MENGGAPAI DANAU DI NEGERI BATAK
Oleh: Edward Simanungkalit
Herman
Neubronner van der Tuuk (1824-1894) menginjakkan kakinya di tepi Danau Toba pada
tahun 1850-an. Utusan Dutch Bible Society ini memang
sampai di Bangkara dan bertemu dengan Raja Singamangaraja XI serta diijinkan menginap
beberapa hari di sana. Inilah orang Eropa yang disebut-sebut sebagian pihak
sebagai orang pertama yang menginjakkan kakinya di tepi Danau Toba. Akan
tetapi, ada data lain yang terlewatkan dalam kaitannya dengan jantung Negeri Batak yang belum sempat dijelajahi
William Marsden itu sebelumnya.
Raffles
ke Sumatera
Pada abad ke-18 Inggris mendirikan pos perdagangannya di sebuah pulau kecil bernama pulau Poncan Ketek yang berada di mulut teluk dekat Sibolga. Sebelumnya sudah ada pos Inggris di Bengkulu dengan Gubernurnya Sir Thomas Stamford Raffles. Teluk itu kemudian disebut Bay of Tappanuly, Teluk Tapanuli, oleh pihak Inggris. Dari tempat inilah sebelumnya William Marsden memasuki Negeri Batak pada tahun 1772. Kegiatan Inggris ini berlangsung hingga penandatanganan Traktat London pada tahun 1824 antara Inggris dengan Belanda di mana Inggris memperoleh Semenanjung Malaya dan Belanda memperoleh Sumatera dan Jawa.
1870: Prajurit perang dari Batak dengan tombak dan golok di depan bangunan kayu.
Juru foto: Kristen Feilberg (1839–1919).
Pada abad ke-18 Inggris mendirikan pos perdagangannya di sebuah pulau kecil bernama pulau Poncan Ketek yang berada di mulut teluk dekat Sibolga. Sebelumnya sudah ada pos Inggris di Bengkulu dengan Gubernurnya Sir Thomas Stamford Raffles. Teluk itu kemudian disebut Bay of Tappanuly, Teluk Tapanuli, oleh pihak Inggris. Dari tempat inilah sebelumnya William Marsden memasuki Negeri Batak pada tahun 1772. Kegiatan Inggris ini berlangsung hingga penandatanganan Traktat London pada tahun 1824 antara Inggris dengan Belanda di mana Inggris memperoleh Semenanjung Malaya dan Belanda memperoleh Sumatera dan Jawa.
1870: Prajurit perang dari Batak dengan tombak dan golok di depan bangunan kayu.
Juru foto: Kristen Feilberg (1839–1919).
Raffles lahir di Jamaica pada 6 Juli 1781.
Setelah berhenti sekolah, dia menjadi pegawai East India Company. Raffles
berada di East India (Hindia Timur) pada saat Napoleon Bonaparte berhasil
menguasai Eropa dataran. Lord Minto, yang waktu itu menjabat Gubernur Jenderal
East India di Calcutta, mempunyai pemikiran yang sama dengan Raffles. Adapun
pemikiran Raffles tersebut adalah tentang betapa pentingnya menguasai jalur
Selat Malaka untuk menjamin pasokan rempah-rempah ke Eropa. Untuk itu Lord
Minto menempatkan Raffles sebagai wakil pemerintah Inggris di Malaka. Raffles
berhasil mengikat perjanjian dengan Sultan Aceh agar Inggris dapat berdagang
dengan bebas di sana. Atas keberhasilan ini Raffles diangkat sebagai pembantu
gubernur di negara-negara Melayu yang diputuskan pada Oktober 1810 dan kemudian
Raffles menguasai pulau Jawa pada tahun 1811.
Pada masa itulah Raffles menemukan Candi
Borubudur. Dia juga membuat Istana Bogor dan Kebun Raya Bogor untuk tempat peristirahatan
isterinya, Olivia, yang sakit-sakitan walau kemudian isterinya meninggal dan dikubur
di istana Bogor tersebut. Kemudian mereka harus pindah ke Forth Malbrough,
Bengkulu setelah kekalahan Napoleon Bonaparte yang membuat Belanda menuntut
pengembalian pulau Jawa. Selama menunggu di kantor perwakilan Inggris di
Bengkulu ini, Raffles mengikat sejumlah tali persahabatan dengan raja-raja di
Aceh, Sumatera Selatan, Riau, dan Minangkabau. Dari sana dia juga berkunjung ke
pulau Poncan Ketek di mana John Prince berkedudukan sebagai residen Inggris. Di
sinilah Raffles mengajukan niatnya untuk memasuki pedalaman Negeri Batak.
Raffles
ke Negeri Batak
William Marsden yang menjelajahi Negeri Batak (Batta Country) pada
tahun 1772 sebagaimana diceritakannya di dalam bukunya The History of Sumatra telah menimbulkan minat di dalam diri Raffles untuk melihat orang-orang pedalaman
tersebut. Residen
John Prince bersedia menyediakan penunjuk jalan dan pembawa barang yang akan menyertainya dalam perjalanan
memasuki Negeri Batak. Dengan hati yang masih diliputi
kesedihan mendalam akibat meninggalnya isteri tercinta dan tiga orang anaknya, Raffles
berangkat dengan meninggalkan dua orang anaknya, Mary Anne dan Charles pada
tahun 1820.
Setelah mereka mendarat di Sibolga serta mendapatkan
penunjuk jalan dan pembawa barang, maka Raffles, Dr. William Jack
dan Kapten Flint mulai
berjalan ke pedalaman
Negeri Batak. Mereka
semuanya berjalan kaki melakukan perjalanan jauh dengan naik-turun gunung yang
indah namun terjal di deretan pegunungan Bukit Barisan. Para kepala suku yang
daerahnya mereka lalui menerima mereka dengan hangat. Seperti telah dia amati sebelumnya di dataran
tinggi yang menjadi kediaman orang Minangkabau, tanah di bukit inipun tampak subur
dan ditanami dengan buah serta sayuran yang dirawat dengan baik. Dia melihat orang-orang Batak berkulit
gelap dan dari sejarah maupun
dari sisa-sisa patung batu yang ditemukannya, Raffles yakin bahwa mereka
berasal dari India atau wilayah utara Burma atau Thailand.
Rumah-rumah mereka tampak
sangat mengagumkan, yang dibangun di atas tiang-tiang, sehingga tidak
menyentuh tanah. Atapnya mendongak
tegak di
tengahnya layaknya pelana kuda, penuh ukiran yang indah dengan tanduk
kerbau. Dia juga melihat Danau Toba, suatu hamparan luas yang dikelilingi
pegunungan di jantung Negeri Batak, sebagai salah satu danau terindah yang pernah dilihatnya. “Melihat
ini saja rasanya sudah tidak rugi,” desahnya sambil melihat keindahan danau
yang berisikan pulau tersebut. “Sungguh menakjubkan …” demikian penggalan memoar
tersebut, sebagaimana dimuat dalam buku The Restless Warrior, karya
Richard Mann.
Setelah Raffles mengunjungi Negeri Batak, dia
banyak berkirim surat kepada teman-temannya di Inggris. Salah satu di antaranya
dikirim pada tanggal 12 Februari 1820 kepada Duchess of Sommerset, yang dekat dengan para petinggi
gereja. Dia berceritera tentang kunjungannya ke pedalaman Negeri Batak, tentang rajanya yang disebutnya
“Singah Maha Raja”, dan tentang
kepercayaannya yang “supranatural”. Raffles meminta agar
dikirimkan penginjil ke Negeri Batak tersebut.
Surat yang
dikirim Raffles tersebut ternyata membuahkan hasil. Gereja Baptis Inggris
mengirimkan dua orang penginjil yaitu Richard Burton dan Nathaniel Ward untuk
bekerja di Negeri Batak. Para penginjil tersebut menjalankan tugasnya dengan baik yang biasanya disambut dengan upacara
adat. Kemudian Traktat London ditanda tangani pada tahun 1824, maka Inggris harus angkat kaki dari pulau Sumatera. Sedang Burton dan Ward
dianggap merupakan bagian dari Raffles, maka
kedua penginjil inipun harus meninggalkan Negeri Batak.
Akhirnya, terungkap jelas bahwa pemikiran dan
ide untuk melaksanakan misi-penginjilan ke Negeri Batak datangnya dari Sir
Thomas Stamford Raffles. Inilah yang membuat Burton dan Ward datang hingga akhirnya
membawa Munson dan Lyman serta mendorong RMG untuk mengutus LI Nommensen datang
ke Negeri Batak. Sekaligus bahwa Raffles jugalah orang Eropa pertama yang
menginjakkan kakinya di tepian Danau Toba mendahului Herman Neubronner
van der Tuuk (dari berbagai sumber). ***
Telah dimuat di:
Harian BATAK POS
Sabtu, 27 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment