Saturday, July 7, 2012

IDENTITAS PAKPAK ANTARA MARGA ATAU PENGAKAP DAN PEMAHAN

IDENTITAS PAKPAK ANTARA MARGA ATAU PENGAKAP DAN PEMAHAN
Oleh : Muda M. Banurea

Pendekatan yang dilakukan untuk menentukan identitas pada masyarakat pakpak umumnya adalah Marga. Jika marganya dikenal umum ada di tanoh Pakpak maka ia menunjukkan secara nyata identitasnya. Meskipun kemudian ketika dilakukan pendalaman, bahwa watak, sifat, dan perilakunya sama sekali tidak mencerminkan kultur Pakpak yang berlaku.  Mungkin karena berdiam didaerah “perlajangen” (daerah perantauan) ia bisa sangat kental dengan kultur tertitori domisilinya. Jangankan adat istiadat bahkan bahasapun jauh dari ke-pakpak-annya. Sisi lain seperti “pengakap” dan “pemahan” sebagai orang Pakpak belum dijadikan wacana. Diskusi menyangkut bagaimana mengenal identitas kepakpakan dari sudut ini terlihat sama sekali belum tersenuth, meskipun di lebbuh interaksi sosial yang terbangun agaknya sadar atau tidak sadar tidak lagi semata-mata ditentukan oleh marga. Oleh karena itu ditingkat kesepakatan komunitas Pakpak pendekatan ini belum menemukan titik kesimpulan  hingga kini. Memang barangkali sesekali terasa adanya Polemik diantara dua poros utama pandangan antara Marga ataukah Pengakap dan Pemahan sebagai satu pendekatan identitas  Pakpak.  Polemik ini kemudian berdampak pada keraguan jumlah marga sebenarnya pada suku Pakpak. Satu kelompok lebih menitikberatkan pada kesahihan berdasarkan keturunan sedangkan yang lain lebih melihat pada pemahan dan pengakapan selama berada di tanoh Pakpak. Sementara itu kesahihan keturunan juga mengalami kekaburan sejarah baik diukur dari sisi waktu maupun “penggeraren mpung” (Sebutan nenek moyang). Jika pada masyarakat Toba tarombo terlihat begitu kentara, maka berbeda dengan Pakpak yang rata-rata telah kehilangan pengenalan terhadap beberapa tingkatan “cundut” garis keturunannnya. Meskipun Mpung Kerras pernah mengklaim keberadaan etnis ini sudah eksist sekitar empat ribu tahun silam.

Secara umum marga yang ada di Pakpak ialah di Keppas Ujung, Angkat Bintang, Kudadiri, Capah, Gajah Manik, Sinamo, Maha, Pardosi, Sambo, Brampu, Penarik, Pasi dan Ciberro. Di Boang Kombih, Melayu, Ceun. Di Klasen Tinambunen, Tumangger, Pinayungen, Maharaja, Anakampun, Meka, Mungkur, Kesogihen dan Sikettang, Gajah, Brasa. Di pegagan Lingga, Matanari dan Manik. Sedangkan di Simsim ada Tinendung, Sitakar, Kebeaken, Lembeng, Padang batanghari, Padang, Brutu, Solin, Tendang, Banurea, Manik, , Boangmanalu, Bancin, Ciberro. Lalu diantaranya terdapat marga yang bagi sebahagian besar sudah diterima semisal Bako, Munthe, Kaloko, dll. Meskipun diantara marga yang disebut terdahulu juga masih sering menjadi perdebatan. Rekognasinya belum final. Marga-marga ini sebahagian besar khususnya mereka yang berdomisili di lebbuh sudah menunjukkan pemahan dan pengakapen sebagai orang Pakpak. Bahasa, tutur dan peradaten sepenuhnya menggunakan budaya pakpak. Belum lagi terhitung pula Galingging, Manjerrang, Maibang, Munthe dan lain sebagainya ikut menerapkan pemahan dan pengakapen Pakpak. Meskipun masih bisa dihitung urutan generasi kedatangannya ke tanoh Pakpak.

Marga memang menunjukkan asal muasal teritorial seseorang. Tetapi bagi masyarakat pakpak kini semakin terkaburkan. Sinamo misalnya sudah lebih merasa Simsim dibanding Keppas sebagai asal usul teritorialnyanya. Bahkan ulayatnya barangkali tidak ditemukan lagi didaerah asalnya. Demikian pula halnya mungkin Tendang, Rea dan Manik yang menyisakan saudaranya Gajah dan Brasa di tanoh Klasen. Lebih jauh lagi Lembeng dan Kebeaken yang sebahagian menganggap diri berasal dari Samosir. Ada banyak marga yang merasa bahwa asal muasalnya berasal dari Toba. Tetapi setelah bermukim di tanoh Pakpak sekian lama menjadi bagian dari masyarakat pakpak baik dari sisi marga (meskipun belum diakui secara menyeluruh) maupun dalam pengakap dan pemahan. Apalagi jika klaim tarombo toba menjadi anutan, maka akan semakin banyak kekaburan yang ditemukan dan semakin tajam pula perdebatannya.

PENGAKAP DAN PEMAHAN

Secara faktual, tentu terlalu banyak realitas bahwa orang pakpak yang bermarga pakpak kehilangan pemahan dan pengakap sebagai orang Pakpak. Bahkan di tanoh perlajangen, bukan sekedar pengakap dan pemahan juga marga menjadi “salih”. Di lebbuh adakalnya ditemukan pula dalam acara adat “merbayo” dimana “perberru” dan “peranak” yang sama-sama bermarga Pakpak tetapi mempraktekkan adat yang bukan Pakpak. Tetapi sebaliknya terlalu banyak pula marga yang asal muasalnya bukan dari teritori Pakpak menjadi lebih Pakpak dalam pengakap dan Pemahan. Meskipun mereka tidak lagi berdomisili di lebbuh. Tidak semata-mata dalam bahasa, tutur dan adat, tetapi juga termanifestasi dalam citarasa pada bahasa dan gerak gerik tubuh. Bahkan juga pada melekatnya idiom, falsafah yang betul-betul menggambarkan ke-pakpak-an.

Cita rasa ke-pakpak-an ini kemudian dalam perilaku membela keberadaan Pakpak lebih eksplosif dibanding marga Pakpak. Mau dan mampu berdiri digaris terdepan. Mungkin jika digali lebih dalam sudah pula menjadi “persinabul” dalam kerja adat. Ekspressi ke-pakpak-an menjadi total, dan sama sekali tidak pernah tersirat mengingat asal usul teritorialnya. Pengakap dan pemahannya sama sekali sudah Pakpak. Namun terhadap mereka masih terdapat keragu-raguan bagi sebahagian orang, apalagi harus selalu dikaitkan dengan asal-usul. Meskipun terkadang hal itu sangat apologis atau mungkin sekedar menunjukkan secara phisik keaslian dan kemurnian ke-pakpak-an.

Barangkali harus diakui, tidak satupun diantara orang pakpak sekarang ini dapat mengklaim dirinya dalam pengertian asli dan murni dilihat dari berbagai aspek kultural Pakpak. Perkembangan zaman, teknologi, mobilitas penduduk dan proses assimilasi dan akulturasi tentu merupakan faktor penyebabnya. Oleh karena itu pernyataan yang bermakna asli atau murni tidak lagi tepat. Kita ini adalah orang Pakpak, dengan kondisi terkini terlepas dari segala kekurangan dan kelebihannya. Terlepas dari adanya perubahan dalam berbagai aspek perilaku kultiural kita. Bahasa kita tidak lagi sebagaimana bahasa yang digunakan “mpung si arnia” dan bahkan adat kita mengalami gerusan meskipun harus tetap ada kemufakatan kolektif bahwa yang kita praktekkan sekarang ini adalah adat pakpak.

Pemekaran Dairi dengan lahirnya Kabupaten Pakpak Bharat secara praktikal membuka soal identitas Pakpak ini dalam melihat berbagai aspek yang membutuhkan partisipasi. Secara konkrit dalam penerimaan CPNS, pengangkatan seseorang dalam jabatan tertentu atau hal-hal praktis lainnya issu ini menjadi arus utama. Fanatisme pada tingkat wajar memang diakui selain sebagai satu alat untuk membendung kepunahan masyarakat pakpak ataupun memberikan akses partisipasi yang lebih besar dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Tetapi tentu mesti dihindarkan agar tidak menjadi Simsim sentris, sehingga bukan saja etnis tetapi puak (suak) juga menjadi satu persoalan. Nah, manakala kondisi ini menemukan titik terang untuk dapat direlisasi, maka penentuan identitas Pakpak menjadi sangat vital. Apakah semata-mata ditentukan oleh marga atau pengakap dan pemahan sudah dijadikan pula sebagai indikator. Bahkan apabila margapun yang digunakan, akan pula menyisakan pertanyaan marga yang lahir di tanoh Pakpak atau marga yang kemudian sudah diterima sebagai marga Pakpak.

Dalam menjawab seberapa banyak sebetulnya marga Pakpakpun mungkin harus pula ada perdebatan, sebab secara khusus belum pernah ada “zikarah” untuk menarik kesimpulan tentang ini. Ketidak sepakatan dalam memberikan pengakuan terhadap pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Pakpak khususnya dilihat dari marga tampaknya masih terjadi. Meskipun misalnya Ypes dalam bukunya “Nota Omtrent Singkel En De Pakpak landen” tahun 1907 sudah menemukan banyak marga yang kini malah tidak dikenali sebagai Pakpak. Marga-marga itu adalah Goci, Buluara, Kumbi, Pokan, Sambo, Maha, Pardosi, Manik, Tendang, Banurea, Gajah. Berasa, Beringin, Bako, Meka, Mungkur, Maibun (atau mungkin Marbun), Tsewen, Si Ketang,  Kasogian, Ciberro, Penarik, Lembang, Kabeaken, Si Gala, Pinim, Jabat, Pincawan, Pelies, Seberutu, Kembang, Meciho, Sinaga, Tumorang, Melayu, Barat, Benjerang, Padang, Seragi, Munthe, Solin, Perbancin, Boangmanalu, Ujung, Angkat, Bintang, Purba, Barus. Mereka bahkan menyandang jabatan baik pengulu, kepala kampung, pemangku raja, imam, raja muda, raja lela, hakim dan lain-lain. Keturunan-keturunan marga itu masih berada di tanoh pakpak, dengan “pengakap dan pemahan” yang tetap Pakpak.

Oleh karena itu, barangkali perlu perenungan, kajian, diskusi untuk memantapkan kesepakatan kolektif terhadap perlunya menjadikan “pengakap dan pemahan” sebagai satu pendekatan dalam menentukan identitas Pakpak. Marga, tidak serta merta memberikan garansi bahwa seseorang adalah Pakpak dalam arti yang sebenarnya, tetapi dengan mencantumkan marga tentu terbuka pula akses untuk menelusuri cita rasa ke-pakpak-an yang disandangnya. Etnis ini hendaklah bertumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek, menjadi besar, dikenal dan mendapatkan posisi yang sederajat dengan etnis lain di Indonesia, sebagai salah satu khasanah kekayaan bangsa. Keterbukaan terhadap masuknya informasi dan teknologi tidak lagi dapat dielakkan dan secara hakikipun adalah merupakan ciri dan watak Pakpak yang perlu tetap dipelihara.


Sumber:
http://pakpaksim.wordpress.com/2010/09/10/identitas-pakpak-antara-marga-atau-pengakap-dan-pemahan/

No comments:

Post a Comment