SERI MENGUBUR MITOS (6)
Oleh:
Edward Simanungkalit
Ada satu
ungkapan yang sering juga dilontarkan ketika sedang ngobrol di lapo atau di
berbagai tempat lainnya. Kalau berbicara dengan pintarnya tanpa ada batas-batas
atau norma-norma cerita tersebut dan tanpa jelas ujung-pangkalnya, maka dapat
diberi komentar: “Molo mangkatai bayo an, mardomu langit dohot tano dibaen.” i.e.:
“Kalau bercerita dia itu, maka dapat bertemu langit dengan tanah.” Ini menggambarkan
suatu cerita atau pembicaraan yang tidak jelas arah dan batas-batasnya membuat tidak dapat dibedakan lagi antara langit dengan tanah, sehingga bumi dan langit
menyatu.
Dalam hal
marturiturian dan martarombo masalah mardomu langit dohot tano dapat
muncul, karena marturi-turian bisa dilakukan tanpa batas dan cenderung sulit
dicek dan diricek. Sebagai contoh dapat penulis kemukan kisah yang penulis karang
sendiri seperti berikut:
Bermula ketika Amanlompas mengawini
seorang perempuan yang kemudian melahirkan dua orang anak lelaki benama
Sidungdunglangit dan Sihuntidolok. Setelah dewasa, maka berangkatlah kedua
anaknya merantau berjalan ke selatan dan mereka pun sampai di muara sungai
Musi. Di sana Sidungdunglangit mengawini seorang perempuan dari daerah
tersebut, sedang adiknya Sihuntidolok meneruskan perjalanan hingga menyeberang
laut terus ke timur pulau Jawa. Setelah Sihuntidolok sampai di ujung timur
pulau Jawa, maka dia pun mengawini seorang perempuan daerah tersebut.
Kemudian Sidungdunglangit memperoleh seorang anak lelaki
yang diberinya nama Dapunta Hyang. Setelah dewasa dan matang, maka Dapunta
Hyang pun dapat menjadi raja dari sebuah kerajaan yang didirikannya, yaitu
Kerajaan Sriwijaya. Sedang Sihuntidolok pun memperoleh anak lelaki yang
diberinya nama Raden Wijaya. Setelah dewasa dan matang, maka Raden Wijaya pun
dapat menjadi raja dari sebuah kerajaan yang didirikannya, yaitu Kerajaan
Majapahit. Itulah kisah dari Sidungdunglangit dan Sihuntidolok, anak dari
Amanlompas, yang pada akhirnya,
anak-anaknya menjadi Raja di Kerajaan Sriwijaya dan Raja di Kerajaan Majapahit.
Kisah
di atas dapat kita cek dan ricek
kebenarannya dengan mudah, karena sejarah Indonesia mengenai kedua kerajaan
tadi sudah jelas. Sejarah Indonesia mencatat bahwa Daputa Hyang mendirikan
Kerajaan Sriwijaya pada tahun 671 Masehi
(671-702) dan Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit pada tahun 1293 Masehi
(1293-1309). Setelah kita mencocokkan data tersebut dengan kisah di atas, maka
terlihat jelas betapa kacaunya kisah mengenai Sidungdunglangit dan Sihuntidolok
tadi. Inilah yang penulis sebut dengan istilah ‘Jurus Padomuhon Langit dohot
Tano’.
Pikiran ini mulai timbul di dalam
pikiran penulis ketika menemukan kisah tentang Si Piso Sumalim yang kejadiannya
di Silindung dengan berbagai bumbu yang pada akhirnya hanya nama itu saja yang
benar. Ketepatan suatu kali penulis mengelilingi ringroad pulau Samosir dan
ketika melewati sebuah desa bernama Desa Hatoguan, penulis melihat sebuah
monumen besar bertulisan: “MAKAM SI PISO SUMALIM DOLOK SARIBU”. Penulis pun
berhenti di lapo dekat monumen tersebut dan bertanya kepada mereka yang ada di
lapo itu. Mereka bercerita tentang figur Si Piso Sumalim tersebut dan ternyata
sedikit pun tidak ada kesamaan dengan turituriam Si Piso Sumalim yang biasa
penulis dengar atau baca sebelumnya. Hanya nama Si Piso Sumalim saja yang
benar. Sejak itu penulis mulai timbul pikiran seperti di atas tadi, sehingga
selalu berusaha mencari data-data valid untuk menguji kebenaran sebuah turiturian.
Suatu malam, ketika penulis hendak
menulis tetang marga Girsang di Lehu, penulis menemukan seperti yang penulis
duga sebelumnya, sehingga membuat penulis tertawa terhabak-bahak sendiri setelah
membacanya. Kisah itu penulis temukan di dalam buku: “PUSTAHA BATAK: Tarombo
dohot Turiturian ni Bangso Batak” yang ditulis oleh W.M. Hutagalung
(1926:197-201) sebagai berikut:
Dikisahkan bahwa Siboro, anak dari Purba, memiliki
keturunan dari Guru Tentangniaji sebanyak dua orang anak bernama Raja Langit dan Raja Ursa yang pergi jalan-jalan ke arah Dairi. Sesampainya di
Tungtungbatu, kawinlah Raja Langit
dan lahirlah anaknya bernama Tungtungbatu, yang menurunkan marga Purba di situ.
