 2009). Jadi kepada beliau atau keturunannya, 1 eksemplar buku hasil riset Sandra tentang ulos Batak akan diberikan.
Mobil kami berhenti di pinggir jalan. Pak Jery membuka bagasi belakang karena mengira Sandra perlu mengambil buku Legacy In Cloth. Namun Sandra belum perlu ambil buku karena ia merasa belum pasti bagaimana cara untuk mendapatkan orang yang dicari di tengah kota ramai ini. Masih perlu tanya sana tanya sini. Tak perlu bawa buku yang dijinjing berat itu. Di dalam mobil Sandra sedang menyiapkan lembar kertas berlaminasi. Sementara aku masih memandangi suasana jalan yang penuh hilir mudik orang. Mereka datang dari berbagai huta dan kumpul di sini di hari pajak ini. Aku suka cara berpakaian mereka, bersahaja. Penuh rasa kesederhanaan dan kehangatan. Seorang inang-inang turun dari angkutan lalu berjalan membawa barang di karung, dipanggul di atas kepala yang bertutup kain ala Batak Toba. Setiap kali kulihat inang-inang yang memakai penutup kepala semacam itu ingatanku selalu membawa ke Tana Toraja karena aku pernah hidup lama di sana. Ada kemiripan cara menutup kepala semacam itu. Kulihat inang ini menyeberang jalan raya dengan perasaan yang yakin bahwa akan ada rezeki untuknya di hari ini.
Penampilan orang-orang di hari pajak seperti ini memiliki daya tarik tersendiri. Menyedot perhatianku untuk menyimpannya menjadi frame-frame di kameraku. Namun bagi mereka justru Sandra-lah yang menjadi perhatian mata mereka. Maka tak aneh jika mereka merubung Sandra yang baru saja keluar dari mobil sambil menyapanya, “hello misis…helo misis”. Tak mau ketinggalan pula anak-anak sekolah. Kami - aku, Sandra, Pak Jery - suka dengan kehangatan mereka. Sandra mencoba menanya ke mereka lewat selembar kertas berlaminasi yang merupakan copy dari halaman 523 dari bukunya. Kertas yang menampangkan foto Amang Parhusip. Orang-orang ini tidak tahu. Bertemu dengan orang dalam foto ini sudah disadari Sandra bahwa kemungkinannya kecil. Tapi setidaknya harus tetap berusaha. Salah satunya dengan cara bertanya.
Kami pun berjalan kaki menyusuri jalan yang penuh orang lalu lalang. Bergerak di antara para pedagang dan aneka barang. Mereka berlomba-lomba menawarkan dagangan pada kami. Kami membalasnya dengan bertanya tentang foto Amang Parhusip. Tak ada yang tahu. Kami terus bergerak, menyemut di jalanan dan terus bertanya. Berada di keramaian macam ini seringkali membuat hilang konsentrasi. Apalagi perut kami juga lapar. Setelah berjalan sampai ujung kami putuskan lebih baik makan dulu di warung. Ibu pemilik warung ramah dan cekatan mewujudkan keinginan Sandra soal makanan yang diinginkan. Semula yang diinginkan Sandra tidak ada di sini namun ia berusaha mencarikan. Dengan baik ia melayani dan menghidangkan makanan. Kami tandas menghabisi tanpa sisa.
Waktu kami tidak banyak karena harus segera melanjutkan perjalanan ke Muara. Namun tugas mencari Amang Parhusip harus terselesaikan baik. Sepanjang jalan tadi sudah dilacak, tak ada jejak-jejak. Kami melangkah ke arah pasar.
”Ini akan menjadi keajaiban jika kita bisa menemukannya,” ujar Sandra padaku sambil menengadahkan kedua tangan ke langit.
Aku sadar sepenuhnya makna kalimat Sandra. 30 tahun bukan rentang waktu pendek. Pada rentang panjang itu kehidupan niscaya banyak berubah. Segalanya bisa berubah. Orang-orang lama diganti yang baru. Yang dicari bisa saja sudah mati. Aku sadar aku harus membantu memompa semangatnya. Apalagi aku dipercaya penuh untuk menemani dalam Project Pulang Kampung ini. Mencari satu orang di tengah keramaian barangkali bisa menjadi seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Bagaimana jika jarum itu sudah lama hilang dan tidak di situ lagi? Tapi yang dicari toh bukan jarum melainkan seorang manusia. Manusia pasti meninggalkan jejak-jejak. Apalagi hari ini adalah hari pekan, hari pasar. Pasar yang juga masih bisa dibilang sebagai pasar tradisional, bukan supermarket atau mall yang serba individual. Di sini pasti orang sejak dulu kala saling bertemu dari segala penjuru dan masih punya sifat kekeluargaan yang tinggi satu sama lain. Jadi bagiku masih ada harapan. Begitu juga bagi Sandra. Akhirnya sambil mengangkat kedua tangan di depan wajah aku berucap, “Mari kita serahkan sepenuhnya kepada Sang Mula Jadi Na Bolon.”
Dengan semangat untuk terus berusaha, plus kepasrahan tinggi kepada Sang Penggerak Alam Semesta kami melangkah ke pintu pasar. Sandra tak lagi menanya lewat lembar laminasi foto Amang Parhusip. Dari pintu pasar pada penjual ikan langsung menanya di mana tempat orang berjualan ulos. Si Inang penjual ikan menunjukkan letak posisi jualan ulos. Kami segera melangkah mengikuti petunjuk itu, memasuki los demi los. Dari los ikan, los daging, los sayur, los beras, los kopi, los kerajinan … sampai los ulos!
Di los ini berderet kios-kios dengan aneka kain ulos. Di salah satu kios paling dekat dengan kami berdiri, selain jual aneka ulos tersedia pula kerajinan anyaman. Ada aneka tikar pandan. Ada juga kantung anyaman - tandok - yang biasanya dipakai sebagai tempat beras atau barang-barang
Biasanya tandok ini diletakkan di atas kepala. Si ibu penjual ulos sedang meladeni beberapa pemasok anyaman-anyaman itu. Sandra langsung menghampirinya.
“Apa ibu kenal ini?” tanya Sandra pada penjual ulos sambil menunjukkan lembar kertas berlaminasi, foto Amang Parhusip.
Penjual ulos menerima kertas itu sambil membenahi posisi kaca mata. Wajahnya seperti kaget melihatnya. Lalu dia memandang Sandra.
“Dia amang boru saya. Isterinya adalah bibi kandung saya," ujarnya. Senyum mekar di wajah. Ada perasaan bungah. Bungah yang juga terpancar di wajah Sandra. Seketika dia berdiri dari duduknya, lalu bilang ke Sandra, “Tunggu sebentar…”
Penjual itu lari ke kios ulos di seberangnya, “Ini amang borumu. Lihatlah!”
Penjual ulos seberang yang sibuk melayani pembeli menerima yang disodorkan. Keduanya kulihat tampak senang, bersama mereka mengamati foto amang borunya. Lalu penjual ulos semula menemui Sandra kembali. Orang-orang makin ramai mengerumuni kami. Bahkan anak-anak sekolah sedang lewat turut merubung. Terdengar lagu pop Batak nyaring suaranya diputar entah dari kios mana. Di antara keramaian itu kulihat seorang bocah laki-laki sedang menghitung uangnya karena barang dagangannya telah laku. Ia berdagang ditemani adiknya perempuan yang masih kecil.
“Anaknya Amang Boru ini sering kemari. Jam empat sore dia nanti ke sini,” kata penjual ulos pada Sandra. “Ibu di sini lama? Apakah mau nenunggu?”
“Tidak. Saya cuma sebentar di sini. Bisakah saya titip sesuatu untuk anaknya?”, tanya Sandra.
Dari penjual ulos kami mendapati informasi bahwa Amang Parhusip, amang borunya sudah lama meninggal dunia. Di zaman dulu di dunia tenun tradisional Nainggolan, Amang Parhusip adalah seorang panirat (orang yang mengerjakan proses sirat). Sirat adalah bagian tepi ujung dari sehelai kain ulos yang dikerjakan dengan tangan melalui teknik-teknik tertentu yang merupakan proses finishing ulos. Dan ujung-ujung sirat biasanya berumbai-rumbai (rambu).
Sirat bisa berbentuk motif-motif atau tulisan (kata-kata). Namun bisa juga berbentuk isian manik-manik yang ditata sedemikian rupa membentuk motif. Dan Amang Parhusip salah satu ahlinya di Nainggolan. Ulos memang pekerjaan perempuan. Namun membuat sirat (manirat) bisa dikerjakan oleh laki-laki selain perempuan. Dan di jaman dulu menurut Sandra banyak laki-laki yang mengerjakan sirat. Tapi kini jarang laki-laki membuat sirat lagi, kebanyakan wanita yang mengerjakannya.
Bagi kami bisa bertemu dengan ibu ini adalah keajaiban yang tak terduga. Mengingat Sandra sebenarnya juga tidak tahu di mana tepatnya zaman dulu berjumpa dengan almarhum Parhusip. Seingatnya ia memang pernah ke rumahnya. Namun rumahnya di mana, ia betul-betul sudah lupa. Dan hanya sekali saja waktu itu ia bertemu dengan panirat ini.
"Dulu sewaktu masih di Balige, saya mendapat informasi dari orang-orang di Balige tentang tenun ulos di Nainggolan. Menurut mereka Nainggolan dulunya hebat, memiliki tradisi ulos yang kuat. Yaitu tradisi biru dari Samosir; sibolang, surisuri dan bolean. Kain-kain terbaik dari Nainggolan dipasarkan di Balige. Apa lagi, orang-orang Nainggolan pandai manirat. Oleh karena itulah waktu itu saya akhirnya ke Nainggolan," ujar Sandra menceritakan kembali pengalaman di masa lalu yang akhirnya mempertemukannya dengan almarhum Parhusip. "Saya sendirian pertama kali ke Nainggolan. Mungkin saya mendapat nama Bapak Parhusip di pasar lalu saya mencari di Nainggolan. 30 tahun yang lalu, tak ada banyak panirat lagi, selain bapak itu."
Jika kurenungkan kembali berdasar buku Sandra yang sangat tebal itu tentang Amang Parhusip cuma sedikit dan hanya sebuah foto kecil dari rangkaian foto-foto orang lain yang menunjukkan proses pengerjaan sirat. Kendati demikian meskipun kecil proporsinya namun bagi Sandra Niessen adalah sangat penting untuk bisa bertemu kembali dengannya atau keturunannya. Bagi Sandra si panirat ini atau keluarganya berhak menerima buku. Demikianlah rasa syukur dan berbagi dari Sandra Niessen kepada semua yang telah membantunya dalam riset ulos tanpa membedakan. Kepada penjual ulos di Pasar Nainggolan ini Sandra menitipkan 1 eksemplar bukunya untuk diserahkan kepada anak kandung Amang Parhusip sebagai bentuk rasa terima kasihnya.
***
Dari Nainggolan tujuan berikutnya adalah menuju Muara. Secara posisi dan letak berdasarkan peta sebenarnya tidak jauh karena hanya di seberang danau. Muara dan Nainggolan saling berhadapan. Untuk menyeberang ke Muara ada kapal kecil dari dermaga Nainggolan. Cara praktis ini tidak mungkin bagi kami. Kecuali jika tega berpisah dengan Pak Jery, dan mobil kami. Atau bisa juga kami berdua tetap menyeberang naik kapal dan membiarkan Pak Jery menyusul kami dengan memutari pulau Samosir dulu sampai Tomok. Dari Tomok ia dengan mobilnya menyeberang danau pakai kapal besar sampai Parapat. Dari Parapat meluncut lewat jalan darat lintas Sumatera (lingkar luar danau Toba) menuju Balige dan terus sampai di Muara. Kubayangkan itu perjalanan yang jauh sekali. Tapi yang jelas kami tidak bisa berpisah dengan Pak Jery ataupun mobil kami. Semua barang dan peralatan kami ada di dalam mobil. Maka kami harus tetap bersama. Cara tercepat menuju Muara dari Nainggolan dengan menyeberang pakai kapal kecil itu akhirnya kami lupakan. Agar kami tetap bisa bersama sampai ke Muara tidak lain adalah lewat Tomok.
Rasanya kami sudah bisa memutuskan persoalan dengan baik. Namun di sebuah pertigaan kami masih dihadapkan satu ‘persoalan’ yang mengusik lagi untuk menentukan kiri atau kanan. Keduanya sama-sama menuju Tomok. Kiri adalah jalan yang kami lewati sebelumnya dan kanan adalah jalan dengan jarak terdekat secara kilometernya. Dekat secara kilometer belum tentu berarti cepat secara waktu. Pak Jery sudah tahu soal itu. Dengan mantap ia pilih kiri.
Jarak Nainggolan - Tomok lumayan jauh. Kuputuskan lebih baik tidur saja. Setidaknya buat memulihkan energi kembali. Kulihat di belakang Sandra juga tertidur. Pak Jery mengemudi. Aku tertidur setengah jam lamanya. Saat mata terbuka di tengah mobil yang meluncur cepat kulihat kembali panorama danau Toba di Simbolon. Bukit-bukit yang tenang menjulang memanjang di seberang danau di bawah langit cerah itu tak bisa membuatku diam dan berlalu begitu saja sehingga akhirnya kubilang pada Pak Jery, “Berhenti, Pak!”
