MEMASUKI NEGERI BATAK DARI PANTAI TIMUR
Oleh: Edward Simanungkalit
William Marsden
pada tahun 1772 dan Sir Thomas Stamford Raffles pada tahun 1820 telah memasuki Negeri Batak dari pantai Barat,
tetapi John Anderson memasuki Negeri Batak dari pantai Timur. John Anderson diutus oleh W. E. Philip, Gubernur Jenderal Inggris,
yang berkedudukan di Pulau Penang dalam rangka misi politik-ekonomi. Dia
diberangkatkan dari Pulau Penang beserta 62 orang pendamping seperti dokter,
juru bahasa, pengawal pribadi, tentara, juru tulis, mualim kapal, juru masak,
perlengkapan dan peralatan seperti obat-obatan, makanan, peluru dan senjata.
Perjalanan ini berlangsung selama enam bulan, 1 Januari – Juli 1823, dan
cacatan harian perjalanannya diterbitkan dengan judul : Mission To The East Coast of Sumatra (1826).
Misi yang dipimpin John Anderson ini tiba di Belawan pada 7 Januari 1923.
Batta (Batak) menurut John
Anderson
John Anderson
merupakan orang pertama yang tidak hanya menggunakan nama umum “Batta”, tetapi
juga menyebut nama-nama sub-etnik seperti: Mandiling, Tubba, Kataran, Pappak,
Karau-Karau, Kapak, Semilongan. Meskipun “Batta” itu sendiri sudah ada disebut
oleh musafir asing lain sebelumnya, tapi belum menyebut sub-etniknya.
Anderson tiba di Ujong Gorab yang terletak
tidak jauh dari Kota Jawa (18/1). Di dekat kota ini ditemukan sedikit perkebunan
lada. Di sana terdapat sebuah sungai kecil menuju Kota Bangun yang berdampingan
dengan kebun kelapa. Di daerah ini, sejumlah besar orang Battas (Batak),
menjadi pekerja sultan seperti menjadi laskar. Dua dari orang Battas yang didatangi
Anderson, berasal dari Tongking (Tongging, pen.).
Selanjutnya, Anderson mengunjungi Soonghal
(Sunggal, pen.) dan bertemu dengan 3 pedagang Battas yang datang dari Langkat
(23/1). Mereka adalah orang Karau-karau (Karo, pen.) yang mengenakan baju
berwarna biru dan menenteng produk pantai yang disebut dengan ‘Murch’ dan
‘Chelopan’. Anderson menginap di sebuah rumah adat
milik Sibayak Perbesi yang punya kebun
lada di Sunggal, tapi gagal bertemu dengan Sibayak Perbesi sehubungan berhalangan.
Dari Soonghal, Anderson menuju Pangalan
Bulu dengan melewati Kallambir (Klambir) dan Dangla yang terletak di sekitar
sungai Kullumpang (Klumpang) tempat Sri Sultan Ahmet. Orang Battas di
Kullumpang adalah orang Karau-karau. Di dekat Soonghal terdapat sebuah kampung bernama Tanjong Mangosta (Tanjung Gusta, pen.)
dipimpin oleh Datu Tubba. Dia mengunjungi pulau kecil bernama Pulau Pantei di
mana terdapat lembu jantan, kerbau dan kuda (25/1). Selanjutnya Anderson menuju dataran tinggi melalui Gunung
Sebaya (Sibayak) di mana Raja Sebaya Lingga berkuasa. Raja tersebut memiliki 15
istri.
Pada waktu kembali ke Kullumbang, Anderson bertemu
dengan Sultan Ahmed dan bersama-sama mengunjungi adiknya yaitu Rajah Wan
Chindra Desi. Mereka melanjutkan perjalanan hingga Sirdang (Serdang) bersama
dengan 26 orang pedampingnya (28/1). Kemudian
kembali ke Kallambir menuju kampung besar yang dipimpin oleh Tuanku Seman dan
di sana Anderson menjumpai lumayan banyak orang Battas suku Kataran (Hataran =
Timur) (30/1). Di sana ada orang Melayu yang datang dari Singkel di pantai Barat
membawa emas, benjamin, champor dan pulang dengan pakaian hasil barter. Pada
kesempatan itu juga, Anderson bertemu dengan sultan yang sedang bersama
beberapa pemimpin seperti Raja Dolo(k), raja dari Batta Kataran (Hataran = Timur),
Orang Kaya Lelu, Rajah Tanjoong Merawa, Tuan Selambian dan Ulubanlang Rajah
Seantar.
Selanjutnya, Anderson tiba di Batto Barra
(Batubara). Suku Melayu tidak ada dilihatnya di daerah itu. Di sana ia menunggu
Sri Maharaja Lela, cucu dari Rajah Bindahara. Sri Maharaja telah tinggal lama
di daerah Batta dan menikah dengan salah satu putri Rajah Seantar (Raja Siantar,
pen.) yang merupakan adik dari Rajah Tanah Jawa.
Di
Kampong Balai, penduduknya terdiri dari orang Melayu, hamba orang Batak, dan
beberapa orang CIna yang kelihatan sakit dan sengsara, yang penghasilannya
hanya menjual madat dan penjudi (26/2). Seorang anak Batak dibawa ke depan
Anderson dan gadis kecil ini berasal dari pedalaman Pane. Anderson juga melihat
ada orang yang dirantai, seorang hamba orang Toba yang sudah di-Islamkan.
Beberapa tahun yang lalu, ia melarikan diri dan dapat ditangkap kembali. Ia
dirantai sampai ia bisa dijual nanti seharga $ 15. Sewaktu panen, hasil padi
mereka dijual ke perahu-perahu dari Batubara atau tempat lain yang datang. Lada
diekspor 1 koyan setahun dengan mutu yang baik (28/2-1823).
Orang Battas di Assahan
memiliki kepercayaan terhadap tiga tuhan, satu di atas, satu di udara dan satu
di bawah. Mereka percaya bahwa setelah mereka mati, mereka akan datang kembali
seperti hantu. Di Sirantau, Anderson disuguhi tarian Battas dan seorang Pardembanan
menari dengan penuh semangat. Seorang gadis Batak dan Bilah juga menari. Di mana-mana
orang suka musik (1/3). Sirantau adalah kampung yang besar di kiri dan kanan
sungai Asahan. Di pinggir sungai penuh dengan tanaman padi, tembakau, tebu,
sirih, dan lain-lain, enau, kelapa, pohon buah-buahan (2/3-1823).
Mereka
berlayar lagi ke hulu di mana terlihat tanahnya sangat baik untuk tanaman lada.
Sorenya mereka melewati sebuah Kampong Batak kecil yang dinamakan Durian,
karena banyak durian di situ dan akhirnya sampai di kampong Pasir Putih (3/3). Di
sana banyak kuda kecil yang cantik, lembu, kerbau, kambing dan ternak lainnya,
dan di antara pohon-pohon besar ada sekawanan gajah. Anderson membeli dari Raja
Batak, pedang yang sangat elok buatan sendiri disebut Kalapan, gagangnya
terbuat dari gading gajah. Di kampong Sejurai, mereka mendarat dan disambut penduduk dengan hangat di rumahnya.
Para wanita bertenun kain di sana. Orang Batak sangat takut pada Orang Melayu
di seberang sungai, karena selalu merampas anak-anak mereka dan menjualnya
sebagai hamba (4/3-1823).
Mereka
melewati pondok-pondok orang Batak di atas bukit dan berpapasan dengan beberapa
perahu penuh dengan garam. Penduduk dalam perahu itu membawa serta anak-isterinya.
Mereka sampai di sebuah kampung kecil Bandar Pasir Mandogei yang merupakan
kumpulan berbagai pondok kumuh. Raja Bunto Panai, menyambut mereka dengan
upacara. Ia berusia setengah abad, berkulit cerah, dan penghisap candu yang
kuat. Di perbukitan belakang tempat itu banyak sekali benteng orang Batak di bawah
perintah Raja Bunto Panai. Di sekitar Pasir Mandogei ada 50 kampung dari benteng orang Batak, yang
berpenduduk 300-1000 orang. Empat jam dari situ ada kampung Munto Meragi.
Pinang Meratus, Sendi, Kasingino, Katuburka, Padang Nangali, Sungai Pulia, kesemuanya
dilewati (5/3-1823).
Pagi hari banyak
orang Tubba Battas (Batak Toba) turun sampai ke pinggir sungai. Orang Tubba
datang dari danau yang besar. Jualan mereka terdiri dari kain yang dibuat
sendiri, gagang pedang dan di tempat mereka harga 100 gantang padi $.1 : garam
3-4 gantang per dollar. Warna kulit mereka agak kehitaman seperti orang Burma. Anderson
memberikan hadiah cermin beberapa buah
dan mereka sangat gembira melihat muka mereka sendiri (6/3-1823).
Keesokan harinya, Anderson melihat sejumlah
besar pedagang Tubba (Toba, pen.) turun dari gunung dari kampung Janji Maria
(di Padang Lawas, pen.) datang menukar babi, padi dan lain-lain dengan beberapa
buah barang-barang kecil buatan Inggris (7/3). Setelah itu Anderson kembali ke
hilir di Tanjung Balai (8/3). Keesokan harinya Anderson meninggalkan Tanjung
Balai untuk naik ke kapalnya dan kemudian berlayar menuju Siak (9/3-1823).
Baik William Marsden maupun Sir Thomas
Stamford Raffles menyebutnya Batta. Demikian juga John Anderson menyebutnya
Batta. Batta merupakan lafal mereka yang berasal dari kata Batak. Namun, John
Anderson lebih maju dan merupakan orang pertama menyebut keberadaan sub-etnik
daripada Batak itu. Akhirnya dirangkum, bahwa Batak itu adalah: Pakpak,
Simalungun, Toba, Angkola, Karo dan Mandailing (dari berbagai sumber). ***
Telah dimuat di:
Harian BATAK POS
Edisi Sabtu, 10 November 2012
No comments:
Post a Comment