BATAK DI NEGERI BATAK
Oleh: Edward Simanungkalit
William
Marsden (1754-1836) kembali ke Inggris pada tahun 1779 setelah melakukan
perjalanan di pulau Sumatera dan kemudian menulis buku The History of
Sumatra. Edisi pertamanya diterbitkan di London pada tahun 1783, edisi
kedua 1784, dan edisi ketiga 1811. Marsden
pun memberikan perhatian khusus pada tradisi, hukum, bahasa, aksara,
kebudayaan, hasi-hasil bumi, penduduk asli Pulau Sumatera dan berbagai masalah
yang timbul dalam kontak dengan orang asing. Bab keduapuluh dari buku tersebut melaporkan tentang Negeri Batak (Batta Country) dan Batak (Batta).
Negeri
Batak
Negeri Batak berbatasan dengan Aceh di sebelah utara
yang dibatasi gunung Deira dan Papa (Dairi dan Pakpak, pen.) dan di sebelah
selatan dibatasi oleh daerah Rao. Pantai sebelah barat mulai dari Singkil
hingga Tabuyung dan Kunkun berbatasan dengan Air Bangis di selatan. Dari pantai
laut sebelah barat hingga pantai laut sebelah timur berbatasan dengan Melayu
dan Aceh. Kawasan ini sangat padat penduduknya terutama di kawasan pusat dan
terdapat sebuah danau yang sangat besar (Danau Toba, pen.) di mana tanahnya subur dan pertaniannya jauh lebih
maju daripada di daerah bagian selatan.
Negeri Batak terbagi dalam distrik utama berikut:
Angkola, Padang Bolak, Mandailing, Toba, Silindung, dan Singkil, yang terdiri
dari tiga kerajaan. Satu di antaranya bernama Simamora yang berada di pedalaman
dan terdiri dari sejumlah perkampungan dengan dua kawasan terletak di pantai
timur. Kerajaan ini menghasilkan banyak emas. Kota Tinggi merupakan tempat tinggal
raja. Silindung juga terdiri dari banyak
distrik yang di antaranya penghasil kemenyan. Kerajaan kecil yang disebut Butar
terletak di arah timur laut sampai ke arah pantai timur bernama Pulau Seruni dan
Batubara di mana banyak kegiatan perdagangan. Butar tidak menghasilkan kapur
barus maupun kemenyan dan emas, sedang penduduknya hidup dari pertanian.
Rajanya bertempat tinggal di kota Butar.
Sungai Singkil merupakan sungai terbesar di pantai barat pulau Sumatera
yang berasal dari Aceh dan sebelah lagi sampai ke dekat danau yang sangat besar
(Danau Toba, pen.). Bagian sungai ini mengaliri Negeri Batak. Sedang Barus berada di bagian selatan yang
sangat terkenal dengan kapur barus di negeri timur. Di dekat Barus itu terdapat
8 perkampungan yang dihuni orang Batak.
Mereka ini pembeli kapur barus dan kemenyan dari orang-orang di pegunungan Dairi.
Teluk Tapanuli ramai dan pantainya di mana-mana telah dihuni manusia. Teluk ini
dapat dilayari sebagai kekayaan alam yang memberi keuntungan
bagi pelaut yang dapat mengunjunginya dengan aman di setiap musim. Kapal-kapal banyak berlabuh di teluk ini,
sehingga membuatnya ramai dan padat.
Batak
Manusia Batak
lebih pendek dari perawakan orang Melayu. Sifat umum, air muka, rupa dan warna
kulit terlihat sedang yang mungkin telah diturunkan dari nenek moyangnya.
Pakaian mereka biasanya terbuat dari kain katun sederhana buatan sendiri, tebal,
kasar, tetapi kuat. Panjangnya 4 hasta dan dua dipakai di bagian dada yang
dililitkan di bagian tengah dengan memakai selendang di bagian pundak. Pakaian
ini terdiri dari berbagai campuran warna kecoklatan agak merah dan warna biru
yang mendekati hitam. Mereka gemar menghiasinya, terutama selendangnya, dengan
rambu-rambu dan jalinan benang. Tutup kepala biasanya terbuat dari kulit kayu,
tetapi untuk kalangan kelas tinggi memakai pakaian bergaris warna biru dari
luar negeri mirip tiruan destar Melayu, dan sejumlah baju yang bercorak bunga-bunga.
Wanita muda, di samping
lilitan kain di bagian tengah, ada juga kain melilit di bagian dada. Memakai
sejumlah anting-anting dari timah di telinganya dan juga sejumlah ring tebal
yang terbuat dari kuningan dipakai di leher. Pada hari-hari perayaan mereka
menghiasi diri mereka dengan anting-anting terbuat dari emas serta jepit
rambut, sehingga kepala mereka mirip burung atau ular naga. Memakai sejenis
plat dada yang berbentuk tiga kerucut dan memakai gelang berlobang di lengan
bagian atas, sehingga semuanya terlihat seperti terbuat dari emas. Kulit kerang
kima, yang banyak terdapat di teluk, dibentuk dan dipakai sebagai gelang
tangan, sehingga terlihat lebih mengkilat daripada gading.
Senjata mereka adalah
senjata lantak, tombak bambu atau tombak dengan ujung-tombak panjang terbuat
dari besi, sehingga mereka adalah ahli tempa. Senjata samping disebut ‘jono’,
yang mirip dan digunakan sebagai pedang dibanding sebagai keris. Kotak
selongsong peluru diperlengkapi dengan sejumlah rak kecil terbuat dari bambu
yang masing-masing berisi peluru pengganti. Alat-alat ini dibawa bersama
potongan kayu dan ranjau kecil, yang lebih panjang disambungkan dengan bambu.
Mereka memiliki
alat yang diukir secara cermat dan dibentuk seperti paruh burung besar untuk
mengikat peluru. Sedang lainnya adalah bentuk-bentuk yang aneh untuk tempat
cadangan bubuk peluru (mesiu , pen.) tergantung di depan. Di sebelah kanan
tergantung batu-api dan besi dan juga cangklong (pipa tembakau). Senjata
mereka, pelatuknya terbuat dari tembaga dan peralatan ini diperoleh dari
pedagang yang datang dari Minangkabau. Pedang
dibuat sendiri dan membuat sendiri serbuk senjatanya yang diekstrak dari
belerang. Di samping itu mereka memakai baju berwarna merah dan putih. Untuk
genderang mereka menggunakan gong dan dalam aksinya melakukan teriakan-teriakan
perang. Semangat berperang sangat menggebu pada bangsa.
Mereka mempertahankan kampungnya dengan
gundukan tanah yang besar sebagai kubu pertahanan yang di atasnya mereka tanami
dengan semak belukar. Ada dibangun sebuah parit tanpa kubu gundukan tanah dan
pada setiap sisi terdapat tancapan kayu runcing yang cukup tinggi biasanya dari
kayu kemenyan. Di seberangnya ditanami pagar yang tak dapat ditembus terbuat
dari bambu berduri yang bila sudah tumbuh membesar memiliki kerapatan yang
luarbiasa rapat dan secara sempurna membuat
tampilan sebuah kampung menjadi tersamar secara rahasia.
Penduduk yang
bermukim di pesisir pantai memperdagangkan kemenyan, kapur barus, kayu manis untuk
dipertukarkan dengan besi, baja, tembaga, dan garam. Semuanya ini mereka barter
kepada penduduk pedalaman yang dipertukarkan dengan barang-barang mentah dan
barang-barang jadi buatan negeri itu, seperti kain tenunan sendiri. Mereka lebih
meminati kain berwarna biru untuk tudung kepala dan kain bahan kursi yang
bercorak bunga-bunga.
Makanan yang umum
untuk orang-orang kelas bawah adalah jagung dan ubi jalar, sementara para raja
dan tokoh-tokoh adalah nasi. Kadangkala mereka mencampur jagung dengan beras.
Hanya dalam kesempatan tertentu saja mereka menyembelih ternak untuk makanan. Sungai-sungai mereka tidak banyak ikannya. Daging
kuda merupakan makanan istimewa, karena itu mereka memeliharanya dan memberikan
makanan yang baik untuk peliharaan itu. Kuda-kuda terbaik digunakan untuk
perayaan-perayaan. Mereka juga memelihara sejenis anjing hitam yang agak kecil
dengan telinganya tegak ke atas untuk dimakan setelah gemuk. Mereka sangat
gemar minum tuak sebagai minuman pada pesta-pesta.
Akhirnya, bahwa
buku The History of Sumatra yang ditulis oleh William Marsden memang perlu
dibaca, karena sangat inspiratif dan memberikan laporan yang cukup lengkap tentang
Batak dan Negeri Batak pada abad ke-18. Tak kalah pentingnya bahwa orang Batak
sudah pandai bertenun dan memakai kain tenun jauh sebelum LI Nommensen datang,
sehingga terasa berlebihan bila T.B. Silalahi berkata: “Kalau dulu Apostel Nommensen
tidak datang ke sini, mungkin kita orang Batak masih memakai cawat sampai
sekarang.” ***
Telah dimuat di:
Harian BATAK POS
Sabtu, 20 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment