GUA UMANG DI TANAH KARO
Oleh: Edward Simanungkalit
“Umang” dalam bahasa Karo
berarti ‘jin’ atau ‘roh’. Umang, menurut penuturan orang-orang Karo, adalah
makhluk kate yang setengah manusia setengah roh. Menurut cerita bahwa umang itu
bentuk fisiknya adalah seperti manusia, tapi ukurannya lebih kecil. Diceritakan
bahwa masyarakat masih ada yang bertemu dengan umang ini di masa silam. Dulu gua Kemang
yang dipercaya sebagai
rumah umang ini
dikenal juga dengan nama gua umang
banyak orang bertapa dan membawa sesajen ke sana. Bahkan setiap
orang yang lewat di daerah Sembahe dulu selalu singgah dan menyembah batu tersebut, sehingga disebut Sembahe yang memiliki asal kata
dari ‘semba e’, sembah ini. Mereka melakukan sembahe dulu di kampung tersebut (Posmetro
Medan, 13/02- 2011).
http://sopopanisioan.blogspot.com
1. Gua Umang Peninggalan Purbakala
Para peneliti,
seperti J. H. Neumann dan Vain Stein Callenfels, mengatakan kalau gua
umang (batu kemang) tersebut merupakan warisan megalitikum yang menurut
perkiraan dibangun pada zaman Hindu-Budha di awal tahun Masehi. Dan,
bahkan mungkin juga pembuatannya jauh lebih awal dari perkiraan itu. Missionaris
J.H. Neumann pernah sangat tertarik pada segala hal yang berkaitan dengan
umang. Dalam salah satu tulisannya, dia menduga umang sebagai makhluk Proto
Malay (Melayu Tua) yang menjadi penduduk asli Taneh Karo. Dalam tulisannya itu,
dia membahas mengenai salah satu gua umang yang disebut Batu Kemang di dekat Sembahe.
Batu Kemang adalah sebongkah batu berongga.
Rongganya jelas sekali hasil pahatan manusia, bukan dibuat oleh alam. Di dalam rongganya ada ukiran-ukiran dan pada sisi
luar Batu Kemang terdapat ukiran-ukiran manusia yang sedang menari (Sitepu,
2011:1). Gua-gua Umang banyak
terdapat di daerah pegunungan Karo seperti Gua Umang Durin Tani di Sembahe, Gua
Umang Rimomungkur, Gua Umang Gunung Meriah, Gua Umang di Sarinembah, Gua Umang
di Nggalam, Gua Umang Gunung Sibayak, Gua Umang Gunung Sinabung, dll.
Petrus Voerhove adalah orang kedua yang
tertarik dengan gua umang. Dalam salah satu tulisannya, dia melaporkan
kunjungannya ke beberapa gua umang di Karo Jahe, khususnya Langkat dan Deli
Serdang. Hal paling menarik dari laporannya adalah adanya gua umang yang
rongganya sangat panjang di kawasan perkebunan Limau Mungkur, dekat Tanjung
Morawa, Deli Serdang. Voerhove malahan menampilkan foto dari gua itu. Voerhove mengatakan bahwa gua
umang Limau Mungkur mungkin menjadi kunci penting dari hubungan antara Urung Si
Pitu Kuta Ajinembah dengan Urung Sinembah. Karena, katanya, rongga berukir segi
empat itu disekat menjadi tujuh bagian, dan dalam cerita Rumah Si Pitu Ruang
terlihat hubungan yang erat antara Sibayak Ajinembah dengan Sibayak Barusjahe (Ginting, 2005:1).
J.H. Neuman menulis: “Jika kita
sekarang memandang batu dari Durin Tani, maka kita melihat pada pembuatannya, dan perhiasan pada pintu masuk, bahwa
yang membuatnya mempunyai rasa seni”. Dada Meraxa menguraikan: “Dari
galian-galian yang didapat di Sumatera Timur, dijumpai juga hasil kebudayaan
Hoa Bin dari Indo China. Rupanya penduduk Sumatera Timur itu sebelum lahirnya
kerajaan-kerajaan mula-mula telah tinggal dalam gua-gua batu, dan rumah-rumah
Umang seperti yang terdapat di Durin Tani Sembahe dan Serdang.” (Putra, 2010:7). Jadi, ada kemungkinan bahwa
gua-gua umang itu adalah tempat kediaman manusia ras Proto Malay yang terdesak
oleh ras Deutro Malay dengan mengusung kebudayaan Dongson dari Indo-Cina.
http://sopopanisioan.blogspot.com
Selanjutnya Tengku Lukman
Sinar S.H., dalam Brahma
Putra (2010:8), menguraikan : “Dari hasil
galian oleh para sarjana di daerah ini, seperti apa yang ditulis pula oleh DR.
G. W. WORMSER (2) bahwa dari alat-alat perkakas manusia purba di Bacson dan
Hoabinh seperti yang ditemukan oleh Dr. Coloni dan Mansyuri di Indo Cina itu
terdapatlah alat-alat perkakas manusia purba yang digunakan untuk mencari
makan. Penemuan penting mengenai itu terdapat di Perak (Malay) dan Pangkalan
Brandan, Sumatera
Timur di tahun 1942 yaitu dibukit Kerang yang sudah terpendam. Sering dengan
penemuan tadi juga didapati perkakas yang disebut “Sumatera-Lith”, semacam
kampak untuk alat-alat menggosok. Bukit Kerang tadi adalah bekas makanan manusia purba yang dilempar begitu
lamanya, sehingga menjadi suatu timbunan. Jadi dapatlah disimpulkan bahwa di
daerah ini di zaman prasejarah
telah didiami oleh sejenis Bangsa Austroloid. Kemudian sehabis zaman Batu
Muda (1500-300 tahun SM)
masuk lagi urusan perpindahan yang terakhir dari Indo-Cina yang
disebut “Deotro Malay (Melayu Muda) yang membawa kebudayaan Dongson (perunggu)
dan mendesak golongan Proto Malay (Melayu Tua) ke pedalaman, golongan
mana datang di
sekitar 1500 tahun SM (Jaman Batu Muda) dan ras Mongoloid juga”.
Pemaparan di atas menjelaskan bahwa ras
Proto Malay terdesak oleh ras Deutro Malay yang membawa kebudayaan Dongson hingga menyingkir
ke pedalaman. Moh. Said menambahkan: “Bagi
meneguhkan keyakinan terhadap perkembangan jenis bangsa ini di Sumatera,
dapatlah pula dicatat bahwa di Lho Seumawe (Aceh), yaitu di
Kandang telah didapati juga perkakas kapak bergosok sebelah (sebangsa Sumatera-lith)”. Lebih jelas lagi,
tentang perkembangan ras Proto Malay yang menjadi suku bangsa Karo sekarang
ini, Budhi K. Sinulingga menguraikan: “Dalam buku Benih Yang Tumbuh Jilid 4
tentang Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) 1976 yang diterbitkan oleh Lembaga
Studie dan Penelitian GBKP, menguraikan sejarah Karo secara ringkas. Dalam buku
itu dikatakan, suku Karo termasuk
gelombang imigrasi pertama Proto Malay, yang datang dari Tiongkok Barat Daya, jauh sebelum
abad Masehi, semula mereka mendiami daerah di sekitar pantai Sumatera Timur,
tetapi setelah datang imigran
gelombang kedua, yakni Deutro Malay beberapa abad sebelum Masehi, maka sebagian
dari Suku-suku Proto Malay ini lari ke arah pegunungan yang kini disebut
Dataran Tinggi Karo (Tanah Karo)” (Putra, 2010:9).
Penulis juga sudah pernah
mengemukakan hal ini di Batak Pos (28/07-2012), bahwa pada masa Mesolitik
(10.000-6.000 tahun lalu) telah datang para pendukung budaya Hoabinh-Bacson
dari pantai timur Sumatera bagian Utara sebagaimana hasil penelitian arkeologi di
bukit kerang Lhok Seumawe, Aceh Tamiang, Langkat, dan dekat Medan. Kemudian
disusul lagi kedatangan para pendukung budaya Dongson pada masa Neolitik
(6.000-2.000 tahun lalu). Pendukung budaya Hoabinh dan pendukung budaya Dongson
ini berasal dari Vietnam. Mungkin dari mereka inilah dapat dirunut mengenai
keberadaan dari gua-gua umang tersebut.
http://sopopanisioan.blogspot.com
2. Gua Umang Dalam Pandangan Ahli Sekarang
Pada masa kini Gua
Umang disebut-sebut sebagai gua peninggalan purbakala yang dianggap
sebagai indikasi tradisi megalitik di
Tanah Karo. Gua buatan yang
dibuat dengan cara memahat tebing ataupun batu ini diduga berfungsi sebagai
wadah penguburan sekunder seperti
sarkofagus untuk penyimpanan tulang-belulang. Batu Kemang
dipahat khusus menyerupai rumah sebagai rumah untuk orang yang telah meninggal
terbuat dari batu besar dan diberi lubang yang dibuat dengan pahat. Di bagian-bagian depannya terdapat pintu
berukuran 60 cm x 60 cm sebagai jalan untuk memasukkan kerangka mayat dan di bagian
atas pintunya diberi
ornamentasi menyerupai rumah. Luas pahatan batu pada Batu Kemang di Sembahe
berukuran 2 x 2 meter dengan tinggi 80 cm (sisi kanan dan kiri) dan 1 meter di
tengahnya. Ada
beberapa Gua Umang di Tanah Karo, tapi belum teridentifikasi seluruhnya (Tarigan
& Lukitaningsih, 2011:5;
bnd. Wiradnyana, 2007:1-9).
Demikianlah pendapat para ahli
belakangan ini mengenai gua umang yang banyak ditemukan di Tanah Karo. Meskipun
demikian dan tak kalah pentingnya, bahwa pemerintah bersama masyarakat perlu
menjaga dan melestarikan situs-situs purbakala seperti gua umang ini sebagai
kekayaan budaya. ***
Telah dimuat di:
Harian BATAK POS
Edisi Sabtu, 26 Januari 2013
http://sopopanisioan.blogspot.com
No comments:
Post a Comment