Siapakah Siraja Batak?
Oleh: Juandaha Raya Purba
Sebetulnya sudah jelas bahwa penamaan itu datang dari orang Barat untuk menyebut penduduk pedalaman seperti disebutkan orang Melayu (batak–berarti ‘penunggang kuda’, kasar dan tak baradab). Sebab dibanding Melayu, orang pedalaman memang ketinggalan waktu itu. Nah, Belanda masuk ke Tapanuli dan mulai mereorganisasi pemerintahannya, mereka hendak mengangkat pemimpin (Kepala Kuria seperti di Selatan) tetapi semua orang ingin jadi penguasa (raja). Untuk memilih raja huta (nagari) maka ditentukanlah pengakuan masyarakat adat lokal siapa sisuan bulu (sipungkah huta) maka diciptakanlah pohon silsilah untuk menunjukkan siapa tertua.
Nah, ‘tertua’ ini yang menjadi dasar klaim seseorang diangkat menjadi kepala nagari. Maka berlomba-lombalah marga di Tapanuli mengaku tertua. Belanda pusing dibuatnya, bingung sebab teknologi pemerintahan di Tapanuli tidak secanggih Sumatera Timur (ingat juga bahwa hanya di Sumatera Timur ada Korte Verlkaring sebab Belanda melihat kerajaan-kerajaan di situ mewakili rakyatnya sebagai negara).
Kemudian ditugaskanlah seorang asisten Demang di Pangururuan bernama Wasinton Hutagalung (red:M.W Hutagalung) bekas guru zending yang sudah mendapat pendidikan modern (zending) menulis silsilah yang disebut tarombo (Melayu: Terombo). Hutagulung dengan bantuan Belanda mengumpulkan orang-orangtua di Simanindo menjelaskan asal-usul marga ini (itu sebabnya marga batak bermula di Samosir, andai Hutagalung ke Balige mungkin marga itu bermula di sana). Ternyata simpang siur keterangan para orang tua ini.
Pusing tidak ada keputusan, maka Belanda menetapkan apa yang ditulis Hutagalung itu yang menjadi acuan. Karena Belanda yang menetapkan maka rakyat Tapanuli (yang belum semaju sekarang) mengiakan saja–meski tetap berdebat tentang siapa paling tua.
Nah, tentang Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon–ini juga adalah nama rekaan dari Hutagulung. Sebab di Toba tidak dikenal Guru yang ada adalah Datu, dan istilah raja sesungguhnya tidak ada di Toba, hanya ihutan. Baik istilah Guru dan Raja itu hanya ada di Sumatera Timur yang sudah dipengaruhi Hindu.
Saya masih bisa menemukan kesan rekaan itu dalam suratnya Andreas Simangunsong mengundang orang Balige sekitarnya datang menggarap sawah di Simalungun. Di suratnya yang ditulis tahun 1920 itu disebutkan bahwa mereka (orang Toba) adalah keturunan Sori Maharadja Batak dari Sianjur Mula-mula. Istilah ini diambil Hutagalung dari Melayu Seri Maharaja.
Jadi jelas sekali kalau tarombo yang dibuat oleh Hutagalung itu mitos dan karangan semata dalam rangka politik reorganisasi Tapanuli oleh Belanda. Penjelasan lebih lanjut boleh dibaca di buku Prof. Dr. Lance Castles, Tapanuli (1970) dan Prof. Dr. William Liddle, Ethnicity, 1970.
*Tulisan dari sumber asli telah diedit seperlunya tanpa menghilangkan/mengurangi makna aslinya
Sumber: Diskusi Simalungun
No comments:
Post a Comment