Wednesday, July 1, 2015

Bangso Batak (bagian 2)

Bangso Batak (bagian 2)

Oleh : P.Wilson Silaen
Benarkah kerajaan Batak itu adalah kerajaan Haru?
MASIH sulit dipastikan bahwa kerajaan Batak yang dimaksud dalam literatur-literatur di atas adalah kerajaan Haru, yang nasibnya bak raib ditelan bumi sejarah Indonesia. Mengapa begitu? Apakah dikarenakan hilangnya mata rantai sejarah yang terkait dengan itu, atau memang tidak pernah dituliskan sama sekali. Atau.., sengaja dihilangkan?
Karena, ketika berbicara tentang kerajaan Haru rasanya seperti membicarakan dongeng saja. Bahkan seperti dongeng yang sengaja disejarahkan untuk kepentingan tertentu? Mengapa harus demikian? Mungkin saja untuk menutupi sesuatu. Misalnya sesuatu yang berkaitan dengan keberadaan mereka yang sesungguhnya, termasuk asal usul dan lain sebagainya?
Sementara di sisi lain, kerajaan-kerajaan  yang memerangi Haru yaitu, Samudra Pasai dan Mojopahit, masih tertera jelas di sejarah Indonesia dan keberadaannya pun masih terlampir dalam buku-buku sejarah Indonesia. Sementara kerajaan Haru yang seperti dongeng itu, yang seakan raib dari permukaan sejarah Indinesia itu, terlalu sulit untuk dicari jejak dan kebenarannya karena berbagai dokumen tentang keberadaan kerajaan tersebut hilang begitu saja seperti tidak pernah ada. Apakah bangsa ini tidak lagi memperdulikan kebenaran sejarah maupun peradaban bangsanya sendiri? Bukankah bangsa besar adalah bangsa yang menghormati sejarah, pahlawan maupun peradabannya?
Sebaliknya, terlalu sulit pula untuk dibantah bahwa kerajaan Haru yang dimaksud dalam literatur-literatur di atas bukanlah kerajaan Batak – pecahan dari kerajaan Batak Timur Raya yang pernah ada?
Karena beberapa pengamat sejarah asing pun menjelaskan bahwa, sebelum Islam masuk dan menguasai Samudra Pasai – pra abad ke XIII, – wilayah kerajaan Batak sangatlah  luas. Mulai dari teluk Aru atau Haru, berbatasan dengan Aceh, hingga sungai Kampar, Riau, yang berbatasan dengan Jambi – di timur selat Malaka. Di sebalah baratnya, mulai dari Ajerbangis bersebelahan dengan Minangkabau, Singkil, dan Aceh. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apakah kerajaan Batak yang dimaksud dalam literatur ini bukanlah kerajaan Haru? Rasanya terlalu sulit untuk dibedakan.
Diperkuat pula oleh buku sejarah Indonesia dan “Buku Sejarah Melayu” bagian ke tujuh, menceritakan awal masuknya Islam ke Indonesia yang dibawa oleh Nachoda Syech Ismael, melalui Andalas Utara, tahun 1292, yang kemudian mendirikan kerajaan Islam pertama di Nusantara, yang bernama SAMUDRA PASAI, berpusat di Perlak, Aceh Tamiang. Diceritakan pula sebelum menetap di Perlak, Nachoda Syech Ismael telah melalui beberapa daerah, seperti Fansur (Barus), Lamuri (Aceh), dan kemudian berkunjung ke kerajaan Haru (Aru).
Di Perlak Nachoda Syech Ismael berjumpa dengan Merah Tjaga dan adiknya Merah Silu. Setelah di-Islamkan Merah Silu berubah nama menjadi MALICUL SALEH, Sultan pertama di kerajaan Islam Samudra Pasai, yang wafat tahun 1297. Dan sejak saat itu terjadilah peperangan demi peperangan antara Samudra Pasai dengan kerajaan Haru, maupun daerah lain yang masih berfaham animis, (baca; Aceh Sepanjang Abad). Buku ini secara tegas mengidentifikasikan kalau kerajaan Haru itu sebenarnya adalah kerajaan Batak.
Buku Sejarah Melayu yang XXIV, karya Abdullah juga menjelaskan peperangan antara Samudra Pasai dengan kerajaan Haru, yang kemudian melibatkan Malaka. Di buku ini disebutkan nama raja-raja yang pernah ada di kerajaan Haru antara lain, Maharadja Diradja anak Sultan Shujak yang turun dari Batu Hilir di kota Hulu, Batu Hulu di kota Hilir, dan nama-nama tokoh yang identik dengan tokoh-tokoh besar yang pernah ada di tanah Batak seperti, Sariburaja, Tuan Sori Mangaraja, Singamangaraja, maupun nama-nama raja yang sudah menjadi Islam.
Sementara itu, sesuai terjemahan isi buku “Pustaha Batak” mengenai hikayat Tarombo Keluarga Besar Siraja Batak yang terlampir dalam Pustaha Taringot tu Tarombo Bangso Batak, diuraikan sebagai berikut;
Surat Batak nunga adong di sundut ni Siraja Batak, ai ibana do na pasahathon sabalunan surat agong bagian ni anakna Guru Tateabulan, jala sada surat tumbaga holing di anakna Siraja Isumbaon. Dibalunan na parjolo i tarsurat do Hadatuon, Habeguon, Parmonsahon dohot Pangaliluon. Ia di na paduahon i Ruhur-ruhut ni Harajaon, Paruhumon, Parhaumaon, Partigatigaon, dohot Paningaon.
Terjemahan;
Surat Batak sudah ada di generasi Siraja Batak, karena dia sendirilah yang menyerahkan segulungan (sabalunan) surat Surat Agung (agong) bagian dari putranya Guru Tateabulan dan segulungan lagi Surat Tumbaga Holing, bagian putranya Siraja Isumbaon. Di gulungan pertama bertuliskan ilmu-ilmu tentang Kedatuan (tempat bertanya – bukan perdukunan), Keperwiraan (siasat dan strategi peperangan), Kependekaran (monsak – pencak silat) dan Kesaktian (mistik – kegaiban). Dalam gulungan kedua mengenai ajaran tentang Kerajan (ketataprajaan atau sistem pemerintahan), Sistem Hukum dan Peradilan, Sistem Pertanian, Perniagaan dan Kesenian (karya seni – cipta).
Dalam literatur ini secara tegas ditandaskan bahwa Pustaha Siraja Batak adalah produk generasi sebelumnya, yaitu sebelum keberadaan Siraja Batak di Pusuk Buhit. Artinya, jika benar sebelum Siraja Batak menetap di Pusuk Buhit, dan sebelum surat Tarombo Keluarga Besar Siraja Batak diserahkan kepadanya oleh.., siapa pemegang sebelumnya? Dari siapa Pustaha tersebut diterima dan di mana tempat kedudukan si pemberi? Apakah di pusat kerajaan Batak Timur Raya yang pernah ada, di Perlak, Aceh Tamiang, seperti dugaan sebagian orang, atau di pusat kerajaan Haru yang terletak di sekitar teluk Aru, Sungai Wampu, Langkat, atau.., dari tempat lain?
Maka tidaklah mengherankan jika masyarakat Batak yang sekarang tetap bersikukuh meyakini Bonandolok, Pusuk Buhit, sebagai bonapasohit atau asal-usul dan tanah leluhurnya bangso Batak. Mengapa begitu? Apa kira-kira penyebabnya?
Kemungkinan-kemungkinan penyebab yang dapat dipertimbangkan ialah karena putus atau hilangnya mata rantai sejarah yang terkait dengan itu, yang  sekaligus memberi kesempatan berspekulasi untuk membuat sejarah baru yang akhirnya simpang siur dan dapat menyesatkan – melalui proses mitologi.
Mitologi:
Jika ditilik dari Silsilah – Tarombo Siraja Batak – yang sarat unsur mitologi itu, secara tegas dapat dipastikan baru berapa generasilah kira-kira orang Batak hingga kini. Yaitu tidak lebih dari 30 generasi. Apabila per generasi diperhitungkan 30 tahun maka dapat dipastikan usia orang Batak tidak lebih dari 900 tahun? Hal ini bertolak-belakang dengan fakta sejarah.
Tegasnya, orang Batak yang mengaku-ngaku sebagai suku bangsa tua dan berperadaban tinggi, apabila hanya mengedepankan Tarombo semata sebagai landasan sejarah mereka, pada kenyataannya hanyalah suku bangsa muda, bahkan yang termuda di antara suku-suku bangsa yang ada di Nusantara.
Lagi-lagi bertentangan dan tidak sesuai dengan fakta sejarah, dimana telah digambarkan betapa tuanya kultur masyarakat Batak Toba Tua yang ada! Berarti ada kejanggalan! Bahkan mungkin terlalu janggal bila dilogikakan! Mengapa..? Apakah mungkin kelompok masayarakat yang telah memiliki aksara dan ilmu pengetahuan tentang perbintangan dan lain sebagainya, baru berusia 900 tahun?
Seperti dijelaskan di bagian depan bahwa sebelum abad ke XIII suku bangsa Batak, di pesisir Sumatera bagian utara, sudah dikenal sebagai suku bangsa besar, (F.M. Pinto). Sementara data-data dan alur sejarah lain, yang bekaitan dengan hal tersebut, sangat jelas dan tegas mengatakan bahwa suku bangsa Batak adalah suku bangsa besar pada jamannya. Artinya, apakah mungkin usia suku bangsa Batak yang sebelum abad XIII sudah dinyatakan sebagai suku bangsa besar oleh F.M, Pinto dan lain sebagainya, baru berusia 900 tahun? Semakin sulit diterima..!
Kemudian yang patut pula dipertanyakan adalah siapa sebenarnya itu Siraja Batak? Apakah sebutan Siraja Batak itu adalah panggilan untuk sebuah nama atau hanya gelar – predikat semata? Dari mana asal-usulnya dan sejak kapan bermukim, di Bonandolok, Pusuk Buhit? Jika itu memang sebuah nama mengapa tidak ditabalkan sebagai nama atau marga pada keturunannya, sebagaimana kebiasaan umum orang Batak menabalkan nama leluhurnya pada generasi selanjutnya sebagai sebuah marga? Apakah benar Siraja Batak itu cicit buyut dari Ompu si Raja Odap-Odap dengan Borudeakparujar, yang konon katanya bidadari dari khayangan? Atau.., apakah tidak tertutup kemungkinan kalau Siraja Batak itu ditinggal orang tuanya – semasa kanak-kanak – di Pusuk Buhit, sehingga tidak mengetahui lagi dari mana asal-usulnya dan kemudian membuat sejarah baru dari tempat itu? Atau kemungkinan lain, tidakkah mustahil jika Siraja Batak itu adalah pemimpin kelompok pengungsi dari daerah tertentu, membuka perkampungan baru, di Bonandolok, Pusuk Buhit, dan kemudian mendirikan kerajaan baru di sana? Jika benar demikian tentu ada tempat asalnya. Di mana..? Dari mana datangnya ke sana?
Seperti penjelasan-penjelasan terdahulu dimana semenjak Islam masuk ke Sumatera, abad XIII, perang antara kerajaan Batak – mungkin Haru – dengan tetangganya Samudra Pasai, yang juga melibatkan Malaka, terus berkecamuk hingga akhirnya pasukan Batak terdesak ke pegunungan meninggalkan wilayah teritorialnya sendiri, di pesisir timur Sumatera bagian utara. Karena memang sudah kalah dan hancur anta-beranta, masyarakatnya pun cerai-berai akibat perang, pasukan Batak yang kalah perang itu melarikan diri ke pegunungan, bersembunyi dan menetap di sana selama ratusan tahun. Sebagian mengungsi ke Gayo, Alas, dan sebagian lagi, yang sudah Islam, bertahan di pesisir. Bisa jadi mereka yang di pesisir inilah yang mengubah diri menjadi melayu?
***pada masa itu banyak sekali orang Batak tidak lagi menggunakan marganya, terutama mereka yang sudah Islam dan tinggal di pesisir. Mengapa demikian, mungkin karena tidak mau dikatakan sipelebegu (penyembah berhala), kafir, barbar, primitif, bahkan pemakan cacing, dan kanibalisme.
Dan yang patut pula dipertanyakan adalah, apakah tidak tertutup kemungkinan akibat kalah perang masyarakat kerajaan Batak, yang tadinya berpusat di sekitar teluk Aru, lari dan bersembunyi di antara pegunungan bukit barisan, lalu menutup diri di sana selama ratusan tahun – splendid isolation? Tidakkah kemungkinan-kemungkinan tersebut patut dipertimbangan sebagai dasar untuk menelusuri kembali alur sejarah Batak yang mulai pudar, yang sudah saling-silang akibat putusnya berbagai mata rantai sejarahnya?
Pertimbangan-pertimbangan tersebut hanya sekedar mengingatkan agar orang-orang Batak tidak lagi terkuptasi mitologi sejarah yang datangnya kemudian, dan mau berkompromi dengan fakta-fakta sejarah.
Jika kemungkinan-kemungkinan di atas pun masih sulit diterima, maka pertanyaan selanjutnya yang harus pula dijawab adalah, dari mana sebenarnya asal usul mereka dan apa latar-belakang perpindahan ke sana? Karena baik para antropologi, etnografi asing, kaum cendikiawan maupun sejarawan kita belum ada yang dapat mengungkap dan memecahkan misteri tersebut secara ilmiah. Tegasnya, sepanjang asal usul dan latar-belakang “perpindahan dan pengisolasian diri” leluhur bangso Batak belum dapat diungkap, dijawab dengan pas dan mantap, maka selama itu pula Sejarah Tarobo Siraja Batak dianggap mythos atau dongeng belaka. Yaitu sebagai sejarah tersendiri yang terus berbeda dengan sejarah-sejarah umum yang pernah ada. Sangat ironis..!
Sebab, jika sebuah komunitas – suku bangsa – mengisolasikan diri sendiri dari masyarakat umum pergi ke pedalaman liar, hutan belantara dan pegunungan terjal, pasti punya alasan tertentu. Dan alasan yang paling kuat sudah pasti untuk mempertahankan tekad dan kepribadian, misalnya supaya tetap merdeka untuk mempertahankan kultur, peradaban dan lain sebagainya. Karena, apabila mereka takluk dan tunduk kepada “penguasa baru yang membawa kebudayaan dan peradaban baru”, yang sudah pasti akan diterapkan kepada mereka selaku bangsa taklukan. Maka lebih baik mengungsi ke pegunungan dari pada harus merusak tatanan struktur kebudayaan yang harus mereka pertahankan. Kemungkinan besar alasan inilah salah satu penyebab kepindahan mereka.
Sama halnya seperti yang terjadi pada bangsa primitif maupun modern lainnya. Contoh, seperti Dalai Lama dan bangsa Tibet – penganut Buddha kuno. Mereka lebih memilih tetap tinggal di antara Pegunungan Himalaya dari pada harus membaur dengan bangsa Cina, India maupun Mongol yang barangkali kurang cocok dengan kultur maupun peradaban mereka.
Bisa jadi sama halnya dengan orang Batak yang juga memilih tinggal di pegunungan dari pada harus membaur dengan mereka yang berbeda kultur maupun peradaban?
Karena sebelum dan sesudah mengisolasikan diri di pegunungan, keluarga besar Siraja Batak bukanlah suku bangsa liar atau primitif, seperti suku si Umang, Kubu, Sakai dan lain sebagainya yang mendiami pedalaman Sumatera. Masyarakat Batak sudah mempunyai kebudayaan cukup tinggi pada zamannya. Tidak seperti stigma buruk yang sering dilontarkan kelompok tertentu dimana mengatakan orang Batak identik dengan barbar, liar dan primitif.
