Wednesday, July 1, 2015

Bangso Batak (bagian 3)

Bangso Batak (bagian 3)

Oleh : P. Wilson Silaen
Kesimpulan sementara
Jika mereka mau, rasanya tidaklah sulit bagi mereka menuliskan sejarah maupun latar-belakang peradaban mereka, termasuk mengapa harus mengisolasikan diri di pegunungan serta dari mana asal usul mereka sebelum bermukim di tempat itu. Karena jauh sebelum bermukim di tempat itu mereka sudah tahu baca tulis dan lain sebagainya. Akan tetapi mengapa mereka tidak berupaya menuliskan hal tersebut, mengapa justru cendrung menggunakan pesan melalui cara “turi-turian” secara berkala untuk mengisahkan sejarah mereka, yang akhirnya dianggap seperti dongeng, karena tidak punya bukti sejarah materiil yang dapat dijadikan acuan dalam proses penelitian akademis? Yang pasti, kemungkinan besar mereka punya alasan dan pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk tidak melakukan hal tersebut, apalagi hingga saat ini belum seorang pun dapat menguak alasan-alasan dimaksud.
Kemudian jika mengacu pada keberadaan pustaha-pustaha Batak yang telah didiskripsikan oleh: 1. Liberty Manik; Batak-Handschriften. 2. Voorhoeve Petrus; Codices Batacici, Codices Manuckripti XIX, Leiden: Universitaire Pers 1977, Catalogue of Indonesia Manuscripts Part I, Batak Manuscripts, Copenhagen, Denmark: The Royal Liberary 1975, dan Acatalogue of the Batak Manuscripts in the Chester Beatty Library, Dublin: Hodges Figgis & Co.Ltd. 1961. 3. Ricklefs M.C dan P. Voorhoeve; Indonesian Manuscipts in Great Britain, Oxfodr Univercity Press 1977, dapat disimpulkan bahawa tidak ada alasan secara akademis untuk membenarkan stigma-stigma buruk yang mengatakan suku bangsa Batak Toba Tua adalah bangsa liar, barbar dan primitif, alias pemakan orang, sekalipun posisi kediamannya di pedalaman, di antara lembah dan gunung-gunung Bukit Barisan yang pada jaman itu masih sangat liar. Karena ribuan naskah maupun pustaha Batak yang berserakan di manca negara dapat membuktikan dan menjamin ketuaan peradaban masayarakat setempat, sebagai bangsa beradab.
Catatan:
Menurut catatan para pengamat asing, sebelum abad XIII – masuknya Islam ke Pasai – tercatat bahwa wilayah kerajaan Batak sangat luas. Mulai dari teluk Aru, hingga sungai Kampar yang berbatasan dengan Jambi. Dari Ajerbangis berbatasan dengan Minangkabau, hingga Singkel yang bebatasan dengan Aceh.
Untuk memperkuat catatan tersebut, I.J.SIMANJUNTAK, penulis PUSTAHA PANUTURAN BATAK, pernah melakukan penelitian ke Riau, pada tahun 1925. Hasil penelitiannya menjelaskan, ketika melakukan perjalanan ke Afdeeling Bengkalis, RIAU atau Bagan Siapiapi sekarang, melalui sungai Rokan hingga Pasir Pangarajaan, masuk ke sungai Siak – Seri Indrapura – hingga Pekanbaru dan tidak jauh dari Pekanbaru terdapat perkampungan tua yang bernama “KAMPUNG BATAK”, yang  berdekatan dengan Bangkinang. Konon katanya, asal kata Bangkinang bermula dari kata “Bangke Ni Inang”.
Artinya, jauh sebelum Indonesia merdeka, di Riau, sudah terdapat perkampungan tua yang disebut Kampung Batak. Apakah perkampungan tua tersebut muncul begitu saja tanpa latar-belakang sejarah dan lain sebagainya? Dan mengapa perkampungan Batak setua itu sampai bisa berada di sana kalau tikak punya kaitan dengan sejarah bangso Batak pada masa lampau?
Data penelitian
Diperkirakan ribuan naskah Batak kuno berserakan di luar negeri. Di Jerman saja ada 500 naskah. Di Perpustakaan Chester Beatty, Dublin, Irlandia 51 nasakah, Perpustakaan Kerajaan Denmark 86 naskah, dan di Italia 20 pustaha dan 4 naskah bambu – yang dibawa Elio Modigliani, ketika berkunjung ke Toba, 1890. Sementara itu, di Universiteitsbibliotheek, Leiden, Belanda, terdapat ribuan lembar transliterasi dan deskripsi dari ratusan naskah Batak. Sampai saat ini belum seorang pun pernah menghitung jumlah naskah-naskah Batak yang ada di Belanda. Menurut perkiraan ribuan naskah Batak tersimpan di museum-museum besar seperti, Tropenmuseum, Amsterdam, dan Geraldus van der Leeuwen, Groningen, Belanda. Demikian pula dengan naskah-naskah yang terdapat di Museum Fur Volkerkunde Wien Vienna, Austria, atau negara-negara Eropa lainnya, termasuk di luar Eropa, yang belum pernah dilakukan infentarisasi tentang keberadaannya, (WARISAN LELUHUR; Uli Kozok).
***Elio Modigliani’s pernah berkunjung ke Toba pada tahun 1890 dan pada masa itu sempat dianggap oleh masyarakat Batak sebagai “Utusan si Raja Rom” apalagi dengan konsep “Ratu Adil-nya”, di Toba. Dan tokoh Itali ini telah banyak mempengaruhi sejarah orang Batak, (Petrus Voorhoeve, Elio Modigliani’s Batak Books, Archivio per I’Antropologia e la Etnologia Vol.CIX-CX, 1979-1980, Hal. 61-96  dan Sitor Situmorang 1993a).
Tambahan: Naskah Batak di dunia Maya.
Salah satu masalah yang dihadapi kalangan akadimis maupun Mahasiswa dalam upaya penelitian sejarah Batak adalah, dikarenakan lebih dari 90 persen naskah-naskah Batak kuno berada di luar negeri. Adapun upaya untuk mengembalikan naskah-naskah tersebut telah dirintis oleh warga Jerman yang bernama Uli Kozok, melalui dunia maya. Pranala (link). Situs Internet tersebut dapat diakses melalui – www.arts.auckland.ac.nz/indo/naskah.html -
Harapan kami :
Dengan segala hormat, kami para pemerhati sejarah dan kebudayaan yang berdomisili di Bonapasogit sangat berharap adanya kritik – saran maupun masukan-masukan dari semua fihak untuk mendukung upaya penjernihan sejarah Bangso Batak yang belakangan semakin samar-samar. Misalnya melalui kontribusi data dan lain sebagainya, demi kesempurnaan artikel-artikel selanjutnya, supaya generasi mendatang pun tidak lagi menglami kesulitan jika ingin melakukan penelitian. Horas..!  (habis)
Bahan-bahan artikel ini sebagian dicuplik dari “Buku Sejarah Batak” tulisan BATARA SANGTI – Ompu Buntilan Simanjuntak, oleh;
*Pengurus FORUM SISINGAMANGARAJA XII
Tulisan :Bagian 1 : Bangso Batak (bagian 1)
Bagian 2 : Bangso Batak (bagian 2)

Sumber:
http://lintasgayo.co/2014/04/06/bangso-batak-bagian-3



No comments:

Post a Comment