Oleh: Ir.Jawaller Matanari, MS
Medan, 5 Februari 2009
Sub-Suku Batak
Suku Batak adalah berasal dari keturunan Melayu Tua (Proto Melayu) yang berasal dari (imigran) Hindia Belakang/Selatan (keturunan bangsa Yunani), dan kemudian kawin dengan Melayu Muda (Deutro Melayu). Proto Melayu (Melayu Tua) yang menjadi Suku Batak, datang dari dua arah yaitu pertama dari pantai barat pulau Sumatera (baik imigran dari Hindia Belakang maupun Transmigran dari kerajaan Sriwijaya maupun Kerajaan Melayu Jambi) yang sebahagian masuk dari daerah Barus, dan kedua adalah dari arah pantai Timur pulau Sumatera terutama dari daerah Aceh Timur (kerajaan Haru, kerajaan Tamiang, dan lain lain). Deutro Melayu (Melayu Muda) masuk melalui pantai Timur pulau Sumatera. Masing-masing pendatang (imigran atau transmigran bergerak menuju kawasan Danau Toba.
Medan, 5 Februari 2009
Sub-Suku Batak
Suku Batak adalah berasal dari keturunan Melayu Tua (Proto Melayu) yang berasal dari (imigran) Hindia Belakang/Selatan (keturunan bangsa Yunani), dan kemudian kawin dengan Melayu Muda (Deutro Melayu). Proto Melayu (Melayu Tua) yang menjadi Suku Batak, datang dari dua arah yaitu pertama dari pantai barat pulau Sumatera (baik imigran dari Hindia Belakang maupun Transmigran dari kerajaan Sriwijaya maupun Kerajaan Melayu Jambi) yang sebahagian masuk dari daerah Barus, dan kedua adalah dari arah pantai Timur pulau Sumatera terutama dari daerah Aceh Timur (kerajaan Haru, kerajaan Tamiang, dan lain lain). Deutro Melayu (Melayu Muda) masuk melalui pantai Timur pulau Sumatera. Masing-masing pendatang (imigran atau transmigran bergerak menuju kawasan Danau Toba.
Pergerakan manusia Proto Melayu dan Deutro Melayu menuju kawasan Danau Toba disebabkan (dipengaruhi) oleh faktor (1) pasang-surut kekuasaan kerajan yang ada berkuasa di pulau Sumatera (kerajan kecil yang tahluk kepada kerajaan besar di Nusantara (yakni kerajaan Sriwijaya di Sumatera, dan di pulau Jawa kerajaan Majapahit) sekitar abad ke-6 sampai abad- ke-14 M, serta (2) akibat pengaruh penyebaran agama Hindu, Buda di Nusantara dan agama Islam (di daerah Aceh, daerah Deli dan daerah Sumatera Barat), yang mendesak orang-orang yang beragama animisme bergerak menuju kawasan danau Toba pada zaman dahulu.
Kerajaan Sriwijaya pada zamannya mempunyai pasukan yang bertugas menerima upeti dari kerajaan kerajaan kecil yang ada di Nusantara. Sewaktu kerajaan Sriwijaya ditahlukkan kerajaan Colamandala tahun 1025 M menyebabkan sebahagian pasukan yang sedang diperjalanan bertugas meminta upeti di kerajaan kecil di daerah Aceh dan Sumatera Utara tidak kembali ke pusat kerajaan Sriwijaya (Palembang). Pasukan kerajaan Sriwijaya ini kemudian kawin dengan penduduk (Proto Melayu) yang sudah ada dan berassimilasi budaya membentuk masyarakat masing-masing Proto Batak.