Stigma-stigma buruk tersebut sangatlah bertentangan dengan fakta sejarah. Ini dibuktikan dari kemampuan dan pengetahuan mereka di berbagai bidang, yang menjadi produk peradaban mereka sendiri, seperti punya kalender sendiri – produk ilmu pengetahuan perbintangan mereka sendiri, yang disebut sebagai PARHALAAN. Punya huruf/aksara sendiri, yang dapat dibuktikan melalui ribuan naskah maupun pustaha Batak kuno yang berserakan di manca negara, punya pengetahuan tentang ilmu hukum, pertanian, perniagaan maupun pengobatan, punya Tunggal Panaluan sebagai penunjuk jalan (kompas), punya ilmu sihir (mistik), bahkan punya kepercayaan serta mengenal Tuhan, yaitu Debata Mulajadi Nabolon. Debata Mulajadi Nabolon adalah sebutan untuk Tuhan bagi kepercayaan – agama Batak kuno. Sedangkan Debata na Tolu, sama seperti Trimurti dan Trinitas di agama lain, adalah simbol dari keyakinan agama Batak kuno.
Tegasnya kelompok ini bukanlah kelompok liar, barbar maupun primitif – kanibal/pemakan orang – seperti yang distigmakan kebanyakan orang, hanya karena  kematian dua misionari Amerika yang bernama Lehman dan Munson, di Lobu Pining, melainkan kelompok masayarakat yang berperadaban tinggi. Masyarakat yang taat dan patuh akan adad, etika, serta asas kepatutan, layaknya prilaku bangsa-bangsa beradab.
Bila diteliti isi salinan buku-buku Pustaha Batak yang konon katanya berasal dari karya leluhur Siraja Batak, tidaklah kalah mutunya dengan tulisan-tulisan yang ada dalam Pewayangan Jawa. Karena di buku-buku Pustaha Batak Tua dijumpai berbagai tulisan-tulisan klasik mengenai sejarah dan Tarombo Suku Bangsa Batak, seperti ilmu pengetahuan tentang mistik, pengobatan, pertanian, hukum, keadilan dan lain sebagainya, sekalipun melalui cara-cara kiasan yang sepertinya supaya hanya para Datu dan Guru-Guru sajalah yang tahu dan mengerti. Mengapa harus demikian? Hal ini masih dianggap misteri bagi para pengamat.
***pengertian Datu dalam istilah Batak kuno semacam gelar bagi orang yang berpengetahuan luas, orang yang bersifat arif, bijaksana – yang menjadi tempat bertanya masayarakat pada masa itu. Bukan Dukun, seperti yang dipelesetkan kebanyakan orang. Karena gelar Datu pun tedapat pada suku bangsa Minangkabau maupun Melayu, tetapi dalam pengertian yang sebenarnya, dimana ditabalkan di depan nama tokoh-tokoh besar mereka, dengan sebutan DATUK atau DATOK.
Adapun para Datu dan Guru-Guru dimaksud umumnya terdiri dari raja-raja Bius atau segolongannya, karena hanya mereka yang dapat dan dipercaya untuk menafsir isi pustaha-pustaha tersebut. Hal serupa juga terdapat dalam tata cara penulisan buku-buku kuno di seluruh dunia. Dan yang perlu digaris-bawahi dalam hal ini ialah bahwa, di dalam buku-buku Pustaha Batak kuno tidak pernah dijumpai prihal tentang kejahatan, kebejadan, keonaran, kepalsuan, penghianatan dan lain sebagainya, sebab buku-buku tersebut dianggap semacam “kitab suci” bagi bangsa Batak kuno, (Uli Kozok). [Bersambung]
*Pengurus FORUM SISINGAMANGARAJA XII 
Tulisan Bagian 1 : Bangso Batak (bagian 1)

Sumber:
http://lintasgayo.co/2014/04/05/bangso-batak-bagian-2

No comments:

Post a Comment