MENELUSURI KEBESARAN KERAJAAN HARU
Oleh; Edward Simanungkalit
Sebuah kerajaan yang pernah bangkit
menjadi kerajaan besar, tetapi terlupakan di dalam sejarah Indonesia adalah
Kerajaan Haru/Aru, yang berpusat di Sumatera Utara.
Sementara berbagai sumber
tulisan dari Eropa, Cina, Aceh, Melayu, dan lainnya menyebutkan tentang
keberadaan kerajaan ini.
1. Masa Kerajaan Haru
Berdiri
Kerajaan Haru muncul dalam kronik Cina pada
masa Dinasti Yuan,
yang menyebutkan Kubilai Khan menuntut tunduknya Haru kepada Cina pada tahun 1282, yang ditanggapi
dengan pengiriman upeti dari Haru pada tahun 1295 (Wikipedia). Kerajaan Haru telah eksis pada abad
ke-13, sebagaimana beberapa utusannya telah sampai ke Tiongkok, yaitu pertama
di tahun 1282 dan 1290 pada zaman pemerintahan Kubilai Khan (T.L. Sinar, 1976
dan McKinnon dalam Kompas, 24 April 2008).
http://sopopanisioan.blogspot.com
Kerajaan Haru merupakan sebuah kerajaan
yang disebutkan di dalam kitab Negara Kertagama dan Pararaton (1336). Dalam pupuh ke-13 bait ke-1
dari Negara Kertagama (1365) diuraikan bahwa Haru berada di bawah kekuasaan Majapahit. Munculnya
utusan-utusan dari Kerajaan Haru di istana Kaisar Cina dan kunjungan Laksamana
Cheng Ho sebagaimana ditulis oleh Ma Huan di dalam laporannya pada tahun 1416 dan 1436 membuktikan
keberadaan kerajaan Haru. Pada abad ke-15, Sejarah Dinasti Ming menyebutkan bahwa "Su-lu-tang Husin",
penguasa Haru, mengirimkan upeti kepada Cina tahun 1411. Sumber dari Eropah seperti Tome Pires (1512-1515), Mendez Pinto (1539) dan Duarte Borbosa (1513-1515) ada juga melaporkan kerajaan Haru ini. Masih ada lagi sumber dari Aceh dan
Melayu tentang Haru.
Dalam laporan Tome Pires, yaitu Suma
Oriental, disebutkan bahwa kerajaan Haru merupakan kerajaan yang kuat, Penguasa
Terbesar di Sumatera, yang memiliki wilayah kekuasaan luas dan memiliki
pelabuhan yang ramai dikunjungi kapal-kapal asing. Tomé Pires juga
mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut kerajaan Haru yang mampu
melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui Selat Melaka pada
masa itu. Dalam Sulalatus Salatin, Haru disebut sebagai kerajaan yang setara
kebesarannya dengan Malaka dan Pasai (Wikipedia).
Gambaran daerah kekuasaan Kerajaan Haru
ini ditemukan juga dalam: Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu,
pada pertengahan abad ke-13 (Sinar, 2006:12). Sebagaimana dijelaskan dalam Sejarah
Melayu bab ke-13 bahwa Kerajaan Haru telah menjadi kerajaan besar setaraf
dengan Malaka dan Pasai pada abad ke-15. Pada periode tersebut, Haru
menjadi
kerajaan besar di Sumatera dan memiliki kekuatan yang dapat menguasai lalu
lintas perdagangan di Selat Malaka sebelum kedatangan Portugis. Oleh karena
itu, dalam Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang dijelaskan bahwa Haru
sempat berkali-kali menduduki Pasai dan menyerang Malaka (Azhari, 2010:2).
http://sopopanisioan.blogspot.com
Pada abad ke-16
Haru merupakan salah satu kekuatan penting di Selat Malaka, selain Pasai. Setelah
menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugal dengan bantuan Haru menyerbu Pasai pada tahun
1526. Catatan
Portugis menyebutkan dua
serangan Aceh pada tahun 1539 dan 1564 sempat mengalahkan Haru, tetapi kemudian
Aceh dapat dikalahkan dengan bantuan Johor seperti
dicatat dalam Hikayat Aceh dan sumber-sumber Eropa.
Kemerdekaan Haru baru berakhir pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Dalam surat Iskandar Muda kepada Best (1613) dikatakan, bahwa Raja Haru telah
ditangkap. Haru kemudian mendapatkan kemerdekaannya dari Aceh pada tahun
1669 dengan nama Kesultanan
Deli. Hingga terjadi sebuah pertentangan dalam pergantian kekuasaan menyebabkan
pecahnya Deli dan dibentuklah Kesultanan Serdang pada tahun 1723 (Wikipedia).
2. Kerajaan
Haru Setelah Runtuh
Kerajaan Haru berpusat di kota Rentang
sebelumnya, tapi dengan
adanya serangan Aceh kemudian pusat kerajaan berpindah ke Deli Tua yang
memiliki benteng pertahanan. Perihal benteng ini dapat diperoleh dari catatan P.J. Vet dalam bukunya “Het Lanschap Deli op Sumatra” (1866-1867) maupun laporan
John Anderson pada
tahun 1823 bahwa di Deli Tua terdapat benteng tua berbatu yang tingginya mencapai
30 kaki dan sesuai untuk pertahanan. Benteng Putri Hijau ini terdapat di Namu Rambe dan berdasarkan
survei yang dilakukan John Miksic (1979) luasnya adalah 150x60 m2 atau 360 Ha. Letaknya persis diantarai dua lembah yang di sebelah
baratnya mengalir Lau Patani/Sungai Deli.
Mendez Pinto (1539) menceritakan tentang ibukota Haru
serta kubu, benteng, sebuah meriam besar dan istana di dalam benteng. Kemudian
hari ditemukan sebuah meriam bertulisan Arab dengan bunyi: ’Sanat… alamat Balun
Haru’ yang ditemukan oleh kontrolir Cats de Raet pada tahun 1868 di Deli Tua
(Lukman Sinar, 1991). Di tengah meriam tersebut terdapat tulisan buatan
Portugis. Hal ini senada dengan laporan Pinto bahwa Haru memiliki sebuah meriam
yang besar. Meriam inilah kemudian disebut dalam kisah Putri Hijau ditembakkan
secara terus-menerus hingga terbagi dua.
Setelah diserang oleh Aceh di masa Sultan Alauddin Riayat Syah Al
Kahar (1537-1571)
pada 1564, maka
tidak lagi ada berita tentang Haru. Serangan Aceh kedua ini adalah serangan terhebat hingga
kerajaan Haru
hancur dan hanya menyisakan benteng hingga kini. Hal ini senada dengan pendapat Mohammad Said (1980) bahwa peperangan yang terjadi pada masa Sultan Iskandar Muda (1612-1619)
tidaklah sehebat peperangan pada masa Sultan Al-Kahar (Damanik, 2008:1-5).
http://sopopanisioan.blogspot.com
Selanjutnya
Haru
dikuasai Aceh yang dipimpin oleh panglima Gocah Pahlawan sebagai wali
negeri Aceh di Haru, yakni kesultanan Deli. Panglima Gocah Pahlawan (asal India) dari
Kerajaan Aceh kemudian menjadi Sultan Kerajaan Deli pertama yang berkuasa pada
1632-1653. Sementara itu, walaupun mengalami
serangan hebat, menurut
Zainal Arifin dalam buku “Subuh Kelabu di Bukit Kubu” (2002),
diterbitkan oleh
Dewan Kesenian Langkat, petinggi Haru itu tidak turut tewas. Ia melarikan diri ke
Kota Rentang - Hamparan Perak, Deli Serdang dan mendirikan kerajaan baru
dengan rajanya bernama Dewa Syahdan (1500-1580). Kerajaan inilah kemudian
melahirkan Kerajaan Langkat dan keturunan terakhir dari Kerajaan
Langkat ini adalah Tengku Amir Hamzah, seorang penyair besar yang
tewas dalam revolusi berdarah pada tahun 1946 (www.lenteratimur.com).
Sebagai
catatan akhir, bahwa belum ada mufakat
mengenai siapa Kerajaan Haru itu. Masyarakat Karo, misalnya, menyebutkan bahwa
Karo berasal dari kata
“Haru”. Karena itu, masyarakat Haru merupakan masyarakat Karo yang didirikan oleh klan
Kembaren. Dalam “Pustaka Kembaren” (1927), marga Kembaren disebut berasal dari
Pagaruyung di Tanah Minangkabau. Akan tetapi, ada indikasi bahwa penduduk asli Haru
berasal dari suku Karo, seperti nama-nama pembesar Haru dalam Sulalatus Salatin
yang mengandung nama dan marga Karo. Haru memakai adat Melayu, dan pembesarnya ada
menggunakan
gelar-gelar Melayu seperti "Raja Pahlawan" dan "Sri
Indera". Namun adopsi terhadap adat Melayu ini mungkin tidak sepenuhnya,
dan unsur-unsur adat Batak-Karo masih ada (wikipedia).
Berkaitan dengan penguasa Haru, tidak dapat dipisahkan dengan peran
lembaga Raja Berempat, yang menurut Peret (2010) telah ada sebelum pengaruh Aceh.
Raja Urung di pesisir ini meliputi Urung Sunggal. Urung XII Kuta, Urung
Sukapiring dan Urung Senembah, yang masing-masing berkaitan dengan Raja Urung
di dataran tinggi (Karo), yakni Urung Telu Kuru (merga Karo-Karo), Urung XII Kuta (merga
Karo-Karo), Urung Sukapiring (merga Karo-Karo) dan Urung VII Kuta (merga
Barus). Dalam kesempatan berikut, Raja Berempat ini berperan dalam penentuan
calon pengganti Sultan di Deli/Serdang, dengan menempakan Datuk Sunggal sebagai
Ulun Janji (wikipedia).
Dalam “Sejarah Melayu” karya Tun Sri Lanang (1612) disebutkan
bahwa pada periode 1477-1488 Kerajaan Haru dipimpin oleh Maharaja Diraja, putra
Sultan Sujak “… yang turun daripada Batu Hilir di kota Hulu, Batu Hulu di kota
Hilir”. T. Luckman Sinar (2007) menjelaskan bahwa Batu Hilir maksudnya adalah
Batak Hilir dan Batu Hulu adalah Batak Hulu. Menurut beliau, ada kesalahan tulis antara wau pada
akhir “batu” dengan kaf, sehingga yang tepat adalah “… yang turun daripada
Batak Hilir di kota Hulu, Batak Hulu di kota Hilir”. Dari nama-nama pembesar Haru yang
disebut dalam “Sejarah Melayu”, seperti Serbayaman Raja Purba, Raja Kembat, merupakan nama yang mirip
nama-nama Karo. Di Deli Hulu ada daerah bernama Urung Serbayaman, merupakan nama salah satu
Raja Urung Melayu di Deli yang berasal dari Karo (wartapedia).
Sementara Dr. Ichwan Azhari (2010:1), sejarawan Unimed, mengatakan: “Haru
merupakan kerajaan Melayu yang besar yang pernah menguasai dan mengontrol jalur
perdagangan internasional di Selat Malaka.” Nah, masih diperlukan penelitian yang lebih
jauh dan mendalam untuk dapat mencapai sebuah kesepakatan tentang hal ini. ***
Telah dimuat di:
Harian BATAK POS
Edisi Sabtu, 02 Pebruari 2013
http://sopopanisioan.blogspot.com
http://sopopanisioan.blogspot.com
No comments:
Post a Comment