Aku pun segera turun membawa kamera. Menentukan titik bidik. Siang yang masuk ambang sore seperti ini memang seringnya berlangit lebih bagus. Sumber cahaya yang tunggal dari matahari menyinari benda-benda di alam terbuka secara sempurna. Frame demi frame yang membidik landscape danau Toba menyusup dalam memori kameraku. Sandra rupanya juga telah turun dari mobil. Ia menikmati suasana. Segera kami masuk ke mobil.
Dengan senyum yakin sambil menikmati musik, Pak Jery membawa kami melesat meninggalkan Simbolon, Pangururan, Lumban Suhi Suhi, Simanindo, Ambarita. Masuk Tomok pada saat yang tepat. Bunyi peluit kapal di udara. Mobil kami masuk ke dek kapal setelah Sandra melangkah ke loket tiket. Seolah-olah kapal menunggu kami penumpang terakhir sore ini. Sandra masih sempat membeli sekeranjang mangga segar dari penjual di depan pelabuhan. Di dalam mobil yang diparkir di dek kulihat Sandra mengupas mangga-mangga dengan pisau lalu menawari aku dan Pak Jeri. Kami menyantap mangga. Manis dan segar rasanya. Kapal mulai memisah dari bibir pulau Samosir.
“Jika tadi dari Nainggolan kita lewat jalan satunya itu … oh, kita pasti akan ketinggalan kapal ini,” ujar Pak Jery tersenyum sambil menyantap mangganya yang manis.
Ya. Pak Jery bagi kami memang hebat. Dia sangat kenal medan. Dia tahu kondisi jalan itu tidak bagus. Itulah kenapa ia memilih lewat Pangururan. Dan yang aku kagum dia hafal jadwal kapal. Sudah dua kali kami mengalami ini bersama; pengejaran kapal. Pertama pada saat berangkat untuk menyeberang ke Samosir dan ini kali yang kedua di saat kami hendak keluar dari Samosir.
Kapal terus melaju di atas danau. Rasanya malas untuk naik ke atas, ke tempat duduk para penumpang. Sandra duduk di dalam mobil, membuka jendelanya dan bercengkrama dengan anak-anak kecil para pengamen yang menyanyikan beberapa lagu tanpa alat musik. Mereka sudah akrab dengan Sandra karena bagi mereka ini kali kedua bertemu Sandra.
Kali pertama waktu menyeberang dari Parapat itu. Anak-anak adalah tetap anak-anak di manapun tempatnya. Seperti yang kulihat kemanjaan mereka pada Sandra. Sandra pun menanggapi kemanjaan itu dengan baik. Baik anak-anak atau Sandra kulihat sama-sama menjadi kanak-kanak. Orang dewasa yang mengerti anak-anak memang adakalanya harus bisa menjadi kanak-kanak kembali. Kulihat Sandra dan anak-anak begitu riang dan saling becanda.
Di tepi kapal aku berdiri memandangi danau Toba. Dua perahu mesin mengapung di depanku. Di atasnya para lelaki berompi memanen ikan dari keramba-keramba besar yang bertebar di atas danau Toba. Keramba-keramba yang menguasai danau Toba dalam skala besar itu kabarnya adalah milik perusahan asing. Meskipun ada beberapa yang milik swasta setempat. Konon ikan-ikan Nila dari danau Toba ini rasanya enak. Namun yang jelas untuk konsumsi luar negri. Kabarnya keramba-keramba itu juga berdampak polusi bagi ekosistem danau karena proses over protein dan zat-zat kimia dari pakan-pakan yang dipacukan demi pertumbuhan ikan-ikan dalam keramba. Rasanya danau yang hebat ini bisa melahirkan ikan-ikan yang luar biasa tapi masyakarat setempat ‘nrimo’ untuk makan ikan kecil-kecil bernama pora-pora. Ah..kenapa di semua sektor kehidupan di negriku ini selalu begitu. Rasanya siapa dan apa yang tumbuh dari negri ini tidak pernah menjadi tuan bagi negeri sendiri.
Begitulah aku memandangi danau Toba seperti aku memandang negriku sendiri, nusantara. Orang-orang yang merasa diri sebagai bagian dari zaman modern sudah jarang yang berpijak dari kebijakan-kebijakan masa lalu. Merasa maju di zaman kini tapi sesungguhnya mundur ribuan langkah bila dibanding dengan zaman lampau. Dan kulihat begitulah yang menimpa padamu Danau Toba. Di masa lampau kamu dihargai dan dimuliakan sebagai sumber kehidupan. Orang-orang zaman dulu tinggal di tepianmu, membuat rumah-rumah menghadap ke arahmu. Kini rumah-rumah dan bangunan-bangunan membelakangimu. Kamu menjadi tempat pembuangan akhir dari kehidupan sehari-sehari. Tempat sampah manusia juga limbah kimia. Oh danau Toba!
***
Di Parapat kapal kami merapat. Pintu dermaga Ajibata terbuka. Pintu dek kapal pun dibuka. Pintu bertemu pintu. Mobil kami kembali melaju.
Menyusuri Parapat aku teringat kembali pertama kali menginjakkan kaki di tepi danau Toba. Kenangan bersama sahabatku, Erwin. Beberapa bulan lalu berdua berkendara Land Rover dari Medan dan tiba di Parapat sore menjelang senja. Kami memarkir landrover di tepai pantai danau Toba. Aku asyik membidikkan kamera, merekam suasana-suasana sekitar pantai. Kuresap danau Toba ke dalam jiwaku, juga ke dalam kameraku. Ketika aku menoleh ke belakang mencari Erwin, tiba-tiba kusaksikan pelangi melingkar di atasku. Bianglala pada senja. Seketika aku berteriak pada Erwin yang ternyata sedang duduk memandangi danau Toba dari atas landrovernya.
“Pelangi.. ada pelangi Bang!”
“Mana..?” ujarnya.
“Itu! Lihatlat!,” kataku.
Sahabatku membalikkan tubuhnya ke belakang dan mendongak ke langit. Kulihat ia tersenyum senang.
“Kamu telah diterima secara baik oleh Danau Toba!,” serunya padaku.
Aku pun tersenyum dan senang atas kalimatnya. Meskipun aku tidak tahu persis apa makna sesungguhnya. Pelangi dari arah matahari yang mulai tenggelam perlahan menghilang. Langit kelam namun senja masih bersisa di atas Danau Toba.
Kusimpan semua itu di dalam hatiku. Semoga pertanda baik untukku. Memang kurasakan masih ada kehangatan alam Toba ini yang menyapa manusia dengan keramahannya. Tinggal bagaimana manusianya; apakah manusia masih mau bersahabat baik dengan alam atau justru sebaliknya.
***
Mobil kami dalam kendali Pak Jerry meluncur membelah senja menjadi malam yang meninggalkan Parapat, Lumban Julu, Porsea dan Laguboti.
Mungkin lantaran angin menelusup dari pintu jendela setengah terbuka yang menampari wajahku menjadi nyeri pada gigiku. Aku mencoba menepis rasa nyeri itu. Namun tak kuasa menahannya. Di sekitar Laguboti aku minta berhenti dan lari ke warung kecil membeli peredam sakit gigi dan beberapa botol besar air mineral. Aku sebenarnya benci minum obat karena zat kimia yang dikandungnya. Namun kali ini rasanya aku tak tahan pada rasa nyeriku. Terpaksa kutenggak obat ini. Lalu kembali ke mobil yang melaju lagi. Aku enggan untuk bilang apa yang kurasakan, baik pada Sandra ataupun Pak Jery. Toh nyeriku tak seberapa bila dibanding nyeri yang dirasakan Danau Toba yang tiap hari harus menerima sampah manusia dan sampah kimia itu. Atas nyeriku kutak mau deritaku ini mengganggu tugasku. Di sepanjang perjalanan, di dalam hati, aku hanya bisa berdoa semoga lekas sirna ini derita.
Lampu-lampu kota Balige yang berpendar di kelam malam tak mampu kunikmati secara sempurna. Kami berhenti di warung Padang. Duduk di meja makan menunggu pelayan. Aku tak bisa makan dalam kondisiku seperti ini. Obat tadi tak mempan sama sekali. Rasa ini semakin nyeri dan akhirnya aku terpaksa memberitahu Sandra. Kami tak jadi pesan makan dan segera keluar.
Sandra pernah tinggal lama di asrama Nomenssen selama meneliti ulos di sekitar Balige. Ke sanalah menurutnya kami bisa minta pertolongan untuk gigiku. Rasa nyeri semakin merayap ke kepala. Daun telinga kananku rasanya seperti mau melompat ke luar. Seorang wanita remaja yang tinggal di asrama memberi saran agar lebih baik ke dokter gigi terdekat. Remaja ini mengantar kami ke tempat prakteknya. Ah, di dokter gigi aku masih harus menunggu pasien lain. Begitu pasien keluar Bu dokter mempersilakan aku masuk. Sebelumnya aku berharap agar diperiksa secara cermat gigiku yang sakit ini. Atau entah diapakanlah agar gigi atau gusiku ini meredam bukannya meradang. Ternyata cuma diberi obat sambil menyarankan jika sudah tidak sakit, di hari lain untuk datang lagi. Setelah membayar, demi kesopansantunan Sandra bercerita tentang misi perjalan kami. Lantaran tertarik buku Sandra Bu dokter memohon pinjam. Agar ditinggalkan padanya sampai kami datang kembali kelak.
Kuminum serangkai obat itu setelah balik ke warung Padang untuk makan malam. Sesuai petunjuk dokter, minum obat setelah makan.
Kami lanjutkan perjalanan. Sakit gigiku agak reda tapi belum sepenuhnya. Meskipun salah satu tablet yang telah kutelan mengandung obat tidur tapi deritaku rupanya belum mampu melahirkan rasa kantuk. Kedua mataku masih nyala menatapi jalan. Sementara dalam diamku fikiranku masih terus bergulat dengan rasa nyeriku. Ada perasaan kesalku juga kenapa rasa nyeri gigi ini muncul, membuat suasana jadi tak nyaman. Menjadi dingin, beku dan semua diam. Aku sadar baik Sandra dan Pak Jery begitu peduli dan merasa kasihan padaku. Aku bisa mengerti kenapa Pak Jery dengan ekpresi diam yang seolah berkata ‘everything will be OK’ itu semakin menambah kencang mobilnya. Dan tampaknya Sandra pun rela di dalam mobil yang dipacu kencang seperti itu. Dalam keadaan wajar aku tahu Sandra tidak suka bila Pak Jerry memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Aku sadar betapa pengorbanan mereka begitu besar agar bisa cepat sampai Muara, agar aku bisa segera tidur dengan baik sehingga bisa sembuh. Berkali-kali kuteguk air mineral dari botol. Aku yakin dengan semakin banyak air semakin mempercepat reaksi obat di dalam tubuhku.
Di Pertigaan Silangit kami belok kanan. Pak Jery masih menyetir dengan kencang. Aku tetap dalam diamku, pergulatan pada rasa nyeriku. Aku masih terus bertahan dan tetap melemparkan pandanganku pada jalanan. Sejak dari Balige di dalam mobil tak ada kata, tak ada suara. Setelah pertigaan jalan seketika aku membuat Pak Jery dan Sandra kaget.
“Awas Pak…pertigaan!”, teriakku pada Pak Jery yang seketika itu pula mengerem mobilnya.
Aku tak tahu persis kenapa aku tiba-tiba teriak. Toh sebenarnya aku juga belum kenal daerah ini. Apalagi pertigaan ini. Ternyata teriakanku membuat Pak Jery mengundurkan mobilnya karena sadar telah salah jalan. Kini setelah mundur akhirnya Pak Jery mengarahkan mobil pada belokan ke kiri. Tadi aku berteriak hanya untuk mengingatkan saja agar Pak Jery hati-hati dan pasti dalam memilih jalan. Rambu-rambu penunjuk arah juga tak terbaca karena gelap. Suasana sekitar pun sepi tak nampak kehidupan manusia. Waktu sudah lebih dari jam 12 malam.
Jam setengah satu akhirnya kami sampai di hotel yang tenang di Muara. Persis di tepi danau Toba. Kami bergegas masuk kamar. Setelah menge-charge semua batere kamera dan HP aku langsung tidur. Rasa nyeri gigiku kukubur pada hangat selimut dan kasur. (***mjansr2010***)
=======
MJA Nashir, menuliskannya kembali di TujuhlangiT Jawa Tengah, 21 Oktober 2010.
Sumber:
http://www.facebook.com/note.php?note_id=449931842855
by Mja Nashir on Friday, 22 October 2010 at 03:59 ·
NAINGGOLAN - MUARA, ADA BAHAGIA ADA DERITA (Sebuah tulisan perjalanan - Bagian Keenam)
Siang ini mobil kami memasuki Nainggolan. Sebuah kota Kecamatan di ujung Selatan Pulau Samosir. Kota kecil namun ramai. Mungkin karena hari pajak (hari pasar) jalanan penuh dengan aktivitas orang. Banyak orang berjalan kaki membawa barang. Di tiap sisi jalan penuh orang berdagang. Mobil kami merayap pelan di antara keramaian. Dari kaca mobil kupandang danau Toba di depan. Kusaksikan anak-anak berseragam sekolah berdiri di bibir dermaga menunggu keberangkatan kapal untuk pulang ke rumah mereka di Muara.
Di Nainggolan tujuan Sandra untuk mencari seorang laki-laki yang pada tahun 1979 pernah ditemui. Amang Parhusip, demikian ia menyebutnya. Bapak ini menjadi gambar pada lembar 523 dari buku Sandra Niessen “Legacy in Cloth – Batak Textiles of Indonesia” (KITLV Press Leiden, 2009). Jadi kepada beliau atau keturunannya, 1 eksemplar buku hasil riset Sandra tentang ulos Batak akan diberikan.
Mobil kami berhenti di pinggir jalan. Pak Jery membuka bagasi belakang karena mengira Sandra perlu mengambil buku Legacy In Cloth. Namun Sandra belum perlu ambil buku karena ia merasa belum pasti bagaimana cara untuk mendapatkan orang yang dicari di tengah kota ramai ini. Masih perlu tanya sana tanya sini. Tak perlu bawa buku yang dijinjing berat itu. Di dalam mobil Sandra sedang menyiapkan lembar kertas berlaminasi. Sementara aku masih memandangi suasana jalan yang penuh hilir mudik orang. Mereka datang dari berbagai huta dan kumpul di sini di hari pajak ini. Aku suka cara berpakaian mereka, bersahaja. Penuh rasa kesederhanaan dan kehangatan. Seorang inang-inang turun dari angkutan lalu berjalan membawa barang di karung, dipanggul di atas kepala yang bertutup kain ala Batak Toba. Setiap kali kulihat inang-inang yang memakai penutup kepala semacam itu ingatanku selalu membawa ke Tana Toraja karena aku pernah hidup lama di sana. Ada kemiripan cara menutup kepala semacam itu. Kulihat inang ini menyeberang jalan raya dengan perasaan yang yakin bahwa akan ada rezeki untuknya di hari ini.
Penampilan orang-orang di hari pajak seperti ini memiliki daya tarik tersendiri. Menyedot perhatianku untuk menyimpannya menjadi frame-frame di kameraku. Namun bagi mereka justru Sandra-lah yang menjadi perhatian mata mereka. Maka tak aneh jika mereka merubung Sandra yang baru saja keluar dari mobil sambil menyapanya, “hello misis…helo misis”. Tak mau ketinggalan pula anak-anak sekolah. Kami - aku, Sandra, Pak Jery - suka dengan kehangatan mereka. Sandra mencoba menanya ke mereka lewat selembar kertas berlaminasi yang merupakan copy dari halaman 523 dari bukunya. Kertas yang menampangkan foto Amang Parhusip. Orang-orang ini tidak tahu. Bertemu dengan orang dalam foto ini sudah disadari Sandra bahwa kemungkinannya kecil. Tapi setidaknya harus tetap berusaha. Salah satunya dengan cara bertanya.
Kami pun berjalan kaki menyusuri jalan yang penuh orang lalu lalang. Bergerak di antara para pedagang dan aneka barang. Mereka berlomba-lomba menawarkan dagangan pada kami. Kami membalasnya dengan bertanya tentang foto Amang Parhusip. Tak ada yang tahu. Kami terus bergerak, menyemut di jalanan dan terus bertanya. Berada di keramaian macam ini seringkali membuat hilang konsentrasi. Apalagi perut kami juga lapar. Setelah berjalan sampai ujung kami putuskan lebih baik makan dulu di warung. Ibu pemilik warung ramah dan cekatan mewujudkan keinginan Sandra soal makanan yang diinginkan. Semula yang diinginkan Sandra tidak ada di sini namun ia berusaha mencarikan. Dengan baik ia melayani dan menghidangkan makanan. Kami tandas menghabisi tanpa sisa.
Waktu kami tidak banyak karena harus segera melanjutkan perjalanan ke Muara. Namun tugas mencari Amang Parhusip harus terselesaikan baik. Sepanjang jalan tadi sudah dilacak, tak ada jejak-jejak. Kami melangkah ke arah pasar.
”Ini akan menjadi keajaiban jika kita bisa menemukannya,” ujar Sandra padaku sambil menengadahkan kedua tangan ke langit.
Aku sadar sepenuhnya makna kalimat Sandra. 30 tahun bukan rentang waktu pendek. Pada rentang panjang itu kehidupan niscaya banyak berubah. Segalanya bisa berubah. Orang-orang lama diganti yang baru. Yang dicari bisa saja sudah mati. Aku sadar aku harus membantu memompa semangatnya. Apalagi aku dipercaya penuh untuk menemani dalam Project Pulang Kampung ini. Mencari satu orang di tengah keramaian barangkali bisa menjadi seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Bagaimana jika jarum itu sudah lama hilang dan tidak di situ lagi? Tapi yang dicari toh bukan jarum melainkan seorang manusia. Manusia pasti meninggalkan jejak-jejak. Apalagi hari ini adalah hari pekan, hari pasar. Pasar yang juga masih bisa dibilang sebagai pasar tradisional, bukan supermarket atau mall yang serba individual. Di sini pasti orang sejak dulu kala saling bertemu dari segala penjuru dan masih punya sifat kekeluargaan yang tinggi satu sama lain. Jadi bagiku masih ada harapan. Begitu juga bagi Sandra. Akhirnya sambil mengangkat kedua tangan di depan wajah aku berucap, “Mari kita serahkan sepenuhnya kepada Sang Mula Jadi Na Bolon.”
Dengan semangat untuk terus berusaha, plus kepasrahan tinggi kepada Sang Penggerak Alam Semesta kami melangkah ke pintu pasar. Sandra tak lagi menanya lewat lembar laminasi foto Amang Parhusip. Dari pintu pasar pada penjual ikan langsung menanya di mana tempat orang berjualan ulos. Si Inang penjual ikan menunjukkan letak posisi jualan ulos. Kami segera melangkah mengikuti petunjuk itu, memasuki los demi los. Dari los ikan, los daging, los sayur, los beras, los kopi, los kerajinan … sampai los ulos!
Di los ini berderet kios-kios dengan aneka kain ulos. Di salah satu kios paling dekat dengan kami berdiri, selain jual aneka ulos tersedia pula kerajinan anyaman. Ada aneka tikar pandan. Ada juga kantung anyaman - tandok - yang biasanya dipakai sebagai tempat beras atau barang-barang
Biasanya tandok ini diletakkan di atas kepala. Si ibu penjual ulos sedang meladeni beberapa pemasok anyaman-anyaman itu. Sandra langsung menghampirinya.
