CANDI PORTIBI DI PADANG LAWAS TANDA KEBESARAN MASA LALU
Oleh: Edward Simanungkalit
Candi Portibi merupakan sekumpulan candi yang
terdapat di Padang Lawas dan Padang Lawas Utara. Candi-candi tersebut tersebar di sepanjang aliran Sungai Batang
Pane, Sirumambe, dan Sungai Barumun, terdiri dari setidaknya enambelas kompleks
percandian atau dalam bahasa setempat lebih dikenal sebagai biaro atau biara
yang merupakan adopsi dari kata dalam bahasa Sansekerta, vihara yang berarti
tempat belajar mengajar dan ibadah khususnya bagi penganut agama Buddha.
Sebagian pihak
menyebutkan Candi Portibi ini merupakan peninggalan kerajaan Pannai dan
sebagian lagi menyebutnya sebagai peninggalan kerajaan Portibi. Kerajaan
Portibi berarti kerajaan dunia atau bumi dalam bahasa Batak. Julkifli Marbun
(2006:1-4) mengatakan bahwa Kerajaan Portibi ini merupakan aliansi dari
Kerajaan Pane. Beberapa ahli yang sudah melakukan
riset penting di Candi Bahal antara lain Franz Junghun (1846), Von Rosenberg
(1854), Kerkhoff (1887), Stein Callenfels (1920 dan 1925), De Haan (1926), Krom
(1923), dan F.M. Schinitger yang dikenal berjasa mengungkap sejarah
kepurbakalaan di Sumatera.
Catatan tertua
mengenai kapan ditemukan kompleks biaro di Padanglawas diperoleh dari
Franz Junghun, seorang ahli geologi dan Komisaris Hindia Timur
pada tahun 1846. Setelah Junghun, kemudian berturut-turut dikunjungi oleh
von Rosenberg pada tahun 1854 dan Kerkhoff pada tahun 1887. von Rosenberg
dari Padanglawas membawa beberapa fragmen arca untuk ditempatkan di Museum
Batavia. Arca yang dibawa antara lain sebuah arca Buddha. Kerkhoff,
seorang Kontrolir di Tapanuli, dalam tulisannya menyebutkan "biara",
Si Pamutung, dan "kuburan di Gunung Tua". Selain itu ia juga
mempublikasikan secara rinci mengenai temuan-temuan hasil pengumpulan Franz
Junghun di Padanglawas (Utomo, 2006:1-4) http://sopopanisioan.blogspot.com
Dari sekian
banyak laporan dan tulisan mengenai percandian di Padanglawas, tulisan
Schnitgerlah yang
terlengkap, karena ia adalah seorang kurator di Museum Palembang dan
pelopor ekspedisi arkeologi di Sumatra pada tahun 1935 dan 1936. Menurut Schnitger,
biaro-biaro di Padanglawas dibangun bersamaan dengan stupa-stupa di
Muara Takus, yaitu pada sekitar abad ke-12. Lebih lanjut ia menambahkan
bahwa biaro-biaro di Padanglawas dibangun pada abad ke-11-14 Masehi (Suleiman
1985: 25). Pendapatnya ini didasarkan atas pembacaan dari tulisan-tulisan
singkat yang ditemukan di situs tersebut (Harahap, 2011:5).
Seorang peneliti
Belanda bernama Krom menulis tentang Padanglawas pada tahun 1923. Dia
menyebutkan bahwa peninggalan-peninggalan di Padanglawas disebut "on
Javaansch" yang berarti "gaya seni pahat bangunan-bangunan di
Padanglawas tidak mirip dengan gaya seni pada bangunan-bangunan di
Jawa". Dalam telaahnya ia melihat banyak persamaan dengan
pahatan di India Selatan atau Asia Tenggara daratan dan Krom menghubungkan
peninggalan di Padanglawas dengan Śrīwijaya. Sedang pada tahun 1930, Bosch
mengajukan suatu teori bahwa masyarakat pendukung biaro di Padanglawas
adalah pemeluk agama Buddha aliran Wajrayāna. Anggapannya ini didasarkan pada
indikator artefak yang ditemukannya berupa arca dan relief yang
menggambarkan wajah-wajah yang menyeramkan dan prasasti singkat
yang bertuliskan mantra-mantra aliran Tantris (Utomo, 2006:7).
Candi-candi di
desa Bahal, yaitu Candi Bahal I, Candi Bahal II dan Candi Bahal III, adalah
tiga di antara 26 reruntuhan candi yang tersebar di atas tanah seluas 1.500 km2
di kawasan Padang Lawas. Ada dugaan bahwa Candi Bahal ini tidak dibangun umat
Buddha, karena tiada situs patung Buddha ditemukan di sana. Satu-satunya
ornamen yang tertinggal sebagai simbol pemujaan adalah patung singa dan
pahatan-pahatan aneh di dinding candi. Dari temuan sejumlah artefak, analisa
konstruksi bangunan beserta materialnya yang dominan bata merah dengan ukuran
beragam, batuan tuff (batuan sungai) untuk arca dan batuan kapur, memunculkan
dugaan kuat bahwa candi ini berkaitan dengan agama Buddha beraliran Wajrayana
(Khairulid, 2007:3).
Adapun nama-nama Candi di kawasan
Padang Lawas ini (Nasution, 2012:2), antara lain yaitu:
1. Candi Bahal I
2. Candi Bahal II
3. Candi Bahal III
4. Candi Sitopayan
5. Candi Bara
6. Candi Pulo
7. Candi Sipamutung
8. Candi Tandihat I
9. Candi Tandihat II
10. Candi Sisangkilon
11. Candi Manggis
Di desa Bahal,
terdapat tiga situs candi yang saat ini sudah dipugar. Selanjutnya ketiga candi
itu diberi nama candi Bahal 1, Bahal 2, dan Bahal 3. Tempat-tempat ibadah
tersebut berdiri di tepian sungai Batang Pane. Dari berbagai teori yang
berkembang, kemungkinan sungai Batang Pane pernah menjadi lalu lintas
perdagangan. Candi Bahal I merupakan candi terbesar yang telah dipugar
dan diberi kawat berduri pemagar komplek candi seluas 2.744 meter persegi.
Dengan begitu, Bahal I merupakan candi terluas yang telah selesai dipugar
bersama empat perwara-nya, yakni candi kecil di samping kiri dan depannya
berbentuk bujur sangkar, menyerupai altar. Candi Bahal II dipugar pada tahun
1995 dan Candi Bahal III dipugar pada tahun 1996. Beberapa
kilometer dari Candi Bahal terdapat kompleks Candi Pulo atau Barumun dan juga
Candi Bara serta Candi Sitopayan.
Candi
Sipamutung berada di Desa Siparau, Kecamatan Barumun Tengah. Lokasi candi ini
berjarak sekitar 40 km dari ibukota Kabupaten Padanglawas, Sibuhuan. Komplek
candi berjarak 250 meter dari pinggir aliran Sungai Barumun. Candi ini terdiri dari sebuah biaro
induk dan 6 Candi perwara yang saat ini sudah dipugar. Di
daerah Joreng Belangah terdapat dua situs yakni candi Tandihat-I dan
Tandihat-II. Di Desa Sangkilon, Kecamatan Barumun terdapat candi yang dikenal
sebagai Biaro Si Sangkilon. Jarak lokasi dengan ibukota kabupaten (Sibuhuan)
sekitar 9 km. Runtuhan biaro Si Sangkilon berupa beberapa gundukan tanah yang
terletak di tengah areal persawahan. Sekitar 20-30 meter menuju arah utara
terbentang Sungai Sangkilon (anak Sungai Barumun di daerah hulu).
Di kompleks percandian
Padang Lawas ditemukan juga beberapa prasasti dengan berbagai jenis, sehingga
bukan hanya di Jawa ditemukan prasasti. Prasasti-prasasti tersebut memiliki
berbagai variasi mulai dari prasasti berbahan batu, emas, beraksara palawa
maupun beraksara pasca-palawa dan apabila dilihat dari isinya terdapat berbagai
hal yang berbeda dalam interpretasinya. Prasasti yang ditemukan di kompleks
percandian Padang Lawas di antaranya: Prasasti Aek Sangkilon, Prasasti Tandihat
1, Prasasti Tandihat 2, Prasasti Batu Gana 1, Prasasti Batu Gana 2, Prasasti
Sitopayan 1, Prasasti Sitopayan 2, Prasasti Lobu Dolok 1, Prasasti Lobu Dolok
2, Prasasti Lobu Dolok 3, Prasasti Raja Soritaon, Prasasti Candi manggis,
Prasasti Gunung Tua, dll. Prasasti-prasasti ini disimpan di Museum Nasinal
Jakarta maupun Museum Negeri Sumatera Utara.
http://sopopanisioan.blogspot.com
Selain candi dan prasasti, ditemukan
juga bendungan kuno raksasa yang terdapat di desa Aloban (rura Sitobu).
Bendungan ini berukuran panjang hempangan sekitar 150 meter dan ada juga
bendungan ukuran sedang di Sihaborgoan. Kedua bendungan tersebut tidak lagi
diketahui oleh masyarakat sejarahnya, karena diperkirakan seumur dengan
candi-candi tersebut. Diduga bendungan yang dibangun masyarakat tambang Batak
tersebut dihancurkan oleh Rajendra Cola saat akan menjajah wilayah tersebut.
Perusakan tersebut ditujukan untuk memonopoli sistem pertambangan (Marbun,
2006:2).
Namun sangat disayangkan bahwa
kebesaran peninggalan sejarah yang masih dapat terlihat sampai sekarang semakin
hari semakin mengalami kerusakan baik oleh alam dan juga dirusak para pencari
harta karun. Banyak bekas peninggalan purbakala tersebut hanya menjadi
puing-puing berserakan yang terabaikan dan terlupakan (Berbagai sumber). ***
Telah dimuat di:
Harian BATAK POS
Edisi Sabtu, 16 Februari 2013
http://sopopanisioan.blogspot.com
Harian BATAK POS
Edisi Sabtu, 16 Februari 2013
http://sopopanisioan.blogspot.com
No comments:
Post a Comment