Sunday, December 2, 2012

SEJARAH BARUS

SEJARAH  BARUS
Oleh: Edward Simanungkalit



Palembang disebut-sebut sebagai kota tertua di Indonesia yang didirikan pada tanggal 17 Juni 683 M. Padahal, ada kota lain yang jauh lebih tua dan kota itu justru berada di Sumatera Utara, yaitu Barus. Barus sangat mungkin merupakan kota tertua di Indonesia mengingat Barus  sudah disebut-sebut namanya sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya. Claudius Ptolomeus, di dalam bukunya “Geographia”, telah membuat peta Barousai (Barus) pada abad kedua. Ptolomeus, adalah Gubernur Kerajaan Yunani di Alexandria, menyebutkan bahwa Barus berada di pesisir barat (Sumatera Utara) yang merupakan sebuah bandar niaga penghasil kapur barus. Kapur barus yang diolah dari kayu kamfer ini, menurut Marco Polo, memiliki kwalitas terbaik di dunia. Kemenyan banyak juga diperdagangkan di Barus yang dihasilkan dari pedalaman negeri Batak.
Adapun nama, ‘Barousai’, tercatat dalam sejarah Dinasti Liang, raja-raja China Selatan yang memerintah pada abad ke-6, dan sejak saat itu Barus dikenal hingga sekarang dan sering dihubungkan dengan Kamper (Kapur Barus). Tentang nama Kamper, catatan tertulis tertua diketahui dari dokumen ‘Surat-surat Lama’ yang ditemukan di Dunhuang (Cina) yang ditulis oleh pedagang Sogdian pada abad ke-4. Sementara di Eropa, catatan pertama mengenai Kamper diperoleh dari catatan seorang dokter Yunani Actius Amida (502-578 M)(Hidayatullah, 2012:1).
Orang-orang Kristen telah masuk di  Barus pada tahun 645 M dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia pun juga mempercayai hal ini (Sijabat, 2007:34-35). Barus, yang dikenal juga dengan sebutan Fansur ini, dicatat oleh seorang penulis Kristen Nestorian bernama Shaik Abu Saleh al Armini dalam satu dokumen penting dalam bahasa Arab yang ditulis dalam abad XII dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 1895. Di dalam dokumen ini dicatat bahwa telah ada orang Kristen sejak abad ke-7 di Fansur, Barus. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Katolik “Bunda Perawan Maria” di Barus (Kompas, 01/04-2005).
Pedagang Arab memasuki Barus sekitar 627-643 M dan menyebarkan agama Islam di sana. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail, akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekitar tahun 634 M. Sejak itu, tercatat bangsa Arab-Islam mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya “Silsilatus Tawarikh.” (Wanti, 2007). Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam sekitar abad 7 M. 
Penulis di Makam Tuan Ambar (Barus, 19/03-2008)

Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera, yaitu Barus. Termuan G.R. Tibbets ini diperkuat HAMKA yang menyebutkan bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di tanah air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika (Ridyasmara, 2006). 
 
Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Prancis yang bekerjasama dengan peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) melakukan penelitian di Lobu Tua, Barus, menemukan bahwa Barus telah menjadi  sebuah perkampungan multi etnis pada sekitar abad 9-12 M. Dahulu kala sudah ada bermukim di Barus dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut menemukan banyak benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus sangatlah makmur (Kompas, 01/04-2005).
Prasasti yang ditemukan di Lobu Tua, Barus dibuat tahun 1088 dalam bahasa Tamil. Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit semenjak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung dalam sebuah perusahaan, terkenal dengan nama ”kelompok 500″ yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Mereka inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat terutama kapur barus untuk diekspor ke luar negeri (Kompas, 01/04-2005).
                                                                          *****
 
Sehubungan dengan sejarah Barus tadi, maka kawasan Barus juga dikuasai oleh Raja-raja dari dua dinasti, yaitu Barus Hulu dan Barus Hilir. Barus Hulu adalah Dinasti Pardosi yang berasal dari Toba, sedang Barus Hilir adalah Dinasti Hatorusan yang berasal dari Tarusan, Minangkabau, keturunan Raja Pagarruyung, tetapi sejak awal di Barus memakai marga Pasaribu. Manuskrip  naskah hulu yaitu Asal Keturunan Raja dalam Negeri Barus dari Dinasti Pardosi, dan naskah hilir yaitu Sejarah Tuanku Batu Badan dari Dinasti Hatorusan. Kedua naskah tersebut diteliti oleh Jane Drakard dan diterbitkan dengan judul “Sejarah Raja-Raja Barus: Dua Naskah Dari Barus” (Drakard, 2003).
Dinasti Pardosi berdasarkan naskah  Asal Keturunan Raja dalam Negeri Barus dimulai dengan kata-kata: “Bermula dihikayatkan suatu raja dalam negeri Toba sila-silahi (Silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige), kampung Parsoluhan, suku Pohan .” Raja Kesaktian itu memiliki anak, Alang Pardoksi (Pardosi), meninggalkan tanah Toba sebagai berikut:
1. Raja Kesaktian (di Toba)
2. Alang Pardosi pindah ke Rambe dan mendirikan istana di Gotting, Tukka
3. Pucaro Duan Pardosi di Tukka
4. Guru Marsakot Pardosi di Lobu Tua
5. Raja Tutung Pardosi di Tukka, berselisih dengan Raja Rambe di Pakkat.
6. Tuan Namora Raja Pardosi
n Ada gap yang lama, beberapa raja difase ini tidak terdokumentasi
7. Raja Tua Pardosi
8. Raja Kadir Pardosi (Pertama masuk Islam)
9. Raja Mualif Pardosi
10. Sultan Marah Pangsu Pardosi (700-an Hijriyah)
11. Sultan Marah Sifat Pardosi
12. Tuanku Maharaja Bongsu Pardosi (1054 H)
13. Tuanku Raja Kecil Pardosi
14. Sultan Daeng Pardosi
15. Sultan Marah Tulang Pardosi
16. Sultan Munawar Syah Pardosi
17. Sultan Marah Pangkat Pardosi (1170 H)
18. Sultan Baginda Raja Adil Pardosi (1213 H)
19. Sultan Sailan Pardosi (1241 H )
20. Sultan Limba Tua Pardosi
21. Sultan Ma’in Intan Pardosi
22. Sultan Agama yang bernama Sultan Subum Pardosi
23. Sultan Marah Tulang yang bernama Sultan Nangu Pardosi (1270 H) (Marbun, 2005)
Dinasti Hatorusan berdasarkan naskah Sejarah Tuanku Batu Badan sebagai berikut:
1. Sultan Ibrahimsyah Pasaribu (gelar Raja Hatorusan). Wafat 1610 Masehi.
2. Sultan Yusuf Pasaribu
3. Sultan Adil Pasaribu
4. Tuanku Sultan Pasaribu
5. Sultan Raja Kecil Pasaribu
6. Sultan Emas Pasaribu
7. Sultan Kesyari Pasaribu
8. Sultan Main Alam Pasaribu
9. Sultan Perhimpunan Pasaribu
10. Sultan Marah Laut bin Sultan Main Alam Pasaribu pada tahun 1289 Rabiul Akhir atau tanggal 17 Juni 1872 M, menuliskan kembali Sejarah Tuanku Batu Badan dari sebuah naskah tua peninggalan leluhurnya yang hampir lapuk (Marbun, 2005).
Akhirnya, dapat dipastikan bahwa Barus adalah kota tertua di Indonesia. Bahkan tidak mustahil bahwa Barus ini merupakan kota prasejarah juga. Barus memiliki sejarahnya tersendiri meskipun sempat ditinggalkan hingga menjadikan Barus menjadi kota tertutup. Kini Barus mulai terbuka kembali. ***

Telah dimuat di:
Harian BATAK POS
Edisi Sabtu, 24 Oktober 2012


No comments:

Post a Comment