Berdasarkan alasan (pertimbangan) hal-hal yang diuraikan di atas dan berdasarkan kemiripan bahasa, sastra dan aksara, maka asal-usul sub-suku Batak (Proto-Batak) dapat dibedakan terdiri dari 2 bagian yaitu, (1) Proto-Batak Utara (terdiri 3 sub-suku Batak yakni: Pakpak, Karo. dan Alas/Gayo) dan (2) Proto Batak Selatan (terdiri 4 sub-suku Batak yakni: Simalungun, Toba, Angkola dan Mandailing)
Kedatangan Imigran ataupun Transmigran yang masuk ke daerah kawasan danau Toba adalah secara bertahap atau bergelombang dalam periode waktu berbeda, dan kemudian terjadi perkawinan ataupun assimilasi budaya. Setiap gelombang bergerak menuju daerah yang dianggap paling subur. Pendatang yang lebih awal akan mendapat (bertahan tinggal) di daerah yang lebih subur, sebaliknya pendatang yang lebih belakangan akan mendapat daerah yang lebih tandus. Pada mulanya suku Batak adalah hidup nomade (manusia yang tingkat kebudayaannya hidup dari memungut hasil tumbuhan secara alami dan menangkap ikan serta berburu binatang/burung dan tempat tinggal berpindah-pindah), kemudian berkembang ke tingkat budaya pertanian berpindah-pindah, pertanian tradisional dan hingga pertanian modern (sekarang).
Kebudayaan yang menganut sistim demokrasi pada bangsa Yunani dan keturunannya (trias politico) juga berkembang pada suku Batak. Demokrasi yang dianut pada suku Batak adalah azas “The Trias Manner of Batak Culture” yakni 3 sikap perilaku utama dalam berbudaya (hubungan antar manusia) suku Batak. Pada Batak Pakpak 3 sikap prilaku utama tersebut, dilaksanakan dalam hidup berbudaya dan bermasyarakat yang disebut “Daliken Sitellu” adalah meliputi (1) Sembah Merkula-kula/Suyuk mendahi Puhun (sikap menghormati dan patuh), (2) Manat merdengngan sebeltek (sikap meghargai dan hati-hati), ( 3) Elek mi mberru (sikap kasih sayang dan mengampuni), yang dilaksanakan dalam ikatan kekerabatan yang sangat besar pada setiap marga (raja kuta), yang disebut Sulang Silima (Penegak Hukum Adat Pakpak). Sulang Silima adalah 5 unsur yaitu (1) Perisang-isang (anak tertua), (2) Pertulan Tengah (anak pertengahan), (3) Perekor-ekor (anak bungsu), (4) Puncaniadip atau Puncaniadep (saudara semarga atau satu kakek) dan (5) Anak Berru. Sulang dapat diartikan memberikan makanan sebagai wujud rasa hormat kepada kula-kula dan sebaliknya rasa kasih-sayang kepada berru (misalnya, menggohon-gohoni). Pada Batak Karo dikenal 3 cara tersebut adalah Rakut Sitellu yang dilaksankankan dalam ikatan kekerabatan Tutur Siwaluh. Pada keturunan Proto Batak Selatan 3 cara tersebut disebut Dalihan Natolu (terdiri 3 unsur atau pilar yang sama tingginya agar dapat berfungsi langgeng (yakni hula-hula, dongan tubu dan boru yang sama tingkat derajat kemanusiaannya).
Pakpak Pegagan (Matanari, Manik, Lingga)
Sub-suku Batak Pakpak (bagian dari Proto Batak Utara) terdiri dari lima suak, yakni (1) Pakpak Pegagan, (2) Pakpak Keppas, (3) Pakpak Simsim, (4) Pakpak Kelasen dan (5) Pakpak Boang, Salah satu keturunan sub suku Pakpak adalah Simergarahgah. Keturunan Simergarahgah adalah Perbuah Aji. Keturunan Perbuah Aji adalah Pitu Guru Pakpak Sendalanen adalah dukun (Datu) yaitu 7 Guru/Raja yakni Raja Api, RajaAngin, RajaTawar, Raja Lae/Lau/Lawe, Raja Aji, Raja Besi dan Raja Bisa) yang mempunyai ilmu kebatinan dengan keahlian (aliran) khas masing-masing. Ilmu ini diturunkan (turun-temurun) kepada para murid masing-masing. Murid yang paling mahir tetap disebut sebagai Raja/Guru dari ilmu aliran masing-masing. Suatu ketika, yang dijuluki Pitu Guru Papak Senddalanen (sebagai yang terakhir..?) bertemu di daerah pegunungan antara daerah Pegagan dan Tanah Karo. Pengaruh agama Islam dan Kristen, menyebabkan ilmu mereka ke 7 guru/raja lambat laun semakin pudar (kecil) pengaruhnya kepada masyarakat, kemudian mereka yang terakhir diyakini meninggal di pegunungan antara daerah Pegagan dan Tanah Karo.
Pakpak Suak Pegagan (Raja Gagan) adalah keturunan Guru/Raja Api yang pertama, (yang mempunyai aliran ilmu tenaga dalam yang menyerupai tenaga api). Keturunan Guru/Raja Api (Pakpak Pegagan) ada 3 marga yaitu Matanari, Manik dan Lingga,. Marga Matanari tinggal di daerah kuta Balna Sikabeng-kabeng dan Kuta Gugung. Marga Manik di Kuta Manik dan Kuta Raja. Marga Lingga di Kuta Singa dan Kuta Posong. Jumlah generasi mulai dari Proto Pakpak sampai terbentuk marga Matanari belum diketahui secara pasti, namun diduga ada sekitar 11 generasi, karena marga Matanari sudah ada sekitar 19-20 generasi. Jadi Proto Batak Pakpak diduga sudah ada sejak sekitar 30 generasi x 20 tahun = 600 tahun yang lampau (atau lebih…?).
Matanari dan Sembahan Simergerahgah
Zaman dahulu, oleh para mpung (nenek moyang) merga Matanari, diyakini ada kekuatan gaib yang berkuasa dan bersemayam disekitar hulu (takal) sungai (lae) Patuak (di daerah sekitar Lae Rias) sampai Lae Pondom di atas huta Silalahi Nabolak. Kekuatan gaib itu disebut “ Sembahan Simergerahgah” yaitu nenek moyang Raja Matanari. Diyakini mereka bahwa disekitar daerah ini adalah tempat kuburan para nenek moyang raja Matanari. Nenek moyang raja Matanari masih taraf budaya nomade (hidup dari hasil tumbuhan alam, hasil berburu binatang dan burung serta hasil tangkapan ikan tawar). Selanjutnya raja Matanari dan keturunannya berkembang ke tingkat budaya Petani Berpindah-pindah, sehingga mereka bergerak berpindah-pindah ke rarah lahan yang lebih subur (dari Lae Rias-Lae Pondom menuju arah Balna Sikabeng-kabeng Kuta Gugung). Di tempat terakhir ini selanjutnya berkembang ke tingkat budaya Pertanian Tradisional hingga sekarang menjadi berkembang ke tingkat budaya Pertanian Intensip (Modern).
Diduga, pada mulanya tempat tinggal Raja Matanari dan keturunannya adalah di sekitar kuta Balna. Kuta berarti kampung/desa/dusun (huta, bahasa Batak Toba). Kuta Raja Matanari terletak pada dataran tinggi yang sebelah Barat berbatasan dengan sungai (Lae) Renun yang terbentuk akibat terjadi patahan lempeng bumi ribuan tahun sebelum masehi (SM), dan sebelah Timur berbatasan dengan danau Toba (Tao Silalahi) yang terbentuk akibat letusan gunung berapi ribuan tahun sebelum masehi. Arah ke Utara adalah kuta (kampung) yang ditempati Raja Manik dan Raja Lingga serta arah Selatan adalah daerah Tele dan gunung Pusuk Buhit. Kuta Raja Matanari terbentang pada lahan yang relatip subur dan tersedia sumber air baik dari sumber Mata Air maupun air beberapa sungai. Raja Matanari dan keturunannya memilih tinggal di tempat yang dekat dengan beberapa sungai misalnya Lae Patuak selain sebagai sumber air minum dan air mandi juga sumber ikan sungai (tawar). Pada mulanya belum ada nama tempat tinggal Raja Matanari. Nama kuta tempat tinggal keturunan Raja Matanari ada kemudian sesuai sejarah yang terjadi di daerah tersebut.
Paroltep Hulubalang Raja Matanari
Suatu ketika, istri Raja Matanari sakit keras, pada zaman itu belum ada pengobatan medis, yang ada adalah pengobatan tradisional, baik melalui obat ramuan maupun ilmu kedukunan (paranormal = hadatuon). Raja Matanari menyuruh hulubalangnya mencari ramuan daun-daunan, akar-akaran dan biji-bijian ke hutan, untuk obat mpung berru Simeratah istrinya . Hulubalang pergi sambil membawa Oltep yakni alat senjata tradisional, yang dapat digunakan menembak burung, (orang yang sering menggunakan Oltep disebut Paroltep). Hulubalang pada zaman itu, umumnya adalah anggota keluarga (keturunan) kepala suku ( kelompok) Raja Matanari.?
Hulubalang berangkat dari kuta menuju ke arah Timur, mengikuti aliran sungai (Lae) Patuak ke arah hulu (menuju Huta/Tao Silalahi). Di tengah perjalanan, hulubalang melihat seekor burung yang cantik. Hulubalang bermaksud menangkap burung tersebut hidup, sehingga dia coba menembak dengan Oltep secara pelan (tidak kuat). Burung tersebut jatuh, tetapi karena tidak kuat ditembak (dioltep) burung tersebut terbang lagi dan hinggap ke pohon lain. Hulubalang mengejarnya dan coba menembaknya lagi dengan cara yang sama,. burung tersebut jatuh dan dengan keadaan yang sama terbang lagi dan hinggap ke pohon lain. Demikian kejadiannya berlangsung berulang-ulang, hingga hulubalang tidak sadar sudah sampai mendekati Tao Silalahi (danau Toba), hulubalang lupa tugas utamanya mencari ramuan. Karena waktu sudah menjelang malam hari, hulubalang melihat asap api menyala di suatu gubuk. Hulubalang mendekati gubuk tersebut, dan melihat seorang laki-laki di dalam gubuk tersebut yaitu Raja Silalahisabungan..
Hulubalang menegur Raja Silalahisabungan, dengan pertanyaan, “ kenapa kau menempati tanah ini ?,tanah ini adalah milik suku Pakpak”..?. Kemudian Raja Silalahisabungan dengan cerdik dan benar menjawab, “Ndang tanom na hu hunduli tanonggku do, Ndang aekmu na hu inum aek ku do”, sambil menunjukkan bungkusan tanah yang didudukinya dan menunjukkan air dalam kendi dari bambu, yang di bawa nya dari Toba. Karena pernyataan Raja Silalahisabungan adalah benar, maka tidak mempan ilmu hitam yang dipasang Hulubalang kepada Raja Silalahisabungan. Selanjunya hulubalang menyadari bahwa Raja Silalahisabungan tersebut pasti seorang Dukun Hebat (Datu Bolon).
Karena obat ramuan tidak didapatkan (terlupakan akibat mengejar-ngejar burung tersebut di atas), maka hulubalang mendapat inspirasi jalan keluar atas tugasnya yang terlalaikan, yaitu hulubalang (paroltep) meminta Raja Silalahisabungan mau bersedia mengobati istri Raja Matanari yang sedang sakit. Dan diberitahukan, bawa Raja Matanari telah membuat sayembara, bahwa “barang siapa dapat menyembukkan mpung istri Raja Matanari akan diberikan hadiah apa saja yang diminta, baik harta bahkan putrinya (dijadikan menantu Raja Matanari).
Balna Sikabeng-kabeng berasal dari kata Mballa si kabeng-kabengken
Tawaran hulubalang di penuhi Raja Silalahisabungan, yakni bersedia mengobati istri Raja Matanari. Karena Raja Silalahisabungan adalah seorang dukun, maka beliau “martabas” dan kemudian mengatakan, istri Raja Matanari dapat sembuh, jika setan/hantu/begu/bala (bahasa suku Batak Pakpak disebut MBALLA) yang masuk ke tubuh istri Raja Matanari harus kita buang atau terbangkan (dalam bahasa suku Batak Pakpak dikatakan SIKABENG KEN, bahasa Toba dikatakan ta pahabang). Hal ini dikatakan dukun (Raja Silalahisabungan) kepada Raja Matanari. Kemudian Raja Matanari ditanya anggota keluarganya, “bagaimana kata dukun tersebut cara menyembukan sakit istri Raja Matanari” Raja Matanari menjawab mereka: “caranya adalah MBALLA SIKABENG KEN” (artinya setan yang di dalam tubuh yang sakit harus diterbangkan/dibuang) melalui acara ritual.
Pelaksanaan ritual menerbangkan setan (MBALLA SIKABENG KEN) di lakukan di lokasi diluar kampung (kuta), kemudian (sekarang) lokasi ini disebut kuta Balna Sikabeng- kabeng. Acara ritual membuang/menerbangkan setan (Mballa Sikabeng ken) seterusnya menjadi terbiasa di lokasi ini dalam tahap penyembuhan penyakit. Tempat ini menjadi tempat yang sakral atau kramat, zaman itu nenek moyang kita menganut agama Animisme atau Pelbegu.
Pada waktu selanjutnya, bertambahlah jumllah penduduk dan bertambah juga Dukun atau orang orang berilmu kebatinan. Karena araca ritual kebatinan atau belajar menuntut ilmu perdukunan, tidak boleh terganggu, maka dilarang penduduk biasa lalulalang (masuk-keluar sembarangan) ke tempat tersebut. Tempat ini diperuntukkan hanya bagi pertua, dukun, orang belajar ilmu kebatinan dan proses pelaksanaan acara ritual tertentu. Penduduk biasa, keluarga dukun dan anak-anaknya tinggal di tempat agak terpisah dari yang disebut sekarang kuta Balna Sikabeng-kabeng yang jaraknya relatip dekat.
Pada mulanya tempat melakukan MBALLA SIKABENG KEN, selain menjadi tempat yang dianggap sakral, tempat mengobati yang sakit, tempat menguji ilmu perdukunan, tempat belajar ilmu kebatinan dan ilmu hitam, juga menjadi tempat yang ditakuti masyarakat biasa karena tempat ini adalah lokasi pembunuhan terhadap musuh, penghianat dan orang yang melakukan kesalahan besar. Pembunuhan (Hukuman Mati) bagi orang Penghianat Raja ataupun Orang yang bersalah besar, sengaja dipertontonkan kepada masyarakat, untuk tujuan membangun efek jera. Musuh yang dibunuh kadang-kadang dimakan untuk menambah ilmu kekebalan dan ilmu hitam, (mereka percaya, jika daging musuh tersebut dimakan maka akan berpindah ilmu musuh tersebut ke dalam tubuhnya). Tiang Bale Silendung Bulan di Balna Sikabeng-kabeng adalah tempat menancapkan gigi-gigi manusia yang di bunuh.
Selanjutnya sesuai pertambahan penduduk, maka sering penduduk biasa bertanya kepada orang yang lebih tua (datu), yakni dengan pertanyaan “kegiatan apa yang dilakukan dilokasi itu, sehingga kita dilarang memasukinya…?” . Orang tua (datu) tersebut menjawab secara bijak, itu adalah tempat MBALLA SIKABENG-KABENG KEN (artinya: itu adalah tempat setan kita terbang-terbangkan). Karena selain untuk tempat pengobatan, lokasi ini juga digunakan sebagai lokasi menguji ilmu kebatinan, ilmu menerbangkan lumpang (losung) dan alu (andalu), ilmu hitam, menerbangkan penyebab gatal-gatal (GADAM), memelihara Sibiangsat, Begu Ganjang, meracik racun (bisa), dan lain lain.
