Saturday, July 11, 2015

JURUS PADOMUHON LANGIT DOHOT TANO

SERI MENGUBUR MITOS (6)
 
JURUS PADOMUHON LANGIT DOHOT TANO
Oleh: Edward Simanungkalit


Ada satu ungkapan yang sering juga dilontarkan ketika sedang ngobrol di lapo atau di berbagai tempat lainnya. Kalau berbicara dengan pintarnya tanpa ada batas-batas atau norma-norma cerita tersebut dan tanpa jelas ujung-pangkalnya, maka dapat diberi komentar: “Molo mangkatai bayo an, mardomu langit dohot tano dibaen.” i.e.: “Kalau bercerita dia itu, maka dapat bertemu langit dengan tanah.” Ini menggambarkan suatu cerita atau pembicaraan yang tidak jelas arah dan batas-batasnya membuat tidak dapat dibedakan lagi antara langit dengan tanah, sehingga bumi dan langit menyatu.


Dalam hal marturiturian dan martarombo masalah mardomu langit dohot tano dapat muncul, karena marturi-turian bisa dilakukan tanpa batas dan cenderung sulit dicek dan diricek. Sebagai contoh dapat penulis kemukan kisah yang penulis karang sendiri seperti berikut:

Bermula ketika Amanlompas mengawini seorang perempuan yang kemudian melahirkan dua orang anak lelaki benama Sidungdunglangit dan Sihuntidolok. Setelah dewasa, maka berangkatlah kedua anaknya merantau berjalan ke selatan dan mereka pun sampai di muara sungai Musi. Di sana Sidungdunglangit mengawini seorang perempuan dari daerah tersebut, sedang adiknya Sihuntidolok meneruskan perjalanan hingga menyeberang laut terus ke timur pulau Jawa. Setelah Sihuntidolok sampai di ujung timur pulau Jawa, maka dia pun mengawini seorang perempuan  daerah tersebut.

Kemudian Sidungdunglangit memperoleh seorang anak lelaki yang diberinya nama Dapunta Hyang. Setelah dewasa dan matang, maka Dapunta Hyang pun dapat menjadi raja dari sebuah kerajaan yang didirikannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya. Sedang Sihuntidolok pun memperoleh anak lelaki yang diberinya nama Raden Wijaya. Setelah dewasa dan matang, maka Raden Wijaya pun dapat menjadi raja dari sebuah kerajaan yang didirikannya, yaitu Kerajaan Majapahit. Itulah kisah dari Sidungdunglangit dan Sihuntidolok, anak dari Amanlompas,  yang pada akhirnya, anak-anaknya menjadi Raja di Kerajaan Sriwijaya dan Raja di Kerajaan Majapahit.

Kisah di atas  dapat kita cek dan ricek kebenarannya dengan mudah, karena sejarah Indonesia mengenai kedua kerajaan tadi sudah jelas. Sejarah Indonesia mencatat bahwa Daputa Hyang mendirikan Kerajaan Sriwijaya pada  tahun 671 Masehi (671-702) dan Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit pada tahun 1293 Masehi (1293-1309). Setelah kita mencocokkan data tersebut dengan kisah di atas, maka terlihat jelas betapa kacaunya kisah mengenai Sidungdunglangit dan Sihuntidolok tadi. Inilah yang penulis sebut dengan istilah ‘Jurus Padomuhon Langit dohot Tano’.
          Pikiran ini mulai timbul di dalam pikiran penulis ketika menemukan kisah tentang Si Piso Sumalim yang kejadiannya di Silindung dengan berbagai bumbu yang pada akhirnya hanya nama itu saja yang benar. Ketepatan suatu kali penulis mengelilingi ringroad pulau Samosir dan ketika melewati sebuah desa bernama Desa Hatoguan, penulis melihat sebuah monumen besar bertulisan: “MAKAM SI PISO SUMALIM DOLOK SARIBU”. Penulis pun berhenti di lapo dekat monumen tersebut dan bertanya kepada mereka yang ada di lapo itu. Mereka bercerita tentang figur Si Piso Sumalim tersebut dan ternyata sedikit pun tidak ada kesamaan dengan turituriam Si Piso Sumalim yang biasa penulis dengar atau baca sebelumnya. Hanya nama Si Piso Sumalim saja yang benar. Sejak itu penulis mulai timbul pikiran seperti di atas tadi, sehingga selalu berusaha mencari data-data valid untuk menguji kebenaran sebuah turiturian.
          Suatu malam, ketika penulis hendak menulis tetang marga Girsang di Lehu, penulis menemukan seperti yang penulis duga sebelumnya, sehingga membuat penulis tertawa terhabak-bahak sendiri setelah membacanya. Kisah itu penulis temukan di dalam buku: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” yang ditulis oleh W.M. Hutagalung (1926:197-201) sebagai berikut:

Dikisahkan bahwa Siboro, anak dari Purba, memiliki keturunan dari Guru Tentangniaji sebanyak dua orang anak bernama Raja Langit dan Raja Ursa yang pergi jalan-jalan ke arah Dairi. Sesampainya di Tungtungbatu, kawinlah Raja Langit dan lahirlah anaknya bernama Tungtungbatu, yang menurunkan marga Purba di situ. Sedang Raja Ursa pergi ke Lehu dan kawin di sana hingga memperoleh anak bernama Raja Lehu, yang menurunkan marga Purba di situ.
Kemudian mereka berangkat ke Simalungun dan Raja Langit menetap di Langgiung Purba dan kawin di sana. Lahirlah anaknya dua orang di situ, yaitu: Raja Parultop (Datu Parulas) dan Tuan Purba. Sedang Raja Ursa pun pergi ke Nagasaribu, Simalungun dan kawin di sana. Kemudian lahirlah anaknya dua orang, yaitu: Raja Nagasaribu yang menurunkan marga Girsang, dan, Tuan Binangara yang juga marga Girsang keturunannya. Ke dalam marga Girsang ini masuk juga marga Girsang Rumaparik, Girsang Parhara, dan Girsang Silangit. ... dst. ... dst. ...  sampai halaman 201.

Setelah dikutip salah satu bagian dari buku yang ditulis oleh W.M. Hutagalung di atas, maka dapat dicermati secara jeli dan kritis. Tentu diperlukan bahan pengetahuan lain seperti sejarah, sehingga dengan cepat dapat menggunakan angka tahun dari sumber lain, karena kisah di atas tidak punya angka tahun, sehingga si pembacanya dapat dengan mudah tersesat. Apalagi pengetahuan pembaca itu sudah diperlengkapi dengan pengetahuan mengenai ras dan genetika, maka dengan lebih cepat lagi dapat menilai kisah-kisah di dalam buku tersebut.

     Di Tungtungbatu adalah kampung marga Cibro dari Pakpak. SEJARAH ETNIS SIMALUNGUN (Agustono & Tim, 2012), mengemukakan bahwa Raja Purba Pakpak dengan gelar Tuan Pangultopultop berasal dari Tungtungbatu.  Tanpa sedikitpun keraguan bahwa Tuan Pangultopultop berasal dari Tungtungbatu, sehingga marganya disebut marga Purba Pakpak dan peninggalannya pun masih ada di Tungtungbatu. Tuan Pangultopultop memerintah sebagai raja pertama dari Kerajaan Purba pada tahun 1624-1648. Raja Purba memerintah sebanyak 14 raja hingga raja terakhir Tuan Mogang yang memerintah pada tahun 1933-1947 dan meninggal pada masa revolusi sosial di Sumatera  Timur (Agustono & Tim, 2012:113-114).  Setelah Tuan Pangultopultop menjadi raja Kerajaan Purba di Simalungun, dia masih sering ke Tungtungbatu melewati Lehu, karena ada keluarganya di sana. Di Lehu, dia mengawini perempuan di sana yang melahirkan Girsang dan Girsang ini yang menurunkan marga Girsang.

     J. Tideman dalam bukunya Simaloengoen (1922;81-83) menulis bahwa seorang keturunan Girsang dari Lehu adalah pemburu rusa yang membawanya sampai ke Naga Mariah di mana rajanya adalah marga Sinaga. Melalui sebuah peristiwa perang yang dimenangkan oleh pasukan Naga Mariah atas strategi yang disarankan si Girsang, maka mereka pun menang dan si Girsang pun diberikan gelar Datu Parulas. Datu Parulas inipun menjadi menantu Raja Sinaga yang tidak memiliki putra mahkota, sehingga ketika Raja Sinaga itu meninggal, maka Datu Parulas menggantikannya menjadi Raja Girsang, yang kemudian menjadi Kerajaan Silimakuta dengan ibukota Nagasaribu. Raja Girsang ini menjadi raja sebanyak 7 generasi hingga Tuan Padiraja sebagai raja ke-7, yang meninggal pada waktu revolusi sosial di Sumatera Timur tahun 1946 (Agustono & Tim, 2012:115-119). Datu Parulas naik tahta menjadi Raja Girsang di penghujung abad ke-18.

     Raja Langit dan Raja Ursa tidak dikenal di dalam sejarah Simalungun. Kemudian dikatakan bahwa Raja Langit memiliki anak, yaitu: Raja Parultop alias Datu Parulas dan Tuan Purba. Kedua tokoh terakhir ini adalah raja di Simalungun yang hidup dalam masa yang berbeda jauh, yaitu sekitar 150 tahun. Raja-raja di Simalungun jelas sejarahnya di mana mereka adalah raja dalam artian raja dari sebuah kerajaan di mana terakhir ada 7 kerajaan di Simalungun (1946). Sejarah tidak sama dengan turiturian (kisah). Sementara buku yang ditulis oleh W.M. Hutagalung hanyalah turiturian tanpa data tahun   yang jelas tanpa pembanding dari sumber-sumber lain. Apalagi bila diperhatikan ras dan genetika orang-orang dari daerah lain, maka akan semakin terlihat jelas betapa mustahilnya buku itu dan semakin terang-benderang terlihat jurus-jurus lain dalam usaha padomuhon langit dohot tano, yaitu jurus padomuhon langit dohot tano. DDD




No comments:

Post a Comment