Monday, July 2, 2012

Batak Di balik Sebuah Nama

Batak Di balik Sebuah Nama
Oleh: Maridup Hutauruk

Batak sebagai sebuah sebutan memang mengandung banyak arti dan pengartian. Untuk sebuah negara besar seperti Indonesia yang sudah berjumlah penduduk sekitar 240 juta jiwa dari 300-an etnis suku, bahwa Batak menjadi sebutan yang tidak aneh lagi. Dari Sabang sampai Merauke, dari Sulu sampai Rote tidak ada yang tak mengenal kata Batak.

Dalam konteks ke-Indonesia-an, tak bisa …dipungkiri bahwa Batak telah ikut mengambil peran dalam dinamika kehidupan berbangsa. Dari keberagaman etnis suku di Indonesia mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa pernah ada sebuah bangsa yang disebut sebagai Bangsa Batak bahkan sebelum munculnya para cerdik cendekia di bumi Indonesia, Batak sudah menjadi issu yang mendunia pada peradaban bangsa-bangsa. Jauh sebelum Benua Amerika ditemukan dan sebelum Bangsa Amerika Serikat terbentuk, dan Bahkan sebelum bangsa-bangsa di Benua Amerika di temukan, maka Bangsa Batak sudah masuk dalam pencacahan wilayah oleh Bangsa Eropah yang pada saat itu menjadi pusat peradaban.

Arti kata “Batak” diberbagai referensi yang diterbitkan oleh orang batak diartikan sebagai orang memacu kuda. Mammatak, mambatak yang berarti memecut kuda supaya berlari kencang. Pengartian ini mungkin akan sulit diterima oleh generasi sekarang karena populasi kuda yang dulunya sangat terkenal dengan sebutan kuda Batak sudah tak kedengaran lagi.

Yang sangat mengejutkan bahwa ada penemuan arkeologis pada sebuah kapal karam di Lembah Indus yang diperkirakan terjadinya perdagangan dijaman besi (Bronze age) dengan menggunakan sistim tulis disekitar 2000 – 3000 tahun Sebelum Masehi. Para ahli sedang berusaha untuk mengungkap arti dari kata “bat.a” dan “melakkha (mlecchas)” Diperkirakan sudah terjadi perdagangan yang dilakukan dengan menggunakan kapal laut dari sebuah pulau. Menurut sebuah kisah besar bahwa mlecchas terletak disebuah pulau, dimana raja-raja mlecchas ada di pulau yang ada di lautan. Menurut penulis yang disebutkan adalah Pulau Sumatra yang dikelilingi oleh laut Malaka. Bahan dagang seperti kayu, timah dan tembaga diperkirakan terdapat di Pulau Sumatra sebagaimana saat ini, Pulau Bangka menjadi penghasil utama timah. Pada bongkahan timah ditemukan tulisan hieroglyph yang diartikan sebagai mlecchas dan bat.a yang goresannya mirip aksara Batak ba-ta (ba ta). Kata bat.a dan variannya diartikan dengan berbagai pengertian antara lain seperti; jalan, peleburan loogam, burung puyuh, orang gunung (highwayman), berkelana, berkeliaran, pengelana, dan lain-lain.

Sepercik Resitasi Sejarah

Bangsa Eropah pernah mencatat Batak dengan sebutan Bata, Batta, Battas, Battaks, Batech. Bangsa Cina ada menyebutkan Pa-t’a untuk sebutan Batak. Sekitar abad ke-5 Sebelum Masehi, Plato ada menyebutkan sebuah bangsa yang mempunyai peradapan sangat tinggi yang disebut Bangsa Atlantis yang terletak disebuah benua yang tenggelam. Para peneliti Atlantology mengindikasikan bahwa bangsa yang dimaksud adalah menjurus kepada sebuah bangsa yang disebut Bangsa Batak.

Masa sebelum memasuki milenia pertama dimana pusat peradaban dunia berkembang di Afrika Utara dan Timur Tengah, maka Tanah Batak sebagai pusat sumberdaya perdagangan dunia menjadi kawasan yang dicari oleh bangsa-bangsa, dan menjadi tempat tersembunyi secara rahasia dimana mereka menyebutnya sebagai Bangsa Timur yang penuh misteri. Tanah Batak yang misterius itu menjadi sumber komoditi utama untuk Kapur Barus, Kemenyan, Mas, dan komoditi berharga lainnya.

Pada awal milenia pertama, Kekaisaran Roma sudah merajai dunia, maka semua kawasan yang ada dipelosok bumi dicacah menjadi catatan kekuasaan Kekaisaran Roma. Pliny mengambil peran pencatatan wilayah ini sampai ke kawasan yang disebut Semenanjung Malaya. Mereka juga mencatatkan suku-suku yang terdapat dari mulai Mesir sampai ke Etiopia dan Arab, dan ada menyebutkan tentang Batta.

Semenjak Ptolemy (87 – 150 Masehi) seorang Yunani penulis buku Geographia” yang hidup di Alexaderia Mesir membuat pemetaan dunia yang memasukkan Aurea Chersonesus dengan Trapobane (Sumatra) sebagai pulau emas di Semenanjung Asia Tenggara. Pemetaan oleh Ptolemy memicu keinginan Colombus untuk mengarungi dunia dengan tujuan ke Timur namun dia kesasar sampai ke Benua Amerika yang dikiranya sebagai Pulau Emas yang dimaksud. Ptolemy juga menyebutkan “5 pulau Baroussai” yang kemungkinan pulau-pulau yang ada di sekitar Barus semisal pulau Nias dan pulau-pulau sekitarnya. Pada tahun 956 Masehi, seorang penulis Arab bernama Al-Mas’udi menuliskan bahwa ada sebanyak 4530 nama kota dan 200 nama gunung yang tercatat pada buku “Geographia” Ptolemy.

Kemisteriusan keberadaan Pulau Sumatra menjadi rahasia yang tetap disimpan oleh petualang-petualang dari India Gujarat dan Persia, Timur Tengah selama ratusan tahun agar tetap menguasai perdagangan barang berharga yang tidak terdapat dimana-mana kecuali di Tanah Batak yang mereka sebut Fansur atau Barus. Tidak ketinggalan Kekaisaran Cina ikut mengambil bagian dengan mengirimkan utusan-utusan dagang dengan armada-armada besar.

Semaraknya dunia perdagangan di Dunia Timur ini menggerakkan kekuasaan raja-raja di Sumatra untuk penguasaan wilayah dari mulai Aceh sampai ke ujung Pulau Sumatra. Perangpun tak luput terjadi antara kerajaan-kerajaan untuk dominasi penguasaan wilayah demi memperebutkan hasil bumi yang terdapat di Tanah Batak, untuk tujuan penjualannya kepada para pedagang India, Persia, Timur Tengah. Kerajaan Sriwijaya muncul untuk mengambil manfaat dari pajak-pajak perdagangan.

Kerajaan-kerajaan di Tanah Batak bermunculan terutama di daerah pesisir yang memang berhubungan langsung dengan dunia luar melalui hubungan dagang dengan akses sungai dan laut menjadi transportasi utama. Sebut saja Kerajaan Panei, Kerajaan Aru Barumun, Kerajaan-kerajaan di Tanah Simalungun, Nagur (Nakur), Gayo, Kerajaan Haru di daerah Medan sekitarnya yang terdiri dari Kerajaan Wampu, Kerajaan Delitua, sampai kepada kerajaan-kerajaan berbentuk kesultanan seperti di Hamparan Perak dan Deli.

Pada umumnya kerajaan-kerajaan Batak yang bermunculan dari klan marga yang bermukim disepanjang aliran sungai yang langsung bermuara ke pantai. Sementara kerajaan-kerajaan Batak yang bermukim di pedalaman terlindungi oleh kerajaan-kerajaan yang ada di pesisir untuk menjaga kerahasiaan bahan perdagangan menjadi misteri yang tertutupi. Kerajaan-kerajaan yang ada di pegunungan menjadi semacam kawasan suci yang eksklusive terjaga kerahasiaannya dari pengamatan orang/bangsa luar. Pengaruh budaya luar dan faham kepercayaan tidak luput mempengaruhi kultur purba Bangsa Batak sehingga terjadinya perubahan istilah original Batak menjadi Melayu. Sementara kultur primitif purba tetap lestari terjaga dari pengaruh luar dan menjadi ekslusif sebagai Tanah Suci leluhur Bangsa Batak di kawasan pedalaman pegunungan seperti di Toba dan Silindung.

Pada era yang bersamaan bertumbuh juga kerajaan-kerajaan yang bertetangga dengan Tanah Batak seperti Kerajaan Pasai, Samudra di Aceh. Intervensi kerajaan dari luar Sumatra tergiur pula dengan kekayaan alam yang ada, seperti dari Tamil Cola, termasuk Singosari dari Jawa yang kemudian Majapahitpun menguasainya. Sumpah Palapa Gajah Mada untuk menguasai kebesaran kerajaan Haru terpenuhi.

Kekayaan alam yang tiada taranya ini menggerakkan para petualang-petualang Eropah untuk secara langsung mencari tau dimana sumber kekayaan itu untuk selanjutnya menguasai bahan perdagangan dunia tersebut. Banyak ekspedisi kelautan yang dikirim oleh bangsa-bangsa Eropah. Marco Polo 1290 (1292) yang mengunjungi Fanfur atau Fansur sekaran disebut Barus sebagai tempat asal kapur barus (camphor) yang harganya setara emas untuk ukuran berat yang sama. Juga menyebutkan bahwa penduduknya bercocok tanam padi dan suka meminum tuak, dan disebutkan pula bahwa bahasanya agak khusus. Nicolo Conti dari Venesia di tahun 1449 mengatakan bahwa dia mengunjungi Sumatra yang di jaman purba disebut Taprobane dan menemukan penduduknya disebut Batech atau Batta. Tome Pires 1512-1514 menyebutkan terjadinya perdagangan dengan Bata. Odarus Barbosa 1516 menyebutkan bahwa penduduk Sumatra yang ada di pesisir sudah menganut faham Muhammad (Mohametan) sementara di pedalaman masih menganut paganisme. Sepucuk surat dari Raja Portugal – Emanuel kepada Paus Leo-X di tahun 1513 bahwa utusannya bernama Juan de Barros, Castaneda, Osorius dan Maffeus dalam suatu operasi yang disebut Diogo Lopez de Sequeira menemukan Zamatra (Sumatra) tepatnya di Pedir dan Pase di tahun 1509, dimana 2 tahun kemudian Alfonso de Alboquesque menyerang Malaka di tahun 1511. Disebutkan bahwa di daerah semenanjung banyak terdapat mas yang didatangkan dari daerah Monancabo (Minangkabau) dan Barros (Barus) di negri pulau bernama Camatra.

