MEJAN DARI TANAH
PAKPAK
Oleh: Edward
Simanungkalit
Mejan merupakan peninggalan purbakala yang ditemukan di Tanah Pakpak berupa
patung-patung yang diukir dari batu. Patung-patung
ini berbentuk orang mengendarai binatang seperti: gajah, kuda, atau harimau. Mejan adalah suatu simbol kebanggaan dan kemashyuran bagi masyarakat Pakpak, karena diyakini bahwa patung-patung
tersebut mengandung unsur mistik tersendiri. Selain mengandung nilai budaya
yang tinggi, mejan ini juga merupakan lambang kebesaran marga Pakpak atau masyarakat Pakpak.
Secara khusus masyarakat Pakpak memaknai mejan sebagai
simbol kepahlawanan. Pemahat yang membuat
mejan ini adalah para pertaki dan mereka inilah
pemilik mejan sekaligus pande
tukang. Pembuatan mejan
ini dahulu memakan waktu yang cukup lama disertai
dengan mantra-mantra untuk mengisinya dengan roh yang biasa disebut masyarakat Pakpak dengan nangguru yang mengisi batu mejan. Itulah sebabnya mejan
diyakini memiliki kekuatan gaib dan para pertaki
inilah
yang memiliki kualifikasi membuatnya.
Warga yang
memiliki mejan dahulu kala merupakan orang berada, karena dalam pembuatannya membutuhkan biaya
yang lumayan besar dan memakan waktu lama juga. Selain itu, untuk pembuatan mejan ini tidak
sembarangan, karena dalam pembuatannya harus mengikuti banyak ritual sebagai syarat-syarat
yang harus dipenuhi agar mejan tersebut nantinya memiliki kekuatan mistik. Setelah
rampung patung ini ditempatkan di gerbang kampung sebagai penangkal
bala sekaligus penanda kekuasaan marga selaku pemangku kuta, yaitu pendiri
kampung.
Pada zaman dulu, mejan berfungsi sebagai
benteng pertahanan terhadap musuh yang akan masuk ke suatu daerah atau kampung.
Konon, mejan dapat bersuara pada zaman dulu bila musuh datang memasuki kampung
atau bila suatu kampung akan mengalami suatu kejadian. Suara ini diyakini
berasal dari nangguru yang berdiam di dalam batu mejan tersebut. Nangguru yang tinggal di batu Mejan dipercaya adalah roh nenek moyang yang
dipanggil melalui suatu ritual. Di situlah letak sifat mistik daripada mejan
yang telah disinggung sebelumnya (berbagai sumber).
1. Pengaruh Tamil
dalam Masyarakat Pakpak
Patung Mejan yang masih
ada ditemukan sekarang ini diperkirakan berumur 400–900 tahun. Menurut hasil penelitian para arkeolog yang pernah
melakukan riset di daerah Pakpak Bharat, keberadaan mejan tidak terlepas dari pengaruh Hindu yang
juga identik dengan budaya patungnya. Bentuk patung seperti gajah dan angsa
adalah hasil kontak mereka dengan para pendatang dari India. Bentuk seperti
patung angsa yang berfungsi sebagai tutup batu pertulenan (penyimpanan abu
jenazah) sebenarnya tidak lain adalah hasil interpretasi Pakpak
terhadap ikonografi Hindu yang dikawinkan dengan bentuk mejan
yang telah ada sebelumnya, sebagai simbol kendaraan arwah (Soedewo, 2008:1-10).
Masuknya unsur-unsur budaya Hindu - Tamil ke dalam budaya Pakpak dimungkinkan oleh
adanya kontak kedua budaya tersebut. Tempat
yang paling memungkinkan terjadinya kontak itu di masa lalu adalah Barus, yang
bukti-bukti sejarah maupun arkeologisnya menunjukkan tempat ini pernah berjaya
sebagai bandar internasional. Para
pedagang Tamil dari India mendatangi Barus untuk
membeli kapur barus yang dihasilkan di daerah Pegunungan
Bukit Barisan yang menjadi tempat tinggal orang-orang Pakpak (Basarsyah, 2009:1-3; Soedewo, 2008:1-10).
Bukti kehadiran orang-orang Tamil dari India adalah Prasasti Lobu Tua, yang ditemukan di
Barus. Prasasti berangka tahun 1010 Saka (1088 M) ini dikeluarkan oleh suatu
serikat dagang yang bernama Ayyāvole 500 (Perkumpulan 500) (Sastri,1932:326 dan
Subbarayalu,2002:24). Prasasti
dengan tulisan Tamil ini ditemukan oleh
pejabat Belanda GJJ Deutz tahun
1872. Setelah diterjemahkan oleh Prof. Dr. KA
Nilakanda dari Universitas Madras India pada tahun 1931,
menurutnya perkumpulan dagang etnik Tamil tersebut memiliki pasukan keamanan, aturan
perdagangan dan ketentuan lainnya. Anggotanya terdiri dari berbagai aliran Brahmana, Wisnu, Mulabhadra dan lain-lain. Berdasarkan penggalian arkeologi
yang dilakukan oleh Daniel Perret bersama tim dari Ecole Francaise d Extreme-Orient (EFEO) membuktikan bahwa pada abad ke-8
sampai ke-12 di Lobu Tua, Barus telah terdapat
perkampungan multi-etnik
terdiri dari etnik Tamil, Cina, Arab dan sebagainya (Kumar, 2011:1).
Barus, yang
merupakan bandar niaga internasional di masa lalu tidak jauh dari Kelasan, yang
berada di pegunungan Bukit Barisan dan dulu menjadi persinggahan para pedagang
yang datang dari Kailasem di pegunungan Himalaya, India. Oleh karena itu, bukan
tidak mungkin bahwa penduduk Kelasan yang sekarang dikenal sebagai salah satu
suak di Tanah Pakpak adalah keturunan dari hasil percampuran mereka.
Orang-orang Tamil ini juga masuk terutama ke daerah Simsim dan Boang. Inilah yang menyebabkan adanya
anggapan bahwa orang Pakpak berasal dari
India. Apalagi di lapihen laklak Pakpak (buku laklak dari kulit kayu) ada
tertulis "Enmo tambo si Sewu si roh Indiha nari
arap-arapen kayu mbellen sah mi Barus" (inilah tambo si Sewu
yang datang dari India dengan memakai rakit kayu besar sampai ke Barus).
2.
Keberadaan Mejan Kini
Mejan tetap masih ada
ditemukan di wilayah Tanah Pakpak meskipun sudah lumayan banyak juga yang
hilang dicuri orang. Setidaknya di daerah seperti Tungtung Batu,
Berampu, Bangun, Tinada, Kerajaan, Kuta Nangka, Kuta Deleng, Kuta Kersik,
Penanggalan, Lebuh Simangun, Lebuh Nusa, Ronding, Sibande, dan Kaban Tengah patung ini masih ada sampai sekarang. Di luar
Dairi dan Pakpak
Bharat ada juga di daerah Parlilitan, Humbang Hasundutan (berbagai sumber).
Menurut data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Pakpak Bharat bahwa mejan tersebut ada di daerah sebagai berikut: Mejan Berutu Kuta Ujung dan Mejan Kesogihen di Pardomuan. Mejan Berutu Ulu Merah dan Mejan Berutu Tandak di Ulu Merah, Mejan Berutu Kuta Kersik dan Mejan Marga Sinamo di Silimakuta, Mejan Bancin Penanggalan Jehe di Boang, Mejan
Boangmanalu di Boangmanalu, Mejan Manik Arituntun dan Mejan Manik Aornakan Tao di Aornakan, Mejan Manik
Lagan dan Mejan Manik Gaman serta Mejan Gajah di Simerpara, Mejan Manik Kecupak di
Kecupak I, Mejan Sanggar dan Mejan Pandua di Pangindar, Mejan Marga Sinamo
Siantar Julu di Perongil, Mejan Padang di Jambu, Mejan Padang Kuta Babo di Kuta
Babo, Mejan Solin Lae Meang di Mahala, Mejan Solin Tamba di Majanggut II, Mejan
Solin Kuta Delleng dan Mejan Tinendung di Sukarame.
Mejan,
sebagaimana telah dikemukakan di atas, adalah kekayaan budaya Pakpak, sehingga
perlu dijaga dan dipelihara dari usaha-usaha pencurian dan perusakan.
Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk menjaga dan memelihara
mejan-mejan yang masih tersisa. ***
Telah dimuat di:
Harian BATAK POS
Edisi Sabtu, 05 Januari 2013
No comments:
Post a Comment