BATAK 27 GAYO DI ACEH
Oleh: Edward
Simanungkalit
Tanah
Gayo adalah suatu daerah di Provinsi Nangro Aceh Darussalam. Tanah Gayo ini
berada di tengah-tengah pulau Sumatera dan
tidak berada di pesisir. Letaknya di tengah-tengah pegunungan daerah Aceh dari utara
ke bagian tenggara sepanjang Bukit Barisan. Suku bangsa Gayo mendiami kabupaten
Aceh Tengah dan Bener Meriah dan Tekengon merupakan ibukota Kabupaten Aceh
Tengah.
Pada
masa lampau penduduk Gayo terbagi dua, yaitu penduduk daerah Kebayakan dan Bebesan.
Daerah Kebayakan berada di sebelah barat laut danau Laut Tawar, sedangkan
daerah Bebesan berada di sebelah barat Kebayakan dan kedua daerah ini hanya
berjarak sekitar 1 km. Penduduk yang mendiami daerah Kebayakan dan Bebesan
merupakan kampung “inti” di Gayo Laut, tapi mereka beranggapan bahwa asal-usul mereka
berbeda. Penduduk daerah Kebayakan mengatakan bahwa mereka adalah penduduk asli
di Gayo, sedangkan penduduk daerah Bebesan menyadari bahwa mereka itu Batak,
yang lebih dikenal dengan Batak 27.
http://sopopanisioan.blogspot.com
1.
Munculnya
Batak 27
Pada masa
pemerintahan Raja Sengeda, Gayo sudah
berhubungan dengan pihak luar ditandai dengan datangnya orang-orang Batak.
Kedatangannya biasanya sebagai pengembara dan bertamasya. Diceritakan bahwa di
masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar pada abad ke-16 M pernah
7 orang pemuda Batak melewati tanah Gayo menuju Aceh (H. AR. Latief, 1995 :
81). Sementara menurut Dr. C. Snouck Hougronje,
kedatangan Batak 27 adalah pada masa kejuruan (raja) Bukit telah memeluk Islam.
Kejuruan Bukit adalah bagian dari raja-raja yang terdapat di tanah Gayo yang
memiliki hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan (kejuruan) lain.
Kemudian setelah pemuda Batak yang 7 orang itu
sampai di Aceh, maka menyusul sebanyak 20 orang Batak, yang salah satunya
bernama Lebe Kader, melewati Alas dan Tanah Gayo, dalam perjalanan menuju Aceh
dengan tujuan untuk masuk Islam dan belajar mengaji. Selain untuk ongkos dan
belanja sendiri, mereka juga membawa titipan ongkos untuk pulang bagi 7 orang
teman mereka yang sudah berangkat lebih dulu. Melihat pundi-pundi mereka penuh
dengan uang, timbul niat untuk memilikinya dalam hati salah seorang raja Gayo,
yaitu Reje Bukit, yang memerintah di bagian barat Danau Laut Tawar, sehingga
mengajaknya bermain judi.
http://sopopanisioan.blogspot.com
Dalam permainan
judi itu ternyata Reje Bukit kalah, sehingga sebagian kekayaannya berpindah ke
dalam pundi-pundi orang Batak tadi. Reje Bukit marah besar dan nekad memancung
salah seorang di antara mereka dan kemudian menggantungkan kepalanya di atas
sebatang pohon bambu di dekat Bebesan. Peristiwa itu menjadikan nama tempat itu
disebut Pegantungan hingga sekarang. Kesembilan belas orang Batak lainnya pun melarikan
diri menuju Aceh untuk menemui kawan-kawannya sekaligus mengadukan kezaliman
reje Gayo tersebut kepada Sultan Aceh. Mendengar itu Sultan pun merestui mereka
untuk memerangi reje Gayo, tetapi mereka tidak diperbolehkan membunuh Reje
Bukit.
Dalam usaha menuntut balas atas kematian temannya disertai hartanya yang dirampas, maka ke-26 orang Batak di bawah pimpinan Lebe Kader ini memerangi dan berhasil mengalahkan pasukan Reje Bukit. Reje Bukit sendiri melarikan diri dan tersesat di dalam rawa-paya dekat daerah Kebayakan, sehingga tempat itu disebut Paya Reje sampai sekarang. Setelah itu diadakanlah perdamaian dan dibuatlah perjanjian berisi tuntutan untuk perdamaian.
Pihak
Batak 27 mendapat sebagian wilayah kekuasaan Reje Bukit sebagai diyat untuk
mengganti kerugian akibat matinya orang Batak yang terbunuh dalam peperangan. Ganti
rugi tersebut dilakukan dengan membelah danau Laut Tawar menjadi dua bagian sampai
Kala Bintang di sebelah utara termasuk daratan, mulai dari kampung Kebayakan,
Rebe Gedung, Simpang Tiga, Delung Tue win Ilang hingga Ramung Kengkang
perbatasan Aceh Timur yang sekarang menjadi
Kabupaten Bener Meriah dan ke arah selatan sampai perbatasan Lingga.
Setelah
batas wilayah ditentukan oleh kedua belah pihak yang berdamai, Reje Bukit Panglima
Perang Dagang mengajukan sebuah tuntutan daerah bukit berikut bangunannya yang
telah diduduki oleh pihak Batak 27. Lebe Kader berkata dengan tegas: “Bebaskan!”,
dalam bahasa Karo artinya dibebaskan dari tuntutan, lambat laun kata bebaskan
ini berubah menjadi kata Bebesan sampai sekarang (AR. Latief, 1995). Kemudian Reje
Bukit Panglima Perang Dagang bersumpah tidak berkeberatan daerah bukit, yang
belakangan disebut daerah Bebesan, berikut bangunannya dijadikan hak milik pihak
Batak 27.
Kemudian
penduduk daerah bukit itu sendiri membangun pemukiman baru yang terletak di pinggir
Danau Laut Tawar yang sekarang disebut dengan daerah Kebayakan. Pada awalnya
kampung itu disebut Kebanyakan karena
penduduknya yang terbanyak, tapi setelah penjajah Belanda datang dan tidak
dapat menyebutkan nama kampung tersebut dengan tepat, maka berubahlah namanya menjadi
Kebayakan.
http://sopopanisioan.blogspot.com
2. Setelah Perjanjian Perdamaian
Di kampung Bebesan itulah orang Batak tadi
berkembang dan keturunannya disebut sebagai Batak Bebesen atau Batak 27 dan sejak
awal mereka semua masuk Islam. Lebe Kader, yang kemudian menjadi raja di sana merupakan
pemimpin mereka, adalah seorang yang taat dalam mengajarkan agama Islam yang
terbukti dari gelar Lebe yang diberikan kepadanya (M.J. Melala Toa, 1981:38). Lebe Kader
sendiri menikahi seorang putri reje Bukit yang bernama Sri Bulan Si Merah Mata.
Lebe Keder merupakan cucu dari Adi Genali, anak dari
Johansyah atau Sibayak Lingga (AR. Latief 1995 : 68). Kedatangan Batak 27 pimpinan
Lebe Kader ini diperkirakan sekitar abad ke-16 atau 600 tahun setelah Kerajaan
Linge berdiri pada abad ke-10 (dari
berbagai sumber).
Di kalangan Batak 27 ini tetap dipertahankan
tradisi marga-marga hingga saat ini. Marga-marga tersebut adalah Munte,
Cebero, Melala, Linge, Tebe, dll., yang di kalangan Batak, yaitu: Munte, Cibro,
Meliala, Lingga, dan Toba. Kata “marga” dalam bahasa Batak disebut “belah”
dalam bahasa Gayo.
Batak 27 ini terdiri dari orang Karo, Pakpak,
dan Toba dengan jumlahnya lebih banyak dari Karo, tetapi ketiganya sekaligus
disebut Batak. Selain itu sebutan Batak ada dua kali disebut dalam “Hikajat
Atjeh” sebagaimana dikemukakan Denys Lombard dalam bukunya “Kerajaan Aceh:
Zaman Sultan Iskandar Muda” (Lombard, 2008:97-98). Sebutan Batak di sini jelas menunjukkan bukan
berasal dari misionaris Jerman dan Belanda.
***
Telah dimuat di:
Harian BATAK POS
Edisi Sabtu, 15 Desember 2012
http://sopopanisioan.blogspot.com
No comments:
Post a Comment