Thursday, September 1, 2016

KETIKA BELANDA MENCIPTAKAN SI RAJA BATAK: Membaca Disain Besar Belanda dalam Melebur Non-Melayu Menjadi Batak


KETIKA BELANDA MENCIPTAKAN SI RAJA BATAK
Membaca Disain Besar Belanda dalam Melebur Non-Melayu Menjadi Batak
                                   
                                   Oleh: Edward Simanungkalit

Hasil gambar untuk Patung Si Raja Batak

            Toba Na Sae merupakan daerah yang didiami Orang Toba sebagaimana dikemukakan oleh Sitor Situmorang di dalam bukunya: “TOBA NA SAE: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX” (2009:3-18). Toba Na Sae, yang dimaksudkan oleh Sitor Situmorang tersebut, meliputi daerah Samosir, Humbang, Toba Holbung, dan Silindung. Toba Na Sae ini disebut dalam bahasa Melayu: “Negeri Toba” sebagaimana dapat dilihat pada stempel Raja Singamangaraja XII yang berbunyi: “Maharaja di Negeri Toba”. Di dalam buku: “SEJARAH RAJA-RAJA BARUS: Dua Naskah Dari Barus” (Drakard, 1988), mengenai asal-usul Alang Pardosi pendiri dinasti Pardosi ditulis dengan kata-kata berikut: “Bermula dihikayatkan suatu raja dalam negeri Toba sila-silahi lua’ Baligi, kampung Parsoluhan, suku Pohan”. Buku ini merupakan terjemahan manuskrip kuno yang merupakan buku sejarah dari dinasti Pardosi di Barus. Jadi, ke Negeri Toba inilah datang misionaris Jerman dari RMG untuk melaksanakan misi-penginjilan kepada Orang Toba.
         
    Sejak kedatangannya pada tahun 1862, misionaris Jerman dari RMG telah mengkonstruksi Halak Toba menjadi Halak Batak dan Negeri Toba atau Toba Na Sae menjadi Tano Batak atau Tanah Batak. Inilah kerisauan HN van der Tuuk yang ditulis melalui suratnya kepada misionaris Jerman dengan alasan bahwa pengertian dari “Batak” itu negatif dan mereka memang bukan “Batak”, sehingga lebih baik mereka tetap sebagai Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing. Setelah Belanda menduduki Negeri Toba atau Toba Na Sae ini berkembanglah upaya pembatakan ini menjadi lebih luas terhadap etnis-etnis Non-Melayu di Sumatera Utara. Belakangan Nias dan Gayo mau dibatakkan juga, tetapi mengalami kesulitan untuk membatakkan mereka ini. Oleh Belanda, kemudian Pakpak, Karo, Simalungun, Mandailing dibatakkan juga, sehingga dibuatlah etnis non-Melayu ini menjadi sub-etnis Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing, yang kesemuanya disebut Bangsa Batak atau Bangso Batak.

          Untuk melebur semua etnis non-Melayu ini menjadi Batak, maka Belanda merancang Tarombo Bangso Batak dengan menciptakan Si Raja Batak sebagai nenek-moyang tunggal dan memanfaatkan tarombo-tarombo marga sebelumnya sebagai bahan. Penyebutan Si Raja Batak ini sesuai dengan rencana mereka untuk menjadikan kelompok non-Melayu ini menjadi Batak atau Bangso Batak. Dari Si Raja Batak disusunlah tarombo dengan menjadikan marga-marga Toba sebagai keturunannya dan dijadikanlah mitologi yang ada di Samosir merangkai tarombo tersebut. Mitologi tersebut menceritakan tentang kampung awal mereka adalah Sianjur Mula-mula yang sebelumnya dibungkus dengan cerita dari Sivaisme menjadi keturunan dewa-dewi dari langit ketujuh. Kemudian dibuatlah Tarombo Bangso Batak dengan Si Raja Batak sebagai nenek-moyang tunggal dan menghubung-hubungkan semua marga-marga dari kelompok non-Melayu sebagai keturunan Si Raja Batak.

          Dalam “cerita” itu, sebagian dari Batak Toba, yang merupakan keturunan Si Raja Batak tadi, kemudian bermigrasi ke tanah Pakpak dan jadilah mereka menjadi Batak Pakpak, sehingga dihubungkanlah marga-marga Pakpak menjadi keturunan marga-marga Toba. Di lapangan, prakteknya dilakukan dengan mengatakan "masuk marga ini dan masuk marga itu". Sebagian lagi dari Batak Toba, ada yang bermigrasi ke Tanah Karo, ke Tanah Simalungun, dan ke Tanah Mandailing, sehingga mereka ini menjadi Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing. Kemudian marga-marga dari Karo, Simalungun, dan Mandailing pun dihubungkan dengan menjadikannya menjadi keturunan marga-marga Toba. Akhirnya, jadilah Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing menjadi keturunan Si Raja Batak melalui marga-marga Toba, sehingga Si Raja Batak menurunkan Batak Toba dan Batak Toba menurunkan Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing. Demikian isi “cerita” ciptaan Belanda itu.

