Wednesday, March 18, 2015

Rekonsiliasi Nommensen dengan Singamangaraja: Pembentukan Identitas Baru

Rekonsiliasi Nommensen dengan Singamangaraja: Pembentukan Identitas Baru

 
Rekonsiliasi Nommensen dengan Singamangaraja: Pembentukan Identitas Baru
Dian Purba
 
  
Menyebut Singamangaraja dan Nommensen dalam satu tarikan napas, bagi sebagian besar orang Batak, terlebih Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), akan tersua jalinan persahabatan di antara mereka. Persahabatan itu begitu kental sehingga hal-hal yang menyangkut segala sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan persahabatan itu sendiri tidak pernah terungkap. Atau boleh jadi sengaja tidak dimunculkan. Singamangaraja dan Nommensen di masa kini adalah dua tokoh yang tidak pernah bertentangan satu sama lain. Mereka berdua di masa hidupnya digambarkan segendang sepenarian dalam membebaskan Tanah Batak dari dua hal: kegelapan dan penjajahan. Singamangaraja berjuang mati-matian berperang melawan Belanda, sementara Nommensen tak henti-hentinya berkotbah kepada orang Batak yang “kafir” agar segera bertobat dan memeluk agama Kristen sehingga dengan demikian mereka akan terbebaskan dari kegelapan. Namun, benarkah demikian adanya?
  
Pendapat ini bertahan begitu lama hingga Uli Kozok berhasil memutarbalik semua pandangan itu.[1] Pemutarbalikan itu menghancurkan apa yang selama ini dipahami oleh orang Batak, terlebih HKBP terhadap kedua peran tokoh tersebut. Uli Kozok  meneliti surat-surat Nommensen sendiri yang ditujukannya kepada lembaga yang mengirimnya di Jerman, yakni Rheinische Missionsgeselchaft (RMG) yang berpusat di Barmen (sekarang menjadi bagian kota Wuppertal) di Jerman. Dari surat-surat itu kemudian Uli tiba pada kesimpulan: Nommensen tidaklah anti penjajahan, melainkan mendukungnya dengan sepenuh hati. Nommensen menyebut dirinya bergabung bersama pasukan Belanda dan turut menumpas gerakan perlawanan para pahlawan Batak yang menentang kolonialisme. Dengan demikian, penelitian Uli Kozok tersebut mendemitologi peran Nommensen yang dianggap sebagai tokoh kunci di kalangan orang Batak Protestan, khususnya bagi Hurian Kristen Batak Protestan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa yang membuat HKBP merekonsiliasikan kedua tokoh tersebut yang disepanjang hidupnya selalu bermusuhan? Lalu, pembentukan memori apa yang hendak diciptakan?
 
Sebelum menjawab kedua pertanyaan itu, perlu diterangkan tentang Singamangaraja dan budaya Batak yang mengitarinya, lalu Nommensen dengan misi yang mereka emban dan juga badan misinonaris yang mengirim Nommensen dan penginjil lainnya ke Tanah Batak.
 
Singamangaraja XII
 
Singamangajara yang dimaksud di sini adalah Singamangaraja XII. Nama ini sesungguhnya masih menyisakan banyak tafsir. Bagi orang di luar Tanah Batak mendengar Singamangaraja akan terbersit: dia pahlawan nasional dari Batak. Bagi orang Batak sendiri tidak ada kesatuan pandangan atau kesatuan kesepakatan tentang Singamangaraja. Di sekitar nama ini bertaburan mitos-mitos. Mitos-mitos itu berkisar tentang ketangguhan, juga ilmu gaib yang dimiliki “raja” Batak tersebut. Penyebutan mitos di sekitar namanya masih boleh dibawa ke meja perdebatan. Terkadang satu kelompok di Tanah Batak membutuhkan satu penokohan yang membuat kelompok mereka seperti mendapat semacam pengesahan sehingga demikian mereka mempunyai kuasa untuk mengatakan: kami masih keturunan sang Raja Batak. terkadang pula kelompok yang lain merasa perlu menghadirkan sosok Singamangaraja sehingga mereka mendapat sedikit “rejeki” dari negara.[2] Bahkan kita menemukan satu marga di Batak yang mendaku bahwa Singamangaraja adalah marga Sinambela.[3]
 
Untuk keperluan tulisan ini saya akan mengambil beberapa pandangan-pandangan di sekitar nama Singamangaraja. Pandangan itu terlebih-lebih diambil dari beberapa tulisan yang satu sisi telah membentuk pemitosan nama itu dan di sisi lain menghadirkan bantahan untuk pandangan itu. Saya tidak berusaha berdiri di satu pandangan dan menepikan pandangan yang lain. Saya akan menempatkan diri pada jawaban akan pertanyaan: apa yang membuat mereka berpandangan seperti itu?
 
Singamangaraja XII adalah lanjutan dari Singamangaraja I. Singamangaraja I konon tidak mempunyai nama kecil. Namanya langsung Singamangaraja I.  Sementara Singamangaraja XII adalah putera Raja Singamangaraja XI, bernama Patuan Bosar Ompu Pulo Batu.[4] Singamangaraja lahir tahun 1846.[5] Dia mempunyai istri enam orang.
 
Sama seperti Singamangaraja pendahulunya, Singamangaraja XII adalah orang sakti. Digambarkan ketika dia berkunjung ke satu kampung seorang penduduk melemparkan kata-kata keji kepadanya. Dia ditantang untuk menghilangkan rasa dahaga mereka karena di kampung itu tak tersedia sumber air. Singamangaraja kemudian berkata, “Baiklah! Nanti kau akan melihat air.” Beberapa hari kemudian kampung itu dilanda banjir dan menghanyutkan berpuluh-puluh rumah. Kesombongan satu penghuni kampung itu karena berani berkata keji kepada sang raja berakibat bencana. Kesaktiannya yang lain ditunjukkan saat beribu-ribu orang berbondong-bondong ke Sungai Bakkara untuk berobat. Segala jenis penyakit menjadi sembuh setelah mandi di sungai itu. Sungai itu menyembuhkan penyakit karena Singamangaraja mematahkan tongkatnya pada lereng sebuah bukit batu dan kemudian memancarkan air sehingga menjadi sungai. Konon juga katanya tak ada yang berani menentang pandangannya. Saat seseorang mencoba menentang tatapannya, maka celakah dia. Juga dari mulutnya dapat mengeluarkan api.[6]
 
Singamangaraja juga digambarkan oleh satu tulisan sebagai “…pribadi yang menggambarkan separoh kedewaan dan separoh manusiawi, yang sangat berpengaruh, yang dapat disebutkan “raja-pendeta” bahkan “raja-dewa”.”[7]
 
Ludwig Ingwer Nommensen[8]
 
L. I. Nommensen, atau sering juga ditulis I. L. Nommensen, dilahirkan pada 6 Februari 1834 di Nordstrand, wilayah Schleswig yang pada masa itu menjadi bagian dari Kerajaan Denmark. Setelah mengalami kecelakaan ketika berusia 12 tahun, ia berjanji akan menjadi penginjil. Ia diterima di seminari RMG di Wuppertal-Barmen (1857-1861) dan setelah tamat ia langsung pergi ke Belanda untuk naik kapal ke Sumatera bertepatan dengan malam Natal 1861.
 
Di Amsterdam, Nommensen umumnya dianggap sebagai salah seorang misionaris paling berhasil. Pada tahunb kematiaannya gereka Batak Toba Huria Kristen Batak Protestanmemiliki 500 paroki dengan 180.000 jemaat, 34 pendeta Batak, hampir 800 guru dan lebih dari 2.000 sintua. Dengan jumlah jemaat sekitar 2,5 juta KBP menjadi gereja suku terbesar di Asia Tenggara. Atas jasanya, tahun 1904 Nommensen memperoleh gelar doktor honoris causa dari Universitas Bonn, dan tahun 1911 ia memperoleh penghargaan Kerajaan Belanda dengan diangkat sebagai Officier Ordo Oranye-Nassau. Penghargaan tersebut ada enam tingkatan. Penghargaan tertinggi adalah Ridder Grootkruis, lalu Grootofficier, Commandeur, Officier, Ridder, dan Lid.
 
Di antara para misionaris yang dikirim dan bekerja di Tanah Batak, Nommensen misionaris yang paling lama tinggal di Tanah Batak, yakni selama 57 tahun. Bahkan dia meninggal di Tanah Batak pada usia 84 tahun. Dia mengabdikan hampir seluruh hidupnya menyebarkan Injil di Tanah Batak. Namun, tidak seperti di tempat dia menyebar Injil, di tanah kelahirannya namanya tidak dikenal. Norstrand yang hanya berpenduduk 2.257 orang itu melupakan namanya. Penyebabnya barangkali karena dalam lingkungan gereja pun upaya penginjilan sering dianggap sebagai tindakan pemaksaan terhadap bangsa-bangsa “berwarna” dalam konteks imperialisme kolonial.
 
Injil di Tanah Batak
 
Kristeniasi orang Batak Toba tidak bisa dilepaskan dari politik kolonial. Tanah Batak menjadi penting bagi kolonial, bukan karena sumber daya alamnya. Terletak diantara Aceh dan Padang (Minangkabau) yang beragama Islam, menjadikan tanah Batak sebagai titik petaruhan bagi kolonial.
 
Sir Stamford Raffles, wakil Inggris di Pulau Jawa, membayangkan persatuan Islam Aceh dan Islam Minangkabau sebagai ancaman bagi Inggris. Sejak 1811 Raffles berusaha keras memisahkan kedua suku bangsa itu. Cara yang ditempuh Raffles ialah memberikan izin bahkan mendorong para missionaris Kristen mengembangkan agama (baru-red) ke daerah Tapanuli, daerahnya orang Batak.[9]
 
Pada tahun 1820 gagasan Raffles dijalankan. Baptist Mission Society (BMS) dari Inggris mengirimkan tiga missionaris:  Richard Burton, Natahaniel Ward[10] dan Evans Brookers. Setelah belajar bahasa dan tradisi Batak, pada tahun 1824 ketiga misionaris memulai perjalanan ke pedalaman tanah Batak. Tapi raja-raja Batak menolak keingginan para misionaris. Mereka menolak menjadi Kristen.
 
Traktat London 1824 mengubah drastis kisah penginjilan BMS. Inggris menukar guling Nusantara kepada Belanda. Belanda menyerahkan  Malaka dan Singapura kepada Inggris. Setelah Nusantara di serahkan kepada Belanda, Misi BMS diusir. Pengusiran ini disebabkan keterlibatan Burton dan Brookers pada perang Paderi. Kedua misionaris itu, menjadi penerjemah dalam perundingan dengan Tuanku Lelo (pemimpin pasukan Paderi). BMS gagal di tanah Batak.
 
Di tahun 1834 utusan Amerika dan Boston meneruskan misi. Mereka mengirim dua misionaris bernama Munson dan Henry Lyman. Keduanya bernasib naas. Munson dan Henry Lyman dibantai Raja Panggalamei di Singkak, Lobupining. Menurut hasil penelitian Dr.A. Schreiber, dikatakan bahwa kedua misionaris tersebut dimakan. Menurut dugaan para raja di wilayah itu, bahwa terjadi(nya) Perang Paderi adalah (karena) anjuran misionaris Burton dan Ward. Anjuran itu disebabkan orang Batak menolak menjadi Kristen. Akibat penderitaan yang disebabkan Perang Paderi, rakyat sangat benci kepada orang Barat (orang berkulit putih).[11]
 
Misi Rheinische Mission Gesselchaft (RMG) dari Jerman hadir di tanah Batak pada 17 Agustus 1861. Setelah gagal di Kalimantan, RMG memindahkan misinya ke tanah Batak. Cara RMG melakukan misi berdampak pada tradisi Batak. Misionaris RMG melihat tradisi Batak bertentangan dengan Injil. Bagi para penginjil Barat, menjadi orang Kristen berarti meninggalkan religi para nenek moyang. Orang Batak harus terpisah dari budaya tanah leluhur mereka. RMG sangat yakin bahwa segala sesuatu yang dimiliki di Barat merupakan yang terbaik; jauh lebih baik dari yang dimiliki masyarakat Batak.[12]
 
Misionaris kemudian mempromosikan Culturkampf (perang budaya). Culturkampfmerupakan usaha transformasi budaya lokal kepada peradapan Eropa. Masyarakat primitif (seperti Batak) dianggap tidak berbudaya (Uncultur), sehingga  budaya yang sudah ada harus dihilangkan.
 
Sementara dari sisi RMG, terjadi perubahan strategi dalam menjalankan misi Kristen. RMG awalnya menggunakan  pendekatan pertobatan individu (Einzelbekehrung), di mana target misi adalah pertobatan secara perorangan. Kemudian strategi ini berubah  menjadi: berupaya menjadikan seluruh bangsa menjadi jemaat Kristen (Volkschrisianizierung).[13] RMG ingin menjadikan bangsa Batak Toba menjadi Kristen secara utuh dan meninggalkan praktik religi nenek moyang.
 
Nommensen hanyalah satu dari beberapa misionaris itu. Dia datang ke tanah penginjilan bukanlah tanpa embel-embel di belakangnya. Hal yang paling utama tentu saja seperti yang sudah disebutkan di atas: keunggulan ras. Keunggulan ras itulah yang membuat perjumpaan antara orang Batak dengan para misionaris tidak berlangsung dalam kesederajatan, namun dalam ketimpangan ras. Para misionaris merasakan dirinya jauh berada jauh di atas orang Batak, baik dari segi status sosial, budaya, agama, maupun ras.[14] Dengan demikian kita bisa menyebut penyebaran Injil di Tanah Batak datang bersamaan dengan rasisme.
 
Rasisme bersahabat denga kolonialisme. Kedua paham ini tidak bisa dilepaskan dari penginjilan di Tanah Batak. Teologi dan ideologi RMG tidak pernah mengatakan kedua paham itu sebagai paham yang harus dipisahkan dari misionarisme. Hal ini tidak teramat susah dipahami mengingat dua guru di seminari RMG, Rohden dan Fabri, adalah orang yang sangat konservatif, anti-demokrasi, dan pro-kerajaan. Di Eropa, terlebih di Jerman tempat RMG berasal, rasisme menjadi satu paham yang secara “ilmiah” membenarkan bangsa berwarna dijajah bangsa putih. Karena penjajah tidak mau dikenal sebagai “penjarah”, mereka berusaha mendapatkan pembenaran bagi tindakannya itu. Dalih mereka, dengan menganggap bangsa terjajah sebagai bangsa terbelakang yang hanya dapat mencapai tingkat peradaban bila dibantu oleh ras putih. Karena itu, menurut mereka, penjajahan diperlukan bangsa berwarna untuk mengangkat derajat dan mencapai tingkat peradaban yang lebih tinggi.[15] Pandangan rasis inilah yang menjadi bagian dari pendidikan para misionaris sebelum mereka dikirim ke “tanah kafir”. Dengan begitu teologi RMG adalah teologi rasis.
 
Menurut Fabri, Direktur RMG, penjajahan merupakan salah satu cara terbaik untuk mengatasi persoalan-persoalan sosial yang semakin nyata di Jerman. Menurutnya, kepentingan misi pada dasarnya sejajar dengan kepentingan penjajah. Para misionaris kemudian menjadi perintis jalan bagi penjajah.[16] Fabri juga berpendapat kolonialisme bermanfaat bagi mereka yang dijajah. Menurutnya, “karakter dasar” para pribumi di daerah tropis yang “kurang lebih lemah, lalai dan malas” dapat diubah kalau mereka diajari bekerja keras oleh orang Eropa. Karena itulah kemudian dia menegaskan bahwa sudah tiba saatnya pemerintah Jerman menyadari bahwa penginjilan “sangat bermanfaat, dan dalam kondisi tertentu malah menjadi syarat mutlak” untuk ekspansi kolonial.[17] Lalu kemudian, bagaimana hubungan antara misionaris dengan Belanda, sang kolonialis, di Tanah Batak?
 