Sedang Raja Ursa pergi ke Lehu dan
kawin di sana hingga memperoleh anak bernama Raja Lehu, yang menurunkan marga
Purba di situ.
Kemudian mereka berangkat ke Simalungun dan Raja Langit menetap di Langgiung Purba
dan kawin di sana. Lahirlah anaknya dua orang di situ, yaitu: Raja Parultop
(Datu Parulas) dan Tuan Purba. Sedang Raja
Ursa pun pergi ke Nagasaribu, Simalungun dan kawin di sana. Kemudian
lahirlah anaknya dua orang, yaitu: Raja Nagasaribu yang menurunkan marga
Girsang, dan, Tuan Binangara yang juga marga Girsang keturunannya. Ke dalam
marga Girsang ini masuk juga marga Girsang Rumaparik, Girsang Parhara, dan
Girsang Silangit. ... dst. ... dst. ... sampai halaman 201.
Setelah
dikutip salah satu bagian dari buku yang ditulis oleh W.M. Hutagalung di atas,
maka dapat dicermati secara jeli dan kritis. Tentu diperlukan bahan pengetahuan
lain seperti sejarah, sehingga dengan cepat dapat menggunakan angka tahun dari
sumber lain, karena kisah di atas tidak punya angka tahun, sehingga si
pembacanya dapat dengan mudah tersesat. Apalagi pengetahuan pembaca itu sudah
diperlengkapi dengan pengetahuan mengenai ras dan genetika, maka dengan lebih
cepat lagi dapat menilai kisah-kisah di dalam buku tersebut.
Di Tungtungbatu adalah kampung marga Cibro
dari Pakpak. SEJARAH ETNIS SIMALUNGUN (Agustono & Tim, 2012), mengemukakan
bahwa Raja Purba Pakpak dengan gelar Tuan Pangultopultop berasal dari
Tungtungbatu. Tanpa sedikitpun keraguan
bahwa Tuan Pangultopultop berasal dari Tungtungbatu, sehingga marganya disebut
marga Purba Pakpak dan peninggalannya pun masih ada di Tungtungbatu. Tuan
Pangultopultop memerintah sebagai raja pertama dari Kerajaan Purba pada tahun
1624-1648. Raja Purba memerintah sebanyak 14 raja hingga raja terakhir Tuan
Mogang yang memerintah pada tahun 1933-1947 dan meninggal pada masa revolusi
sosial di Sumatera Timur (Agustono &
Tim, 2012:113-114). Setelah Tuan
Pangultopultop menjadi raja Kerajaan Purba di Simalungun, dia masih sering ke
Tungtungbatu melewati Lehu, karena ada keluarganya di sana. Di Lehu, dia
mengawini perempuan di sana yang melahirkan Girsang dan Girsang ini yang
menurunkan marga Girsang.
J.
Tideman dalam bukunya Simaloengoen (1922;81-83) menulis bahwa seorang keturunan
Girsang dari Lehu adalah pemburu rusa yang membawanya sampai ke Naga Mariah di
mana rajanya adalah marga Sinaga. Melalui sebuah peristiwa perang yang
dimenangkan oleh pasukan Naga Mariah atas strategi yang disarankan si Girsang,
maka mereka pun menang dan si Girsang pun diberikan gelar Datu Parulas. Datu
Parulas inipun menjadi menantu Raja Sinaga yang tidak memiliki putra mahkota,
sehingga ketika Raja Sinaga itu meninggal, maka Datu Parulas menggantikannya
menjadi Raja Girsang, yang kemudian menjadi Kerajaan Silimakuta dengan ibukota
Nagasaribu. Raja Girsang ini menjadi raja sebanyak 7 generasi hingga Tuan
Padiraja sebagai raja ke-7, yang meninggal pada waktu revolusi sosial di
Sumatera Timur tahun 1946 (Agustono & Tim, 2012:115-119). Datu Parulas naik
tahta menjadi Raja Girsang di penghujung abad ke-18.
Raja
Langit dan Raja Ursa tidak dikenal di dalam sejarah Simalungun. Kemudian
dikatakan bahwa Raja Langit memiliki anak, yaitu: Raja Parultop alias Datu
Parulas dan Tuan Purba. Kedua tokoh terakhir ini adalah raja di Simalungun yang
hidup dalam masa yang berbeda jauh, yaitu sekitar 150 tahun. Raja-raja di
Simalungun jelas sejarahnya di mana mereka adalah raja dalam artian raja dari
sebuah kerajaan di mana terakhir ada 7 kerajaan di Simalungun (1946). Sejarah
tidak sama dengan turiturian (kisah). Sementara buku yang ditulis oleh W.M.
Hutagalung hanyalah turiturian tanpa data tahun yang
jelas tanpa pembanding dari sumber-sumber lain. Apalagi bila diperhatikan ras
dan genetika orang-orang dari daerah lain, maka akan semakin terlihat jelas betapa
mustahilnya buku itu dan semakin terang-benderang terlihat jurus-jurus lain
dalam usaha padomuhon langit dohot tano, yaitu jurus padomuhon langit dohot
tano. DDD
No comments:
Post a Comment