SEJARAH BARUS
Palembang disebut-sebut
sebagai kota tertua di Indonesia yang didirikan pada
tanggal 17 Juni 683 M. Padahal, ada kota lain yang jauh lebih
tua dan kota itu justru berada di Sumatera Utara, yaitu Barus. Barus sangat
mungkin merupakan kota tertua di Indonesia mengingat Barus sudah disebut-sebut namanya sejak awal Masehi
oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China,
dan sebagainya. Claudius Ptolomeus, di dalam bukunya “Geographia”, telah membuat
peta Barousai (Barus) pada abad kedua. Ptolomeus, adalah Gubernur Kerajaan
Yunani di Alexandria, menyebutkan bahwa Barus berada di pesisir barat (Sumatera
Utara) yang merupakan sebuah bandar niaga penghasil kapur barus. Kapur barus
yang diolah dari kayu kamfer ini, menurut Marco Polo, memiliki kwalitas terbaik
di dunia. Kemenyan banyak juga diperdagangkan di Barus yang dihasilkan dari
pedalaman negeri Batak.
Adapun nama, ‘Barousai’,
tercatat dalam sejarah Dinasti Liang, raja-raja China Selatan yang memerintah
pada abad ke-6, dan sejak saat itu Barus dikenal hingga sekarang dan sering
dihubungkan dengan Kamper (Kapur Barus). Tentang nama Kamper, catatan tertulis
tertua diketahui dari dokumen ‘Surat-surat Lama’ yang
ditemukan di Dunhuang (Cina) yang ditulis oleh pedagang Sogdian pada abad ke-4.
Sementara di Eropa, catatan pertama mengenai Kamper diperoleh dari catatan
seorang dokter Yunani Actius Amida (502-578 M)(Hidayatullah, 2012:1).
Orang-orang Kristen telah
masuk di Barus pada tahun 645 M dan
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia pun juga mempercayai hal ini (Sijabat,
2007:34-35). Barus, yang dikenal juga dengan sebutan Fansur ini, dicatat oleh
seorang penulis Kristen Nestorian bernama Shaik Abu Saleh al Armini dalam
satu dokumen penting dalam bahasa Arab yang ditulis dalam abad XII dan
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 1895. Di dalam dokumen
ini dicatat bahwa telah ada orang Kristen sejak abad ke-7 di Fansur, Barus. Sementara itu,
penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah
terdapat Gereja Katolik “Bunda Perawan Maria” di Barus
(Kompas, 01/04-2005).
Pedagang Arab memasuki Barus
sekitar 627-643 M dan menyebarkan agama Islam di sana. Ada juga utusan
Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail, akan ke Samudera Pasai dan
singgah di Barus, sekitar tahun 634 M. Sejak itu, tercatat bangsa Arab-Islam
mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan
Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam
bukunya “Silsilatus Tawarikh.” (Wanti, 2007). Berdasakan buku
Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal
masuknya agama Islam sekitar abad 7 M.
Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar
tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera,
yaitu Barus. Termuan G.R. Tibbets ini diperkuat HAMKA yang menyebutkan
bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M
telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam
di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan
tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama
Islam di tanah air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini
kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di
Princetown University di Amerika (Ridyasmara, 2006).
Sebuah Tim Arkeolog yang
berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Prancis yang bekerjasama
dengan peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) melakukan
penelitian di Lobu Tua, Barus, menemukan bahwa Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi etnis pada sekitar
abad 9-12 M. Dahulu kala sudah ada bermukim di Barus dari berbagai
suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau,
Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut menemukan banyak benda
berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan
dahulu kala kehidupan di Barus sangatlah makmur (Kompas, 01/04-2005).
Prasasti yang ditemukan di
Lobu Tua, Barus dibuat tahun 1088 dalam bahasa Tamil. Prasasti itu menyebutkan
bahwa paling sedikit semenjak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus
sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung
dalam sebuah perusahaan, terkenal dengan nama ”kelompok 500″ yang tidak
asing lagi bagi orang-orang India waktu itu.
Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan
perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang
tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Mereka inilah
yang membeli beberapa hasil dari rakyat terutama kapur barus
untuk diekspor ke luar negeri (Kompas, 01/04-2005).
*****
Sehubungan
dengan sejarah Barus tadi, maka kawasan Barus juga dikuasai oleh Raja-raja dari
dua dinasti, yaitu Barus Hulu dan Barus Hilir. Barus Hulu adalah Dinasti Pardosi yang berasal dari Toba,
sedang Barus Hilir adalah Dinasti
Hatorusan yang berasal dari Tarusan, Minangkabau, keturunan Raja
Pagarruyung, tetapi sejak awal di Barus memakai marga Pasaribu. Manuskrip naskah hulu yaitu Asal Keturunan Raja dalam Negeri Barus dari Dinasti Pardosi, dan
naskah hilir yaitu Sejarah Tuanku Batu Badan
dari Dinasti Hatorusan. Kedua naskah tersebut diteliti oleh Jane Drakard dan diterbitkan
dengan judul “Sejarah Raja-Raja Barus: Dua Naskah Dari Barus” (Drakard, 2003).
Dinasti Pardosi
berdasarkan naskah Asal Keturunan Raja dalam Negeri Barus dimulai dengan
kata-kata: “Bermula dihikayatkan suatu raja dalam negeri Toba sila-silahi
(Silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige), kampung Parsoluhan, suku Pohan .” Raja
Kesaktian itu memiliki anak, Alang Pardoksi (Pardosi), meninggalkan tanah Toba sebagai
berikut:
1. Raja Kesaktian (di Toba)
2. Alang Pardosi pindah ke Rambe dan mendirikan istana di Gotting, Tukka
3. Pucaro Duan Pardosi di Tukka
4. Guru Marsakot Pardosi di Lobu Tua
5. Raja Tutung Pardosi di Tukka, berselisih dengan Raja Rambe di Pakkat.
6. Tuan Namora Raja Pardosi
n Ada gap yang lama, beberapa raja difase ini tidak terdokumentasi
7. Raja Tua Pardosi
8. Raja Kadir Pardosi (Pertama masuk Islam)
9. Raja Mualif Pardosi
10. Sultan Marah Pangsu Pardosi (700-an Hijriyah)
11. Sultan Marah Sifat Pardosi
12. Tuanku Maharaja Bongsu Pardosi (1054 H)
13. Tuanku Raja Kecil Pardosi
14. Sultan Daeng Pardosi
15. Sultan Marah Tulang Pardosi
16. Sultan Munawar Syah Pardosi
17. Sultan Marah Pangkat Pardosi (1170 H)
18. Sultan Baginda Raja Adil Pardosi (1213 H)
19. Sultan Sailan Pardosi (1241 H )
20. Sultan Limba Tua Pardosi
21. Sultan Ma’in Intan Pardosi
22. Sultan Agama yang bernama Sultan Subum Pardosi
23. Sultan Marah Tulang yang bernama Sultan Nangu Pardosi (1270 H) (Marbun, 2005)
2. Alang Pardosi pindah ke Rambe dan mendirikan istana di Gotting, Tukka
3. Pucaro Duan Pardosi di Tukka
4. Guru Marsakot Pardosi di Lobu Tua
5. Raja Tutung Pardosi di Tukka, berselisih dengan Raja Rambe di Pakkat.
6. Tuan Namora Raja Pardosi
n Ada gap yang lama, beberapa raja difase ini tidak terdokumentasi
7. Raja Tua Pardosi
8. Raja Kadir Pardosi (Pertama masuk Islam)
9. Raja Mualif Pardosi
10. Sultan Marah Pangsu Pardosi (700-an Hijriyah)
11. Sultan Marah Sifat Pardosi
12. Tuanku Maharaja Bongsu Pardosi (1054 H)
13. Tuanku Raja Kecil Pardosi
14. Sultan Daeng Pardosi
15. Sultan Marah Tulang Pardosi
16. Sultan Munawar Syah Pardosi
17. Sultan Marah Pangkat Pardosi (1170 H)
18. Sultan Baginda Raja Adil Pardosi (1213 H)
19. Sultan Sailan Pardosi (1241 H )
20. Sultan Limba Tua Pardosi
21. Sultan Ma’in Intan Pardosi
22. Sultan Agama yang bernama Sultan Subum Pardosi
23. Sultan Marah Tulang yang bernama Sultan Nangu Pardosi (1270 H) (Marbun, 2005)
Dinasti Hatorusan
berdasarkan naskah Sejarah Tuanku Batu
Badan sebagai berikut:
1. Sultan Ibrahimsyah Pasaribu (gelar Raja Hatorusan). Wafat 1610 Masehi.
2. Sultan Yusuf Pasaribu
3. Sultan Adil Pasaribu
4. Tuanku Sultan Pasaribu
5. Sultan Raja Kecil Pasaribu
6. Sultan Emas Pasaribu
7. Sultan Kesyari Pasaribu
8. Sultan Main Alam Pasaribu
9. Sultan Perhimpunan Pasaribu
10. Sultan Marah Laut bin Sultan Main Alam Pasaribu pada tahun 1289 Rabiul Akhir atau tanggal 17 Juni 1872 M, menuliskan kembali Sejarah Tuanku Batu Badan dari sebuah naskah tua peninggalan leluhurnya yang hampir lapuk (Marbun, 2005).
1. Sultan Ibrahimsyah Pasaribu (gelar Raja Hatorusan). Wafat 1610 Masehi.
2. Sultan Yusuf Pasaribu
3. Sultan Adil Pasaribu
4. Tuanku Sultan Pasaribu
5. Sultan Raja Kecil Pasaribu
6. Sultan Emas Pasaribu
7. Sultan Kesyari Pasaribu
8. Sultan Main Alam Pasaribu
9. Sultan Perhimpunan Pasaribu
10. Sultan Marah Laut bin Sultan Main Alam Pasaribu pada tahun 1289 Rabiul Akhir atau tanggal 17 Juni 1872 M, menuliskan kembali Sejarah Tuanku Batu Badan dari sebuah naskah tua peninggalan leluhurnya yang hampir lapuk (Marbun, 2005).
Akhirnya, dapat dipastikan bahwa Barus adalah
kota tertua di Indonesia. Bahkan tidak mustahil bahwa Barus ini merupakan kota
prasejarah juga. Barus memiliki sejarahnya tersendiri meskipun sempat
ditinggalkan hingga menjadikan Barus menjadi kota tertutup. Kini Barus mulai
terbuka kembali. ***
Harian BATAK POS
Edisi Sabtu, 24 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment