Friday, September 28, 2012

Menyusuri Ulos Batak, Berkelana dengan Sandra (X)

Menyusuri Ulos Batak, Berkelana dengan Sandra (X)
by Mja Nashir on Monday, 30 May 2011 at 13:10 ·
YANG ADA, YANG TIADA, YANG TERSISA - (Sebuah tulisan perjalanan - Bagian Kesepuluh)

        Siang 23 Juni 2010, akhirnya kami sampai ke Hutagalung, kampung yang di jaman dulunya terkenal dengan ulos Ragidup. Di tahun 80-an Sandra pernah tinggal di huta ini selama 8 bulan. Dan siang ini pula kami masih di temani oleh Linda Hutagalung, seseorang wanita yang sangat berjasa besar bagi Sandra di masa lalu dalam melakukan penelitian ulos Batak di kawasan Tarutung yang telah menjadi pelengkap dari karya bukunya, “Legacy in Cloth – Batak Textiles of Indonesia” (KITLV Press Leiden, 2009).

        Yang ingin dijumpai oleh Sandra pertama kali ketika menginjakkan kaki kembali di Hutagalung ini adalah tetangga dekatnya. Nai Ratna namanya. Dulu sering menenun ulos Ragidup. Mobil kami berhenti di depan sebuah rumah kayu yang pintunya terbuka. Sandra langsung masuk ke dalam rumah. Seorang nenek yang rambutnya memutih sedang bersantai bersama cucu di ruang tengah menonton TV. Inilah Nai Ratna.  Beliau masih ingat Sandra.  Seketika tangannya meraih tangan Sandra yang mengulurkan jabat tangan padanya. Senyum menyembul dari wajah Nai Ratna, menjadi lompatan flashback ke tahun 1986 ketika Sandra memotret Nai Ratna yang tersenyum berdiri di depan rumah ini sembari menunjukkan ulos Ragidupnya. Foto itu kini menjadi halaman 157 dari buku Sandra, Legacy in Cloth.

             Pertemuan kembali membahagiakan hati Nai Ratna. Nai Ratna mempersilakan kami duduk. Anak perempuannya yang Sandra kenal, Mona, keluar dari dalam ikut menemui kami. Kepada Nai Ratna Sandra menyerahkan buku atas nama Tomas Murray, seseorang yang telah membantu Sandra agar buku ini bisa sampai ke tangan Nai Ratna.  Mamak dan anak ini senang sekali menerima buku Sandra. Melewati buku itu kulihat Nai Ratna tenggelam ke dalam masa lalu di saat beliau masih aktif menenun. Kurasakan ada perasaan yang bercampur aduk. Perasaan senang. Juga perasaan sedih. Perasaan senang karena kini bisa kembali melihat dirinya yang tentu lebih muda dibanding saat ini selain juga perasaan tentang kebanggaan akan talentanya di masa lalu dalam bertenun ulos.  Perasaan sedih bisa kumengerti karena barangkali kini beliau sudah lama tidak menenun lagi.

       Menenun di sebagian besar masyarakat Batak sudah lama identik dengan kesulitan hidup. Dan kini di rumah Nai Ratna sudah tidak ada lagi kegiatan menenun. Berganti menjadi industri rumah tangga yang memproduksi tahu yang dikelola oleh anak dan menantunya. Kami diajak berkeliling di ruangan samping rumah. Kulihat orang-orang sedang bekerja mengolah tahu di bilik rumah kayu ini.  Menurut Linda, tahu produksi rumah Nai Ratna termasuk salah satu yang maju di kawasan lembah Silindung, Tarutung ini.

        Meskipun sekarang telah berubah menjadi tahu tapi aku yakin pengetahuan ulos masih dimiliki secara baik oleh seorang Nai Ratna. Barangkali beliau sudah tidak kuat untuk menenun seperti dulu lagi. Barangkali pula membuat tahu lebih menguntungkan.  Yang jelas Sandra senang atas pertemuan kembali dengan Nai Ratna. Bagaimanapun Nai Ratna telah menjadi catatan yang penting bagi sejarah tenun Silindung-Tarutung di masa yang silam.  “Saya masih ingat dulu jika bertenun Nai Ratna selalu dibantu dua orang anak perempuannya. Mereka dulu bertenun setiap hari pulang sekolah, bertenun bagian pertengahan Ragidup. Mamaknya yang bertenun sisi (kanan kiri) Ragidup,” kenang Sandra tentang Nai Ratna ini.

        Dari depan rumah Nai Ratna tidak tampak oleh kami di mana Pak Jerry. Hanya mobilnya saja yang kelihatan. Kami cari-cari dan ternyata dia sedang jongkok di kali kecil di depan rumah Nai Ratna yang mengalir air jernih. Di balik mobil ini dia sedang membersihkan bagian belakang mobil yang semula penuh lumpur dan tanah lantaran sebelumnya terperosok ke parit. Kini sudah bersih kembali. Pak Jerry selalu menjaga kebersihan dengan baik. Kini bersama Pak Jerry dan dengan mobilnya kami siap melanjutkan perjalanan kembali. 

        Kami masih berada di perkampungan Hutagalung untuk menemui penenun lainnya lagi, yaitu Nai Arta.  Dari luar rumah terasa suasana tenang dan damai. Melewati pintu samping rumah, Linda mengajak kami untuk langsung masuk. Di dalam rumah, di atas lantainya tampak Nai Arta sedang khusyuk menenun ulos Ragidup. Bertahun-tahun Nai Arta menenun tiada henti meskipun dirinya kini sudah tua. Kulihat sebuah sarung menyelimuti kakinya yang renta yang membujur di atas lantai. Sarung itu kurasa untuk menghangatkan kakinya dari dingin lantai. Kedua kakinya itulah yang sejak dulu selalu mengontrol tingkat ketegangan dan kerapatan tenunannya.

        Sosok Nai Arta menyiratkan pribadi yang tenang dan sabar. Bertekun dalam bertenun. Menurut ingatan Sandra, dulu di saat Sandra pernah ke Nai Arta, rumah ini belum ada listrik. Namun beliau menenun sampai malam dengan penerangan lampu minyak. Saat itu Nai Arta sering merasa bermasalah dengan matanya. Kini Sandra merasa senang di saat kembali lagi kemari Nai Arta sudah mengenakan kaca mata. Dan dia masih tetap menenun.

       Sandra menunjukkan bukunya kepada Nai Arta pada halaman di mana ada foto dirinya yang sedang menenun Ragidup Sisabulung. Tangan kanan Nai Arta membenahi posisi kacamata dan memperhatikan halaman itu dengan seksama dengan senyum di bibirnya. Di balik kacamata, cahaya berkilatan di kedua bola matanya. Kemudian Sandra membacakan kata-kata yang tertoreh di halaman depan dari Professor Shuichi Nagata (University of Toronto) yang telah membimbing Sandra untuk gelar Master –nya. Professor ini pulalah yang membantu Sandra agar buku Legacy ini bisa sampai ke tangan Nai Arta. Kata-kata dari professor itu bunyinya “untuk matamu, semoga sehat selalu”. Untaian kata yang dibacakan kembali oleh Sandra ini begitu menyentuh hati Nai Arta. Ada perasaan haru yang membahagiakan dan membanggakan yang terbersit pada dirinya bahwa ternyata ada orang-orang yang sangat menghargai dirinya, menghargai perjuangan dan ketekunannya dalam berkarya tenun. Dan perasaan bahagia pun terona pada wajah Sandra.

       Demikian Sandra akhirnya menyerahkan bukunya kepada Nai Arta. Kulihat anak perempuan Nai Arta juga senang atas kedatangan Sandra dan kami. Dia mempersilakan kami di rumah ini dengan perjamuan yang hangat. Kendati demikian kami tak bisa berlama di sini. Kami harus melanjutkan perjalanan lagi.

        Meluncur kembali kami di kawasan Hutagalung yang terdiri dari banyak kampung ini. Ke tempat yang lumayan jauh dari tempat Nai Arta tadi. Mobil kami berhenti di pelataran luas yang dikelilingi rumah-rumah kayu. Rumah-rumah yang sejak dulu ketika Sandra masih berada di huta ini masih tampak sama. Juga pada pelataran ini. Pemandangan yang seringkali dilihat Sandra dan selalu ada dalam kenangannya saat-saat panen telah tiba. Pada pelataran luas ini padi sedang dijemur.  Kulihat Sandra senang. Dia seperti kembali lagi ke masa lalunya di Hutagalung ini.

        Ia memang sedang kembali. Kulihat kaki-kakinya melangkah ke sebuah rumah yang asri dan bersih bersama Linda. Mereka langsung masuk melewati pintu samping yang terbuka karena pintu depan tertutup rapat. Keduanya sudah akrab dengan rumah ini. Aku pun mengikuti mereka memasuki pintu samping yang menghubungkan ruang belakang. Ada seorang nenek dan kakek di dalamnya. Seorang nenek yang kondisi kesehatannya kurang baik, seperti sedang sakit dengan wajah tuanya yang pucat. Mengenakan syal yang menutup rapat lehernya. Linda menyapanya. Nenek itu kenal dengan Linda. Dari dalam ruangan yang remang-remang itu dia mencoba melihat ke arah Sandra. Dia seperti berusaha keras mengingat-ingat.  Mungkin karena sudah tua dan juga karena kesehatannya yang kurang baik dia agak sulit untuk mengenali Sandra. Lalu nenek itu mengajak kami ke ruangan depan melalui ruang makan di mana seorang kakek sedang makan siang. Kakek ini suaminya. Kulihat kakek ini sembari makan berucap lirih berulang-ulang, “Sandy..Sandy”. Dan langkah-langkah kaki nenek yang berkaos kaki tebal dan bersendal jepit ini seperti sudah berat sekali di atas lantai rumah.  Tubuh tua ini seperti sulit menyeret kaki-kakinya.  Namun dia berusaha keras untuk berjalan.  Sampai akhirnya kini kami berada di ruang tengah di mana cahayanya lebih terang karena sinar matahari mampu masuk lebih leluasa dari jendela-jendela yang terbuka.  Dan kedua mata nenek ini juga kulihat kini terang seperti terang yang terpancar dari jiwanya.  Seketika kulihat nenek ini seperti berusaha menahan tangis ketika kini sadar bahwa yang berada di hadapannya adalah Sandra. Begitu juga kulihat Sandra. Perasan-perasaan yang ternyata tak bisa untuk ditahan-tahan lagi. Keduanya saling berpelukan. “Sandy..oh Sandy”, demikian kudengar suara dari nenek itu ketika memeluk Sandra. Keempat mata yang saling berpelukan itu berkaca-kaca. Aku merasakan keduanya seperti ibu dan anak yang telah lama tak bertemu.

        Nenek ini adalah Nai Ganda yang bagi Sandra peranannya juga berlipat ganda. Selama masa-masa penelitian Sandra di Tarutung ini, beliau bukan hanya seorang penenun tapi juga orang yang telah membimbing Sandra karena kehangatan hati dan jiwanya yang telah membukakan pintunya kepada Sandra sehingga kapan saja Sandra boleh datang dan bertanya tentang segala macam hal berkaitan dengan dunia ulos yang ingin Sandra tanyakan atau yang belum dia ketahui. Pendeknya ia selalu terbuka untuk memberi informasi, untuk berdiskusi tentang tenun. Sehingga kurasakan pada rumah ini jejak-jejak Sandra di masa lalu sangat kuat sekali. Sampai akhirnya dari Nai Ganda ini aku dapati foto masa lalu Sandra bersamanya di saat-saat dia sedang tekun mendengarkan dan mencatat segala informasi dari Nai Ganda di meja ruang

tengah ini. Sandra sendiri pun tidak memiliki foto ini sehingga akhirnya foto lama ini aku foto kembali agar ada kopinya lagi. Nai Ganda memang orang yang sangat cerdas, tekun dan rajin serta punya disiplin yang tinggi. Dia selalu menyimpan baik segala dokumentasi yang penting tentang Sandra, termasuk surat-surat dari Sandra dari Belanda di masa-masa silam dan juga buku-buku karya Sandra era sebelum Legacy in Cloth. Semuanya ia simpan dengan baik. Menjadi kebanggaan yang berharga bagi dirinya. Demikian pula atas buku Legacy in Cloth yang diserahkan oleh Sandra kepada Nai Ganda ini atas nama mamaknya sendiri - Norma Niessen - yang telah membantu Sandra agar buku ini sampai ke tangan Nai Ganda dengan baik.  Nai Ganda menerimanya dengan perasaan suka cita dan bangga.

        Di ruang tengah ini Sandra, Nai Ganda, aku dan suaminya duduk bersama dalam satu lingkaran. Kurasakan rumah yang semula sepi dan tenang sebelum kami datang ini kini seperti penuh dengan energi yang begitu kuat dari sosok Nai Ganda. Entah kenapa aku begitu terkesima dengan pesona Nai Ganda ini. Tiap helai gerakannya selalu merebut perhatianku dengan sendirinya. Seolah kedua mataku ini tak ingin aku pejamkan walau sedetik pun untuk melihat Nai Ganda. Aku merasakan dia adalah seorang tokoh besar. Begitu yang terucap dari hatiku akannya.

        Di meja ini oleh Sandra halaman-halaman Legacy In Cloth dibuka di hadapan Nai Ganda dengan gambar-gambar dan keterangan-keterangan tentang Nai Ganda. Dari lembar-lembar buku tebal itu tampak bahwa Nai Ganda dulunya memang adalah seorang penenun hebat untuk jenis ikat.  Pada halaman-halaman ini tampak Nai Ganda sedang bekerja dengan ekspresi yang selalu segar, ceria dan tak menampakkan secuilpun dari rasa keluh. Pribadi yang total dalam bekerja dan berkarya. Melihat halaman-halaman itu Nai Ganda tersipu serasa bilang pada kami bahwa kini dirinya sudah tua. Namun kurasakan kekuatan-kekuatannya itu masih tersisa. Tangan-tangannya masih sedemikian hidup. Tangan-tangannya itu kini mengabarkan padaku tentang bagaimana dia dulu bekerja mencipta tenun-tenun ikat karyanya.

        Nai Ganda  meperlihatkan kembali pada kami koleksi-koleksi kain karyanya. Aku suka sekali karya-karya tenun ikat Nai Ganda ini. Meski ada terasa sentuhan modernnya namun spirit tradisinya masih sangat kuat. Beberapa di antara kain itu ada yang Nai Ganda menciptakan motif-motif sendiri yang diinspirasi gorga (ukiran-ukiran atau ornamen pada rumah-rumah Batak) yang telah menancap di kepalanya sejak dia masih kanak-kanak. Jadi bagiku dia bukan hanya memperbanyak atau memproduksi ulos yang sudah ada, tapi juga mencipta kreasi yang baru tanpa harus meninggalkan akarnya.

        Siang ini kami lama bercengkrama di ruang tengah ini. Sampai tak terasa waktu yang mengharuskan kami beranjak dari rumah ini oleh karena masih ada janji dengan Ompu Lambok di pasar Horas Tarutung di samping masih panjang perjalanan Sandra dalam Pulang Kampung nya ini. Begitulah akhirnya kami berpamitan pada Nai Ganda dan suaminya, meninggalkan rumah mereka. Meskipun sesungguhnya kami tidak pernah bosan dengan kehangatan Nai Ganda.