Wiliam Marsden seorang gubernur Bengkulu mengatakan bahwa Batak adalah sebuah bangsa di Sumatra yang paling jelas keberadaannya sebagai penduduk asli dibanding penduduk lainnya yang ada di Pulau Sumatra. Sangat terlihat perbedaannya yang sangat luarbiasa kehebatan kulturnya, sifat dan kebiasaannya.

Marsden memetakan batas-batas Tanah Batak dimulai dari utara berbatasan dengan Aceh dipisahkan oleh gunung Papa dan gunung Deira, di selatan berbatasan dengan Rau atau Rawa (sekarang Rao di Sumatra Barat), memanjang sepanjang Pantai Barat dari sungai Singkil sampai ke Tabuyong dan daratannya berbatas dengan Air Bangis sampai ke Pantai Timur yang dibatasi oleh kekuasaan Melayu (Riau/Jambi) dan Aceh. Dikatakan sangat banyak penduduknya terutama di pusat Tanah Batak dimana terletak danau yang sangat besar (Danau Toba). Tanahnya subur dan pertanian menyebar merata dibanding daerah bagian Selatan. Berada pada deretan Bukit Barisan yang bermula dari selat Sunda dan berakhir di Gunung Passumah (Gn. Ophir).

Marsden kemudian menguraikan pembagian districts (wilayah) berdasarkan data pemukiman Inggris, bahwa Bangsa Batak terbagi atas Batak Angkola, Batak Padambola (Padang Bolak), Batak Mandiling (Mandailing), Batak Toba, Batak Silindong (Selindung), dan Batak Singkel (Singkil). Batak Angkola disebutkan terdiri dari 5 suku (marga), Batak Padang Bolak terdiri dari 3 suku, Batak Mandailing terdiri dari 5 Suku. Batak Silindung terdiri dari banyak wilayah dimana rajanya bermukim di Silindung. Bahan-bahan mesiu (gun-powder) diproduksi di Silindung, tepatnya di tempat bernama Bata gopit (Batugopit) di kaki gunung aktif (Dolok Martimbang) yang menghasilkan belerang dan digunakan untuk pembuatan mesiu.

Perjalanan waktu yang panjang menunjukkan terjadinya degradasi Batak. Kerajaan-kerajaan Batak yang bermunculan di pesisir sebagai bumper zone penjagaan kemisteriusan dan kesucian Tanah Batak di pedalaman ternyata menjadikan hilangnya identitas Batak berubah menjadi Melayu. Tak bisa dipungkiri bahwa intensitas interaksi dengan bangsa lain dan pengaruh budaya dan kepercayaan terhadap Bangsa Batak yang ada dipesisir. Gelombang pengaruh besar ini berakibat merenggangnya intensitas hubungan kultur dengan pusat Tanah Batak. Terbentuklah kultur baru, terbentuk pula bangsa baru yang disebut Bangsa Melayu. Itulah pra-sejarah Bangsa Batak.

Pada media-sejarah Bangsa Batak masih ada terpelihara kultur budaya Bangsa Batak walaupun mulai dimasuki oleh Bangsa Eropah yang berorientasi kepada kolonisasi perdagangan hasil bumi. Kerajaan-kerajaan Batak yang ada di Pesisir Pantai Timur seperti Kerajaan Aru praktis berubah menjadi Melayu akibat orientasi hubungan yang intensif dengan Malaka dan akar budaya tulis sudah tidak terpakai lagi. Anutan faham Mohametan dengan sendirinya mempercepat putusnya hubungan pesisir dengan Pusat Tanah Batak yang masih ketat menganut keasliannya.

Sementara intensitas hubungan Bangsa Batak di Mandailing dengan Bangsa Minangkabau di perbatasannya juga semakin tinggi walaupun masing-masing kultur tidak secara mendasar membaur karena memang tatanan adat istiadat paternalis dan maternalis yang kontradiktif berbeda. Keagungan budaya tulis dengan Aksara Batak masih terpelihara di kawasan ini, dan inilah yang membedakan kebanggaan eksklusifisme Bangsa Batak di Mandailing tetap dipertahankan oleh mereka dibanding Bangsa Minangkabau yang memang tidak memiliki aksara. Faham Mohametan yang sudah dianut Bangsa Minangkabau ratusan tahun sebelumnya ternyata tidak secara langsung terjadinya pembauran yang membentuk identitas baru bagi Bangsa Batak di Mandailing.

Intensitas perdagangan di perbatasan Aceh dan Pusat Tanah Batak tidak lagi aktif sebagai pintu perdagangan yang sudah diambil alih oleh Malaka. Tidak ada konflik kultur terjadi di kawasan ini. Konflik kepentingan pengaruh jalur perdagangan hanya terjadi dengan kerajaan-kerajaan di Tanah Batak yang sudah menjadi Melayu. Oleh karena itu, pengaruh faham Mohametan diperbatasan ini tidak secara drastis menjadi konflik kultur.

Terjadinya pergolakan faham Mohametan dari aliran yang dibawakan oleh kaum Paderi pada Bangsa Minangkabau yang menghancurkan kultur asli Bangsa Minangkabau ternyata kemudian membawa bencana besar pada Bangsa Batak. Dekulturisasi besar-besaran terjadi dimulai dari Bangsa Batak di Mandailing oleh kaum Paderi, setelah menghancur leburkan Bangsa Minangkabau. Setelah Bangsa Batak di Mandailing di akuisisi oleh kaum Paderi dan dengan secepat kilat menjalar ke Bangsa Batak di Padang Bolak dan Angkola. Terjadi dekulturisasi besar-besaran pula pada Bangsa Batak di Padang Bolak dan Angkola. Pusat Bangsa Batak di Silindung dan Toba terancam diakuisisi oleh Paderi. Tidak seperti Bangsa Batak di Angkola, Padang Bolak, Mandailing yang dengan cerdas secara ‘monggo’ mengadopsi faham baru itu, sehingga kepunahanpun tidak terjadi.

Bangsa Batak di Angkola, Padang Bolak, Mandailing yang sudah mengalami dekulturisasi oleh Paderi, secepat kilat hanya dalam 2 tahun berubah menjadi Paderi karbitan. Lalu mereka berupaya untuk memunahkan Pusat Bangsa Batak di Silindung dan Toba. Bangsa Batak di Silindung dan di Toba hampir dipunahkan. Tiga perempat jumlah Bangsa Batak di Silindung dan di Toba punah terbunuh dengan pedang. Perampasan harta, pembumi-hangusan, perkosaan lalu dibunuh. Mujizatpun datang -entah karena apa- , Paderi yang sudah menguasai Tanah Batak di Silindung dan di Toba, secara tiba-tiba merasa ketakutan sehingga lari tunggang langgang sambil diserang dari belakang. Menjadi Paderi karbitan ternyata tidak sertamerta membuahkan hasil gemilang bagi Paderi. Pemberontakan demi pemberontakan ternyata timbul ditengah Bangsa Batak yang ada di Angkola, Padang Bolak, dan Mandailing. Mereka saling bunuh, bahkan meminta bantuan pada calon penjajah Belanda yang memang baru masuk ke Tanah Batak untuk menjajah. Dalam kurun waktu hanya 4 tahun saja Bangsa Batak sudah di agitasi oleh Paderi, mengalami dekulturisasi, depresi, hilang kepercayaan diri dan tanpa pegangan. Perang saudara ini seharusnya memaknai bahwa kesombongan Bangsa Batak di pusat kekuasaannya yang diagungkan selama ribuan tahun, dapat runtuh hanya dalam 4 tahun saja.

Masuknya penjajahan Belanda ke Tanah Batak menjadi lanjutan kehancuran kultur Bangsa Batak. Mulai adanya kesadaran dekulturisasi oleh Paderi memunculkan pemberontakan kepada Paderi karbitan dan dengan sendirinya terjadi perang antar saudara yang saling memusnahkan. Kesadaran ini ternyata tidak membawa Bangsa Batak di Angkola, Padang Bolak, dan Mandailing kembali kepada kultur aslinya, malah menjadi faham anutan oleh karena penjajahan Bangsa Belanda bukan dianggap sebagai penjajahan wilayah atas kepentingan komersial melainkan dianggap sebagai penjajahan kontra faham yang bermusuhan.

Kegagalan dekulturisasi Bangsa Batak di Silindung dan di Toba oleh Paderi, ternyata masih berlanjut dengan masuknya evangelisasi Kristen. Bangsa Batak di Silindung dan Toba sudah kehilangan kepercayaan diri dan terombang ambing tanpa pegangan. Evangelisasi Kristen di Tanah Batak Silindung seolah mendapat berkat tersembunyi (blessing in disguise) akibat perang saudara semasa Paderi. Secara perlahan dan pasti Evangelisasi Kristen dengan aksi damainya berhasil melakukan dekulturisasi Bangsa Batak secara mulus. Berhasilnya dekulturisasi Bangsa Batak di Silindung dan Toba oleh Evangelisasi Kristen, berlanjut pula dengan penjajahan oleh Bangsa Belanda sehingga muncul Perang Batak yang diproklamirkan oleh Sisingamangaraja-XII di tahun 1877 dan berakhir di tahun 1907.

Jaman pergerakan kemerdekaan juga tidak luput dari andil orang-orang Batak sebagai komponen Bangsa Batak. Jong Batak sebagi wadah pergerakan oleh pemuda yang berwujud penjadi Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 menyatukan tekat dengan bersumpah bahwa Bangsa Batak ikut bertumpah darah satu Tanah Air Indonesia, ikur berbangsa satu Bangsa Indonesia, ikut bertanah air satu Tanah Air Indonesia. Sekarang Tanah Batak sudah menjadi Tanah Air Indonesia.

Pada era kemerdekaan setelah Indonesia membentuk Negara Republik Indonesia, orang Batak menjadi Perdana Mentri di tahun 1947-1948. Era Demokrasi Parlementer juga orang Batak menjadi Perdana Menteri di tahun 1955-1956. Kemudian dari era Demokrasi Terpimpin. Era Orde Baru, ada orang Batak menjadi Wakil Presiden. Era Reformasi sampai sekarang, ada saja orang Batak yang ikut mengurusi negara ini.

Menghirup Udara Merdeka

Perjalanan sejarah Bangsa Batak sejak ikut membentuk Negara Republik Indonesia sudah membaur menjadi bagian dari Bangsa Indonesia yang diwujudkan melalui Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dengan butir-butir Pancasila sebagai falsafah negara. Wujud dari keseriusan bernegara telah disumpahkan melalui wakilnya yang disebut Jong Batak Bond dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Bukti keabsahan sumpah yang terwakili itu terbukti bahwa selama 80 tahun sekarang ini sejak 1928, Bangsa Batak atau komponen Bangsa Batak tidak pernah melakukan penghianatan terhadap sumpah yang disumpahkan dalam Sumpah Pemuda.

Manusia Bangsa Batak telah menjadi individu yang mewakili diri sebagai Warga Negara Republik Indonesia dan telah meyakinkan diri masing-masing untuk menjadi anak bangsa yang baik dan merasa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah terhadap manusia Indonesia lainnya. Kata ‘merdeka’ menjadi jimat yang meyakinkan untuk mengenal anak-anak bangsa lainnya di alam Indonesia sebagai tumpaah darah Tanah Air Indonesia.

Perjalanan panjang sejarah Bangsa Batak ternyata telah membentuk beberapa fraksi bangsanya sebagai derivatif yang masing-masing membawakan penyimpangan dari karakter kultur aslinya. Maka terbentuklah fraksi Bangsa Batak menjadi penggolongan sub-ras berdasarkan seleksi alam terhadap kulturnya sebagai berikut:

Sub-ras yang dalam sejarahnya telah mengalami penggemblengan yang hampir memunahkan ras-nya. Ras ini mengalami ada sedikit penyimpangan kultur aslinya.
Sub-ras yang dengan keterpaksaan menerima faham baru menggantikan faham leluhurnya. Ras ini mengalami agak banyak penyimpangan kultur aslinya.
Sub-ras yang tidak pernah mengalami perang saudara. Ras ini mengalami lebih banyak penyimpangan kultur aslinya.
Sub-ras yang sudah mengalami total penyimpangan kultur aslinya dan telah membentuk bangsa baru.

Sangat disyukuri Negara Republik Indonesia terbentuk dan dalam kemerdekaannya memayungi semua etnis dan ras yang ada di Indonesia menjadi satu sebagai Bangsa Indonesia. Demikian pula bahwa Bangsa Batak purba yang telah membentuk sub-ras terkelompok dalam peta geografis menyebar di dalam lingkaran batas wilayah yang pernah dipetakan oleh Inggeris berdasarkan catatan William Marden, telah membentuk komunitas wilayah baru seperti Batak Silindung di Kabupaten Tapanuli Utara, Batak Toba di Kabupaten Tobasa, Batak Samosir di Kabupaten Samosir, Batak Humbang di Kabupaten Humbang Hasundutan, Batak Angkola dan Batak Mandailing di Kabupaten Tapanuli Selatan, Batak Padang Bolak di Kabupaten Padang Lawas, Batak Mandailing di Kabupaten Madina (Mandailing Natal), Batak Angkola-Sipirok-Mantailing-Tob​a di Tapanuli Tengah, Batak Simalungun di Kabupaten Simalungun, Batak Karo di Kabupaten Karo, Batak Dairi di Kabupaten Dairi, Batak Pakpak di Kabupaten Pakpak Barat, Batak Singkil di Kabupaten Singkil, Batak Gayo di Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah, Batak Kluet di Kabupaten Aceh Selatan, Batak Alas di Kabupaten Aceh Tenggara, Batak Julu di Kabupaten Aceh Singkil, Batak yang ada disepanjang pesisir pantai yang sudah menjadi Melayu.

Menghirup Udara Merdeka membawa insan-insan Bangsa Batak berinteraksi dengan bangsa lain yang bukan Batak, termasuk dengan insan-insan Bangsa Batak sendiri yang menganggap bukan lagi bagian dari Bangsa Batak. Bambu serumpun pasti mengalami gesekan. Demikian pula insan Batak entah dari sub-ras yang manapun itu tidak jarang mendapatkan kesan yang menjurus kepada pelecehan atau sinisme apabila dia mengaku Batak. Sejak awal mulai menyebarnya insan-insan Batak yang tegas mengaku sebagai Batak di tahun-tahun awal era kemerdekaan dimulai dari kawasan terdekat dari pusat penyebarannya, bahkan sampai pada masa sekarang setelah 64 tahun merdeka, masih saja sebutan Batak mengandung pelecehan dan sinisme secara terbuka. Terlepas dari banyak pula unsur pujian yang membanggakan, akan tetapi unsur pelecehan dan sinisme tersebut menjadi fokus pemikiran berkaitan dengan nama Batak sebagi sebutan.

Pelecehan dan Sinisme

Kota Medan dan sekitarnya sebagai kawasan terdekat dari Pusat Penyebaran Bangsa Batak di pedalaman, dalam sejarahnya masih masuk dalam kawasan Tanah Batak. Kerajaan-kerajaan yang tumbuh di garis pantai timur Sumatera Utara merupakan kawasan penyebaran kekuasaan oleh orang-orang Batak yang membentuk hagemoni perdagangan yang pada saat itu sedang berkembang di Selat Malaka. Sebut saja kerajaan Melayu Tua seperti Kerajaan Aru (Haru) didirikan oleh orang-orang dari Tanah Batak Karo, termasuk kerajaan-kerajaan kecil didalam kekuasaannya seperi Kerajaan Haru Delitua, Kerajaan Haru Wampu, sampai kepada terbentuknya kesultanan-kesultanan yang berdiri kemudian. Kota Medan sendiri yang semula sebagai sebuah kampung didirikan oleh seorang Batak bernama Guru Patimpus bermarga Sinambela.

Pelecehan dan sinisme terhadap sebutan Batak memang sudah lama terjadi sejak berkembangnya kerajaan-kerajaan Melayu Tua yang sudah berinteraksi dengan kerajaan-kerajaan dari Aceh, Riau dan Johor dimana generasi-generasinya secara sosiokultur sudah menghilangkan jejak asal keturunannya dari Pusat Tanah Batak dan terbentuknya komunitas bangsa baru yang disebut Melayu Deli. Sebagai contoh berikut petikan tulisan yang disajikan oleh Tengku Lukman Sinar, Melayu Online: Dalam Sejarah Melayu (Cerita ke-24) disebutkan bahwa pada periode 1477-1488 Masehi, Haru dipimpin oleh Maharaja Diraja putra Sultan Sujak “…yang turun daripada Batu Hilir di Kota Hulu, Batu Hulu di Kota Hilir”. Menurut penulis (Tengku Lukman Sinar), Batu Hilir adalah kesalahan tulis antara wau pada akhir “Batu” dengan kaf, sehingga harus dibaca “…yang turun daripada Batak Hilir di Kota Hulu, Batak Hulu di Kota Hilir”, atau mungkin saja kata “Batak” sengaja dihilangkan untuk menghindarkan anggapan penghinaan karena nama “Batak” menunjuk pada daerah pedalaman yang pada masa itu masih terbelakang dan masih belum Islam. Dengan kalimat itu dimaksudkan supaya daerah yang terletak di pesisir menjadi Melayu (masuk Melayu; masuk Islam). Adapun diantara pembesar-pembesar Haru yang disebut Sejarah Melayu, seperti nama Serbayaman Raja Purba, Raja Kembat, merupakan nama yang mirip dengan nama-nama Karo. Di hulu Deli ada daerah bernama Urung Serbayaman, yang merupakan nama salah satu Raja Urung Melayu di Deli yang berasal dari Karo.

Jansen H. Sinamo (Mr. Ethos Indonesia) mengatakan: Dalam anekdot antarsuku di Indonesia, memang orang Batak termasuk paling sering muncul sebagai korban, antara lain saya kira karena tipologi orang Batak itu sendiri yang lumayan kontroversial di mata orang non-Batak seperti kasar, keras, agresif, berlogat khas, dsb. Maka anekdot yang menyerang orang Batak dapat difahami sebagai sebuah upaya elegen dari fihak non-Batak untuk menyampaikan sebuah feedback. Di fihak lain, anekdot begini bagi saya sebenarnya merupakan sebuah tanda kedewasaan kultural dimana masyarakat sudah mampu mentertawakan (kelemahan) dirinya, sukunya dan bangsanya.

Secara dhakil-pun budaya Batak ini telah mengalami pertentangan yang tidak sedikit. Setidaknya beberapa petinggi dan tokoh batak yang menonjol akhir akhir ini melontarkan sarkasme dan sinisme terhadap budaya para Ompungnya (nenek moyangnya) sendiri. Seperti ucapan LTG (ret) TB Silalahi yang mengatakan bahwa jika tidak ada DR Ingwer Ludwig Nommensen maka orang batak masih pake cawat.

Tonjokan telak justru datang dari tokoh kredibel dan paham adat Batak secara Khatam yaitu Presiden Dewan Gereja sedunia bernama DR Soritua Albert Ernst Nababan LLD atau dikenal sebagai SAE Nababan. Beliau mengatakan bahwa falsafah Batak tidak sesuai dengan nilai nilai ajaran agama. Dalam anggapan saya pada awalnya mungkin akibat meruncingnya politikisasi internal HKBP tetapi in-sic dia maksudkan sebagai Agama secara Umum (pen: actum de sriptura y fide).

Di Cipinang, napi yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur sekitar 2.000 orang, Palembang di atas 600 orang, dan Batak sedikitnya 500 orang. Dengan latar belakang demikian, napi cenderung mengelompok berdasarkan suku. Sedikit gesekan saja, bisa menyedot ratusan “penonton”. Emosi napi mudah meletup. Rebutan uang Rp 1.000 saja, bisa memicu perkelahian yang melibatkan puluhan napi. Kerusuhan melibatkan dua kelompok besar, yakni napi kelompok Jawa Timur yang berhadapan dengan kelompok Ambon, Batak, dan Palembang. Informasi yang dihimpun SP menyebutkan, pemindahan napi diperkirakan akan berlanjut hingga beberapa hari ke depan. Napi yang terlibat kerusuhan, terutama dari etnis Batak, menjadi prioritas dipindahkan. Seluruh kepala blok dipindahkan, demikian juga dengan orang-orang yang dituakan di kalangan napi Ambon dan Palembang.

Kisah seorang ketika saya mencari-cari buku referensi kuliah pada sebuah toko buku, tiba-tiba seseorang (entah penjual atau pembeli) nyeletuk: ”Aceh pungo, dua uroe teuk, kon le ureung Aceh nyang pungo, Batak-Batak pih kapungo.” Saya hanya menangkap potongan ungkapan tadi dan tidak tahu sama sekali pangkal ujung pembicaraan. Karena penasaran saya bertanya: “Pakon, Dek!” Ia lantas menunjuk sebuah buku pada rak bagian tengah, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Oh, ini rupanya “Aceh Pungo”. Lalu, apa kaitannya dengan Batak? Kenapa pula orang Batak harus ikut-ikutan pungo? Apakah ini terkait dengan demo maut yang terjadi di Medan baru-baru ini, atau…? Ah, daripada menduga-duga, lebih baik buku ini dibaca dulu, pikirku seketika.

Satu artikel disebuah situs yang ditulis oleh orang minang: Batak adalah kafir pemakan anjing. Tentu juga makan babi, tidak beradat, maling, perampok, mabuk, dan ujung titit tidak dipotong, adalah hal-hal lainnya yang worth to mention.>>>Mungkin tidak hanya saya, banyak Batak sendiri yang mencoba membangun jarak dengan kebatakan mereka. Lihatlah, betapa Mandailing, Angkola, dan juga sebagian Karo atau Dairi-Pakpak mencoba memutuskan asosiasi dengan kebatakan mereka. Bahkan, banyak yang terang-terangan di pantai timur menjelma menjadi Melayu.

Di Medan, orang-orang Mandailing tidak mau disebut sebagai Batak. Mereka mengatakan bukan Batak. Pada tahun 1920-an, orang-orang Mandailing bahkan menolak menguburkan seorang Batak yang berasal dari Sipirok dalam pemakaman karena yang meninggal masih memegang identitas kebatakannya (Limantina Sihaloho, 2004).

Catatan masa kecil dalam pertumbuhan fisik, mental dan spiritual di dalam lingkungan bermain dengan menganggap semua orang adalah teman, sederajat, sepermainan, terutama dari kaum Minangkabau yang merantau di Tanah Batak Kota Medan, tidak jarang seorang anak Batak harus mengalami pelecehan dan sinisme dengan sebutan “Batak berekor”, “Batak makan orang”, dan sebagainya. Ini secara terbuka dikemukakan pada era 1960-an dan sampai saat ini dalam versi barunya. Kaum lain seperti Cina, Tamil, Punjab, Jawa tidak berani mengatakan demikian dan mungkin hanya sebatas mengucapkan “Batak !” dengan intonasi sinisme.

Banyak sekali issu sinisme atau pelecehan yang akan dialami oleh seseorang yang mengaku ‘Batak’. Banyak alasan yang mengemuka, apakah karena kultur komunikatif, ke-khas-an karakter, kesenjangan ekonomi, fighting spirit, dan lebih banyak karena faham kepercayaan, sehingga sebagian insan Batak yang tak mampu mengatasinya secara mental, lalu menggeser identitas Batak menjadi bukan Batak. Kalau bukan Batak lantas apa? Kalau Bangsa Batak yang menjadi Melayu di Deli sudah mendapat identitas baru selama perjalanan sejarahnya karena peta politik masa lalu menguntungkan mereka untuk berubah, walaupun sangat jelas perbedaannya dengan yang disebut Melayu di Riau, di Sumatra bagian Selatan dan di Semenanjung, memang masih bias difahami. Bahkan ada tendensi pengakuan ancestory bahwa mereka turunan dati sub-Batak di Karo dan Toba.

Kalau komunitas kecil sub-Batak yang ada di Mandailing, Angkola, Sipirok, Pakpak, Dairi, Karo, Simalungun meng-issu-kan bukan sub-Batak, lalu sebutan apa yang harus diberikan? Kan akan semakin memperjelas bahwa mereka bukan pribumi di Tanah Batak yang notabene sejarahnya adalah Sumatra Utara. Apakah mereka mau disetarakan dengan etnis Jawa, atau Cina, atau Tamil, atau Punjabi, yang notabene bukan pribumi? Apakah Melayu Deli lantas menerimanya sebagai Melayu yang berbeda jauh kulturnya?

Ilmu pengetahuan itu katanya netral. Kalau penjajah Belanda memang dicurigai punya niatan memutar balikkan sejarah Bangsa Batak boleh jadi kecurigaan itu beralasan, akan tetapi bukankan politik pecah belah itu yang menjadi sebab akibat yang muncul menjadi tendensi menghilangkan Batak sebagai identitas? Bagaimanapula kita harus menghilangkan catatan Pliny tentang Batta di The Natural History ? Apakah bangsa Roma berkepentingan dan mengenal apa itu Toba, Silindung, Angkola, Sipirok, Mandailing, Simalungun, Karo, Dairi, Pakpak, Alas, Gayo, Kluet, Singkil, Melayu, karena semuanya dulu tak dikenal oleh mereka kecuali Batak. Apakah Marco Polo mengenal sub-Batak, dan berkepentingan untuk memecah belahnya? Dia hanya mengenal Batak. Kalau William Marsden seorang gubernur Bengkulu orang Inggris yang kemudian digantikan oleh Stanford Raffles berkepentingan untuk memecah belah, dia mungkin tidak memetakan Tanah Batak (Sumatra Utara sekarang) dalam bukunya ‘The History of Sumatra’. Bahkan dia menegaskan bahwa Batak yang pantas mengklaim sebagai penduduk asli dan beralasan kuat disamping orang Rejang, daripada Aceh, atau Minangkabau, atau Lampung, atau Palembang berdasarkan original decendent. Batak dikatakan memang berbeda dari lainnya dan mengagumkan dari sudut kultur, bahasa, aksara dan tatanan hukum yang tegas, bahkan memakan manusia hidup-hidup taruhannya.

Apabila secara tegas dikatakan oleh sub-Batak dari Toba, Silindung, Samosir, Humbang bahwa mereka adalah Batak, apa lantas mereka yang harus menanggung semua sinisme dan pelecehan etnis? Mengapa harus ditambah pula oleh sub-batak lainnya? Mengapa tidak dipertanggungjawabkan bersama untuk membentuk Batak bersatu dalam kancah bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia? Kalau untuk membentuk bangsa, menjadi Bangsa Batak akan lebih gampang ketimbang Bangsa Indonesia melihat banyaknya benturan terhadap sebutan Batak, bahkan etnis lain yang berada di Sumatra Utara sudah bermerek Batak menjadi ikut mendapat sinisme dan pelecehan, yang memang sudah diwariskan sejak kerajaan Melayu berkembang di Deli. Jadi bukan siapa-siapa yang memulai sinisme dan pelecehan etnis itu terjadi, tetapi ada faham besar yang menjadi Batak terpinggirkan, dan tidak perlu berkecil hati, duniapun mampu dikacaukan faham-faham besar ini.

Tak Perlu Direnungkan

Kata Batak (untuk bahasa Indonesia) atau Bata, Batta, Battas, Battaks, Batech (untuk bahasa asingnya) ternyata sudah dikenal dan tercatat dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa hampir 2000 tahun, bahkan ribuan tahun Sebelum Masehi.

Kata Batta sebagai komunitas suku ada ditemukan dalam buku karya Pliny berjudul “The Natural History” di tahun 77 Masehi. Tidak ada disebutkan Mandailing atau yang lainnya seperti Angkola, Padang Bolak, Silindung, Toba, Simalungun, Karo, Dairi, Pakpak, Gayo, Alas, Kluet, Singkil, Melayu.

Ptolemy (89-150 Masehi) sudah memetakan Barus. Ini Tanah Batak.
Batak sebagai penguasa Benua Atlantis yang hilang.
Batak (Karo, Toba, Simalungun) berperan utama membentuk bangsa baru disebut Melayu Deli dengan kerajaan-kerajaan yang sampai ditakuti oleh Majapahit. (Garis keturunan Majapahit ada di silsilah Batak Toba)
Batak (Mandailing, Sipirok, Angkola, Silindung, Toba, Samosir, Humbang) hampir punah semasa Paderi. Seleksi alam yang maha ketat selayaknya sub-batak ini memungkinkan untuk lebih unggul dalam banyak hal.

Dua faham besar merhasil menghasut keangkuhan Batak sebagai bangsa yang besar, dan tendensi mengkerdilkan diri semakin mengental hari demi hari, sampai tiba saatnya Batak menjadi Inka, atau Maya, atau Sioux yang hanya tinggal nama sebagai pemilik asli Benua Amerika.

Penjajah Belanda dengan Devide et Impera, berhasil menceraiberaikan Batak sebagai Bangsa dan Multiplier Effect terjadi sampai saat ini.
Batak (Keseluruhan) merasa lebih nyaman menjadi minoritas ketimbang ‘emerging tribe’ yang keluar dari keterpurukannya. Bahkan lebih suka menjadi supermini supaya bisa menjadi anak-mami dinegri tercinta ini. Cerdas-cerdas tapi tak pintar.
Kalau Batak keseluruhan tidak mau menanggung sinisme dan pelecehan etnis, lebih bijak kalau tidak ditambahi oleh sub-batak lainnya, dan kalaupun sub-batak lainnya harus menolak bukan Batak, biarlah Batak hanya dipikul oleh sub-batak dari Silindung, Toba, Samosir, Humbang. Mungkin mereka akan meminjam petuah Melayu: Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.


Sumber:
http://batakone.wordpress.com/category/batak/batak-dibalik-sebuah-nama/

No comments:

Post a Comment