Menyusuri Sudut Samosir
Danau Toba dan Pulau Samosir sudah lama tersohor, bahkan hingga mancanegara. Kawasan dengan panorama menawan di pedalaman Sumatera Utara ini pernah menjadi salah satu tujuan wisata utama di Indonesia. Nestor Rico Tambunan dari diffa belum lama ini jalan-jalan menyusuri wilayah itu.
Lintasan Menuju Danau
Jalur klasik menuju Danau Toba adalah lewat angkutan darat dari Medan, melalui kota Tebing Tinggi dan Pematang Siantar. Perjalanan memakan waktu 4 hingga 5 jam. Hingga Pematang Siantar perjalanan diwarnai panorama perkebunan karet dan kelapa sawit.
Selepas kota Siantar, jalan mulai berkelok-kelok dan menurun di tengah hutan. Hingga sekitar satu jam, tiba-tiba tampak alam yang terbuka. Danau Toba terhampar luas di depan, bagai hamparan sutera yang membiru. Di seberang sana tampak Pulau Samosir. Melalui jalan berliku di bibir tebing di atas danau, kita akan sampai di Prapat, kota wisata dan peristirahatan yang terkenal sejak zaman Belanda.
Di kota ini tersedia banyak hotel dan penginapan, dari kelas bintang empat hingga homestay. Pelancong yang ingin menginap di Pulau Samosir tersedia feri penyeberangan menuju Tomok dan Tuktuk. Di Tuktuk banyak terdapat aneka kelas penginapan menghadap danau. Sementara Tomok terkenal dengan situs makam tua milik marga Sidabutar.
Namun, perjalanan saya tidak menggunakan jalur klasik ini. Awal kisahnya saya dipercaya menjadi juri lomba karya tulis untuk pelajar dan menjadi pembicara dalam seminar pers di Pangururan, ibu kota Kabupaten Samosir. Saya memilih jalan darat yang langsung menuju Pangururan, melewati Tanah Karo.
Dataran tinggi Karo adalah daerah penghasil buah dan sayuran utama di Sumatera Utara. Sepanjang jalan, melewati kota Brastagi dan Kabanjahe yang dingin, tampak hamparan kebun sayuran milik petani. Melewati Tanah Karo, perjalanan memasuki kawasan hutan dan perkampungan sepi di Kabupaten Dairi. Di beberapa tempat, jalanan rusak memprihatinkan. Sampai kemudian, setelah menempuh perjalanan lima jam, tiba di Tele, kota kecil di atas tebing yang menghadap Danau Toba.
Alam Bagai Mimpi
Perjalanan turun dari ketinggian Tele menuju Pangururan, kota di tepian pantai Danau Toba, tampak panorama indah bagai dalam mimpi. Jalan meliuk-liuk di bibir tebing yang curam. Danau Toba terhampar luas nun di bawah sana. Di sudut-sudut danau itu tampak lembah-lembah pertanian dan perkampungan dalam apitan tebing-tebing bukit. Antara lain tampak lembah Harianboho, tempat asal penyair terkemuka Sitor Situmorang. Nun di sana berdiri tegak Pusuk Buhit, gunung yang disakralkan karena dipercaya sebagai Sianjur Mula-mula, tempat asal mula orang Batak.
Dari jalan melipir tebing curam, yang dibangun pemerintah Hindia Belanda dengan mengerahkan kerja rodi (diresmikan tahun 1936), panorama terasa bagai kemustahilan. Di bawah tampak hamparan danau dengan tebing-tebing berkesan misterius. Sedikit saja meleset, kendaraan akan meluncur terjun bebas ke dasar danau. Indah dan menegangkan. Betapa.…Tak terbayang bagaimana terjadinya, seperti terbayang dari tempat ini. Hampir setiap sudut sekeliling Danau Toba adalah panorama yang menawan, baik ke sisi Pulau Sumatera maupun sepanjang pesisir Pulau Samosir.
Danau Toba adalah danau vulkanik terbesar di Indonesia, bahkan untuk ukuran dunia. Danau seluas 700 kilometer persegi dengan kedalaman 450 meter dan ketinggian 906 meter di atas permukaan laut ini terbentuk karena letusan super volcano (gunung berapi super) ribuan tahun lalu. Begitu besar, sehingga debu vulkanik letusan itu diperkirakan menyebar ke separo bumi, dari China hingga Afrika Selatan. Letusan itu juga diperkirakan menyebabkan kematian massal, sehingga mengurangi populasi manusia di bumi dan kepunahan beberapa spesies.
Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi air dan menjadi Danau Toba yang dikenal sekarang. Tekanan magma menyebabkan munculnya Pulau Samosir. Kontur bekas letusan itu membuat panorama sepanjang Danau Toba dan Pulau Samosir terasa dramatis dan indah dipandang dari sudut mana saja.Kini ada tujuh kabupaten yang mengelilingi sekaligus pemilik Danau Toba, yakni Simalungun, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi, Karo, dan Samosir. Selain panorama yang indah, daerah-daerah ini juga memiliki banyak situs budaya khas Batak. Di masa lalu, keindahan panorama dan situs budaya itu mengundang banyak turis mancanegara dan memasukkan banyak devisa untuk kawasan ini. Di mana-mana tampak lalu-lalang turis. Namun, sejak krisis moneter, turis-turis menghilang dan tak kunjung kembali hingga kini. Sayang.
Melongok Pedalaman Samosir
Setelah acara penyerahan hadiah lomba karya tulis, seminar pers, dan penanaman pohon di Pusuk Buhit, saya dan beberapa teman bersepakat mengunjungi pedalaman Samosir. Kami berencana mengunjung Ronggur Nihuta, salah perkampungan asli penduduk Samosir, di ketinggian ke arah barat kota Pangururan. Kami berangkat berenam dengan dua kendaraan. Selain saya, ada Ir. Robert Naibaho MSc., pejabat senior Pertamina yang menjadi penasihat lomba karya tulis dan moderator seminar pers. Ada pula Suhunan Situmorang, pengarang novel Sordam, mantan wartawan yang kini menjadi pengacara bisnis, yang juga jadi pembicara dalam seminar pers. Robert dan Suhunan sama-sama kelahiran Samosir.
Teman lain adalah Desy Hutabarat dan Erwin Landy. Desy Hutabarat adalah mantan account executive sebuah surat kabar terbitan Jakarta yang kini menjadi manajer perusahaan konsultan investasi. Erwin adalah aktivis Landrover Club Medan. Desy dan Erwin sama-sama pencinta Samosir. Erwin sering menjelajahi Samosir dan bersama komunitasnya, Boemi Samosir, melakukan penanaman pohon di Sihusapi, Kecamatan Simanindo. Erwin datang langsung dari Medan pagi itu, bersama Anderi, sopir merangkap teknisi Landrover oranye-nya.
Perjalanan menuju Ronggur Nihuta menanjak dan berliku-liku, diwarnai panorama bukit-bukit dan lembah-lembah. Ronggur berarti petir. Ronggur Nihuta artinya perkampungan yang banyak petir. Di satu ketinggian, kami berhenti, untuk menikmati panorama. Kembali terasa Danau Toba dan Pulau Samosir memang indah ditatap dari sudut mana saja. Bayangkan, di depan mata tampak padang luas, dengan ternak-ternak yang asyik merumput. Sementara di kejauhan tampak Danau Toba, bukit-bukit, dan lembah permukiman. Wow!
Ketika melanjutkan perjalanan, saya dan Desy pindah ke Landy–nya Erwin. Robert dan Suhunan tetap menunggang Kijang. Makin ke atas, jalan makin banyak yang rusak, aspalnya mengelupas dan berlubang, sehingga Landy kadang terlonjak kencang. Namun Desy malah menjerit senang dan tertawa merasakan petualangan ini.
Gerimis turun ketika kami sampai di Danau Sidihoni. Danau di ketinggian ini terkenal sebagai danau di atas danau. Sayang, sejak gempa bumi beberapa tahun lalu, entah mengapa, danau ini menyusut dan menyempit. Selepas dari Sidihoni, hujan turun deras. Saya dan Desy basah. Jalanan jadi mirip aliran sungai. Landy makin sering terlonjak-lonjak, karena lubang tidak kelihatan. Desy justru tampak makin senang. Satu hal yang mengherankan, sepanjang jalan tidak ada warung. Satu-satu nyawarung kopi yang ada juga sedang tutup. Wah!
Akhirnya kami berhenti di sebuah perkampungan, di puncak ketinggian. Nama kampung ini Lumban Buttu, dihuni marga Naibaho. Seorang bapak menyambut kami dengan ramah. Dia meminta maaf tidak bisa menyuguhi kami, karena sudah tidak punya istri. Diam-diam Erwin menyalakan alat memasak dalam Landy-nya. Hanya dalam belasan menit kami sudah bisa menikmati coffe mix panas. Minum kopi panas di ketinggian yang dingin, dalam keadaan basah, hmm… sedap!
Tak Seindah Tatapan Mata
Dalam perjalanan pulang, kami sengaja pelan-pelan dan beberapa kali berhenti untuk mengabadikan panorama. Kami berpapasan dengan anak-anak yang pulang sekolah dalam keadaan basah kuyup. Ada yang jalan kaki, ada yang naik kendaraan roda dua, ada yang berjejalan hingga di atap minibus. Seperti umumnya orang Batak, semangat menuntut ilmu masyarakat Samosir terasa tinggi hingga ke desa-desa. Ketika berhenti di beberapa tempat, kami menyaksikan hamparan luas lembah-lembah yang bersemak. Dahulu Pulau Samosir terkenal sebagai penghasil padi, kacang tanah, dan bawang. Kini justru terlihat banyak tanaman kopi. “Orang Samosir sekarang lebih banyak yang merantau atau sekolah di kota, sehingga tanah-tanah kurang tergarap,” kata Erwin.
Erwin juga prihatin atas kondisi lingkungan Samosir. Di banyak tempat terdapat lahan kritis karena penebangan pohon sembarangan. “Banyak sumber air yang mongering. Di kampung-kampung di ketinggian, orang menadah air hujan dari atap rumah untuk minum,” ujar Erwin. “Bahkan, 500 meter dari permukaan danau pun penduduk sudah kesulitan air.“ Erwin menganjurkan putra-putra Samosir di perantauan tidak hanya asyik memuji-muji keindahan pemandangan alam Samosir. “Dari jauh kelihatan indah. Dari dekat, banyak yang memprihatinkan dan perlu dibenahi,” kata penasihat Landrover Club Medan yang hampir tiap bulan mengunjungi Samosir ini.
Ucapan Erwin terasa benarnya. Melihat hamparan padang luas, mestinya kawasan Ronggur Nihuta bisa menjadi penghasil ternak dan hasil pertanian yang sangat besar. Namun, siapa memacu dan mengelola? Panorama pinggiran ataupun pedalaman Samosir sungguh luar biasa. Namun, bagaimana wisatawan datang, bahkan warung kopi pun tidak ada. Samosir sungguh indah tiada dua. Sayang…. *
foto : Nestor Rico Tambunan
(Rubrik Jejak diffa, 04 April 2011)
Sumber:
http://www.majalahdiffa.com/index.php/ragam-disabilitas/jejak/130-menyusuri-sudut-samosir?showall=1&limitstart=
No comments:
Post a Comment