          Sesuai desain di atas, kemudian  Belanda mulai menggerakkan orang-orang Toba bermigrasi ke tanah Simalungun dan tanah Pakpak hingga ke Kutacane, Aceh Tenggara. Di tanah Pakpak dan Simalungun belum masuk misionaris ke sana sementara ke tanah Karo dan Angkola sudah ada misionaris dari Belanda ke sana, sehingga orang-orang Toba hanya digerakkan ke tanah Pakpak dan Simalungun. Tentu tidak terhindar dari berbagai konflik antara pendatang dengan penduduk asli setempat dan untuk itu Belanda membela sepenuhnya orang-orang Toba yang digerakkan bermigrasi ini. Bukan hanya orang Toba yang berangkat bermigrasi, tetapi misionaris Jerman pun ikut bersama mereka dan mereka mendirikan gereja mereka di tempat mereka yang baru. Di tanah Pakpak, para raja dan para pejabat yang akan dilantik oleh Belanda haruslah memenuhi syarat mereka yaitu: sudah dibaptis dan menyatakan menerima tarombo Bangso Batak tadi. Dapat dimengerti bahwa Belanda menggerakkan orang-orang Toba yang sudah Kristen diikuti oleh misionaris Jerman adalah dalam rangka memberikan "image" bahwa Batak itu Kristen. Sementara perlu diingat juga bahwa Melayu itu Islam, sehingga tampak jelas kontras dari keduanya antara Melayu dengan Batak. Inilah desain Belanda itu, sehingga kalau ada yang menggugat soal kebatakan ini, maka biasanya langsung dituduh berkaitan dengan perbedaan agama. Padahal, persoalannya bukan masalah agama, tetapi karena memang mereka merasakan berbeda dan hanya bertetangga saja.

Tarombo Bangso Batak dengan Si Raja Batak sebagai nenek-moyangnya

          Adapun dengan Mandailing terjadi permasalahan pada hari berikutnya di mana pihak Mandailing menyatakan bahwa mereka bukan Batak sebagai keturunan Si Raja Batak. Pihak Mandailing pun menggugatnya di pengadilan dan pengadilan memenuhi tuntutan mereka, sehingga Mandailing dinyatakan terpisah dari Batak. Menyikapi putusan pengadilan ini, Belanda pun menciptakan Keresidenan Tapanuli untuk tetap menyatukan Toba di Utara dan Mandailing di Selatan, sehingga mulailah muncul istilah orang Tapanuli. Baik Toba maupun Mandailing disebut orang Tapanuli. Hal ini dikonstruksi oleh Belanda dengan menggunakan nama teluk kecil di Sibolga yang bernama Tapian Nauli. Lama-kelamaan Tapian Nauli berubah menjadi Tapanuli sebagai sebuah nama Keresidenan. Tadinya mau dijadikan orang Batak, tetapi di hari berikutnya mau dijadikan lagi orang Tapanuli. Inilah kendala yang dihadapi oleh Belanda dalam usaha membatakkan kelompok non-Melayu ini.

          Setelah dilaksanakan migrasi orang-orang Toba ke daerah-daerah tadi, maka dibuatlah buku: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (1926) yang ditulis oleh W.M. Hutagalung, yang merupakan Asisten Demang di Pangururan. Tarombo-tarombo yang sudah didesain dan dibuat oleh Belanda sebelumnya, sekarang dibuatlah ceritanya di dalam buku tadi yang dijadikan sebagai buku pedoman. Di sekolah-sekolah zending yang diselenggarakan atas subsidi dari pemerintah Hindia Belanda, tarombo-tarombo ini turut juga diajarkan, sehingga terutama orang Toba sangat kuat tertanam tarombo yang dirancang ulang sesuai dengan rencana Belanda ini. Demikianlah desain besar yang dirancang Belanda untuk meleburkan kelompok non-Melayu dan dijadikan menjadi “Batak” yang mana semuanya itu bertujuan politis untuk melanggengkan penjajahan Belanda!

