Gordang Sambilan Berjaya di Negeri Jiran
Oleh: Annisa F. rangkuti
Hati-hati. Kesenian tradisional Indonesia yang satu ini mulai diklaim sebagai milik Malaysia. Nasib yang sama seperti kesenian reog Ponorogo, gamelan atau lagu “Rasa Sayange” dari Maluku itu. Kali ini yang diklaim adalah kesenian tradisional dari Mandailing. Sebuah komunitas di sana bahkan telah mempertunjukkannya saat upacara hari-hari besar negara mereka. Ah, kita kecolongan lagi?
Hmmm…tunggu dulu. Komunitas yang saya tulis sebelumnya memang berhak mempertunjukkan kesenian tradisional asli Indonesia ini di Malaysia. Loh, kok bisa?
Jelas bisa, karena mereka adalah warga Mandailing yang telah lama mukim di Malaysia, atau tepatnya keturunan orang-orang bersuku Mandailing asli yang ada di Sumatera Utara namun lahir dan besar di sana. Singkatnya, mereka adalah orang-orang berdarah Mandailing namun berstatus sebagai warga negara Malaysia. Keberadaan mereka di negeri tetangga itu dikarenakan generasi pendahulunya yang banyak melarikan diri ke Malaysia pada zaman penjajahan Belanda, yang lalu berketurunan dan menetap di sana.
Meski begitu, agaknya generasi-generasi pendahulu mereka tak pernah berniat melupakan darah asli mereka yang keturunan raja-raja bermarga di Mandailing. Sebagian dari mereka tetap mewariskan segala sesuatu tentang daerah asal mereka hingga ke anak cucu. Meski pada masa-masa awal di sana mereka enggan menunjukkan identitas asli sebagai pelarian dari tanah Mandailing, namun rasa ingin tahu yang besar dari generasi setelahnya mengungkap tanya tentang asal-usul leluhur mereka, yang terpantik khususnya dari marga yang ditabalkan di belakang nama mereka.
Dari penelusuran tentang asal usul itu, mereka lalu membawa adat istiadat leluhurnya ke tempat mereka bermukim. Salah satu warisan budaya Mandailing berupa kesenian tradisional yang mereka bawa sampai ke tanah Melayu sana adalah Gordang Sambilan. Mungkin belum banyak yang tahu tentang kesenian tradisional ini. Tapi bagi saya, selain bunyi alat musik tiup Saluang dari Sumatera Barat, saya paling suka mendengar bunyi tabuhan gendang yang satu ini.
Gendang yang bukan sembarang gendang. Sesuai namanya, ada sembilan buah gendang yang serentak ditabuh untuk menghasilkan harmonisasi musik etnik yang indah. Mendengarnya sungguh membangkitkan semangat. Jiwa dan raga seperti ikut terhentak-hentak oleh pukulan-pukulan gendang yang beritme selaras dengan alat musik pengiringnya, gong dan saleot. Menikmati iramanya sungguh membuat saya terbius. Membangkitkan kerinduan dan kecintaan pada tanah leluhur di Mandailing, negeri gordang sambilan. Saya pun berpikir, mungkin seperti itulah yang dirasakan warga Mandailing di Malaysia yang rindu pada tanah leluhurnya.
Musik yang dihasilkan dari tabuhan gordang sambilan ini memang istimewa. Biasanya alat musik tradisional adat Mandailing ini dipertunjukkan saat upacara adat pernikahan atau upacara kematian. Bahkan akhir-akhir ini sudah merambah ke panggung pertunjukan untuk menyambut tamu-tamu kehormatan dari dalam maupun luar negeri atau untuk meramaikan perhelatan besar seperti Pekan Raya Sumatera Utara. Di tempat asalnya, gordang sambilan ini sering dijadikan pertunjukan untuk menyambut hari raya Idul Fitri.
Bunyi khas gordang sambilan ini dihasilkan dari masing-masing gendang yang terbuat dari kayu yang dilubangi dan salah satu ujungnya (bagian kepalanya) ditutup dengan membran yang terbuat dari kulit lembu atau kerbau, yang ditegangkan dengan rotan sebagai alat pengikatnya. Layaknya gendang, jika dipukul dengan kayu pemukulnya akan menghasilkan gaung suara yang khas. Bayangkan saja jika kesembilan gendang itu dipukul dengan pengaturan tempo yang harmonis. Tentunya akan menghasilkan harmonisasi irama yang sungguh memukau.
Sebelum masuknya agama Islam di tanah raja-raja Mandailing, gordang sambilan dipandang sakral karena diyakini mempunyai kekuatan gaib untuk memanggil roh nenek moyang guna memberi pertolongan melalui medium yang dinamakan Sibaso. Roh nenek moyang yang merasuki Sibaso ini dipercaya dapat mengatasi kesulitan yang sedang menimpa masyarakat pada masa itu; wabah penyakit, kekeringan yang berkepanjangan, atau sebaliknya, banjir karena curahan hujan yang terus menerus dan mulai menimbulkan kerusakan.
Maka dari itulah dulunya di setiap kerajaan otonom yang banyak terdapat di Mandailing harus ada satu ensambel gordang sambilan. Alat musik sakral itu di tempatkan di Sopo Godang (balai sidang adat dan pemerintahan kerajaan) atau di satu bangunan khusus untuknya yang dinamakan Sopo Gordang yang terletak di dekat Bagas Godang (kediaman raja).
Seiring perubahan zaman, gordang sambilan lebih banyak digunakan untuk acara-acara adat seperti, margondang pada acara pernikahan. Untuk kepentingan pribadi seperti ini, penggunaan gordang sambilan membutuhkan izin dan restu dari tetua adat. Tidak sembarangan untuk bisa menghelat acara dengan diiringi gordang sambilan. Calon empunya acara harus mengajukan permohonan izin menggunakan gordang sambilan melalui suatu musyawarah adat yang disebut markobar adat, yang dihadiri oleh tokoh-tokoh tetua adat yang disebut Namora Natoras dan Raja serta tentunya pihak calon penghelat acara.
Setelah mendapatkan izin dari Namora Natoras dan Raja, penyelenggara upacara adat harus menyembelih paling sedikit satu ekor kerbau jantan dewasa. Jika persyaratan itu tidak dipenuhi, maka gordang sambilan tidak boleh digunakan. Itulah sebabnya hanya kalangan tertentu saja yang dapat menyelenggarakan upacara adat dengan gordang sambilan. Butuh biaya besar untuk bisa mengadakan acara demikian. Apalagi mengingat acara margondang untuk kepentingan acara pernikahan itu bisa diadakan selama tiga hari tiga malam, bahkan ada yang sampai tujuh hari tujuh malam. Selama beberapa hari itu, para tetua adat, tokoh-tokoh masyarakat dan siapa saja yang berpartisipasi dalam acara itu sibuk terlibat demi suksesnya penyelenggaraan acara. Penggunaan gordang sambilan dalam upacara adat ini juga disertai dengan pemasangan benda-benda kebesaran adat, seperti bendera-bendera adat yang dinamakan Tonggol dan payung kebesaran yang dinamakan Payung Raranagan.
Dewasa ini, gordang sambilan tidak hanya digunakan pada acara-acara adat, tetapi juga sudah mulai unjuk diri sebagai salah satu kesenian tradisional Mandailing yang mulai populer di Indonesia. Bahkan dalam beberapa lawatan kesenian tradisional Indonesia ke mancanegara, khususnya negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, gordang sambilan mulai diperkenalkan sebagai salah satu kesenian tradisional istimewa Indonesia. Tak terkecuali oleh orang Mandailing di Malaysia. Mereka juga sudah mulai mempertunjukkan gordang sambilan dalam berbagai acara pada hari-hari besar. Bahkan komunitas Mandailing di sana sudah memiliki perlengkapan gordang sambilan sendiri, sehingga tak perlu lagi jauh-jauh menjemput ke daerah asalnya.
Mengingat ikatan kekerabatan warga Mandailing sangat erat dimanapun mereka berada, maka kesenian gordang sambilan ini dapat dianggap sebagai pengikat kecintaan warga Mandailing di Malaysia pada tanah leluhurnya. Meski lahir dan besar di negeri jiran, tetapi kecintaan pada tanah leluhurnya mungkin melebihi kecintaan generasi muda Mandailing yang lahir dan tumbuh di Indonesia, mengingat banyak generasi muda Mandailing saat ini yang mulai abai untuk mengenal warisan budayanya sendiri. Tak perlu sampai menyinggung masalah bahasa daerah atau warisan budaya yang patut dilestarikan, beberapa bahkan enggan untuk melekatkan marga di belakang namanya.
Terlepas dari polemik status hak kepemilikan atas karya seni budaya yang marak beberapa tahun belakangan ini, rasanya warga Mandailing di Malaysia yang turut serta melestarikan budaya warisan leluhurnya ini justru yang Paling Indonesia. Meski hidup di negeri orang, namun tetap berusaha mengenal dan mencintai akar budayanya yang ada di tanah Indonesia. Bukankah begitu?
***
Sumber:
http://sosbud.kompasiana.com/2011/05/19/gordang-sambilan-berjaya-di-negeri-jiran/
Hmmm…tunggu dulu. Komunitas yang saya tulis sebelumnya memang berhak mempertunjukkan kesenian tradisional asli Indonesia ini di Malaysia. Loh, kok bisa?
Jelas bisa, karena mereka adalah warga Mandailing yang telah lama mukim di Malaysia, atau tepatnya keturunan orang-orang bersuku Mandailing asli yang ada di Sumatera Utara namun lahir dan besar di sana. Singkatnya, mereka adalah orang-orang berdarah Mandailing namun berstatus sebagai warga negara Malaysia. Keberadaan mereka di negeri tetangga itu dikarenakan generasi pendahulunya yang banyak melarikan diri ke Malaysia pada zaman penjajahan Belanda, yang lalu berketurunan dan menetap di sana.
Meski begitu, agaknya generasi-generasi pendahulu mereka tak pernah berniat melupakan darah asli mereka yang keturunan raja-raja bermarga di Mandailing. Sebagian dari mereka tetap mewariskan segala sesuatu tentang daerah asal mereka hingga ke anak cucu. Meski pada masa-masa awal di sana mereka enggan menunjukkan identitas asli sebagai pelarian dari tanah Mandailing, namun rasa ingin tahu yang besar dari generasi setelahnya mengungkap tanya tentang asal-usul leluhur mereka, yang terpantik khususnya dari marga yang ditabalkan di belakang nama mereka.
Dari penelusuran tentang asal usul itu, mereka lalu membawa adat istiadat leluhurnya ke tempat mereka bermukim. Salah satu warisan budaya Mandailing berupa kesenian tradisional yang mereka bawa sampai ke tanah Melayu sana adalah Gordang Sambilan. Mungkin belum banyak yang tahu tentang kesenian tradisional ini. Tapi bagi saya, selain bunyi alat musik tiup Saluang dari Sumatera Barat, saya paling suka mendengar bunyi tabuhan gendang yang satu ini.
Gendang yang bukan sembarang gendang. Sesuai namanya, ada sembilan buah gendang yang serentak ditabuh untuk menghasilkan harmonisasi musik etnik yang indah. Mendengarnya sungguh membangkitkan semangat. Jiwa dan raga seperti ikut terhentak-hentak oleh pukulan-pukulan gendang yang beritme selaras dengan alat musik pengiringnya, gong dan saleot. Menikmati iramanya sungguh membuat saya terbius. Membangkitkan kerinduan dan kecintaan pada tanah leluhur di Mandailing, negeri gordang sambilan. Saya pun berpikir, mungkin seperti itulah yang dirasakan warga Mandailing di Malaysia yang rindu pada tanah leluhurnya.
Musik yang dihasilkan dari tabuhan gordang sambilan ini memang istimewa. Biasanya alat musik tradisional adat Mandailing ini dipertunjukkan saat upacara adat pernikahan atau upacara kematian. Bahkan akhir-akhir ini sudah merambah ke panggung pertunjukan untuk menyambut tamu-tamu kehormatan dari dalam maupun luar negeri atau untuk meramaikan perhelatan besar seperti Pekan Raya Sumatera Utara. Di tempat asalnya, gordang sambilan ini sering dijadikan pertunjukan untuk menyambut hari raya Idul Fitri.
Bunyi khas gordang sambilan ini dihasilkan dari masing-masing gendang yang terbuat dari kayu yang dilubangi dan salah satu ujungnya (bagian kepalanya) ditutup dengan membran yang terbuat dari kulit lembu atau kerbau, yang ditegangkan dengan rotan sebagai alat pengikatnya. Layaknya gendang, jika dipukul dengan kayu pemukulnya akan menghasilkan gaung suara yang khas. Bayangkan saja jika kesembilan gendang itu dipukul dengan pengaturan tempo yang harmonis. Tentunya akan menghasilkan harmonisasi irama yang sungguh memukau.
Sebelum masuknya agama Islam di tanah raja-raja Mandailing, gordang sambilan dipandang sakral karena diyakini mempunyai kekuatan gaib untuk memanggil roh nenek moyang guna memberi pertolongan melalui medium yang dinamakan Sibaso. Roh nenek moyang yang merasuki Sibaso ini dipercaya dapat mengatasi kesulitan yang sedang menimpa masyarakat pada masa itu; wabah penyakit, kekeringan yang berkepanjangan, atau sebaliknya, banjir karena curahan hujan yang terus menerus dan mulai menimbulkan kerusakan.
Maka dari itulah dulunya di setiap kerajaan otonom yang banyak terdapat di Mandailing harus ada satu ensambel gordang sambilan. Alat musik sakral itu di tempatkan di Sopo Godang (balai sidang adat dan pemerintahan kerajaan) atau di satu bangunan khusus untuknya yang dinamakan Sopo Gordang yang terletak di dekat Bagas Godang (kediaman raja).
Selain itu, gordang sambilan juga digunakan untuk mengiringi tari yang dinamakan Sarama. Penyarama (orang yang melakukan tari Sarama) kadang-kadang mengalami kesurupan (trance) pada waktu menari karena dimasuki oleh roh nenek moyang. Demikian juga halnya dengan pemain gordang sambilan.
Setelah mendapatkan izin dari Namora Natoras dan Raja, penyelenggara upacara adat harus menyembelih paling sedikit satu ekor kerbau jantan dewasa. Jika persyaratan itu tidak dipenuhi, maka gordang sambilan tidak boleh digunakan. Itulah sebabnya hanya kalangan tertentu saja yang dapat menyelenggarakan upacara adat dengan gordang sambilan. Butuh biaya besar untuk bisa mengadakan acara demikian. Apalagi mengingat acara margondang untuk kepentingan acara pernikahan itu bisa diadakan selama tiga hari tiga malam, bahkan ada yang sampai tujuh hari tujuh malam. Selama beberapa hari itu, para tetua adat, tokoh-tokoh masyarakat dan siapa saja yang berpartisipasi dalam acara itu sibuk terlibat demi suksesnya penyelenggaraan acara. Penggunaan gordang sambilan dalam upacara adat ini juga disertai dengan pemasangan benda-benda kebesaran adat, seperti bendera-bendera adat yang dinamakan Tonggol dan payung kebesaran yang dinamakan Payung Raranagan.
Dewasa ini, gordang sambilan tidak hanya digunakan pada acara-acara adat, tetapi juga sudah mulai unjuk diri sebagai salah satu kesenian tradisional Mandailing yang mulai populer di Indonesia. Bahkan dalam beberapa lawatan kesenian tradisional Indonesia ke mancanegara, khususnya negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, gordang sambilan mulai diperkenalkan sebagai salah satu kesenian tradisional istimewa Indonesia. Tak terkecuali oleh orang Mandailing di Malaysia. Mereka juga sudah mulai mempertunjukkan gordang sambilan dalam berbagai acara pada hari-hari besar. Bahkan komunitas Mandailing di sana sudah memiliki perlengkapan gordang sambilan sendiri, sehingga tak perlu lagi jauh-jauh menjemput ke daerah asalnya.
Mengingat ikatan kekerabatan warga Mandailing sangat erat dimanapun mereka berada, maka kesenian gordang sambilan ini dapat dianggap sebagai pengikat kecintaan warga Mandailing di Malaysia pada tanah leluhurnya. Meski lahir dan besar di negeri jiran, tetapi kecintaan pada tanah leluhurnya mungkin melebihi kecintaan generasi muda Mandailing yang lahir dan tumbuh di Indonesia, mengingat banyak generasi muda Mandailing saat ini yang mulai abai untuk mengenal warisan budayanya sendiri. Tak perlu sampai menyinggung masalah bahasa daerah atau warisan budaya yang patut dilestarikan, beberapa bahkan enggan untuk melekatkan marga di belakang namanya.
Terlepas dari polemik status hak kepemilikan atas karya seni budaya yang marak beberapa tahun belakangan ini, rasanya warga Mandailing di Malaysia yang turut serta melestarikan budaya warisan leluhurnya ini justru yang Paling Indonesia. Meski hidup di negeri orang, namun tetap berusaha mengenal dan mencintai akar budayanya yang ada di tanah Indonesia. Bukankah begitu?
***
Sumber:
http://sosbud.kompasiana.com/2011/05/19/gordang-sambilan-berjaya-di-negeri-jiran/
No comments:
Post a Comment