“Apa ibu kenal ini?” tanya Sandra pada penjual ulos sambil menunjukkan lembar kertas berlaminasi, foto Amang Parhusip.
Penjual ulos menerima kertas itu sambil membenahi posisi kaca mata. Wajahnya seperti kaget melihatnya. Lalu dia memandang Sandra.
“Dia amang boru saya. Isterinya adalah bibi kandung saya," ujarnya. Senyum mekar di wajah. Ada perasaan bungah. Bungah yang juga terpancar di wajah Sandra. Seketika dia berdiri dari duduknya, lalu bilang ke Sandra, “Tunggu sebentar…”
Penjual itu lari ke kios ulos di seberangnya, “Ini amang borumu. Lihatlah!”
Penjual ulos seberang yang sibuk melayani pembeli menerima yang disodorkan. Keduanya kulihat tampak senang, bersama mereka mengamati foto amang borunya. Lalu penjual ulos semula menemui Sandra kembali. Orang-orang makin ramai mengerumuni kami. Bahkan anak-anak sekolah sedang lewat turut merubung. Terdengar lagu pop Batak nyaring suaranya diputar entah dari kios mana. Di antara keramaian itu kulihat seorang bocah laki-laki sedang menghitung uangnya karena barang dagangannya telah laku. Ia berdagang ditemani adiknya perempuan yang masih kecil.
“Anaknya Amang Boru ini sering kemari. Jam empat sore dia nanti ke sini,” kata penjual ulos pada Sandra. “Ibu di sini lama? Apakah mau nenunggu?”
“Tidak. Saya cuma sebentar di sini. Bisakah saya titip sesuatu untuk anaknya?”, tanya Sandra.
Dari penjual ulos kami mendapati informasi bahwa Amang Parhusip, amang borunya sudah lama meninggal dunia. Di zaman dulu di dunia tenun tradisional Nainggolan, Amang Parhusip adalah seorang panirat (orang yang mengerjakan proses sirat). Sirat adalah bagian tepi ujung dari sehelai kain ulos yang dikerjakan dengan tangan melalui teknik-teknik tertentu yang merupakan proses finishing ulos. Dan ujung-ujung sirat biasanya berumbai-rumbai (rambu).
Sirat bisa berbentuk motif-motif atau tulisan (kata-kata). Namun bisa juga berbentuk isian manik-manik yang ditata sedemikian rupa membentuk motif. Dan Amang Parhusip salah satu ahlinya di Nainggolan. Ulos memang pekerjaan perempuan. Namun membuat sirat (manirat) bisa dikerjakan oleh laki-laki selain perempuan. Dan di jaman dulu menurut Sandra banyak laki-laki yang mengerjakan sirat. Tapi kini jarang laki-laki membuat sirat lagi, kebanyakan wanita yang mengerjakannya.
Bagi kami bisa bertemu dengan ibu ini adalah keajaiban yang tak terduga. Mengingat Sandra sebenarnya juga tidak tahu di mana tepatnya zaman dulu berjumpa dengan almarhum Parhusip. Seingatnya ia memang pernah ke rumahnya. Namun rumahnya di mana, ia betul-betul sudah lupa. Dan hanya sekali saja waktu itu ia bertemu dengan panirat ini.
"Dulu sewaktu masih di Balige, saya mendapat informasi dari orang-orang di Balige tentang tenun ulos di Nainggolan. Menurut mereka Nainggolan dulunya hebat, memiliki tradisi ulos yang kuat. Yaitu tradisi biru dari Samosir; sibolang, surisuri dan bolean. Kain-kain terbaik dari Nainggolan dipasarkan di Balige. Apa lagi, orang-orang Nainggolan pandai manirat. Oleh karena itulah waktu itu saya akhirnya ke Nainggolan," ujar Sandra menceritakan kembali pengalaman di masa lalu yang akhirnya mempertemukannya dengan almarhum Parhusip. "Saya sendirian pertama kali ke Nainggolan. Mungkin saya mendapat nama Bapak Parhusip di pasar lalu saya mencari di Nainggolan. 30 tahun yang lalu, tak ada banyak panirat lagi, selain bapak itu."
Jika kurenungkan kembali berdasar buku Sandra yang sangat tebal itu tentang Amang Parhusip cuma sedikit dan hanya sebuah foto kecil dari rangkaian foto-foto orang lain yang menunjukkan proses pengerjaan sirat. Kendati demikian meskipun kecil proporsinya namun bagi Sandra Niessen adalah sangat penting untuk bisa bertemu kembali dengannya atau keturunannya. Bagi Sandra si panirat ini atau keluarganya berhak menerima buku. Demikianlah rasa syukur dan berbagi dari Sandra Niessen kepada semua yang telah membantunya dalam riset ulos tanpa membedakan. Kepada penjual ulos di Pasar Nainggolan ini Sandra menitipkan 1 eksemplar bukunya untuk diserahkan kepada anak kandung Amang Parhusip sebagai bentuk rasa terima kasihnya.
***
Dari Nainggolan tujuan berikutnya adalah menuju Muara. Secara posisi dan letak berdasarkan peta sebenarnya tidak jauh karena hanya di seberang danau. Muara dan Nainggolan saling berhadapan. Untuk menyeberang ke Muara ada kapal kecil dari dermaga Nainggolan. Cara praktis ini tidak mungkin bagi kami. Kecuali jika tega berpisah dengan Pak Jery, dan mobil kami. Atau bisa juga kami berdua tetap menyeberang naik kapal dan membiarkan Pak Jery menyusul kami dengan memutari pulau Samosir dulu sampai Tomok. Dari Tomok ia dengan mobilnya menyeberang danau pakai kapal besar sampai Parapat. Dari Parapat meluncut lewat jalan darat lintas Sumatera (lingkar luar danau Toba) menuju Balige dan terus sampai di Muara. Kubayangkan itu perjalanan yang jauh sekali. Tapi yang jelas kami tidak bisa berpisah dengan Pak Jery ataupun mobil kami. Semua barang dan peralatan kami ada di dalam mobil. Maka kami harus tetap bersama. Cara tercepat menuju Muara dari Nainggolan dengan menyeberang pakai kapal kecil itu akhirnya kami lupakan. Agar kami tetap bisa bersama sampai ke Muara tidak lain adalah lewat Tomok.
Rasanya kami sudah bisa memutuskan persoalan dengan baik. Namun di sebuah pertigaan kami masih dihadapkan satu ‘persoalan’ yang mengusik lagi untuk menentukan kiri atau kanan. Keduanya sama-sama menuju Tomok. Kiri adalah jalan yang kami lewati sebelumnya dan kanan adalah jalan dengan jarak terdekat secara kilometernya. Dekat secara kilometer belum tentu berarti cepat secara waktu. Pak Jery sudah tahu soal itu. Dengan mantap ia pilih kiri.
Jarak Nainggolan - Tomok lumayan jauh. Kuputuskan lebih baik tidur saja. Setidaknya buat memulihkan energi kembali. Kulihat di belakang Sandra juga tertidur. Pak Jery mengemudi. Aku tertidur setengah jam lamanya. Saat mata terbuka di tengah mobil yang meluncur cepat kulihat kembali panorama danau Toba di Simbolon. Bukit-bukit yang tenang menjulang memanjang di seberang danau di bawah langit cerah itu tak bisa membuatku diam dan berlalu begitu saja sehingga akhirnya kubilang pada Pak Jery, “Berhenti, Pak!”
Aku pun segera turun membawa kamera. Menentukan titik bidik. Siang yang masuk ambang sore seperti ini memang seringnya berlangit lebih bagus. Sumber cahaya yang tunggal dari matahari menyinari benda-benda di alam terbuka secara sempurna. Frame demi frame yang membidik landscape danau Toba menyusup dalam memori kameraku. Sandra rupanya juga telah turun dari mobil. Ia menikmati suasana. Segera kami masuk ke mobil.
Dengan senyum yakin sambil menikmati musik, Pak Jery membawa kami melesat meninggalkan Simbolon, Pangururan, Lumban Suhi Suhi, Simanindo, Ambarita. Masuk Tomok pada saat yang tepat. Bunyi peluit kapal di udara. Mobil kami masuk ke dek kapal setelah Sandra melangkah ke loket tiket. Seolah-olah kapal menunggu kami penumpang terakhir sore ini. Sandra masih sempat membeli sekeranjang mangga segar dari penjual di depan pelabuhan. Di dalam mobil yang diparkir di dek kulihat Sandra mengupas mangga-mangga dengan pisau lalu menawari aku dan Pak Jeri. Kami menyantap mangga. Manis dan segar rasanya. Kapal mulai memisah dari bibir pulau Samosir.
“Jika tadi dari Nainggolan kita lewat jalan satunya itu … oh, kita pasti akan ketinggalan kapal ini,” ujar Pak Jery tersenyum sambil menyantap mangganya yang manis.
Ya. Pak Jery bagi kami memang hebat. Dia sangat kenal medan. Dia tahu kondisi jalan itu tidak bagus. Itulah kenapa ia memilih lewat Pangururan. Dan yang aku kagum dia hafal jadwal kapal. Sudah dua kali kami mengalami ini bersama; pengejaran kapal. Pertama pada saat berangkat untuk menyeberang ke Samosir dan ini kali yang kedua di saat kami hendak keluar dari Samosir.
Kapal terus melaju di atas danau. Rasanya malas untuk naik ke atas, ke tempat duduk para penumpang. Sandra duduk di dalam mobil, membuka jendelanya dan bercengkrama dengan anak-anak kecil para pengamen yang menyanyikan beberapa lagu tanpa alat musik. Mereka sudah akrab dengan Sandra karena bagi mereka ini kali kedua bertemu Sandra.
Kali pertama waktu menyeberang dari Parapat itu. Anak-anak adalah tetap anak-anak di manapun tempatnya. Seperti yang kulihat kemanjaan mereka pada Sandra. Sandra pun menanggapi kemanjaan itu dengan baik. Baik anak-anak atau Sandra kulihat sama-sama menjadi kanak-kanak. Orang dewasa yang mengerti anak-anak memang adakalanya harus bisa menjadi kanak-kanak kembali. Kulihat Sandra dan anak-anak begitu riang dan saling becanda.
Di tepi kapal aku berdiri memandangi danau Toba. Dua perahu mesin mengapung di depanku. Di atasnya para lelaki berompi memanen ikan dari keramba-keramba besar yang bertebar di atas danau Toba. Keramba-keramba yang menguasai danau Toba dalam skala besar itu kabarnya adalah milik perusahan asing. Meskipun ada beberapa yang milik swasta setempat. Konon ikan-ikan Nila dari danau Toba ini rasanya enak. Namun yang jelas untuk konsumsi luar negri. Kabarnya keramba-keramba itu juga berdampak polusi bagi ekosistem danau karena proses over protein dan zat-zat kimia dari pakan-pakan yang dipacukan demi pertumbuhan ikan-ikan dalam keramba. Rasanya danau yang hebat ini bisa melahirkan ikan-ikan yang luar biasa tapi masyakarat setempat ‘nrimo’ untuk makan ikan kecil-kecil bernama pora-pora. Ah..kenapa di semua sektor kehidupan di negriku ini selalu begitu. Rasanya siapa dan apa yang tumbuh dari negri ini tidak pernah menjadi tuan bagi negeri sendiri.
Begitulah aku memandangi danau Toba seperti aku memandang negriku sendiri, nusantara. Orang-orang yang merasa diri sebagai bagian dari zaman modern sudah jarang yang berpijak dari kebijakan-kebijakan masa lalu. Merasa maju di zaman kini tapi sesungguhnya mundur ribuan langkah bila dibanding dengan zaman lampau. Dan kulihat begitulah yang menimpa padamu Danau Toba. Di masa lampau kamu dihargai dan dimuliakan sebagai sumber kehidupan. Orang-orang zaman dulu tinggal di tepianmu, membuat rumah-rumah menghadap ke arahmu. Kini rumah-rumah dan bangunan-bangunan membelakangimu. Kamu menjadi tempat pembuangan akhir dari kehidupan sehari-sehari. Tempat sampah manusia juga limbah kimia. Oh danau Toba!
***
Di Parapat kapal kami merapat. Pintu dermaga Ajibata terbuka. Pintu dek kapal pun dibuka. Pintu bertemu pintu. Mobil kami kembali melaju.
Menyusuri Parapat aku teringat kembali pertama kali menginjakkan kaki di tepi danau Toba. Kenangan bersama sahabatku, Erwin. Beberapa bulan lalu berdua berkendara Land Rover dari Medan dan tiba di Parapat sore menjelang senja. Kami memarkir landrover di tepai pantai danau Toba. Aku asyik membidikkan kamera, merekam suasana-suasana sekitar pantai. Kuresap danau Toba ke dalam jiwaku, juga ke dalam kameraku. Ketika aku menoleh ke belakang mencari Erwin, tiba-tiba kusaksikan pelangi melingkar di atasku. Bianglala pada senja. Seketika aku berteriak pada Erwin yang ternyata sedang duduk memandangi danau Toba dari atas landrovernya.
“Pelangi.. ada pelangi Bang!”
“Mana..?” ujarnya.
“Itu! Lihatlat!,” kataku.
Sahabatku membalikkan tubuhnya ke belakang dan mendongak ke langit. Kulihat ia tersenyum senang.
“Kamu telah diterima secara baik oleh Danau Toba!,” serunya padaku.
Aku pun tersenyum dan senang atas kalimatnya. Meskipun aku tidak tahu persis apa makna sesungguhnya. Pelangi dari arah matahari yang mulai tenggelam perlahan menghilang. Langit kelam namun senja masih bersisa di atas Danau Toba.
Kusimpan semua itu di dalam hatiku. Semoga pertanda baik untukku. Memang kurasakan masih ada kehangatan alam Toba ini yang menyapa manusia dengan keramahannya. Tinggal bagaimana manusianya; apakah manusia masih mau bersahabat baik dengan alam atau justru sebaliknya.
***
Mobil kami dalam kendali Pak Jerry meluncur membelah senja menjadi malam yang meninggalkan Parapat, Lumban Julu, Porsea dan Laguboti.
Mungkin lantaran angin menelusup dari pintu jendela setengah terbuka yang menampari wajahku menjadi nyeri pada gigiku. Aku mencoba menepis rasa nyeri itu. Namun tak kuasa menahannya. Di sekitar Laguboti aku minta berhenti dan lari ke warung kecil membeli peredam sakit gigi dan beberapa botol besar air mineral. Aku sebenarnya benci minum obat karena zat kimia yang dikandungnya. Namun kali ini rasanya aku tak tahan pada rasa nyeriku. Terpaksa kutenggak obat ini. Lalu kembali ke mobil yang melaju lagi. Aku enggan untuk bilang apa yang kurasakan, baik pada Sandra ataupun Pak Jery. Toh nyeriku tak seberapa bila dibanding nyeri yang dirasakan Danau Toba yang tiap hari harus menerima sampah manusia dan sampah kimia itu. Atas nyeriku kutak mau deritaku ini mengganggu tugasku. Di sepanjang perjalanan, di dalam hati, aku hanya bisa berdoa semoga lekas sirna ini derita.
Lampu-lampu kota Balige yang berpendar di kelam malam tak mampu kunikmati secara sempurna. Kami berhenti di warung Padang. Duduk di meja makan menunggu pelayan. Aku tak bisa makan dalam kondisiku seperti ini. Obat tadi tak mempan sama sekali. Rasa ini semakin nyeri dan akhirnya aku terpaksa memberitahu Sandra. Kami tak jadi pesan makan dan segera keluar.
Sandra pernah tinggal lama di asrama Nomenssen selama meneliti ulos di sekitar Balige. Ke sanalah menurutnya kami bisa minta pertolongan untuk gigiku. Rasa nyeri semakin merayap ke kepala. Daun telinga kananku rasanya seperti mau melompat ke luar. Seorang wanita remaja yang tinggal di asrama memberi saran agar lebih baik ke dokter gigi terdekat. Remaja ini mengantar kami ke tempat prakteknya. Ah, di dokter gigi aku masih harus menunggu pasien lain. Begitu pasien keluar Bu dokter mempersilakan aku masuk. Sebelumnya aku berharap agar diperiksa secara cermat gigiku yang sakit ini. Atau entah diapakanlah agar gigi atau gusiku ini meredam bukannya meradang. Ternyata cuma diberi obat sambil menyarankan jika sudah tidak sakit, di hari lain untuk datang lagi. Setelah membayar, demi kesopansantunan Sandra bercerita tentang misi perjalan kami. Lantaran tertarik buku Sandra Bu dokter memohon pinjam. Agar ditinggalkan padanya sampai kami datang kembali kelak.
Kuminum serangkai obat itu setelah balik ke warung Padang untuk makan malam. Sesuai petunjuk dokter, minum obat setelah makan.
Kami lanjutkan perjalanan. Sakit gigiku agak reda tapi belum sepenuhnya. Meskipun salah satu tablet yang telah kutelan mengandung obat tidur tapi deritaku rupanya belum mampu melahirkan rasa kantuk. Kedua mataku masih nyala menatapi jalan. Sementara dalam diamku fikiranku masih terus bergulat dengan rasa nyeriku. Ada perasaan kesalku juga kenapa rasa nyeri gigi ini muncul, membuat suasana jadi tak nyaman. Menjadi dingin, beku dan semua diam. Aku sadar baik Sandra dan Pak Jery begitu peduli dan merasa kasihan padaku. Aku bisa mengerti kenapa Pak Jery dengan ekpresi diam yang seolah berkata ‘everything will be OK’ itu semakin menambah kencang mobilnya. Dan tampaknya Sandra pun rela di dalam mobil yang dipacu kencang seperti itu. Dalam keadaan wajar aku tahu Sandra tidak suka bila Pak Jerry memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Aku sadar betapa pengorbanan mereka begitu besar agar bisa cepat sampai Muara, agar aku bisa segera tidur dengan baik sehingga bisa sembuh. Berkali-kali kuteguk air mineral dari botol. Aku yakin dengan semakin banyak air semakin mempercepat reaksi obat di dalam tubuhku.
Di Pertigaan Silangit kami belok kanan. Pak Jery masih menyetir dengan kencang. Aku tetap dalam diamku, pergulatan pada rasa nyeriku. Aku masih terus bertahan dan tetap melemparkan pandanganku pada jalanan. Sejak dari Balige di dalam mobil tak ada kata, tak ada suara. Setelah pertigaan jalan seketika aku membuat Pak Jery dan Sandra kaget.
“Awas Pak…pertigaan!”, teriakku pada Pak Jery yang seketika itu pula mengerem mobilnya.
Aku tak tahu persis kenapa aku tiba-tiba teriak. Toh sebenarnya aku juga belum kenal daerah ini. Apalagi pertigaan ini. Ternyata teriakanku membuat Pak Jery mengundurkan mobilnya karena sadar telah salah jalan. Kini setelah mundur akhirnya Pak Jery mengarahkan mobil pada belokan ke kiri. Tadi aku berteriak hanya untuk mengingatkan saja agar Pak Jery hati-hati dan pasti dalam memilih jalan. Rambu-rambu penunjuk arah juga tak terbaca karena gelap. Suasana sekitar pun sepi tak nampak kehidupan manusia. Waktu sudah lebih dari jam 12 malam.
Jam setengah satu akhirnya kami sampai di hotel yang tenang di Muara. Persis di tepi danau Toba. Kami bergegas masuk kamar. Setelah menge-charge semua batere kamera dan HP aku langsung tidur. Rasa nyeri gigiku kukubur pada hangat selimut dan kasur. (***mjansr2010***)
=======
MJA Nashir, menuliskannya kembali di TujuhlangiT Jawa Tengah, 21 Oktober 2010.
Sumber:
http://www.facebook.com/note.php?note_id=449931842855
No comments:
Post a Comment