Bangso Batak (bagian 1)
Oleh : P.Wilson Silaen
APA itu Bangso Batak? Mengapa harus disebut “Bangso” atau Bangsa? Oleh siapa? Apakah memang layak disebut sebuah Bangsa? Dalam berbagai literatur secara tegas dijelaskan keriteria kelompok-kelompok atau komunitas masyarakat yang patut disebut “bangsa” adalah kelompok atau komunitas yang mempunyai wilayah teritorial sendiri, masyarakat sendiri, peradaban dan kebudayaan sendiri, bahasa dan aksara sendiri, bahkan agama maupun kepercayaan sendiri dan lain sebagainya yang mendukung keberadaan dan ketuaan peradaban setempat.
Namun sebagai komunitas yang memiliki peradaban sendiri, seperti bangsa-bangsa lain yang belakangan terancam punah tergerus transformasi budaya beserta perampasan hak-hak atas tanah leluhur wilayah kedaulatannya oleh para pendatang, seperti bangsa Kurdi – di Asia Timur, Tibet – di Himalaya, serta Astek – di benua Amerika, nasib peradaban bangso Batak pun bisa punah secara berkala jika tidak dijaga dan diperdulikan oleh kemunitasnya sendiri.
Jauh-jauh di masa lampau, sekitar abad XIII sampai XVI, terdapat kelompok masyarakat berperadaban tinggi mendiami pesisir Sumatera bagian utara, dijumpai Fernand Mendez Pinto, Marcopolo, Panglima Ceng Ho ( haji Sam Po Bo), Wong Tai Yuan, Ma Huan maupun Patih Gajah Mada, dalam perjalanan ke Sumatera bagian utara, yang dikenal sebagai masyarakat Dalihan Na Tolu.
Sebagai penghuni tua Austronesia – Nusantara – menurut MK. WKH. YPES, mayarakat Batak disebut juga sebagai Proto Melayu (Melayu Tua) sama halnya dengan suku bangsa Dayak maupun Toraja? Adakah para arkeologi, antropologi, filologi, geologi, maupun genealogi pernah berupaya meluruskan bahwa penduduk tertua astronesia adalah suku bangsa Batak, Toraja maupun Dayak? Oleh karena itu MK. WKH. YPES, berpendapat dalam bukunya yang berjudul, BUDRAGE TOT DE KENNIS VAN DE STAM VERWANTSRECHT INHEEMSCHE RACHTSGMEENSCHAPPEN EN GRONDENRECHT DER TOBA EN DAIRIBATAK, bahwa 1000 tahun sebelum masehi masarakat Batak sudah ada di Sumatera, bermukim di pegunungan yang bernama Bonandolok, Pusuk Buhit, pulau Samosir. Kedatangan ke sana dari bagian utara pulau Sumatera – Pasai. Sebagian pergi ke Gayo – Alas, yang sekarang menjadi suku Alas, dan sebagian lagi tinggal di pesisir timur Sumatera bagian utara.
Di Buku Sejarah Indonesia dituliskan asal-usul bangsa Indonesia dari Hindia Belakang (Burma, Siam dan Kocim Cina). Kedatangan mereka secara bertahap kira-kira 1500 tahun sebelum masehi. Kelompok pertama ini disebut Proto Melayu, yaitu suku Bangsa Batak, Dayak dan Toraja. Kelompok kedua disebut sebagai Deutero Melayu, yaitu suku bangsa Jawa, Sunda, Madura, Melayu, Bugis, Aceh dan lain sebagainya, kira-kira 1000 tahun sebelum masehi.
Sedangkan menurut Dada Meuraxa, orang Batak itu termasuk kelompok Negrito yang berasal dari Afrika. Datang ke Sumatera dan bermukim di Bonandolok, Pusuk Buhit, yang tidak jauh dari Dairi dan Barus. Barus “adalah Bandar bangso Batak tempoe doeloe,” pada masa itu adalah bandar besar yang sangat terkenal di Nusantara, (harian Waspada, 29 Juni 1962 – Dada Meuraxa).
Di buku “Ilmu Ragam Bangsa” karya, Ermad Husein, guru Taman Madia Medan, pada bagian II mengatakan suku bangsa yang mendiami Indonesia sebelum kedatangan Melayu ialah;
1. Bangsa NEGRITO, yang terdiri dari orang SEMANG, di Malaka, dan orang AETA, di Philipina.
2. Bangsa WEDDA, terdiri dari orang KUBU, MAMAK, TOMALA, TOKEA, dan TOMUNA, di Sulawesi.
1. Bangsa NEGRITO, yang terdiri dari orang SEMANG, di Malaka, dan orang AETA, di Philipina.
2. Bangsa WEDDA, terdiri dari orang KUBU, MAMAK, TOMALA, TOKEA, dan TOMUNA, di Sulawesi.
Sementara, WONG TAI YUAN, dalam bukunya yang berjudul “TAO Iche LIO,” menuliskan kisah perjalanannya ke Sumatera bagian utara, tahun 1349, bahwa, nama-nama negeri yang terkenal pada masa itu ialah negeri Batak, Lambri dan Samudra – yang kemudian lebih dikenal sebagai Samudra Pasai. Hal tersebut diperkuat buku sejarah “Gajah Mada” yang ditulis, Mr. M. Yamin, halaman 22-23.
Di buku Mr.M. Yamin tersebut dijelaskan betapa marahnya Patih Gajah Mada ketika pasukannya berulang-kali gagal menundukkan kerajaan Haru, yang dipimpin Tuan Sori Mangaraja, sampai-sampai bersumpah “tidak makan buah kelapa” jika tidak dapat menaklukkan Haru (1331-1364). Data-data mengenai agresi Mojopahit terhadap kerajaan Haru, tahun 1331-1364 tersebut, sangat cocok dengan masa pengungsian dan pengisolasian diri dinasti Tuan Sorimangaraja, yakni sekitar tahun 1365.
Dipertegas juga mengenai keberadaan kerajaan Batak pada masa itu; “Tetapi adalah terang suatu kerajaan Batak di bawah kekuasaan “dinasti” Tuan Sori Mangaraja (Hindu Mahayana) yang dahulunya terletak di sebelah teluk Haru atau muara Sungai Wampu, Langkat, yang bertetanggaan dengan kerajaan Batak Animis, Tamiang – Aceh Tamiang. Di dalam penjelasan-penjelasan tersebut seakan tersirat nada untuk mengatakan kalau kerajaan Batak itu adalah kerajaan Haru.
Di buku “Hang Tuah” cetakan ke III, keluaran Balai Pustaka Jakarta, tahun 1956, disinggung cerita ke 27 Sejarah Melayu. Dalam buku itu diceritakan, “berawal dari tersesatnya Puteri Gunung Lidang di hutan belantara, dekat negeri Batak, lalu diambil oleh menteri Batak dan dirajakan sebagai puteri raja di negeri Batak”. Buku tersebut coba menjelaskan bahwa posisi geografis negeri Batak dimaksud terletak di pesisir timur hulu negeri Malaka, bukan di pegunungan maupun pedalaman.
***adapun pengertian dirajakan dalam konteks ini kemungkinan besar diperistri. Karena jika putra Batak memperistri seorang perempuan, yang berasal dari suku bangsa mana pun, secara otomatis perempuan itu disebut putri raja (dirajahon sebagai boru ni Raja).
Kamus Van der Tuuk (kamus bahasa Batak-Belanda), di Malaya, diterangkan hubungan antara suku bangsa Batak dengan Melayu, di Semenanjung Melayu, telah terjalin lama dan sangat baik. Hal tersebut dibuktikan melalui perbendaharaan kata dalam tata bahasa mereka, dimana banyak sekali terdapat unsur kata dari bahasa Batak Toba Tua dalam bahasa Melayu asli. Ratusan jenis unsur kata dari bahasa Batak Toba Tua sama persis dengan kata-kata yang ada dalam bahasa Melayu asli – yang tidak bercampur atau dipengaruhi bahasa lain – seperti Arab maupun Sansekerta.
Contoh: Habut = kabut, Bulan = bulan, Balut = balut, Sapot = sepat, Holat = kelat, Tambun = tambun, Serip = serip, Lumpu = lumpuh, Desir = desir, Sale = selai, Bale = balai, Tanjung = tanjung, Anjur = anjur, dan lain sebagainya.
Siapa yang meminjam dalam hal ini? Menurut Van der Tuuk, bahasa Melayu-lah yang meminjam, bukan bahasa Batak. Sebab jika diteliti lebih jauh perbendaharaan kata antara bahasa Batak dengan Melayu, perbendaharaan kata-kata dalam bahasa Batak jauh lebih kaya dan lengkap. Karena bahasa Batak Toba Tua dapat dipergunakan sebagai alih-bahasa tanpa harus meminjam unsur kata lain dari bahasa asing. Tidak seperti bahasa Melayu yang banyak meminjam istilah maupun kata-kata dari bahasa Arab, Persia maupun Sansekerta. Yang pasti perbendaharaan kata-kata dalam bahasa Batak jauh lebih kaya dan lengkap dibanding bahasa Melayu asli.
Bahasa Melayu asli sebenarnya adalah percampuran antara bahasa Mongol dengan Kaukasus, (A.H.Keane). Bangsa Kaukasus, yang berkulit keputih-putihan, adalah bangsa pertama yang menduduki Asia Tenggara – Indo Cina – kemudian terdesak oleh bangsa Mongol yang berkulit kuning, meski pada akhirnya kedua bangsa berasimilasi secara alami. Adapun daerah-daerah yang pertama diduduki adalah, Burma, Khasi, Shan, Siam, Annam, Kamboja, Campa, Kui, Menos, dan Penong, (A.H. Keane; antropologi budaya yang melakukan penelitian tentang Indo Cina dan Astronesia).
Masih menurut, A.H. Keane; jazirah Melayu dan Polinesia semula diduduki bangsa berkulit hitam dari Afrika. Di sebelah barat dihuni bangsa Negrito, di timur bangsa Papua. Tetapi kemudian terdesak oleh bangsa Kaukasus dan Mongol yang datang dari Asia Tenggara. Percampuran antara bangsa Kaukasus, Mongol dan Papua, melahirkan bangsa Alfuros yang tinggal di pulau Seram, Timor Jailolo, Misol, dan di sebelah barat Irian yaitu Melanesia, Hibriden Baru, Salomon, Fiji serta Kaledonia. Adapun tempat-tempat yang dikuasai bangsa Kaukasus di jazirah Melayu adalah, Nias, Tapanuli, Lampung, Pasemah, Kalimantan Tengah, Sulawesi dan Poru. Tegasnya percampuran dua ras besar, bangsa Mongol dan Kaukasus, yang menguasai Astronesia inilah yang menjadi “Bangsa Melayu” – berikut bahasanya.
***mengapa di sini tidak disebut negeri Batak, melainkan Tapanuli? Mungkin karena wilayah kekuasaan kerajaan Batak Tua di pesisir timur Sumatera bagian utara, yang struktur kata dan tata bahasanya sangat kuat dan eka-suku itu, sudah runtuh pada abad ke XVI? Atau bisa jadi dikarenakan struktur tata bahasa Batak Tapanuli sudah mulai dipengaruhi bahasa Sansekerta, Arab maupun Persia dan lain sebagainya, sehingga menjadi dwi-suku bahasa, adalah penyebab dilampirkannya Tapanuli sebagai wilayah taklukan bangsa Kaukasus? Atau karena penulisan sejarah tentang ini datangnya kemudian sehingga tidak lagi membedakan antara Batak dengan Tapanuli. Yang pasti, orang Batak tidak akan pernah mengatakan dirinya suku atau bangsa Tapanuli, karena istilah Tapanuli muncul belakangan yaitu asal kata dari “Tapian Na Uli”, yang sengaja dikampanyekan Belanda beserta kroninya untuk tujuan pecah-belah. Sebab jika dikatakan Batak Tapanuli, yang paling keberatan adalah Karo, Pak-pak Dairi dan Simalungun, karena mereka tidak berada di wilayah tersebut – sesuai konsep pecah belah Belanda untuk memperlemah kekuatan Batak agar tidak bersatu.
Ketuaan bahasa dapat menunjukkan asal usul sebuah bangsa meski tidak selamanya mutlak, (Van der Tuuk). Artinya, melalui literatur-literatur di atas dapat disimpulkan bahwa, sudah sepatutnyalah suku Batak disebut sebuah Bangsa atau Bangso – seperti istilah Bataknya.
M. SAID, pimpinan redaksi harian Waspada, menuliskan dalam bukunya tentang ketokohan Sisingamangaraja sebagai simbol dan simpul masyarakat Batak. Di dalam bukunya yang berjudul “ACEH SEPANJANG ABAD”, yang sebagian bahannya disitir dari buku “The VOYAGE of PINTO”, karya; FERNAND MENDEZ PINTO, menggambarkan situasi perang antara kerajaan Batak dengan Aceh yang dikenal dengan perang Batak Timur Raya. Ketika perang berlangsung dijelaskan tentang keberangkatan utusan kerajaan Batak, ke Malaka, menjumpai Pucuk Pimpinan Pemerintahan Portugis di sana, dalam tujuan minta bala-bantuan. Tidak dijelaskan secara rinci bentuk bantuan apa yang dikehendaki, namun setelah itu diceritakan bahwa kerajaan Batak memenangkan perang dan kerajaan Aceh harus membayar 250 ringgit Portugis sebagai syarat perdamaian. Bahkan kemudian berlanjut dengan pernikahan antara putra Raja Batak dengan putri Raja Aceh.
Namun perdamaian itu tidak berlangsung lama, karena dua setengah bulan kemudian, begitu kerajaan Aceh mendapat bantuan beberapa panglima dan 3000 prajurit Turki, kerajaan Aceh melakukan penyerangan kembali. Dalam peperangan tersebut fihak kerajaan Aceh berhasil membunuh 4 orang anak raja Batak. Peperangan kali ini benar-benar sengit dan merata membuat kerajaan Batak terdesak hebat sehingga mengirimkan kembali utusannya ke Malaka, akan tetapi 17 hari kemudian kembali dengan tangan hampa.
Nah, yang menarik untuk diperhatikan adalah, sekian waktu berselang – setelah utusan tersebut kembali – fihak Portugis mengirim balik utusannya ke pusat kerajaan Batak, di Sumatra Utara bagian Timur. Utusan tersebut bernama Fernand Mendez Pinto. Adapun maksud dari kunjungan tersebut adalah untuk memberi penjelasan mengapa fihak Portugis tidak dapat mengirim bantuan seperti sebelumnya. Adapun alasan-alasan dimaksud hingga kini tidak pernah diketahui. Sedangkan peperangan itu terjadi pada masa Sultan ALAEDIN AL KAHHAR sebagai raja, tahun 1539. Dan pada akhirnya peperangan itu memang dimenangkan kerajaan Aceh, (buku Aceh Sepanjang Abad, halaman 103).
Selanjutnya yang patut pula dicermati adalah, sejauh mana sebernarnya hubungan kerajaan Batak dimaksud dengan pemerintahan Portugis, yang pada masa itu menguasai Malaka, dimana pada saat-saat tertentu Pusat Pemerintahan Portugis malah mengirimkan balik utusannya ke kerajaan Batak untuk memberitahukan alasan-alasan mengapa pemerintahan Portugis tidak lagi dapat memberi bantuan yang mengakibatkan kehancuran dan kekalahan total kerajaan Batak, pada tahun 1539. Dan sejak kapan pula hubungan tersebut terbangun? Apa latar-belakang dan untuk kepentingan apa?
Yang pasti, jauh sebelum itu, tahun 1524, paska runtuhnya benteng Portugis, ketika kerajaan Aceh mengejar pasukan Portugis hingga memasuki wilayah kerajaan HARU, tentara Portugis dan pasukan Haru bahu-membahu melakukan perlawanan, (F.M.Pinto). Nah, yang jadi pertanyaan apakah kerajaan Batak yang dimaksud dalam literatur ini benar kerajaan Haru? [bersambung]
*Pengurus FORUM SISINGAMANGARAJA XII
Sumber:
http://lintasgayo.co/2014/04/05/bangso-batak-bagian-1
No comments:
Post a Comment