Sunday, December 2, 2012

BATAK DI NEGERI BATAK

BATAK DI NEGERI BATAK
Oleh: Edward Simanungkalit

William Marsden (1754-1836) kembali ke Inggris pada tahun 1779 setelah melakukan perjalanan di pulau Sumatera dan kemudian menulis buku The History of Sumatra. Edisi pertamanya diterbitkan di London pada tahun 1783, edisi kedua 1784, dan edisi ketiga 1811. Marsden pun memberikan perhatian khusus pada tradisi, hukum, bahasa, aksara, kebudayaan, hasi-hasil bumi, penduduk asli Pulau Sumatera dan berbagai masalah yang timbul dalam kontak dengan orang asing. Bab keduapuluh dari buku tersebut melaporkan tentang  Negeri Batak (Batta Country) dan Batak (Batta).

Negeri Batak
Negeri Batak berbatasan dengan Aceh di sebelah utara yang dibatasi gunung Deira dan Papa (Dairi dan Pakpak, pen.) dan di sebelah selatan dibatasi oleh daerah Rao. Pantai sebelah barat mulai dari Singkil hingga Tabuyung dan Kunkun berbatasan dengan Air Bangis di selatan. Dari pantai laut sebelah barat hingga pantai laut sebelah timur berbatasan dengan Melayu dan Aceh. Kawasan ini sangat padat penduduknya terutama di kawasan pusat dan terdapat sebuah danau yang sangat besar (Danau Toba, pen.) di mana tanahnya subur dan pertaniannya jauh lebih maju daripada di daerah bagian selatan.

Negeri Batak terbagi dalam distrik utama berikut: Angkola, Padang Bolak, Mandailing, Toba, Silindung, dan Singkil, yang terdiri dari tiga kerajaan. Satu di antaranya bernama Simamora yang berada di pedalaman dan terdiri dari sejumlah perkampungan dengan dua kawasan terletak di pantai timur. Kerajaan ini menghasilkan banyak emas. Kota Tinggi merupakan tempat tinggal raja.  Silindung juga terdiri dari banyak distrik yang di antaranya penghasil kemenyan. Kerajaan kecil yang disebut Butar terletak di arah timur laut sampai ke arah pantai timur bernama Pulau Seruni dan Batubara di mana banyak kegiatan perdagangan. Butar tidak menghasilkan kapur barus maupun kemenyan dan emas, sedang penduduknya hidup dari pertanian. Rajanya bertempat tinggal di kota Butar.

Sungai Singkil merupakan sungai terbesar di pantai barat pulau Sumatera yang berasal dari Aceh dan sebelah lagi sampai ke dekat danau yang sangat besar (Danau Toba, pen.). Bagian sungai ini mengaliri Negeri Batak. Sedang Barus berada di bagian selatan yang sangat terkenal dengan kapur barus di negeri timur. Di dekat Barus itu terdapat  8 perkampungan yang dihuni orang Batak. Mereka ini pembeli kapur barus dan kemenyan dari orang-orang di pegunungan Dairi. Teluk Tapanuli ramai dan pantainya di mana-mana telah dihuni manusia. Teluk ini dapat dilayari sebagai kekayaan alam yang memberi  keuntungan bagi pelaut yang dapat mengunjunginya dengan aman di setiap musim.  Kapal-kapal banyak berlabuh di teluk ini, sehingga membuatnya ramai dan padat.


Batak
Manusia Batak lebih pendek dari perawakan orang Melayu. Sifat umum, air muka, rupa dan warna kulit terlihat sedang yang mungkin telah diturunkan dari nenek moyangnya. Pakaian mereka biasanya terbuat dari kain katun sederhana buatan sendiri, tebal, kasar, tetapi kuat. Panjangnya 4 hasta dan dua dipakai di bagian dada yang dililitkan di bagian tengah dengan memakai selendang di bagian pundak. Pakaian ini terdiri dari berbagai campuran warna kecoklatan agak merah dan warna biru yang mendekati hitam. Mereka gemar menghiasinya, terutama selendangnya, dengan rambu-rambu dan jalinan benang. Tutup kepala biasanya terbuat dari kulit kayu, tetapi untuk kalangan kelas tinggi memakai pakaian bergaris warna biru dari luar negeri mirip tiruan destar Melayu, dan sejumlah baju yang bercorak bunga-bunga.

Wanita muda, di samping lilitan kain di bagian tengah, ada juga kain melilit di bagian dada. Memakai sejumlah anting-anting dari timah di telinganya dan juga sejumlah ring tebal yang terbuat dari kuningan dipakai di leher. Pada hari-hari perayaan mereka menghiasi diri mereka dengan anting-anting terbuat dari emas serta jepit rambut, sehingga kepala mereka mirip burung atau ular naga. Memakai sejenis plat dada yang berbentuk tiga kerucut dan memakai gelang berlobang di lengan bagian atas, sehingga semuanya terlihat seperti terbuat dari emas. Kulit kerang kima, yang banyak terdapat di teluk, dibentuk dan dipakai sebagai gelang tangan, sehingga terlihat lebih mengkilat daripada gading.

Senjata mereka adalah senjata lantak, tombak bambu atau tombak dengan ujung-tombak panjang terbuat dari besi, sehingga mereka adalah ahli tempa. Senjata samping disebut ‘jono’, yang mirip dan digunakan sebagai pedang dibanding sebagai keris. Kotak selongsong peluru diperlengkapi dengan sejumlah rak kecil terbuat dari bambu yang masing-masing berisi peluru pengganti. Alat-alat ini dibawa bersama potongan kayu dan ranjau kecil, yang lebih panjang disambungkan dengan bambu.

Mereka memiliki alat yang diukir secara cermat dan dibentuk seperti paruh burung besar untuk mengikat peluru. Sedang lainnya adalah bentuk-bentuk yang aneh untuk tempat cadangan bubuk peluru (mesiu , pen.) tergantung di depan. Di sebelah kanan tergantung batu-api dan besi dan juga cangklong (pipa tembakau). Senjata mereka, pelatuknya terbuat dari tembaga dan peralatan ini diperoleh dari pedagang yang datang dari Minangkabau.  Pedang dibuat sendiri dan membuat sendiri serbuk senjatanya yang diekstrak dari belerang. Di samping itu mereka memakai baju berwarna merah dan putih. Untuk genderang mereka menggunakan gong dan dalam aksinya melakukan teriakan-teriakan perang. Semangat berperang sangat menggebu pada bangsa.

 Mereka mempertahankan kampungnya dengan gundukan tanah yang besar sebagai kubu pertahanan yang di atasnya mereka tanami dengan semak belukar. Ada dibangun sebuah parit tanpa kubu gundukan tanah dan pada setiap sisi terdapat tancapan kayu runcing yang cukup tinggi biasanya dari kayu kemenyan. Di seberangnya ditanami pagar yang tak dapat ditembus terbuat dari bambu berduri yang bila sudah tumbuh membesar memiliki kerapatan yang luarbiasa rapat dan secara sempurna membuat  tampilan sebuah kampung menjadi tersamar secara rahasia.

Penduduk yang bermukim di pesisir pantai memperdagangkan kemenyan, kapur barus, kayu manis untuk dipertukarkan dengan besi, baja, tembaga, dan garam. Semuanya ini mereka barter kepada penduduk pedalaman yang dipertukarkan dengan barang-barang mentah dan barang-barang jadi buatan negeri itu, seperti kain tenunan sendiri. Mereka lebih meminati kain berwarna biru untuk tudung kepala dan kain bahan kursi yang bercorak bunga-bunga.

Makanan yang umum untuk orang-orang kelas bawah adalah jagung dan ubi jalar, sementara para raja dan tokoh-tokoh adalah nasi. Kadangkala mereka mencampur jagung dengan beras. Hanya dalam kesempatan tertentu saja mereka menyembelih ternak untuk makanan.  Sungai-sungai mereka tidak banyak ikannya. Daging kuda merupakan makanan istimewa, karena itu mereka memeliharanya dan memberikan makanan yang baik untuk peliharaan itu. Kuda-kuda terbaik digunakan untuk perayaan-perayaan. Mereka juga memelihara sejenis anjing hitam yang agak kecil dengan telinganya tegak ke atas untuk dimakan setelah gemuk. Mereka sangat gemar minum tuak sebagai minuman pada pesta-pesta.

Akhirnya, bahwa buku The History of Sumatra yang ditulis oleh William Marsden memang perlu dibaca, karena sangat inspiratif dan memberikan laporan yang cukup lengkap tentang Batak dan Negeri Batak pada abad ke-18. Tak kalah pentingnya bahwa orang Batak sudah pandai bertenun dan memakai kain tenun jauh sebelum LI Nommensen datang, sehingga terasa berlebihan bila T.B. Silalahi berkata: “Kalau dulu Apostel Nommensen tidak datang ke sini, mungkin kita orang Batak masih memakai cawat sampai sekarang.”  ***


Telah dimuat di:
Harian BATAK POS
Sabtu, 20 Oktober 2012

No comments:

Post a Comment