          Pada waktu semuanya itu didesain, ilmu pengetahuan belum secanggih seperti sekarang ini, sehingga Belanda kurang memperhitungkan akibatnya bagi rancangan yang mereka buat. Kemudian hari di tahun 2013, Balai Arkeologi Medan mengadakan survey dan ekskavasi di seluruh Kabupaten Samosir dan mereka menemukan bahwa corak budaya yang dominan di sana adalah peninggalan budaya Dongson dan mereka memperkirakan usianya sekitar 600 – 1.000 tahun atau tidak lebih dari 1.000 tahun. Jadi, Sianjur Mulamula dan Si Raja Batak menurut versi Belanda tadi tidak lebih dari 1.000 tahun. Ini menjadi permasalahan, karena situs-situs arkeologi di dekat tanah Karo, Simalungun dan Mandailing sudah lebih dari 1.000 tahun, sehingga bagaimana mungkin mereka ini keturunan Si Raja Batak?! Di sini sesungguhnya sudah terbongkar desain Belanda tadi, karena tidak masuk akal kalau seluruhnya Non-Melayu ini merupakan keturunan Si Raja Batak, karena sekarang sudah mencapai sekitar 13 juta jiwa yang hanya tidak lebih dari 1.000 tahun. Kerajaan Kutai yang sudah berdiri 1.500 tahun lalu tidak ada jumlahnya sampai belasan juta orang Kutai, apalagi Si Raja Batak yang belum sampai 1.000 tahun. Demikian juga dengan Gayo yang sudah ada 8.430 tahun lalu, tetapi hingga kini jumlahnya belum mencapai sepuluh juta orang. Tadi sudah dijelaskan bahwa peninggalan di Samosir itu merupakan peninggalan budaya Dongson, sedang Pakpak, Karo, Simalungun, Mandailing, dan Nias bila mau dimasukkan juga jelas bukan budaya Dongson. Selain budaya, bahasanya pun sangat besar perbedaannya, sehingga masing-masing tidak saling mengerti bahasa kalau belum belajar sebelumnya.

          Lembaga Biologi Molekuler Eijkman merupakan lembaga negara yang ditugaskan pemerintah untuk melakukan penelitian DNA setiap populasi di Indonesia. Toba, Karo dan Nias sudah dites DNAnya, tetapi Pakpak, Simalungun, dan Mandailing masih akan diteliti lagi, karena mereka banyak terkonsentrasi di Indonesia Timur yang populasinya sangat banyak. Dari hasil test DNA ini terbukti bahwa Karo dan Nias bukanlah keturunan Toba, apalagi keturunan Si Raja Batak yang berlatarbelakang budaya Dongson itu sama sekali bukan. Sangat jelas bahwa Karo dan Nias bukanlah keturunan Si Raja Batak!

Y-DNA Haplogroups dari Toba, yaitu: K-M526*, O-M95, O-M110, O-P203, O-P201, dan R-M124. K-M526* ini adalah orang hitam dengan rambut kriwil seperti Papua sudah ada sejak awal di Negeri Toba/Toba Na Sae sejak tenggelamnya Sundaland sekitar 8.000 tahun lalu. K-M526* inilah nenek-moyang Toba yang pertama berdiam di Negeri Toba bahkan O-M95, O-M110, O-P203, O-P201, dan R-M124 adalah keturunan dari K-M526 yang keluar dari Sundaland ke Asia Daratan. O-M95 sudah terdeteksi banyak di Humbang dari Silaban Rura hingga Siborong-borong pada sekitar 6.500 tahun lalu. O-M95 ini adalah pendukung budaya Hoabinh atau disebut juga Hoabinhian dengan kulit hitam dan rambut keriting (bukan kriwil) seperti orang-orang dari Nusa Tenggara Timur (NTT) yang masuk dari pantai Timur dan datang dari Teluk Tonkin, Vietnam bagian Selatan. O-M110 dan O-P203 datang dari Taiwan dan mereka ini kelihatannya masuk dari pantai Barat di sekitar 4.000 – 5.000 tahun lalu. O-P201 datang dari Dongson di dekat Teluk Tonkin, Vietnam dan mereka ini merupakan pendukung budaya Dongson. Adapun O-M110, O-P203, dan O-P201 adalah orang-orang berkulit putih. Kelima rombongan inilah yang datang ke Negeri Toba pada masa prasejarah, sehingga jelas bukan keturunan Si Raja Batak. Kemudian R-M124 yang paling sedikit datang ke Negeri Toba pada millennium kedua Masehi dan mereka ini datang dari India Barat. R-M124 ini berkulit hitam dengan rambut cenderung lurus. Jadi, jelas bahwa orang Toba merupakan keturunan campuran dari keenam rombongan tadi, sehingga bukan keturunan tunggal dari seorang manusia yang bernama Si Raja Batak, yang diperkirakan tidak lebih dari 1.000 tahun. Sekarang jelas bahwa Si Raja Batak bukanlah nenek-moyang Orang Toba. Si Raja Batak hanyalah figur tunggal ciptaan Belanda, yang tidak pernah hidup di dalam sejarah dan namanya dibuat Si Raja Batak adalah dalam rangka mengkonstruksi non-Melayu menjadi Batak atau Bangso Batak.

Akhirnya, misionaris Jerman mengkonstruksi etnis Toba menjadi Batak dan Negeri Toba/Toba Na Sae menjadi Tano Batak. Atas tindakan mengkonstruksi ini, maka HN van der Tuuk menulis surat bernada protes kepada misionaris Jerman, karena kata “Batak” itu mengandung gambaran negatif, sehingga biarlah mereka itu (non-Melayu) tetap disebut Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing. Kemudian Belanda mengkonstruksi lanjutannya setelah Perang Toba kedua pada tahun 1883 dan Raja Singamangaraja XII bergerilya di tempat Raja Lintong dekat Tele. Dikonstruksilah Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing menjadi Bangso Batak dengan sub-etniknya: Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing. Kemudian dibuatlah Tarombo Bangso Batak dengan menciptakan nenek-moyang tunggalnya untuk mempersatukannya menjadi Bangso Batak dan diberikan namanya Si Raja Batak, karena Belanda ingin menjadikan “keturunannya” menjadi Batak atau Bangso Batak. Tarombo Bangso Batak ini dibuat dengan menghubung-hubungkan semua marga dan menjalinkan menjadi keturunan marga-marga Toba dan kemudian tarombo ini dilukis sedemikian rupa. Kemudian diciptakanlah “cerita” bahwa keturunan Si Raja Batak, yaitu Batak Toba bermigrasi ke tanah Pakpak menjadi Batak Pakpak, bermigrasi ke tanah Karo menjadi Batak Karo, bermigrasi ke tanah Simalungun menjadi Batak Simalungun, dan bermigrasi ke tanah Mandailing menjadi Batak Mandailing. “Cerita” ini kemudian dituliskan dalam sebuah buku berjudul: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian Bangso Batak” (1926) dan inilah dijadikan sebagai sumber sejarah. Sekarang sudah terbukti bahwa Si Raja Batak bukanlah nenek-moyang tunggal Bangso Batak dan Si Raja Batak hanyalah ciptaan Belanda yang tidak pernah ada di dalam sejarah dalam rangka pembatakan non-Melayu. Dengan demikian, mempertahankan istilah “Batak” dengan gambaran negatif itu hanyalah mempertahankan desain Belanda ini dan akan meleburkan Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing melalui Tarombo Bangso Batak dan Si Raja Batak tadi. Bagi Toba sendiri tidak melihat dirinya dengan tepat, karena tidak berdiri pada tempatnya akibat dari Si Raja Batak dan Tarombo Bangso Batak tadi. Selanjutnya, sejarah harus ditulis ulang!
         

Catatan Kaki:
Tulisan di atas dirangkum dari seluruhnya buku-buku yang pernah penulis baca sehubungan dengan “Batak” ditambah buku-buku khusus seperti:
·         Prof. Dr.  Uli Kozok, UTUSAN DAMAI DI KEMELUT PERANG: Peran Zending dalam Perang Singamangaraja 1878, (2009) (https://nommensen.wordpress.com)
·         Sitor Situmorang, TOBA NA SAE: Sejarah Lembaga Politik Abad XIII-XX, (2009).
Kemudian semuanya “cerita” desain besar Belanda itu penulis uji dan telah ditulis di dalam beberapa tulisan hingga sampailah pada tulisan ini, antara lain:

·         BENARKAH SI RAJA BATAK NENEK-MOYANG BANGSO BATAK DAN TOBA INDUK BANGSO BATAK? (6 - Habis) - klik ( V )
·         BENARKAH SI RAJA BATAK NENEK-MOYANG BANGSO BATAK DAN TOBA INDUK BANGSO BATAK? (5) - klik ( V )
·         HALAK TOBA – ORANG TOBA - klik ( V )
·         KARO DAN NIAS BUKAN KETURUNAN SI RAJA BATAK; INI BUKTINYA! - klik ( V )
·         DARI SUNDALAND HINGGA DI NEGERI TOBA - klik ( V )
·         DARI ASIA DARATAN HINGGA DI TANAH KARO - klik ( V )
·         MEMBONGKAR MITOS SI RAJA BATAK: Sebuah Strategi Belanda dalam Pembatakan Non-Melayu - klik ( V )

  



(*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban