Friday, September 28, 2012

BATAK TOBA (BUKAN) KANIBAL

BATAK TOBA (BUKAN) KANIBAL
Oleh: Edward Simanungkalit


Cerita tentang kanibalisme banyak ditulis para musafir yang datang ke Sumatera. Berbagai cerita tentang kanibalisme di beberapa tempat dan salah satunya di wilayah Batak Toba. Cerita tentang kanibalisme ini terasa dibesar-besarkan dengan memanfaatkan peristiwa yang dialami oleh misionaris Munson dan Lyman. Seorang kenalan pengusaha Tionghoa yang bertemu dengan penulis pada 11 Agustus 2010 di bandara Polonia mempertanyakan peristiwa ini. Dia mengatakan yang dia ketahui bahwa Munson dan Lyman adalah misionaris yang dibunuh dan dimakan di dekat kota Tarutung. Seperti inilah gambaran yang diperoleh orang umumnya dan mengatakan Batak itu kanibal.

Peristiwa kematian misionaris Munson dan Lyman (1834) ini  diperbesar-besar dan diprovokasi Belanda sedemikian rupa untuk melegitimasi kedatangannya ke wilayah Batak Toba. Padahal kita tahu bahwa banyak kekejaman dilakukan oleh Belanda selama penjajahannya di Indonesia seperti pembataian massal yang dilakukan terhadap orang Gayo, Alas, dan Batak di daerah Alas pada awal abad ke-20. Pembantaian yang dilakukan oleh Belanda terhadap puluhan ribu orang di Makassar setelah Indonesia merdeka dan Westerling yang merupakan algojonya hidup tenang tanpa terjamah oleh hukum sampai masa tuanya. Kedua peristiwa ini hanya merupakan dua contoh saja yang diambil dari sekian banyak peristiwa lainnya termasuk membakar hidup-hidup Kapitan Pattimura dan Walter Robert Monginsidi di depan umum.

Orang Jerman pun turut meniup-niupkan masalah kanibalisme termasuk J.T. Nommensen, anak dari I.L. Nommensen, turut meniup-niupkannya dengan menulis kutipan dialog pendeta kulit putih dengan seorang Batak Toba (Nommensen, 2003:249). Hal ini dapat dilihat dalam buku “Ompu i Tuan Dr. I.L. Nommensen” yang ditulis oleh J.T. Nommensen, anak dari misionaris I.L. Nommensen sebagai berikut: “Sekarang zaman telah berubah pak guru, karena di pasar hanya dijual daging ayam dan daging babi, kalau dahulu tidak jarang tangan dan kaki manusia dapat dibeli di pasar.” (Nommensen, 2003:235). Gaya bahasa hiperbola seperti ini sangat provokatif sekali diikuti dengan dilatarbelakangani perasaan superior. Di mana Batak digambarkan  sebagai bangsa yang tadinya tidak beradab sudah berobah menjadi bangsa beradab.

Perubahan tersebut, maksudnya, tentu tidak lepas dari peran orang Jerman yang paling beradab dan berbudaya itu. Padahal, bagaimana kita dapat melupakan jutaan  orang Jahudi yang tewas di kamp-kamp konsentrasi. Belum lagi mereka yang berseberangan dengan Nazi yang mati di tangan Gestapo serta pemerkosaan massal yang dilakukan oleh tentara Jerman ketika melakukan penyerangan ke Rusia. Seisi dunia tahu akan peristiwa tersebut dan apakah ini yang hendak dikatakan sebagai berbudaya dan beradab? Tak kalah mengherankan bahwa tidak adanya orang Batak yang mengajukan protes terhadap buku J.T. Nommensen tersebut selama ini malah mencetak ulang buku tersebut terakhir pada tahun 2003 lalu, sedang cetakan pertama tahun 1921 meskipun buku tersebut nyata-nyata merendahkan martabat  orang Batak.

Masyarakat Batak Toba di masa lalu adalah masyarakat yang hidup di dalam huta, horja, dan bius. Mereka bukanlah bangsa yang liar dan barbar sebagaimana banyak digambarkan oleh musafir asing dan para misionaris Jerman yang datang ke wilayah Batak Toba. Untuk dapat hidup bersama-sama dari sumber yang sama, maka mereka memiliki cara tersendiri untuk melakukan penataan dan pengaturan di dalam huta, horja, dan bius tadi. Cara berpikir mereka yang utuh dan menyeluruh terlihat ketika mereka membedakan dan menggabungkan hal-hal yang bersifat sekuler dan yang bersifar religius. Mereka mengorganisir diri dengan rapi, sehingga seluruh aktivitas hidup mereka tertata dan terorganisir di dalam huta, horja, dan bius, baik secara sekuler maupun religius. Karena, Dewan Bius bekerja berdampingan dengan Parbaringin walaupun ada pemisahan fungsi di mana Parbaringin berfungsi untuk memimpin hal-hal yang bersifat religius dan Dewan Bius menangani hal-hal yang bersifat sekuler  di dalam lingkungan biusnya. Pada akhirnya, mereka dipersatukan di bawah pengayoman Dewa-raja, Singamangaraja sebagai primus interpares.

Di dalam pengorganisasian masyarakat banyak seperti itu tentulah diperlukan sejenis peraturan/norma-norma, larangan, tabu, dan nilai-nilai yang dianut sebagai suatu kebaikan/kebenaran tertinggi di dalam diri mereka. Semuanya ini sudah dikemukakan di dalam huta, horja, dan bius yang telah dipaparkan dan sebagai wujud daripada itu dapat dilihat dari apa yang mereka lakukan ketika menyambut dan menerima misionaris Richard Burton dan Nathaniel Ward. Sebelumnya misionaris ini sudah melihat bagaimana baiknya mereka menata alam-lingkungannya, sawah dan sistim irigasinya, tanamannya, pasarnya, dan lain-lain. Mereka secara terbuka menyambut kedua misionaris ini dengan tor-tor dan memberikan tempat buat keduanya serta memberikan kesempatan kepada misionaris ini untuk bicara. Di hadapan 2.000 orang, misionaris ini bicara dan berkhotbah menyampaikan firman Tuhan, tetapi mereka menolak apa yang disampaikan misionaris tanpa ada permasalahan. 

Dua minggu lamanya kedua misionaris tinggal bersama-sama mereka di Silindung, tapi kedua misionaris tidak dapat melanjutkan perjalanan ke Bangkara oleh karena penyakit disentri yang dideritanya. Ketika hendak kembali ke Sibolga, mereka masih mengadakan acara perpisahan dan menjamu kedua misionaris dengan makan pada acara perpisahan yang meriah dihadiri 7.000 orang. Sesampainya kedua misionaris di Sibolga, sampai juga surat undangan Singamangaraja untuk datang ke Bangkara sehubungan dengan kemarau yang sudah mulai merusak tanaman penduduk, tapi misionaris tidak dapat memenuhinya akibat dari penyakit disentrinya. Semuanya ditulis Richard Burton dan Nathaniel Ward di dalam kesaksiannya tentang Batak Toba di lembah Silindung.


 
Kesaksian Richard Burton dan Nathaniel Ward (1824) ini mengkonfirmasi bagaimana baiknya pengorganisasian masyarakat Toba melalui huta,horja, dan bius sebelumnya. Gambaran masyarakat Toba ini menolak isu-isu isapan jempol tentang orang Batak Toba yang kanibal, barbar, tak berbudaya, liar, dan hidup di dalam perang. Para misionaris Jerman ini selalu memandang Batak sebagai berbudaya rendah, sedang mereka berbudaya tinggi dan superior, sehingga orang Batak harus dibentuk seperti mereka. Para misionaris Jerman ini turut merusak sebagian tatanan masyarakat dalam huta, horja dan bius tadi yang sudah memelihara hidup mereka dalam waktu yang sangat panjang. Pola huta, horja dan bius ini telah membentuk mereka hidup di dalam sistim demokrasi yang federal seperti di Amerika sana. Belum lagi mereka banyak mengangkut kekayaan budaya Batak berupa buku laklak, patung, dan benda-benda lainnya.

Peneliti Jerman, Franz Wilhem Junghuhn, menjelajahi tanah Batak pada tahun 1840-1841. Selama 17 bulan keberadaannya di tanah Batak, Junghuhn mengaku tidak pernah menyaksikan praktek kanibalisme di desa-desa yang dilaluinya. Dia malah heran mengapa predikat barbar dan kanibalisme itu melekat pada diri orang-orang Batak selama berabad-abad. Dalam bukunya Die Battaländer auf Sumatra (1847), Junghuhn menyimpulkan bahwa cerita-cerita barbarisme dan kanibalisme hanya rumor yang sengaja diciptakan orang Batak sendiri untuk membentengi diri dari ancaman luar yang mungkin mengganggu ketenteraman mereka. Demikianlah orang Batak membentuknya selama berabad-abad (Hutahaen, 2011:2). 

Memang masyarakat Toba mengalami penderitaan yang membuat mereka trauma berat akibat kekejaman yang dialami pada waktu invasi pasukan Paderi (1825-1829), setahun setelah kedatangan Richard Burton dan Nathaniel Ward (1824).  Berbagai macam tindakan pasukan Paderi telah meluluh-lantakkan wilayah Toba dengan membunuhi orang, membungi-hanguskan kampung, menjarah harta benda, memperkosa  dan membawa para perempuan untuk dijual. Keadaan tadi diikuti lagi oleh berkembangnya penyakit kolera akibat banyaknya mayat membusuk yang tidak dikubur, sehingga banyak meninggal akibatnya. Di dalam kondisi trauma berat yang mereka alami itu, W.B. Sijabat menyebutnya Xenophobia, datanglah Munson dan Lyman (1834) ke Sisaksak, Lobupining.

Sebelum berangkat ke pedalaman Toba, Samuel Munson dan Henri Lyman bertemu dengan Nathaniel M. Ward di Padang pada 29 April 1834. Munson dan Lyman adalah warga negara Amerika Serikat dan sangat kritis terhadap sikap pemerintah Belanda sebagaimana perkataan Henri Lyman sendiri: “Selama 200 tahun penduduk pribumi tanpa kecuali telah dijadikan sasaran ketamakan dan ambisi; sasaran penindasan, dan alat mendapatkan keuntungan bagi penakluk asing. Dan penakluk itu menyebut dirinya orang Kristen!” (Sijabat, 2007:399).

Lebih jauh Prof. DR. W.B. Sijabat  memaparkan tentang peristiwa Munson dan Lyman ini hingga tuntas di dalam bukunya: “AHU SI SINGAMANGARAJA: Arti Historis, Politis, Ekonomis dan Religius Si Singamangaraja XII” (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta: 2007:395-401). Munson dan Lyman sudah tahu sebelumnya, bahwa kalau penduduk menganggap mereka adalah “orang Belanda”, maka mereka pasti celaka. Hal ini sudah mereka pelajari dari kapten kapal Pago-pago yang mereka tumpangi dari Padang ke Sibolga, sedang orang Inggris, Amerika, Batak, Aceh atau Bugis akan diterima sebagai kawan. Penduduk sangat curiga terhadap Pidari dan Belanda (Sijabat, 2007:399-400).

Munson dan Lyman berangkat ke pedalaman dengan seorang yang bernama Jan, seorang yang misterius hingga saat ini, yang justru ditunjuk oleh orang Belanda sendiri di Sibolga. Mereka bermaksud pergi ke Sakka (Sisaksak? Pen.) hendak menginap di tempat raja na opat. Sesampainya mereka di daerah Sakka, justru Jan yang terlebih dahulu berbicara dengan penduduk di Lobupining, yang termasuk lingkungan raja na opat, berkedudukan di Sakka. Lobupining sudah ditugaskan raja na opat pada waktu itu untuk mengamati orang yang datang dari luar dan mau masuk ke Silindung, agar peristiwa seperti pada zaman masuknya pasukan Paderi tidak terulang kembali. Lobupining merupakan semacam pos pengawalan pasukan raja na opat, yang tunduk kepada Singamangaraja XI (Sijabat, 207:400).

Kedua misionaris langsung dikepung penduduk dan langsung dibunuh tanpa mengetahui apa yang dibisikkan oleh Jan kepada orang Batak itu, namun bukan “dimakan” seperti yang digembar-gemborkan oleh pihak Belanda dan misionaris Jerman. Sementara Jan sendiri pergi melarikan diri kembali ke Sibolga kepada pihak Belanda. Data-data dalam Memoirs tadi menunjukkan, bahwa Jan, penunjuk jalan pilihan itu, mungkin sekali membisikkan kepada orang Sakka, bahwa kedua orang itu adalah dari pihak Belanda; oleh karena itu mereka segera dikepung dan dibunuh (Sijabat, 2007:400; Cf. Gould dan Pedersen).

Hal ini terbukti juga dari reaksi orang Batak sendiri di tempat itu setelah mengetahui kemudian hari, bahwa sebenarnya maksud Munson dan Lyman ialah tujuan baik, maka mereka mengambil tindakan tegas terhadap yang membunuh itu. Itulah sebabnya di dalam Memoirs Munson dan Lyman dapat dibaca catatan editor buku ( Sijabat, 2007:400-401) tersebut:

When it became known from the natives on the coast and from others on the road, that the brethren were good men, and bad come to do the Batta nation good, all the vellages around leagued together for vengeance against the villages where the outrage was perpetrated, and to require blood for blood. The unhappy villages was named Sacca.

Setelah diketahui dari kalangan penduduk di bagian pantai dan dari orang yang mengadakan perjalanan, bahwa saudara-saudara itu orang-orang baik, dan datang hendak berbuat baik bagi orang Batak, maka semua desa di sekitarnya berkumpul untuk mengadakan pembalasan terhadap desa yang melakukan kejahatan itu, dan menuntut darah ganti darah. Desa celaka itu disebut Sakka.

Peristiwa kematian Munson dan Lyman justru sering dibesar-besarkan dan data tersebut di atas tidak diberitahukan pihak Belanda, bahwa mereka dibunuh, bahkan “dimakan habis”, yang sama sekali tidak mempunyai bukti ilmiah dan historis. Kalau ingin mengetahui kebenaran tentang yang diutarakan ini, maka tidak usah membaca tulisan orang Batak, karena dapat dianggap sebagai usaha defensif apologetis. Cukup mengetahui bahwa keluarga Munson dan Lyman sendiri tidak meyakini kalau Munson dan Lyman dimakan habis. Mereka bahkan mencurigai Belanda sebagai pihak yang campur tangan “lempar batu sembunyi tangan”, karena Belanda takut kalau-kalau misionaris Amerika itu akan membantu orang Batak melihat kejahatan penjajahan Belanda yang mendiami daerah yang justru hendak dianeksasi waktu itu, sesuai dengan nota Gubernur Jenderal van den Bosch. Ennis, teman Munson dan Lyman dari Amerika, juga disuruh Belanda pulang dari Natal sesudah tahun 1834 (Sijabat, 2007:401).

Setelah diadakan penelitian yang lebih seksama belakangan ini, “Gould dan Paderson tidak melihat bahwa Munson dan Lyman dimakan oleh orang Batak, melainkan menjadi korban intrik politik penguasa Belanda di Sibolga waktu itu.” Diperkirakan bahwa Sickman, Letnan Schack dan Schooner Argd dari pihak militer Belanda di Sibolga yang paling tahu tentang maksud dan tujuan pembunuhan kedua martir itu (Sijabat, 2007:401; bnd. Memoirs Munson & Lyman). Menjadi catatan juga, bahwa kuburan Munson dan Lyman ada di Lobupining, maka ini menjadi keanehan tersendiri, karena bagaimana mungkin ada kuburan manusia yang dimakan habis semua dagingnya?

Tak kalah hebatnya juga bahwa para misionaris Jerman turut membesar-besarkan tentang peristiwa kematian Munson dan Lyman ini melalui penelitian Dr. A. Schreiber menunjukkan bahwa daging kedua misionaris dimakan habis (Simanjuntak, 2006:48). Demikian juga misionaris Dr. Johannes Warneck turut meneguhkan peristiwa itu walau dengan alasan bahwa perbuatan mereka dilatarbelakangi ketakutan orang Batak Toba. Mereka juga memperbesar-besar cerita tentang masalah orang Batak makan manusia (kanibalisme) seperti yang dilakukan oleh J.T. Nommensen melalui buku yang ditulisnya. Kiranya ini dapat mendorong untuk meneliti karya-karya tulis para misionaris Jerman yang justru memperbesar-besar cerita seperti ini dan memandang buruk semuanya budaya Batak. Sebagai Anugerah Umum dari Allah, maka patut diyakini bahwa kebudayaan Batak itu tentulah ada yang baik, karena berasal dari Allah. Mungkin para misionaris Jerman tersebut mendapat keuntungan juga atas  tindakan Belanda yang memperbesar-besar cerita kematian Munson & Lyman ini, tetapi merekalah yang tahu itu. ***

 

Telah dimuat di:
Koran BATAK POS
Edisi Sabtu, 22 September 2012






MASYARAKAT TOBA DALAM HUTA, HORJA DAN BIUS

MASYARAKAT TOBA DALAM HUTA, HORJA DAN BIUS
Oleh: Edward Simanungkalit  

Sejarah lisan Toba, yaitu tarombo, yang diwariskan dari generasi ke generasi menceritakan bahwa pemukiman pertama sebagai desa yang terorganisir didirikan oleh leluhur Batak-Toba melalui usaha pertanian bersawah dengan menggunakan sistim irigasi. Namanya Sianjur Mula-mula, yang terletak pada dua lembah kecil, Lembah Sagala dan Lembah Limbong, sebelah barat Gunung Pusuk Buhit di pantai barat daya Danau Toba. Di sanalah leluhur orang Toba membangun bius sebagai lembaga otonom yang meliputi kedua lembah tersebut. Konsep bius sebagai negara-mini lahir dari sistim pertanian bersawah dan faktor sistim irigasi dalam kehidupan setiap desa bertani sawah. Desa Toba memiliki ciri lembah/rura di mana tiap lembah tersebut mengkondisikan terbangunnya sebuah paguyuban (valley society) yang berporos pada satu sistim irigasi, yaitu bius, yang dikelola secara tunggal meliputi seluruh lahan persawahan lembah. Ini merupakan tuntutan alam yang memaksa penduduk lembah itu untuk menciptakan organisasi bius dan hukum bius (Situmorang, 2009:11-12).

Melihat kepada hasil penelitian Bernard Kevin Maloney (1983), bahwa pendahulu Toba itu sudah memiliki arah ciri lembah (valley) sebagaimana ditemukan adanya bekas kehidupan di Pea Sim Sim pada sekitar 6.500 tahun lalu (bnd. Bellwood, 2000:339). Dengan rentang waktu yang panjang, yaitu sekitar 4.000 tahun, ditemukan adanya jejak kehidupan di Tao Sipinggan pada sekitar 2.500 tahun lalu, di Pea Sijajap pada sekitar 2.600 tahun lalu, Pea Bullok pada sekitar 2.700 tahun lalu. Kehidupan di ketiga tempat ini juga tetap berciri lembah (valley) yang sama seperti sebelumnya. Diperkirakan bahwa mereka ini berasal dari pendukung budaya Hoabinh. Kemudian selanjutnya pada periode berikut, datangnya pendukung budaya Dongson membuat percampuran antara pendukung budaya Dongson dengan pendukung budaya Hoabinh di mana kebudayaan Dongson lebih tinggi. Diperkirakan bahwa mereka inilah yang menempati Sianjur Mula-mula di lembah Limbong-Sagala dengan kebudayaan yang dominan bercorak Dongson. Dengan teknologi dan kemampuan bertani sawah yang mereka miliki, mereka pun membangun pertanian sawah dan kemudian berkembang melahirkan bius.

Bius Sianjur Mula-mula merupakan bius pertama di lembah Limbong-Sagala. Dari Bius Sianjur Mula-mula ini kemudian bermigrasi terus ke sepanjang pantai barat Danau Toba hingga lembah terluas Toba-Holbung di sepanjang garis pantai selatan Danau Toba. Lembah-lembah di kawasan pantai barat dan selatan Danau Toba ini kondisi dan bentuknya hampir sama dengan lembah Limbong-Sagala, sehingga daerah ini menjadi tujuan utama arah gerak migrasi. Dari bius Sianjur Mula-mula ini kemudian arus migrasi lainnya ke Pulau Samosir dan perkembangan terus ke daerah Humbang, lembah Silindung dan ke barat sampai ke tebing-tebing Bukit Barisan yang menghadap garis pesisir barat Sumatera. Pola gerak migrasi yang lebih dulu tertuju ke sepanjang pantai barat dan selatan danau Toba, karena semuanya berbentuk lembah yang hampir sama dengan lembah Limbong-Sagala melahirkan bius-bius bercorak valley-society sambil terus berkembang sesuai kondisi di tempat-tempat baru tersebut.

Huta-Horja-Bius merupakan elemen dasar daripada sistim kelembagaan masyarakat Toba. Huta bukanlah desa atau kampung dalam pengertian sekarang. Huta merupakan persekutuan hukum dan adat terkecil di dalam masyarakat Toba. “Huta: secara harfiah berarti ‘kota’ atau ‘kuta’, yaitu pemukiman berupa benteng bertembok dan selalu berbentuk bujursangkar. Ukurannya rata-rata 50x70 meter persegi. Huta merupakan milik dari pendirinya dan terun-temurun diperintah oleh keturunannya sebagai tingkat pemerintahan bius paling bawah.” (Situmorang, 2009:522). Huta ini dikelilingi oleh tembok batu (tano bato) yang ditanami bambu. Setiap huta memiliki ruma (rumah hunian) dan sopo (lumbung). Setiap huta dipimpin oleh seorang raja-huta secara turun-temurun di mana para raja-huta inilah yang merupakan  elit politik dalam bius. Melalui raja-huta itulah terpilih semua pejabat teras bius, yaitu pemerintahan (dewan) bius yang sekuler. Golongan raja-huta di semua bius merupakan elite politik yang wakil-wakilnya merupakan anggota musyawarah (ad hoc) di tiap horja.
 
Huta biasanya berisi enam, delapan, sepuluh atau selusin ruma. Sebagian didiami oleh dua-tiga keluarga, tetapi urusan intern huta sangat banyak jumlahnya. Raja-huta, sebagai penguasa tunggal, mengatur masalah sehari-hari dari setiap penduduk yang berlangsung di dalam huta. Untuk pengambilan keputusan dalam menangani masalah-masalah, maka raja-huta harus meminta, mendengar, dan mempertimbangkan pendapat warga huta. Pengambilan  keputusan harus berdasarkan adat ber-horja dan adat ber-bius, sehingga raja-huta, sebagai pejabat tunggal, bertanggungjawab kepada horja dan bius. Ini digambarkan melalui ungkapan: “Huta do mula ni Horja. Horja do mula ni Bius.”. Beberapa huta yang berdekatan dengan marga berbeda, tetapi mempunyai pertalian, merupakan bagian dari perhimpunan ‘horja’. Biasanya satu horja terdiri dari sejumlah huta atau 10 sampai 15 huta, tergantung keadaan setempat. Tiap horja membawahi sejumlah huta yang berada di tanah/golat horja.

Horja terbentuk oleh kelompok marga-raja bersama mereka yang leluhurnya dari semula ikut membantu usaha pembukaan huta dan pendatang baru. Biasanya yang ikut dalam pembukaan huta tersebut ialah boru, sehingga marga-boru atau boru ni tano ini termasuk juga membentuk horja. Horja adalah bentuk kerjasama selamanya antara keturunan pionir dan pendatang. Dalam setiap keputusan penting selalu berdasarkan konsensus antara marga-raja dan marga-boru dalam konteks horja. Dengan demikian, maka di dalam horja, bahwa marga bukanlah suatu organisasi dan merupakan subjek hukum pemilik tanah mengingat adanya marga-boru (boru ni tano) dan pendatang tadi. Marga berfungsi sebagai pimpinan horja, pengayom golat/hak ulayat atas nama horja (Situmorang, 2009:38-39).

Tiap horja adalah bagian dari bius dan bius melebihi dari satu horja.  Jumlah horja tergantung dari jumlah pionir yang terkait dalam berdirinya suatu bius. Setiap horja bertindak sebagai kelompok kepentingan. Meskipun hanya dua horja di dalam suatu bius, tetapi setiap bius tetap merupakan lembaga tunggal yang mandiri. Horja tidak begitu nyata sehari-harinya, tetapi baru nyata sebagai lembaga dalam musyawarah serta mufakat pada waktu-waktu tertentu seperti dalam pesta horja atau kegiatan di mana seluruh warga terlibat. Setiap horja memilih dan mengutus wakilnya menjadi anggota dewan bius yang sekuler. Horja juga mengutus wakilnya untuk menjadi pendeta/parbaringin yang akan duduk dalam organisasi parbaringin (Situmorang, 2009:39-40).

Bius merupakan paguyuban yang terdiri dari beberapa  horja.  “Bius: paguyuban dengan kekuasaan dan pemerintahan meliputi wilayah tertentu, sebagai penguasa irigasi, keagamaan, tertib hukum dan pengayoman hukum pertanahan (hak ulayat).” (Situmorang, 2009:521). Pada hakikatnya pimpinan bius terdiri dari dwitunggal, yaitu primus interpares (sekuler) dari bius dan Pande-Bolon (pimpinan parbaringin di bius). Sementara kedaulatan rakyat berada di tangan si tuan na torop. Dewan Bius terdiri dari utusan tiap-tiap horja yang dipimpin oleh oleh anggota “tertua” dari horja “tertua” (pengayom hukum).

Status parbaringin (kependetaan) bersifat turun-temurun dan mereka diutus oleh horja. Parbaringin utama bergelar Pande-Bolon yang bertindak sebagai ketua organisasi parbaringin dan penasihat utama Dewan Bius (yang sekuler). Pande-Bolon didampingi oleh pendeta-pendeta utama dengan pembagian tugas di antara mereka menurut bidang-bidang yang terpenting. Tugas-tugas itu menyangkut ritual-ritual yang mengiringi seluruh proses pertanian sepanjang “tahun” (antara masa panen dengan masa panen berikutnya). Organisasi parbaringin juga terlibat dalam pembagian tanah yang berlangsung secara berkala “sekali dalam 60 tahun” . Organisasi parbaringin mendampingi Dewan Bius dalam perundingan dengan bius lain, khususnya bila terjadi konflik dan Parbaringin berstatus “juru damai dan sakral yang dihormati oleh semua pihak.” (Situmotang, 2009:200-201).

Dewan Bius (adakalanya bersama Parbaringin) menjamin terlaksananya hukum Adat Bius. Hukum Adat Bius ini diyakini berasal dan dibawa dari lembaga Bius yang awal di Sianjur Mula-mula. Karena, menurut tradisi lisan bahwa Sianjur Mula-mula adalah kampung awal dari orang Toba dan dipercayai di sanalah lembaga Bius pertama kalinya berkembang. Bius menurut model Sianjur Mula-mula menguasai sebuah teritori dengan perbatasan yang jelas sebagai wilayah kedaulatannya.

Semua perangkat hukum adat tak tertulis itu tercakup dalam lembaga bius, yang berfungsi sebagai pengemban tertinggi Adat Bius.  Adat Bius (Situmorang, 2009:12-13) itu meliputi pengaturan:
1.       Hukum pertanahan (hak ulayat).
2.       Hukum relasi bertetangga atau relasi kewilayahan antar-bius.
3.       Hukum penguasaan tanah, yang dalam bius disebut hukum golat.
4.       Hukum tali-air (irigasi) dan perairan (sungai, danau).
5.   Hukum sumber daya komunal (hutan, padang rumput penggembalaan, tanah cadangan untuk persawahan dan  pemukiman (pangeahan), yang dikuasai secara bersama (kolektif) oleh paguyuban.
6.       Hukum yang mengatur hak dan kewajiban penggarap atas sawah.
7.       Hukum yang mengatur hak pendiri/pemilik huta dan lain-lain.

Bius meliputi penduduk yang kewargaannya terjamin dengan hak dan kewajiban yang jelas. Hak kewargaan meliputi dua hak azasi lagi:
1.       Hak atas tanah garapan (disertai kewajibannya).
2.      Hak bebas pindah ke lain daerah/bius, dengan kewajiban mematuhi hukum Adat Bius.

Kewargaan tadi hanya boleh  dicabut atas diri seseorang dengan hukuman terberat dibuang ke luar bius atau dikucilkan melalui pengadilan bius. Hukuman dijatuhkan atas pelanggaran berat, seperti membunuh orang, membakar rumah, berzinah, dlsb. Adat Bius yang demikian, diwariskan oleh Bius Sianjur Mula-mula dan kemudian menjadi hukum di setiap bius lainnya.

Sitor Situmorang (2009:95-96) mengemukakan bahwa sebelum lahirnya lembaga Singamangaraja pada abad ke-16, lembaga Pendeta-raja sudah ada di negeri Toba yang terbagi dalam tiga kerajaan, yaitu:
1.       Kerajaan Ompu Palti Raja, Pendeta-raja yang berpusat di Urat, Samosir Selatan.
2.       Kerajaan Jonggi Manaor, Pendeta-raja yang berpusat di Limbong, Pusuk Buhit.
3.    Kerajaan di kalangan Sumba, yaitu kerajaan Sorimangaraja, Pendeta-raja di Baligeraja, Toba Holbung.

Mitos Pendeta-raja merupakan pangkal tolak proses “kesatuan Toba” sebagaimana akhirnya menjadi klaim lembaga Singamangaraja sejak abad ke-16. Ketiganya merupakan Pendeta-raja, sedang kemudian muncul Dewa-raja, yaitu lembaga Singamangaraja yang menjadi pemersatu di tingkat “nasional” Toba. Singamangaraja bukan parbaringin dan tidak membawahi organisasi parbaringin bius manapun, tetapi organisasi parbaringin di tiap bius manapun di seluruh Toba mengakui kepemimpinan religius dan politik Singamangaraja. Meskipun demikian, parbaringin tidak melepaskan pengakuannya kepada Pendeta-raja di ketiga wilayah masing-masing.

Singamangaraja dipahami sebagai inkarnasi Batara Guru, sehingga menempatkan Singamangaraja sebagai Dewa-raja, bukan Pendeta-raja. Hubungan federatif dan regional terjalin di antara bius-bius dan perserikatan regional antar-bius berurusan dengan lembaga Singamangaraja, sebagai pemersatu Toba, yang berkedudukan di bius Bakkara. Sebagai pendeta yang mewakili Singamangaraja dalam urusan upacara di tiap bius, parbaringin tiap bius juga disebut raja na ualu. Sedangkan pejabat-pejabat sekuler tertinggi disebut raja maropat atau raja na opat (raja empat serangkai). Dalam pelaksanaan tugas menurut agama Parbaringin, desa na ualu (jagad raya) berpusat pada Singamangaraja. Sementara dalam konteks bius sebagai mikrokosmos, parbaringin berkiblat kepada pimpinan bius. Parbaringin melaksanakan upacara dan upacara terpenting, yaitu: pesta Horja dan pesta Bius. Adapun peranan parbaringin sentral adalah sebagai pengolah, pemelihara dan pengembang ugamo; khususnya Pande-Bolon sebagai pendeta utama. Parbaringin dipandang sebagai teladan ajaran yang berbunyi: Mardebata, Martutur, Marpatik, Maruhum, Maradat/Marraja.

Lembaga Onan yang disebut Onan Na Marpatik menjadi sangat penting perannya. Setiap onan berstatus resmi memiliki toguan yang dilengkapi dengan batu somong. Peresmian onan sebagai pusat keramat berlangsung dengan upacara “penanaman batu somong”. Penanaman batu somong adalah ritual khusus dan menjadi wewenang Pendeta-raja yang kemudian berkembang menjadi wewenang khusus Singamangaraja saja. Ada tiga onan yang utama, yaitu: Onan Simanggurguri di Limbong-Sagala, Onan Hariara Maranak di Urat, dan Onan Raja di Baligeraja. Onan Na Marpatik ini adalah pusat tertua di Toba untuk perdagangan antarwilayah dan dengan dunia luar (pesisir barat, Barus). Di samping Onan besar yang bersifat regional seperti ketiga onan tadi, maka masih ada lagi onan lain yang lebih kecil di tiap bius disebut Onan manogot-nogot atau Onan na metmet. Onan ini biasanya berlangsung hanya selama dua-tiga jam setiap hari di waktu pagi dan hanya dikunjungi oleh penduduk setempat.

Onan Simanggurguri menjadi model semua lembaga Onan besar (Onan Na Marpatik). Hukum Onan itu meliputi berbagai aspek tertib hukum yang menjamin keamanan dan kebebasan lalulintas perdagangan antar wilayah serta antara Toba dengan “dunia luar” termasuk meliputi norma-norma moral sosial. Menurut Sitor Situmorang (2009:157), bahwa hukum Onan Na Marpatik meliputi hal-hal berikut:
1.      Di tiap Onan (besar) berlaku ukuran atau sukatan yang bersifat standar (baku) sesuai ketentuan “nasional”. Pelanggaran (penipuan) akan dihukum.
2.      Onan (besar) dilindungi hukum “perdamaian pasar”.

Sehari sebelum dan sesudahnya, setiap pengunjung  pasar tidak boleh diganggu oleh siapa pun atau dengan alasan apa pun. Selama tiga hari itu setiap bentuk konflik yang menjurus kepada kekerasan harus dihentikan. Konflik yang timbul harus disampaikan kepada pengurus lembaga Onan (besar) (Dewan Raja-Raja Pasar) yang bertindak sebagai “juru damai” (arbitrase). Pihak yang mengabaikannya akan ditindak oleh Dewan Raja-Raja Pasar. Lembaga Onan (besar) adalah lembaga kewilayahan, suprabius, karena memang selalu didirikan atas kesepakatan sejumlah bius bertetangga. Kesepakatan itu berbentuk perjanjian (padan) yang dilakukan di atas (marbulan). Kekuatan semua bius pendiri Onan itulah yang bertindak sebagai “penegak hukum” selaku Dewan Raja-Raja Pasar. Perjanjian itu diperlambangkan oleh Batu Somong yang telah disinggung sebelumnya.

Peranan sosial lembaga Onan juga nampak dari norma-norma berikut:
1.       Pantang melakukan tagihan piutang pada hari onan. Hutang-piutang harus diselesaikan di luar hari onan.
2.  Onan sebagai tempat memperoleh “perlindungan” (suaka). Seseorang yang merasa terancam oleh tindakan di luar hukum, karena suatu perkara memperoleh perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang berdasarkan “azas praduga tak bersalah”. Ia dapat lari ke tempat resmi persidangan penguasa pasar (toguan) mencari perlindungan dan mengajukan persoalannya serta tidak boleh diganggu lagi oleh si penuntut sampai menanti proses wajar.
3.       Onan juga merupakan tempat ritual kemargaan yang disebut mangebang. Anak pertama yang baru lahir atau pasangan pengantin baru dapat diperkenalkan kepada khalayak ramai (mangebang) di Onan. Seorang janda dapat dibawa ke Onan dengan menyematkan seranting pohon beringin di sanggulnya tanda boleh dipinang kembali sesuai ketentuan adat (Situmorang, 2009:157-158).

Demikianlah fungsi Onan sebagai lembaga, sebagai sokoguru tertib hukum Batak-Toba. Sedemikian pentingnya Onan ini, sehingga peresmiannya merupakan kewenangan Singamangaraja. Sedang sifat yang dimiliki Singamangaraja (Situmorang, 2009:322) antara lain:
·         Raja yang tujuh kali suci
·         Raja yang tujuh kali keramat
·         Raja yang menyusun hukum
·         Raja yang menitahkan adat
·         Pemegang sukatan yang benar
·         Pemegang dacin yang tak pernah oleng
·         Penggembala tanpa cambuk
·         Pengusir burung dari sawah tanpa aliali
·         Pembebas ikan yang masuk bubu
·         Pelepas binatang terperangkap
·         Raja yang serba mengetahui

Sifat Singamangaraja di atas memberikan gambaran bagaimana seorang raja dan ini akan menjadi sifat yang diturunkan ke jajaran di bawahnya untuk dianut. Dengan demikian, memberikan gambaran bagaimana nilai-nilai tertinggi yang dianut di dalam sebuah “negara” , yaitu negeri Toba, dan dengan masyarakatnya, yaitu masyarakat Toba. Secara keseluruhan, kita dapat memperoleh gambaran bagaimana masyarakat Toba merupakan masyarakat yang tertata di dalam huta, horja, dan bius di bawah pemerintahan seorang Dewa-raja, yaitu Singamangaraja.

Samosir, Toba-Holbung, Humbang, dan Silindung merupakan daerah Toba yang ditata dalam sistim huta, horja, dan bius diikuti dengan adanya nilai anutan, hukum, lembaga arbitrase, dan lembaga-lembaga lainnya di tingkat bawah dan diikuti suatu sistim kepercayaan. Gambaran masyarakat yang egaliter dan demokratis seperti ini demikian teratur dan tertata dalam suasana hidup bersama.

Pengamatan Lance Castle cukup dapat menunjukkan situasi dan ciri kelembagaan masyarakat Toba di pedalaman sebelum masuknya penjajahan. Penggambarannya terasa lebih mendekati kenyataan (Situmorang, 2009:317) sebagai berikut:
“Bahwa masyarakat Batak dilanda oleh kekacauan, tak mengenal hukum dan penuh kekejaman, seperti yang dikesankan oleh berbagai laporan para misionaris agaknya tak dapat dipandang sebagai petunjuk tentang keadaan sebelum munculnya gerakan Padri. Terlepas dari dugaan kanibalisme, kesan Burton dan Ward mengenai Lembah Silindung menggambarkan suasana damai dan nyaman. Memang terdapat persaingan yang terus-menerus di kalangan penduduk, demikian pula perkara-perkara yang mengakibatkan perang. Tetapi, kekejaman akibat perang dibatasi oleh adanya larangan-larangan (tabu), sedang lembaga-lembaga arbitrasi (adat) selalu terbuka lebar”.

Kesaksian misionaris Burton dan Ward dari Inggris, yang merupakan orang Barat pertama yang masuk ke pedalaman Batak-Toba sebelum perang Padri, pada tahun 1824 (Situmorang, 2009:330-331) memberikan gambaran sebagai berikut:
“ … Jalan setapak itu akhirnya masuk ke lembah di sela-sela bukit, suara sungai kecil terdengar. Perhatian kami tertambat pada tamasya riam kecil. Waktu kami berpaling untuk mengamatinya, maka sepotong dari wilayah Silindung mencuat dari antara pepohonan. Tak terungkapkan dengan kata-kata kekaguman yang timbul dalam sanubari kami pada saat kami sampai di lereng bukit, yang memberi pemandangan lebih luas. Bahkan kuli-kuli pengangkutan barang, begitu melihat tamasya yang tak diduga-duga ini, seolah terpaku sejenak di tempatnya berdiri, serentak membanting bebannya ke tanah, lalu mengucapkan kata-kata kagum yang paling hangat. Hal utama yang paling tampak ialah sebuah daratan, panjang kira-kira 12 mil, lebar 3 mil, terdiri dari persawahan yang luas memanjang tak putus-putus. Sebuah sungai yang lebar, berkelok-kelok dari ujung ke ujung daratan, lengkap dengan sejumlah  anak sungai penyumbang airnya dan member air ke tali-tali air buatan untuk keperluan irigasi ke segala penjuru angin, menghiasi daratan. Tetapi terlebih-lebih banyaknya desa di pinggirnya dan yang bertebaran di sana, dan ramainya penduduk yang berkumpul di pasar-pusatnya. Begitu juga corak ragam barang-barang hasil usaha dan kegiatan manusia, memberi pemandangan yang terlalu mengagumkan hingga tak terucapkan. Dataran dikelilingi oleh rangkaian bukit, tingginya antara 500 sampai 1.000 kaki, semuanya dalam keadaan terpelihara. Seluruh daerah sekelilingnya bebas hutan, kecuali puncak beberapa gunung tinggi, yang kata orang didiami oleh ular-ular naga dan roh-roh jahat. Di sini kami beristirahat sebentar merundingkan rencana selanjutnya sebelum turun memasuki lembah, sambil melepaskan tembakan-tembakan bedil, sebagai pertanda dan salam memberitahukan kedatangan kami sebagai tamu”.

Selama dua minggu Burton dan Ward di Silindung di tengah-tengah masyarakat di sana yang disambut oleh raja-raja Batak dengan tortor. Burton dan Ward menulis memoar dan menceritakan bahwa orang Batak Toba merupakan masyarakat yang ramah-tamah. Meskipun kemudian maksud Burton dan Ward untuk menjadikan mereka Kristen ditolak, sewaktu rombongan kecil itu hendak kembali ke Sibolga, raja-raja dan rakyat Silindung menjamu mereka secara adat. Sekitar 7.000 orang hadir dalam acara pesta makan secara adat itu (Sihombing, 1961:9-11).

Demikianlah gambaran masyarakat Batak Toba di masa lalu sebelum datangnya Padri meluluh-lantakkan negeri  makmur yang aman-tenteram itu dan sebelum datangnya para misionaris RMG dari Jerman serta penjajah Belanda. Tergambar kepada kita bagaimana masyarakat Toba sebelum mengalami pengalaman traumatis akibat kejamnya perang Padri dan perang Toba melawan Belanda serta tekanan penjajahan Belanda. Itu masyarakat Toba dengan sistim huta-horja-bius dan lembaga-lembaga lainnya. ***


Tulisan ini telah dimuat di:
Koran BATAK POS,
Edisi 04 & 11 Agustus 2012 dan 01 September 2012



MENELUSURI LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK


MENELUSURI LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK
Oleh: Edward Simanungkalit

Pantai Timur Sumatera bagian Utara lebih mudah diterima pikiran sebagai pintu masuk kedatangan nenek-moyang Batak, karena berada bersebelahan dengan Semenanjung Malaka di Benua Asia. Itulah sebabnya penelitian di pesisir Pantai Timur Sumatera bagian Utara  lebih banyak dan menarik untuk diikuti. Penelitian yang dilakukan oleh H.M.E. Schurmann di dekat Binjai (1927), Van Stein Callenfels di dekat Medan, Deli Serdang, Kupper di Langsa, Aceh Timur (1930), Mc. Kinnon di DAS Wampu, Prof. Truman Simanjuntak dan Budisampurno di Sukajadi, Langkat (1983), di Lhok Seumawe dan oleh Tim Balarmed di Aceh Tamiang (2011) menemukan bahwa para pendukung budaya Hoabinhian sudah datang pada masa Mesolitik di sekitar 10.000-6.000 tahun lalu (Wiradnyana, 2011:19-21).

Sedang di sebelah Barat dari Sumatera bagian Utara ditemukan juga adanya kedatangan pendukung budaya Hoabinhian di Pulau Nias (Wiradnyana, 2011:25-29). Meskipun demikian, bahwa kehidupan yang lebih awal sudah ada yang datang ke Pulau Nias dan Kuantan Singingi, Riau pada masa Paleolitik di sekitar awal adanya manusia hingga 10.000 tahun lalu (Wiradnyana, 2011:9-17). Seperti inilah gambaran keberadaan kehidupan manusia yang merupakan pendukung budaya Hoabinhian yang berada di wilayah Sumatera bagian Utara pada masa hingga 6.000 tahun lalu.

Pembukaan hutan sebagaimana diperlihatkan oleh Bernard Kevin Maloney di Pea Sim Sim yang berada di sebelah Barat dari Nagasaribu, Humbang yang pentarikhannya diperkirakan sekitar 6.500 tahun lalu (bnd. Bellwood, 2000:339). Temuan ini tentulah tidak mengherankan, karena hasil penelitian di pantai Timur Sumatera bagian Utara sudah memperlihatkan tentang kedatangan para pendukung budaya Hoabinhian pada periode tersebut di berbagai tempat. Mereka ini datang dari Vietnam bagian Utara melalui Semenanjung Malaka.

Pendukung budaya Hoabinhian ini merupakan bangsa setengah menetap dan bertempat tinggal di gua, pemburu, dan bercocok-tanam sederhana. Mereka menggunakan kapak genggam dari batu, kapak dari tulang dan tanduk, gerabah berbentuk sederhana dari serpihan batu, batu giling, dan mayat yang dikubur dengan kaki terlipat/jongkok dengan ditaburi zat warna merah, mata panah, flakes. Makanannya berupa tumbuhan, buah-buahan, binatang buruan atau kerang-kerangan.

Robert von Heine Geldern mengemukakan bahwa kelompok pendukung budaya Dongson bermigrasi dari Selat Tonkin, Vietnam yang berkembang dengan kebudayaan Dongson, melalui Semenanjung Malaka terus ke Sumatera bagian Utara pada masa Neolitik sekitar 6.000-2.000 tahun lalu (Pasaribu, 2009:ii). Dari sini terlihat masuknya pengaruh budaya Dongson ke dalam budaya Toba. Hal inipun dikuatkan Ketut Wiradnyana dari Balar Medan mengatakan: “Sementara di Tanah Batak didominasi oleh budaya Dongson (salah satu budaya berasal dari Veitnam Utara) yang perkembangannya sekitar 2.500 tahun yang lalu. Budaya Dongson ini ditandai dengan adanya logam dan pola hias yang ditemukan di rumah Batak Toba, yang menggambarkan binatang atau manusia dengan hiasan bulu-bulu panjang.” (Waspada: 11/01-2012).

Kebudayaan Dongson mulai berkembang di Vietnam. Kebudayaan ini merupakan kebudayaan zaman perunggu, yang berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2  Sebelum Masehi. Masyarakat Dongson adalah masyarakat petani dan peternak yang handal. Mereka terampil menanam padi, memelihara kerbau dan babi, serta memancing. Mereka agaknya menetap di pematang-pematang pesisir, terlindung dari bahaya banjir, dalam rumah-rumah panggung besar dengan atap yang melengkung lebar dan menjulur menaungi emperannya. Selain bertani, masyarakat Dongson juga dikenal sebagai masyarakat pelaut, bukan hanya nelayan tetapi juga pelaut yang melayari seluruh Laut Cina dan sebagian laut-laut selatan dengan perahu yang panjang.

Bermacam-macam benda seperti kapak dengan selongsong, ujung tombak, pisau belati, mata bajak, topangan berkaki tiga dengan bentuk yang kaya dan indah. Ada juga gerabah dan jambangan rumah tangga, mata timbangan dan kepala pemintal benang, perhiasan-perhiasan termasuk gelang dari tulang dan kerang, manik-manik dari kaca dan lain-lain. Hampir semuanya benda tersebut diberi hiasan. Bentuk geometri merupakan ciri dasar dari kesenian ini di antaranya berupa jalinan arsir-arsir, segitiga dan spiral yang tepinya dihiasi garis-garis yang bersinggungan.

Peta pusat kebudayaan Bacson-Hoabinh, Dong Son, dan Sa Huynh di Vietnam.
Gambar 1. Peta pusat kebudayaan Bacson-Hoabinh, Dong Son, dan Sa Huynh di Vietnam.

Ciri-ciri kebudayaan Dongson terlihat di dalam budaya Toba hingga sekarang ini, tetapi bagaimana hubungan antara pendukung budaya Hoabinhian sebagaimana ditemukan di Pea Sim Sim dengan pendukung budaya Dongson ini masih memerlukan penjelasan melalui penelitian ilmiah. Mungkin saja telah terjadi percampuran antara para pendukung budaya Hoabinhian dengan pendukung budaya Dongson. Untuk itu masih diperlukan penelitian tentang kapan masuknya para pendukung budaya Dongson ini ke Tanah Batak (Toba) hingga terjadi percampuran tadi. Kalau percampuan antara pendukung budaya Hoabinhian dan Dongson itu yang terjadi, maka mereka jugalah yang membangun masyarakat di Sianjur Mula-mula. Masyarakat Toba ini kemudian membangun huta, horja, dan bius di Sianjur Mula-mula. Masyarakat dengan sistim organisasi bius yang hidup dari pertanian sawah di lembah-lembah sekitar Danau Toba dan juga di lembah-lembah Humbang dan Silindung tentulah sangat menarik untuk diteliti lebih jauh. Di masa lalu masyarakat Toba ini telah mampu menata hidup mereka dan mengorganisir masyarakatnya ke dalam sistim huta, horja, dan bius dengan mata pencaharian melalui bertani di sawah. Mereka hidup makmur, teratur dan damai di alam yang indah seperti disaksikan oleh penginjil Burton dan Ward dari Inggris ketika beberapa waktu melakukan misi-penginjilan di lembah Silindung. ***


Tulisan ini telah dimuat di:
Harian BATAK POS,
Edisi Sabtu, 28 Juli 2012