Tak ada satu pun dari semua misionaris yang diutus ke Tanah Batak menyatakan diri sebagai anti-kolonial, alih-alih berkeyakinan sebagai wakil peradaban yang begitu tinggi yang begitu jauh lebih unggul daripada budaya kafir. Di Tanah Batak hubungan antara penginjil dengan kolonial adalah hubungan koalisi antara Injil dan Pedang. Hubungan itu begitu mesra sehingga yang terjadi adalah hubungan mutualisme: pemerintah dan tentara kolonial dapat memanfaatkan pengetahuan para misionaris yang mengetahui bahasa, adat-istiadat dan keadaan setempat, sementara para penginjil merasa untung karena dapat menyebarkan Injil dengan lebih tenang dalam kawasan yang telah “didamaikan” pemerintah.[18] Sekali lagi, hubungan akrab antara mereka bisa terjalin karena kepercayaan mutlak akan keunggulan bangsa Eropa.[19] Dengan berpandangan seperti itu tidak salah kemudian ketika mereka menganggap kolonialisme adalah rencana Tuhan.[20]
 
Menyandingkan Nommensen dan Singamangaraja dalam ruang lingkup penginjilan dan penjajahan dalam hubungan yang akur-akur saja akan menimbulkan kecurigaan. Mereka datang dari dua kutub berbeda: penjajah dan terjajah. Nommensen dan Singamangaraja adalah musuh bebuyutan. Untuk mengetahui permusuhan di antara mereka, mari kita lihat peran misionaris dalam Perang Toba, perang yang meluluhlantakkan Tanah Batak.

Pandangan HKBP tentang Singamangaraja adalah pandangan pengakuan dan kekaguman.[21] Singamangaraja tampil sebagai tokoh Batak, sosok berwibawa dengan pakaian sorban khas Batak. Pada awalnya Singamangaraja tidak mengijinkan Injil disebarkan di Tanah Batak karena menurut Singamangaraja para penginjil itu berteman dengan Belanda. Tapi di kemudian hari Singamangaraja melihat tujuan misionaris berlawanan dengan tujuan penjajah. Kemudian, Nommensen, misionaris pendiri gereja HKBP, bekerjasama dengan Singamangaraja membebaskan Batak dari dua hal: Nommensen membebaskan rakyat Batak dari kebodohan dan Singamangaraja membebaskan rakyat Batak dari penjajahan. RMG membawa tiga hal ke bangsa Batak: diakonia, pendidikan, dan kesehatan. RMG membawa pengetahuan membaca dan menulis ke Tanah Batak, dengan demikian kualitas sumber daya manusia Batak meningkat. Mereka juga mengenalkan beberapa alat musik modern seperti terompet dan harmonika. Misi RMG tersebut tidak bertentangan dengan misi Singamangaraja yang berangkat dari prinsip: Jangan pernah menjajah Tanah Batak. Misi RMG adalah misi kemajuan bukan misi penaklukan dengan demikian tidak bertentangan dengan prinsip Singamangaraja sehingga Nommensen dan Singamangaraja saling menghormati. Maka, terjadi pembagian tugas di antara mereka: Nommensen bergerak di bidang non-fisik (dengan damai tanpa perang), sementara Singamangaraja di bidang fisik.
 
Menurut HKBP ajaran pokok Singamangaraja adalah ajaran kasih. Ajaran kasih tidak pernah memberikan ijin sedikit pun pada penindasan antarmanusia. HKBP tidak bisa memisahkan diri dari suku Batak karena jemaat mereka adalah orang Batak. Singamangaraja mereka pandang sebagai tokoh besar Batak, seorang pahlawan nasional. Ketokohan Singamangaraja tentulah bersumber dari ajaran sang tokoh dan tauladan yang diberikannya. Ajaran dan tauladan itu bersumber dari budaya Batak yang dilakoni Singamangaraja. Karena itulah HKBP tetap melestarikan budaya Batak seperti yang dijalankan Singamangaraja. Penerimaan HKBP dengan budaya Batak tersebut tercermin dari diperbolehkannya warga gereja menggunakan ulos. Juga tidak dilarangnya menjalankan adat-istiadat Batak. Budaya Batak yang tidak bisa diterima gereja adalah pemberian sesajen kepada arwah nenek moyang dan juga penyembehan berhala. Dengan menerima ketokohan Singamangaraja HKBP memandang dirinya sebagai gereja yang berbudaya. Gereja yang mengakar pada tempatnya yang tidak terlepas dari lingkungan tempat dia berada.
 
Hingga kemudian pandangan ini dipatahkan oleh Uli Kozok. Kozok berangkat ke Jerman dan meneliti surat-surat laporan Nommensen ke RMG. Hasilnya: pemutarbalikan semua pandangan yang selama ini telah berurat-berakar pada orang Batak, terlebih-lebih HKBP. Temuan Kozok: Nommensen mengambil peran dalam Perang Toba. Tahun 1878 Nommensen berulangkali meminta pemerintah kolonial agar selekasnya menaklukkan Silindung menjadi bagian dari wilayah Hindia Belanda. Menurut Kozok, Pemerintah Belanda akhirnya mengabulkan permintaan Nommensen, sehingga terbentuk koalisi Injil dan pedang yang sangat sukses karena kedua belah pihak memiliki musuh yang sama: Singamangaraja XII yang oleh zending dicap sebagai “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen.” Bersama-sama mereka berangkat untuk mematahkan perjuangan Singamangaraja. Pihak pemerintah dibekali dengan persenjataan, organisasi dan ilmu pengetahuan peperangan modern, sementara pihak zending dibekali dengan pengetahuan adat-istiadat dan bahasa. Kedua belah pihak, zending Batak dan pemerintah kolonial, saling membutuhkan dan saling melengkapi, dan tujuan mereka pun pada hakikatnya sama: memastikan bahwa orang Batak “terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa.”[22]
 
Kerjasama antara misionaris dengan kolonial berlangsung hingga musuh bebuyutan mereka, Singamangara XII, meninggal tahun 1907.[23] Kita kemudian melihat, Kristenisasi di Tanah Batak tidaklah seutuhnya berjalan damai. Di salah satu perang, misalnya, Nommensen menyebut peperangan itu sebagai ekspedisi. “Ekspedisi telah selesai. Tiada yang merasa lega daripada saya… Saya sangat menyesal tidak bisa berada di rumah membantu istri saya dalam masa yang kacau seperti ini. Namun dengan bantuan Tuhan mereka semua selamat dan sehat sentosa.”[24] Jelas-jelas Nommensen tidak menaruh simpati kepada penduduk 50-60 kampung yang hari itu kampungnya habis dibakar. Dia bersyukur kepada Tuhan karena istrinya sehat selamat dan sentosa.
 
Di surat-suratnya Nommensen mengatakan perang dan penaklukan Toba sangat mendukung dan mempercepat upaya pembukaan pos penginjilan. Mereka memainkan peranan cukup besar dalam ekspedisi militer Belanda. Menurut Nommensen upaya mereka menyebarkan Injil di Silindung mendapat perlawanan dari Singamangaraja yang dulu maupun Singamangaraja yang sekarang. Singamangaraja terutama memusuhi agama Kristen. Dia mengadakan koalisi dengan orang Aceh di utara maupun dengan orang Batak Islam di timur maka kegiatan mereka juga memusuhi pemerintah Belanda.[25] Bagi Nommensen Perang Toba membawa berkat bagi misionaris karena lewat perang itu (1) pemerintahan di Silindung dilaksanakan dengan semestinya, sehingga para penginjil dapat beroperasi tanpa ancaman; (2) hal yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah zending bisa masuk; dan (3) akibat perang Toba orang makin percaya pada penginjil dan sudah ada yang minta agar kita datang.
 
Penelitian Uli Kozok atas surat-surat Nommensen ini membantah pendapat yang selama ini mengatakan bahwa Nommensen tidak pernah bersekutu dengan penjajah, dan Nommensen bersahabat dengan Singamangaraja. Walter Bonar Sirait menulis satu buku,Ahu Si Singamangaraja: Arti Historirs, politis, ekonomis dan religius Si Singamangaraja XIIuntuk mengatakan bahwa kedua tokoh tersebut tidak pernah bermusuhan satu sama lain. Sijabat menggambarkan Nommensen serba positif. Menurut Sijabat, Nommensen melakukan pelbagai usaha untuk mengelakkan pertumpahan darah dan memilih jalan damai, juga tidak dapat menyetujui kekerasan yang digunakan oleh Belanda dan merasa sedih sekali melihat kampung-kampung Batak dibakar Belanda. Namun, penelitian Kozok atas surat-surat Nommensen sendiri mengatakan bahwa Nommensen membantu pemerintah dan tentara Belanda dengan rela hati tanpa ada unsur paksaan apa  pun. Nommensen melakukan itu karena menurut keyakinan dan ideologinya yang dipelajarinya di RMG mengatakan para penginjil berkewajiban untuk selalu bekerjasama dengan pihak pemerintak kolonial dan ia percaya bahwa orang Batak hanya bisa menjadi manusia yang beradab bila berada di bawah kekuasaan bangsa Eropa yang, menurut Nommensen, agung dan mulia.[26]
 
Pertanyaannya kemudian, bagaimana mempertahankan ingatan terhadap kedua tokoh yang dianggap sakral oleh orang Batak ternyata saling bermusuhan satu sama lain?
 
Ingatan Baru/Rekonsiliasi
 
Bagaimana kita mengingat sesuatu dan melupakan sesuatu yang lain? Atau: kenapa kita mengingat sesuatu dan melupakan sesuatu yang lain? Paul Connerton (2006) bertanya lebih lanjut: mengapa ingatan di masa lalu itu perlu dipelihara dan diwariskan dari generasi ke generasi? Kalau begitu halnya, bila ingatan yang dipelihara dan diwariskan itu adalah sebuah kekeliruan, apa yang hendak diciptakan dengan ingatan yang keliru itu? Identitas apa yang hendak dibangung oleh HKBP terhadap kedua tokoh tersebut?
 
Memori, menurut Paul Connerton (2006) adalah sebagai fenomena yang dikonstruksikan, diciptkana secara sosial. Artinya memori bukanlah gejala alami. Naumun, memori juga tidak sepenuhnya bersifat psikologis, dan juga tidak sepenuhnya hasil konstruksi narasi sosial. Memori mewujud dalam praktik sosial kehidupan sehari-hari. Praktek itu mewujud dalam “habit memory”, yang paling kentara tampak dalam “tubuh riil” atau gerakan-gerakan fisik dan “ritual performance”.  Memori bertindak seperti hubungan manusia dengan lingkungannya: individual sekaligus kolektif. Karena manusia berinteraksi dengan lingkungannya, maka berbagai interaksi ini bertumpu pada produksi dan reproduksi memori. Produksi dan reproduksi memori kemudian akan mengahasil produksi dan reproduksi identitas.
 
Salah satu bentuk pelestarian memori itu adalah ritus. Ritus menurut Paul Cannerton adalah tindakan-tindakan yang diformalisasikan yang cenderung distilisasikan, distereotipikasikan, dan diulang-ulang. Tindakan-tindakan itu tidak spontan, dan dengan sengaja diciptakan untuk mendorong munculnya perasaan-perasaan (tertentu). Misalnya perasaan sebagai sesama anggota komunitas tertentu.
 
HKBP tidak bisa memisahkan diri dari orang Batak. Nommensen yang sudah mereka anggap sebagai rasul kemudian mereka sandingkan dengan Singamangaraja dalam satu panggung persahabatan kental. Bahkan HKBP beranggapan Singamangaraja adalah Kristen. Hasil penelitian terahkir yang mengatakan bahwa kedua tokoh tersebut tidak pernah bersahabat, bahkan musuh bebuyutan, identitas apa yang mau dibentuk HKBP? Kenapa dua tokoh itu direkonsiliasikan? Pembentukan memori apa yang hendak diciptakan?
 
Pemeliharaan dan pewarisan ingatan akan kedua tokoh itu sudah memasuki tahap ritus. HKBP memformalisasikan, menstreotipikasikan, yang dilakukan secara berulang-ulang tentang betapa Nommensen dan Singamangaraja di masa hidupnya saling bahu-membahu melawan penjajah dan juga membebaskan Batak dari kebodohan dan kegelapan. Kenapa bisa demikian?
 
Dari semua penjelasan di atas, saya berkesimpulan: orang Batak, khususnya HKBP, tidak mau kehilangan dua tokoh tersebut. Singamangaraja XII diangkat menjadi pahlawan nasional pada 9 November 1961. Ini kebanggaan tersendiri bagi orang Batak. Mereka menyumbangkan satu pahlawan yang sangat gigih menentang penjajah. Mengabaikan Singamangaraja XII akan menghadirkan dilemma bagi HKBP. Satu sisi mereka tidak bisa menerima kepercayaan dan praktik agama yang dipraktekkan Singamangaraja. Singamangaraja bukanlah Kristen. Dia penganut agama “tradisional” Batak. Di sisi lain, mereka tidak mau disebut sebagai gereja yang tidak menghargai tokoh yang sangat disanjung tinggi oleh orang Batak.
 
Sementara itu Nommensen jelas-jelas menempati posisi yang tidak mungkin diabaikan. Harus diakui, Nommensen membawa perubahan positif ke orang Batak. Namun, HKBP tidak mau berterus terang menjelaskan peran pendiri gereja HKBP ini di masa lalu. Agama baru yang dibawa oleh Nommensen adalah agama pembawa kemajuan. Dengan demikian mereka tidak akan membiarkan sang tokoh dicap sebagai antek penjajah.
 
  
[1] Uli Kozok. 2010. Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba. Buku Obor. Jakarta
 
[2] Diskusi dengan Baringin Lumban Gaol, wartawan Sindo.
 
[3] Menurut Baringin hal ini tidaklah tepat. Marga Singamangaraja bukan Sinambela. Menurut dia pemberian marga ke Singamangaraja adalah kekeliruan karena Singamangaraja bukanlah menunjuk satu pribadi, tapi Singamangaraja adalah satu lembaga.
 
[4] O. L. Napitupulu. 1972. Perang Batak Perang Sisingamangaraja. Yayasan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja. Jakarta, hal. 91.
 
[5] Adniel L. Tobing, Si Singamangaraja I-XII.
 
[6] Adniel L. Tobing, Si Singamangaraja I-XII, hal. 82. 
 
[7] O. L. Napitupulu, Perang Batak Perang Sisingamangaraja…, hal. 92.
 
[8] Bagian ini banyak diambil dari Uli Kozok. 2010. Utusan Damai di Kemelut Perang:Peran Zending dalam Perang Toba. Buku Obor. Jakarta
 
[9] Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak  Toba, hal. 73-74.
 
[10] Burton dan Ward menuliskan laporan mereka bertajuk Memasuki Negeri Batak Toba, 1824 dalam Antony Reid, Sumatra Tempo Doloe; Dari Marcopolo Sampai Tan Malaka, hal. 212-231.
 
[11] Antonius Simanjuntak, Konflik Status…, hal.74.
 
[12] Togar Nainggolan, Batak Toba di Jakarta; Kontinuitas Perubahan dan Identitas, hal. 234.
 
[13] Johan Hasselgren, Batak Toba di Medan; Perkembangan Identitas Etno-Religius Batak Toba di Medan (1912-1965), hal. 96.
 
[14] Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang…, hal. 36.
 
[15] Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang…, hal. 47-51.
 
[16] Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang…, hal. 67.
 
[17] Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang…, hal. 68-69.
 
[18] Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang…, hal. 85.
 
[19] Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang…, hal. 87.
 
[20] Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang…, hal. 87.
 
[21] Bagian ini diambil dari wawancara dengan Pendeta Jekson Manurung, MTh, pendeta Resot Sitinjak Baringin, Kecamatan Pakkat, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Resot Sitinjak Baringin membawahi enam gereja HKBP di sekitarnya.
 
[22] Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang…, hal. 92.
 
[23] Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang…, hal. 95.
 
[24] Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang…, hal. 150-151.
 
[25] Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang…, hal. 153-154.
 
[26] Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang…, hal. 97-101.


Sumber:

No comments:

Post a Comment