Legenda Mata Air 7 Rasa di Aek Sipitu Dai - Pulau Samosir
Seolah benar kekuatan magis dari Mata Air 7 Rasa ini. Itulah alasan utama bagi sebagian besar orang datang ke Aek Sipitu Dai.
PAGI masih belum lama naik dan matahari belum berada pada porosnya saat kami baru memulai perjalanan. Bahkan angin sepoi-sepoi masih terasa membelai wajah yang masih menahan kantuk akibat udara dingin yang menyelimuti semalaman, sehingga sulit rasanya untuk bisa tidur nyenyak di atas kapal feri yang mengangkut orang-orang untuk berjualan di pasar Balige. Jam kami masih menunjukkan pukul sembilan waktu setempat.
Sambil memandang deru gelombang air danau yang berdesir beriringan bersama suara mesin kapal, sesekali kernet kapal berteriak kepada anak-anak yang berdiri di pinggiran kapal agar tidak berdiri di sana. Pantas aja dilarang, karena saya sendiri merasa seperti ada gravitasi yang berlebihan menarik ke bawah kala saya mencoba untuk memandangi gelombang hijau dan biru air danau dari pinggir kapal.
Kurang lebih selama setengah jam kami berada di atas kapal, akhirnya feri yang kami tumpangi berhenti dan mendarat tepat di depan gardu yang bertuliskan Feri Kepulauan Tao Toba I – II. Seketika itu pula hiruk-pikuk orang-orang setempat menyambut kedatangan kapal transit ini. Mulai dari yang menawarkan ojek, berteriak lantang menawarkan dagangannya—semua bercampur satu. Kira-kira begitulah kepadatan pasar yang menghiasi Pulau Samosir itu.
Ekspedisi Dimulai
Bersama mobil yang dibawa dari Parapat, dengan sigap kami beranjak meninggalkan pelabuhan terminal feri tersebut. Begitu mobil kami keluar dari arah sebelah kanan pelabuhan, lalu-lalang penjual aksesoris Tapanuli Utara seperti ulos dan pernak-pernik gantungan kunci rumah Batak tampak sibuk memanggil-manggil semua orang yang lewat di depan gerai mereka. Sesekali tampak pula kerutan di wajah calon pembeli—mungkin karena harga selangit yang ditawarkan penjual.
Dari pengemudi yang membawa mobil kami, saya juga baru tau kalau ternyata hampir semua penduduk di sini tau arah jalan menuju mata air yang berada di Kecamatan Sianjur Mula-Mula tersebut. Jadi, kamu nggak perlu khawatir tersesat untuk mencapai Mata Air 7 Rasa ini, karena kamu bisa langsung bertanya kepada penduduk lokal di sana—bahkan dengan anak-anak sekali pun. Meski mudah untuk menemukan lokasi Mata Air 7 Rasa ini, tapi untuk mencapainya tidak demikian. Jalan yang kurang lebar, bergelombang dan berbatu harus ditempuh hampir selama satu jam perjalanan. So, kalau kamu kepikiran buat ke mari, lebih baik memakai mobil off road demi kenyamanan kamu.
Oh, ya, selama dalam perjalanan ini saya terus bertanya dalam hati soal rasa mata air yang disebut-sebut orang memiliki 7 rasa berbeda itu. ”Apa iya?” lamun saya. Aek Sipitu Dai ini terletak di perkampungan dengan nama yang sama juga, yakni Desa Sipitu Dai. Nah, perkampungan ini berada di garis lingkar Pusuk Buhit, di Lembah Sagala dan Limbong Mulana. Jalan menuju Aek Sipitu Dai ini memang cukup berliku karena nggak jarang jalannya menurun. Tapi kini jarak ke Pangururan ibukota Kabupaten Samosir ini udah bisa ditempuh selama 30 menit. Setelah dari sini, tinggal mengarahkan mobil ke arah kiri sekitar 7-8 kilometer dan masuk ke Desa Limbong.
Melewati Kota Pangururan, kami juga sempat lewat dari Jembatan Tano Ponggol. Sebenarnya, ini adalah terusan yang misahin Pulau Samosir dengan daratan Sumatera. Dulu pembangunannya malah udah dimulai sejak Pemerintah Kolonial Belanda dengan sistem kerja rodi. Namun saat kami melintas, air yang berada di bawah jembatan terlihat kering. Setibanya kami di lokasi Desa Sipitu Dai, barulah kami tau kalau ternyata sudah 4 bulan tidak turun hujan di sana.
Dari Jembatan Tano Ponggol ini, seorang teman yang ikut bersama kami menuturkan bahwa objek wisata yang dituju udah nggak jauh. Tinggal mengarahkan kemudi setir dari jalan ring road Pusuk Buhit ke arah kiri, maka kami pun akan tiba di Aek Sipitu Dai lokasi Mata Air 7 Rasa itu.
Sepanjang perjalanan, pemandangan rumah Batak juga cukup mencuci mata kami. Rumah Batak ini merupakan rumah panggung yang terbuat dari kayu tanpa paku yang dilengkapi atap dan tangga. Sayang, kebanyakan dari rumah semi adat itu, udah nggak asli lagi. Karena atap yang dipakai udah dibuat dari genteng, bukan lagi dari rumbia yang sebenarnya merupakan elemen asli rumah Batak. Sambil melihat sekilas dari kaca mobil, saya juga mendapati bahwa kediaman itu punya struktur yang lebih tinggi di bagian belakang ketimbang depannya. Struktur ini menggambarkan agar kehidupan sang anak jauh lebih baik ketimbang orangtuanya.
Disambut dengan Hangat
Tanpa memakai alas kaki di tengah terik matahari, lalu-lalang anak-anak kecil yang berkejar-kejaran menyambut kedatangan kami. Sambil tertawa lepas, ada pula di antara mereka yang lari ke rumah dan mengintip dari jendela untuk melihat apa yang akan kami lakukan waktu itu. Tapi, ada pula dari anak-anak itu yang malah nggak keberatan sama sekali—bahkan dengan senyum lepas—bersedia diabadikan ketika kamera fotografer kami mengarah dan membidik mereka sambil menggendong anjing kampung yang tinggal bersama mereka. Maka kenarsisan nggak cuma punya orang kota doang.
Sambil mengucapkan salam terhadap anak-anak kecil yang berpenampilan lusuh itu, beberapa bungkus snack sengaja saya keluarkan untuk mereka. Seketika, seorang wanita yang sudah sangat tua yang dipanggil *ompung menghampiri dan mengajak kami untuk makan di rumahnya. Hmm, rupanya orang-orang di sini punya kebiasaan untuk mengundang siapa saja baik itu pendatang baru atau turis untuk dijamu di rumah mereka. Sekali pun jamuannya cukup sederhana, karena hanya berupa ubi goreng dan teh manis, bagi mereka seolah menjadi kewajiban untuk menjamu tamu yang datang.
Well, kampung ini juga udah bisa dibilang mendapat sentuhan modernisasi. Karena waktu kami dipersilakan masuk, beberapa perkakas rumah merupakan peralatan yang sering ditemui di kota. Seperti rice cooker dan dispenser misalnya. Seorang *amang juga ikut menghampiri kami yang baru tiba saat itu. Ujarnya, “Mau ke mana, *Ito?”
“Mau melihat-lihat Aek Sipitu Dai ini, Amang,” jawab saya ramah, sehingga dia pun mengantarkan kami masuk ke sumber Mata Air 7 Rasa itu. Sebelum memasuki area mata air itu, tepat di bagian pertama sebelah kiri tumbuh sebatang pohon yang mirip dengan pohon beringin yang umurnya udah mencapai ratusan tahun. Oh, ya, pohon ini nggak tumbuh normal kayak pohon lain karena pohon ini bisa hidup di atas air sebelah hulu Aek Sipitu Dai ini. Padahal sebelumnya sempat si amang berujar kalau, “Tidak pernah ada ikan yang berhasil dikembangbiakkan di mata air ini.”
Aek Sipitu Dai ini ternyata udah mengalami beberapa kali renovasi. Awalnya belum ada dibangun pintu masuk menuju pancuran hilir Mata Air 7 Rasa ini. Namun sekitar 3-4 tahun belakangan, barulah dibangun semacam pintu masuk yang dihiasi patung ornamen Batak di bagian depannya. Selain itu pancuran juga udah dipermak dengan patung-patung wanita yang memegang kendi atau bambu sebagai saluran keluarnya air berbagai rasa itu. Dan dari bambu atau kendi itulah keluar air yang rasanya berbeda-beda.
Sumber:
http://sahabat-medicom.blogspot.com/2010/07/legenda-mata-air-7-rasa-di-aek-sipitu.html
PAGI masih belum lama naik dan matahari belum berada pada porosnya saat kami baru memulai perjalanan. Bahkan angin sepoi-sepoi masih terasa membelai wajah yang masih menahan kantuk akibat udara dingin yang menyelimuti semalaman, sehingga sulit rasanya untuk bisa tidur nyenyak di atas kapal feri yang mengangkut orang-orang untuk berjualan di pasar Balige. Jam kami masih menunjukkan pukul sembilan waktu setempat.
Sambil memandang deru gelombang air danau yang berdesir beriringan bersama suara mesin kapal, sesekali kernet kapal berteriak kepada anak-anak yang berdiri di pinggiran kapal agar tidak berdiri di sana. Pantas aja dilarang, karena saya sendiri merasa seperti ada gravitasi yang berlebihan menarik ke bawah kala saya mencoba untuk memandangi gelombang hijau dan biru air danau dari pinggir kapal.
Kurang lebih selama setengah jam kami berada di atas kapal, akhirnya feri yang kami tumpangi berhenti dan mendarat tepat di depan gardu yang bertuliskan Feri Kepulauan Tao Toba I – II. Seketika itu pula hiruk-pikuk orang-orang setempat menyambut kedatangan kapal transit ini. Mulai dari yang menawarkan ojek, berteriak lantang menawarkan dagangannya—semua bercampur satu. Kira-kira begitulah kepadatan pasar yang menghiasi Pulau Samosir itu.
Ekspedisi Dimulai
Bersama mobil yang dibawa dari Parapat, dengan sigap kami beranjak meninggalkan pelabuhan terminal feri tersebut. Begitu mobil kami keluar dari arah sebelah kanan pelabuhan, lalu-lalang penjual aksesoris Tapanuli Utara seperti ulos dan pernak-pernik gantungan kunci rumah Batak tampak sibuk memanggil-manggil semua orang yang lewat di depan gerai mereka. Sesekali tampak pula kerutan di wajah calon pembeli—mungkin karena harga selangit yang ditawarkan penjual.
Dari pengemudi yang membawa mobil kami, saya juga baru tau kalau ternyata hampir semua penduduk di sini tau arah jalan menuju mata air yang berada di Kecamatan Sianjur Mula-Mula tersebut. Jadi, kamu nggak perlu khawatir tersesat untuk mencapai Mata Air 7 Rasa ini, karena kamu bisa langsung bertanya kepada penduduk lokal di sana—bahkan dengan anak-anak sekali pun. Meski mudah untuk menemukan lokasi Mata Air 7 Rasa ini, tapi untuk mencapainya tidak demikian. Jalan yang kurang lebar, bergelombang dan berbatu harus ditempuh hampir selama satu jam perjalanan. So, kalau kamu kepikiran buat ke mari, lebih baik memakai mobil off road demi kenyamanan kamu.
Oh, ya, selama dalam perjalanan ini saya terus bertanya dalam hati soal rasa mata air yang disebut-sebut orang memiliki 7 rasa berbeda itu. ”Apa iya?” lamun saya. Aek Sipitu Dai ini terletak di perkampungan dengan nama yang sama juga, yakni Desa Sipitu Dai. Nah, perkampungan ini berada di garis lingkar Pusuk Buhit, di Lembah Sagala dan Limbong Mulana. Jalan menuju Aek Sipitu Dai ini memang cukup berliku karena nggak jarang jalannya menurun. Tapi kini jarak ke Pangururan ibukota Kabupaten Samosir ini udah bisa ditempuh selama 30 menit. Setelah dari sini, tinggal mengarahkan mobil ke arah kiri sekitar 7-8 kilometer dan masuk ke Desa Limbong.
Melewati Kota Pangururan, kami juga sempat lewat dari Jembatan Tano Ponggol. Sebenarnya, ini adalah terusan yang misahin Pulau Samosir dengan daratan Sumatera. Dulu pembangunannya malah udah dimulai sejak Pemerintah Kolonial Belanda dengan sistem kerja rodi. Namun saat kami melintas, air yang berada di bawah jembatan terlihat kering. Setibanya kami di lokasi Desa Sipitu Dai, barulah kami tau kalau ternyata sudah 4 bulan tidak turun hujan di sana.
Dari Jembatan Tano Ponggol ini, seorang teman yang ikut bersama kami menuturkan bahwa objek wisata yang dituju udah nggak jauh. Tinggal mengarahkan kemudi setir dari jalan ring road Pusuk Buhit ke arah kiri, maka kami pun akan tiba di Aek Sipitu Dai lokasi Mata Air 7 Rasa itu.
Sepanjang perjalanan, pemandangan rumah Batak juga cukup mencuci mata kami. Rumah Batak ini merupakan rumah panggung yang terbuat dari kayu tanpa paku yang dilengkapi atap dan tangga. Sayang, kebanyakan dari rumah semi adat itu, udah nggak asli lagi. Karena atap yang dipakai udah dibuat dari genteng, bukan lagi dari rumbia yang sebenarnya merupakan elemen asli rumah Batak. Sambil melihat sekilas dari kaca mobil, saya juga mendapati bahwa kediaman itu punya struktur yang lebih tinggi di bagian belakang ketimbang depannya. Struktur ini menggambarkan agar kehidupan sang anak jauh lebih baik ketimbang orangtuanya.
Disambut dengan Hangat
Tanpa memakai alas kaki di tengah terik matahari, lalu-lalang anak-anak kecil yang berkejar-kejaran menyambut kedatangan kami. Sambil tertawa lepas, ada pula di antara mereka yang lari ke rumah dan mengintip dari jendela untuk melihat apa yang akan kami lakukan waktu itu. Tapi, ada pula dari anak-anak itu yang malah nggak keberatan sama sekali—bahkan dengan senyum lepas—bersedia diabadikan ketika kamera fotografer kami mengarah dan membidik mereka sambil menggendong anjing kampung yang tinggal bersama mereka. Maka kenarsisan nggak cuma punya orang kota doang.
Sambil mengucapkan salam terhadap anak-anak kecil yang berpenampilan lusuh itu, beberapa bungkus snack sengaja saya keluarkan untuk mereka. Seketika, seorang wanita yang sudah sangat tua yang dipanggil *ompung menghampiri dan mengajak kami untuk makan di rumahnya. Hmm, rupanya orang-orang di sini punya kebiasaan untuk mengundang siapa saja baik itu pendatang baru atau turis untuk dijamu di rumah mereka. Sekali pun jamuannya cukup sederhana, karena hanya berupa ubi goreng dan teh manis, bagi mereka seolah menjadi kewajiban untuk menjamu tamu yang datang.
Well, kampung ini juga udah bisa dibilang mendapat sentuhan modernisasi. Karena waktu kami dipersilakan masuk, beberapa perkakas rumah merupakan peralatan yang sering ditemui di kota. Seperti rice cooker dan dispenser misalnya. Seorang *amang juga ikut menghampiri kami yang baru tiba saat itu. Ujarnya, “Mau ke mana, *Ito?”
“Mau melihat-lihat Aek Sipitu Dai ini, Amang,” jawab saya ramah, sehingga dia pun mengantarkan kami masuk ke sumber Mata Air 7 Rasa itu. Sebelum memasuki area mata air itu, tepat di bagian pertama sebelah kiri tumbuh sebatang pohon yang mirip dengan pohon beringin yang umurnya udah mencapai ratusan tahun. Oh, ya, pohon ini nggak tumbuh normal kayak pohon lain karena pohon ini bisa hidup di atas air sebelah hulu Aek Sipitu Dai ini. Padahal sebelumnya sempat si amang berujar kalau, “Tidak pernah ada ikan yang berhasil dikembangbiakkan di mata air ini.”
Aek Sipitu Dai ini ternyata udah mengalami beberapa kali renovasi. Awalnya belum ada dibangun pintu masuk menuju pancuran hilir Mata Air 7 Rasa ini. Namun sekitar 3-4 tahun belakangan, barulah dibangun semacam pintu masuk yang dihiasi patung ornamen Batak di bagian depannya. Selain itu pancuran juga udah dipermak dengan patung-patung wanita yang memegang kendi atau bambu sebagai saluran keluarnya air berbagai rasa itu. Dan dari bambu atau kendi itulah keluar air yang rasanya berbeda-beda.
Sumber:
http://sahabat-medicom.blogspot.com/2010/07/legenda-mata-air-7-rasa-di-aek-sipitu.html
No comments:
Post a Comment