        Selama perjalanan kembali ke arah kota Tarutung, fikiranku sulit untuk melupakan pengalaman bertemu dengan Nai Ganda. Sandra menuturkan kembali padaku tentang Nai Ganda, ”Nai Ganda sejak dulu tahu banyak tentang tenun Batak. Oleh sebab itu, saya sering ke rumah Nai Ganda. Dulu hidup Nai Ganda cukup susah. Saya sering menjumpai Nai Ganda memasak atau menggoreng ketela. Kami minum teh bersama dan makan ketela itu. Aduh, saya suka itu. Namun Nai Ganda selalu bersemangat. Dia banyak anaknya. Suaminya saat-saat itu sering kesulitan mendapatkan pekerjaan. Jadi, Nai Ganda lah yang sering menjaga stabilitas ekonomi di keluarga. Kain Batak menjadi hidup keluarga ini, sumber daya dan pembuka bagi kreativitas Nai Ganda. Dia wanita yang sangat pintar. Dibanding para penenun di Tarutung lainnya dia tahu jauh lebih banyak. Dulu dia belajar dari mertuanya - dari mamak suaminya. Nai Ganda masih ingat semua. Kuat ingatannya. Seperti saya selalu bisa ke beliau kalau ada pertanyaan. Dan beliau selalu tahu menjawabnya. Dia selalu bilang padaku, ada pertanyaan lain? Saya akan selalu tahu menjawab. Begitulah Nai Ganda.”

                                                         ***

        Siang ini kami telusuri kembali pasar Horas Tarutung untuk menjumpai Ompu Lambok yang telah kami datangi tadi pagi. Oleh karena Ompu Lambok ingin memberi kenang-kenangan pada Sandra dengan ulos yang baik dari koleksinya. Melewati pintu pasar langkah kami kini berada di lorong los ulos yang sepi. Banyak sekali ulos di los ini didisplay di tiap-tiap kios yang berjejeran ini. Ulos-ulos dalam aneka ragam dan warna. Semuanya itu dijual. Tapi tak kulihat para pembeli. Sepi sekali. Sesepi para penjualnya yang akhirnya memilih tertidur di antara tumpukan ulos-ulos itu. Aku terhenti di depan kios-kios yang para penjualnya tertidur ini dan mebiarkan Sandra dan Linda meninggalkanku untuk menuju ke kios Ompu Lambok. Aku masih terus berpikir kenapa bisa terjadi semacam ini. Kenapa ulos menjadi sebuah dunia yang begitu sepi.

Sehingga para penjualnya pun memilih untuk tidur seolah lebih baik bermimpi. Apakah dalam mimpi para penjual ulos ini mereka sedang melayani pembeli yang ramai sekali? Atau jangan-jangan mereka sedang bermimpi di mana mereka bukanlah penjual ulos lagi? Namun di saat bangun dari mimpi mereka toh akan mendapati kenyataan bahwa mereka adalah penjual ulos. Aku yakin pak Presiden pun tidak pernah melihat kenyataan seperti yang kulihat ini.

         Aku pun sadar tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaanku sendiri yang tiba-tiba bermunculan di kepalaku ini. Akhirnya kulangkahkan kakiku ke kios Ompu Lambok di mana Ompu Lambok sedang mengulosi Sandra dengan sebuah ulos warna ros.  Dengan sigap, dengan kameraku, aku segera mengabadikan peristiwa bersejarah bagi Ompu Lambok dan Sandra ini. Namun jujur, di saat ini pula sebenarnya aku tak bisa mengapresiasi peristiwa ini dengan baik. Mungkin karena kepalaku sedang dipenuhi oleh kenyataan yang baru saja aku saksikan, sebuah dunia ulos yang sepi.

        Perasaan sepi ini seperti juga terukir di wajah tua seorang nenek di pintu pasar saat langkah-langkah kami meninggalkan los ulos itu. Seorang nenek dengan tutup kepala yang khas cara Batak itu sedang duduk diam di antara barang dagangannya berupa cabe-cabe merah. Namun sepi. Matanya nanar memandang ke arahku. Meskipun dari sorot matanya aku masih bisa merasakan kedalaman hatinya. Memandangi orang tua ini rasanya aku seperti memandangi kembali ulos-ulos.  Sepi. Meskipun sesungguhnya aku tahu persis bahwa sepi juga bukan berarti kosong.

                                                       ***

        Siang yang sudah menjelang sore kami makan bersama di restauran Linda.  Kami semua lahap makan karena lapar yang sedemikian hebat. Apalagi juga karena masakan restauran Linda ini begitu nikmat. Suasana kekeluargaannya pun hangat. Sesekali kulihat kecipak ikan pada permukaan kolam di sekitar kami membuat suasana yang terasa alami.

        Agenda kami setelah ini sebenarnya sudah agak longgar mengingat tujuan Sandra di Tarutung sudah cukup. Selanjutnya adalah menemui orang-orang dari masa lalu yang berada di antara garis Tarutung - Parapat. Memang masih banyak orang serta tujuan yang ingin ditemui Sandra untuk menyampaikan bukunya ini. Namun mengingat waktu, untuk sore ini hanya dua saja yang akan ditemui, selanjutnya bisa diteruskan lagi besok hari. Dua tujuan itu berada di daerah Siborong Borong. Kebetulan hari ini pula Linda akan kembali ke Parapat. Linda sudah lama tinggal di Parapat. Beberapa hari sekali dia selalu pulang pergi antara Parapat-Tarutung (dan sebaliknya) selama menangani usahanya di sini. Sementara di Parapat selain rumah tinggal juga dia punya usaha bisnis di sana. Semula rencana Linda bersama ke dua anaknya akan naik bus untuk pulang ke Parapat. Namun Sandra tidak ingin membiarkan Linda dengan anak-anaknya di bus dalam perjalanan yang lumayan panjang dan melelahkan itu. Apalagi hari ini rasanya Linda sudah banyak menolong Sandra, menolong kami semua. Jika tak ada kami, mungkin Linda dari pagi sudah kembali ke Parapat dan pasti sudah sampai Parapat saat ini. Jadi kami sudah banyak makan waktu Linda dan anak-anaknya. Ah, rasanya tak mungkin kami tega membiarkan Linda yang baik hati di hari yang sudah mulai sore ini naik bus dan nyampai di Parapat pasti sudah malam sekali. Apalagi naik bus tentu memakan waktu lebih lama dari pada naik kendaraan pribadi. Jadi lebih baik Linda dan anak-anaknya bersama kami, bersama pak Jerry di mobil kami.

        Begitulah, setelah menyelesaikan makan kami semua berkemas-kemas untuk melanjutkan perjalanan. Sandra, Linda dan Siska, anaknya yang paling besar duduk di belakang. Sementara anak Linda yang bungsu, Reinhard duduk bersamaku di depan, di antara aku dan Pak Jerry. Mobil kami pun akhirnya meninggalkan halaman restoran menuju arah Parapat.

        Selama perjalanan, di belakang Sandra dan Linda saling bercerita. Keduanya pasti teringat kembali di saat-saat dulu mereka sering juga melewati jalan ini.  Sesekali untuk menyemarakkan suasana pak Jerry  sambil mengemudi juga menambahi dengan cerita-cerita lucu. Namun kadang-kadang di titik-titik tertentu di sepanjang jalanan yang kami lewati ia bercerita pula tentang kisah-kisah hantu seperti dia hafal betul titik-titik itu. Kami asyik saja menikmati cerita-cerita Pak Jerry ini sampai tak terasa kami telah memasuki daerah Siborongborong.

        Sandra berniat menjumpai seseorang di Lumban Pisang namun dia juga ingin menyampaikan bukunya ke Perpustakaan Universitas Sisingamangadja XII di Silangit Siborongborong. Jam sudah menunjukkan hampir pukul 4 sore. Dia memutuskan untuk secepatnya menuju universitas Sisingamangaraja dulu supaya tidak keburu tutup. Pak Jerry tancap gas memacu mobil menuju Silangit dan lansung masuk ke halaman kampus ini. Sandra, Linda dan aku keluar dari mobil, bergegas ke ruang perpustakaan.

        Seperti sudah menjadi kebiasaan umum di mana-mana jika urusan menyangkut suatu kantor atau instansi seringkali cukup menguras energi dan kesabaran. Dari satu meja ke meja lain. Dari satu petugas ke petugas lain.  Begitulah akhirnya kami pun masuk dari satu ruangan bertemu dengan seseorang yang akhirnya mengarahkan agar kami menuju ruangan sebelahnya lagi. Dan di ruangan ini pun petugasnya masih sempat bilang bahwa petugas yang sesungguhnya untuk keperluan semacam Sandra ini sedang tidak berada di tempat. Aduh, kapan Indonesia akan maju, dalam hatiku. Bukannya mereka semestinya menyambut dengan senang dan hangat kedatangan Sandra ini. Apalagi tujuan Sandra kemari untuk menyerahkan buku karyanya yang ditulis selama puluhan tahun tentang ulos Batak kepada salah satu kampus di tano Batak ini.  Ketika buku ini sudah diterima pun, petugas tidak segera menuliskan tanda terima. Akhirnya kuberanikan diri bilang pada petugas tadi agar Sandra diberi tanda terima dari Perpustakaan kampus ini.

        Sandra merupakan penulis yang punya hati nurani, dia sempatkan waktunya kemari karena banyak permintaan akan bukunya dari para mahasiswa yang ada di Indonesia yang dikirimkan ke alamat email atau websitenya. Salah satunya adalah mahasiswa dari kampus ini.  Dengan penyerahan Legacy ini Sandra berharap agar bukunya bisa dibaca oleh para mahasiswa di kampus ini.

        Dari kampus kami balik arah lagi ke jalan semula kami lewati menuju Lumban Pisang Kecamatan Siborongborong. Dari pinggir jalan mobil kami memasuki pekarangan luas yang dipenuhi aneka bunga di taman. Disinilah tempat bernama Persekutuan Diakonia


 Pelangi Kasih (PDPK). Di tempat ini Sandra ingin menjumpai seseorang yang bagi Sandra pernah berjasa besar padanya. Ibu Nuria Gultom namanya, salah satu pendiri diakones ini.  Atas kebaikan hatinya saat masih menjabat sebagai pimpinan sekolah diakones Balige beliau banyak membantu Sandra selama Sandra tinggal di asrama diakones Balige tersebut di sekitar 1979-1980. Selain itu beliau pernah menghadiahi Sandra ulos Pinunsaan Jogia yang sangat berharga yang turut melengkapi buku Sandra, Legacy in Cloth. Lewat penyerahan Legacy kepada beliau, Sandra ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya.  “Melalui buku ini saya ingin menyampaikan pada beliau bagaimana saya menghargai dirinya, hadiahnya, budayanya, juga kepercayaannya pada saya,” ujar Sandra


                                                                  ***

        Kedua mataku kini terbuka dalam remang cahaya-cahaya lampu jalanan yang menari-nari bersama wiper mobil yang bergerak-gerak ke kanan ke kiri. Hujan membasahi kota Parapat. Linda dan Sandra pun terbangun. Kulihat kedua anak Linda masih tertidur. Dari tempat duduknya Linda mengarahkan pak Jerry pada jalan-jalan kecil menuju ke rumahnya. Jalan di tepi danau Toba yang menghubungkan Ajibata kami lewati. Sebelum sampai dermaga kami belok kiri. Memasuki areal perumahan sampailah kami di rumah Linda. Pada saat itu pula pintu pagar rumah Linda yang semula tertutup kini terbuka. Suaminya muncul dan membantu Linda mengangkat anak bungsunya yang masih tertidur ke dalam rumah. Hujan belum juga reda. Dingin angin danau menerpa tubuhku. Kami semua akhirnya masuk ke rumah. Begitu pula Pak Jerry.

        Di dalam rumah ini kami merasa lebih hangat. Suami Linda, Pangabahan Situmeang bersama kami. Linda menghidangkan minuman hangat membuat tubuh kami segar kembali. Di dalam ruangan rumah yang bertingkat yang bersih dan rapi ini kulihat banyak barang-barang konveksi di sini. Inilah salah satu usaha Linda bersama suaminya selain restauran di Tarutung itu. Dan usaha konveksinya ini menjadi salah satu pemasok besar untuk segala cinderamata yang berbau Danau Toba. Dari kaos, syal, batik-batik, topi, tas dan segala macam. Rasanya semuanya lengkap di sini. Dari sini pula barang-barang ini dipasok ke kios-kios cinderamata di sekitar tepi danau Toba baik di Parapat ini maupun Samosir. Suami Linda pun bersemangat bercerita tentang usahanya. Tampak Sandra senang sekali melihat keadaan rumah Linda. Turut bangga melihat kesuksesan Linda dan keluarganya ini.

        Hujan mulai reda, malam mulai larut. Kami akhirnya berpamitan pada Linda dan suaminya. Linda beserta suami berterimakasih atas kebaikan hati Sandra karena telah mengantar dari Tarutung sampai ke rumahnya. Begitu juga sebaliknya Sandra menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada Linda atas pertolongannya hari ini.

        Linda dan Sandra, antar keduanya memang sudah bukan siapa-siapa. Mereka sudah seperti keluarga, kakak beradik.  Saling menolong diantara mereka juga bukan hanya hari ini.  Saling tidak ada pamrih apa-apa.  Sejak pertamakali bertemu dengan Linda di Hutagalung pada 1986, sejak Linda masih seorang wanita desa sederhana yang sedang menjemur padi di pelataran rumahnya, sejak saat itu pula Sandra telah memilih temannya, sahabatnya, keluarganya sendiri untuk selama-lamanya.

                                                            ***
                                                    (bersambung)





=======
MJA Nashir, menuliskannya kembali di TujuhlangiT Jawa Tengah, 23 Mei 2011
======================================
Tanpa mengurangi rasa hormat bagi siapa pun yang mendapatkan dan membaca tulisan ini mohon agar meninggalkan jejaknya di ruang yang telah tersedia sebagai bentuk keterbukaan & kejujuran Anda pada diri Anda sendiri serta kepedulian Anda atas tulisan ini. Mohon maaf jika ada salah kata, ucap atau apapun. Salam damai. Terima kasih.
======================================
(Bagian Pertama)---> http://www.facebook.com/note.php?note_id=434462987855
(Bagian Kedua)---> http://www.facebook.com/note.php?note_id=436327202855
(Bagian Ketiga)---> http://www.facebook.com/notes/mja-nashir/menyusuri-ulos-batak-berkelana-dengan-sandra-iii/438797277855
(Bagian Keempat)---> http://www.facebook.com/note.php?note_id=444268947855
(Bagian Kelima)---> http://www.facebook.com/note.php?note_id=447382062855
(Bagian Keenam)---> http://www.facebook.com/note.php?note_id=449931842855
(Bagian Ketujuh)---> http://www.facebook.com/note.php?note_id=452314632855
(Bagian Kedelapan)---> http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150144323917856



http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150200236372856

No comments:

Post a Comment