Selanjunya akibat terjadi perkembangan zaman, masuknya pengaruh ajaran agama Islam dan agama Kristen., pengaruh pertambahan penduduk putra daerah dan penduduk pendatang (terutama dari suku Batak Toba) sehingga dalam bahasa sehari-hari terjadi assimilasi/pembauran, yang menyebabkan terjadi perubahan kata atau kalimat dari aslinya yakni::Tempat MBALLA SIKABENG-SIKABENG KEN berubah menjadi nama kuta BALNA SIKABENG-KABENG
Sesuai perkembangan zaman dan pertambahan penduduk, maka terjadi juga pertambahan dusun atau kuta. Putra sulung Marcintaratus (anak Raja Matanari) bertempat tinggal sekitar kuta Balna Sikabeng-kabeng, sedangkan putra bungsu Marcintaratus (anak Raja Matanari) dan keturunannya membentuk kuta yang baru sekitar beberapa ratus meter arah ke utara. Sesuai letak lokasi ini adalah pada tempat yang lebih tinggi dari tempat sekitarnya, maka tempat ini jadi terbiasa disebut Kuta Gugung. Gugung (Dolok, dalam bahasa Toba) berarti lokasi yang lebih tinggi dari tempat sekitarnya. Kemudian terbentuk dusun-dusun baru sesuai pertambahan jumlah penduduk, misalnya, Pernantin, Kuta Kabo, Kuta Lama, Kuta Baru, Sikula, Kuta Gerat, Silencer, Simbereng, Simanabun, Juma Tungko, Sibira, Buluh Ujung, Sileuh-leuh, Pergambiran, Lae Siboban, Lae Rias, Lae Pinagar, dan lain lain.
Sebahagian keturunan putra sulung dan putra bungsu Raja Matanari pergi merantau ke daerah/desa SIKONIHAN, SIMANDUMA, BUKIT LEHU, TIGALINGGA, KABAN JULU, SIDIKALANG, PASI-SUMBUL-BRAMPU, SINGKIL, BOANG, SUMBULUSALAM, ALAS/GAYO-ACEH, dll.
Sesuai perkembangan zaman, juga terjadi perubahan nama-nama kampung (kuta), yakni akibat terjadi pengaruh bahasa pendatang (terutama bahasa suku Batak Toba) yang saat ini jumlahnya jauh lebih banyak dari suku Batak Pakpak di daerah Pegagan Julu IV, yakni antara lain perubahan nama kuta:
1. PARNANTIAN nama aslinya adalah PERNATIN yang berarti tempat ini adalah tempat menunggu orang lain dari arah simpang yang berbeda, di mana tempat ini adalah simpang tiga.
2. BULUHUJUNG nama aslinya adalah LEBBUH UJUNG yang berarti tempat paling ujung (tepi hutan) pada zaman tersebut.
3. SIBERENG nama aslinya si MBERENG artinya si Hitam, karena ditempat ini pernah terjadi kebakaran yang menyebabakan terlihat asap api warna hitam di lokasi tersebut. Asap api warna hitam terjadi dalam waktu relatip lama karena yang terbakar adalah beberapa rumah yang mempunyai atap ijuk dari pohon Aren. Kebakaran terjadi akibat perkelahian sesama keturunan Raja Matanari (perang saudara) dalam perebutan kekuasaan Kampung
4. HUTA GORAT nama aslinya adalah KUTA GERAT karena dilokasi ini dahulu banyak terdapat jenis mangga hutan yang disebut namanya GERAT dan juga Embacang hutan yang disebut namanya Embargus.
5. HUTA BARU nama aslinya adalah KUTA BARU yang berarti perkembangan penduduknya dari kuta lama.
6. SILESSER nama aslinya adalah SILENCER
7. HUTA SILEU-LEU nama aslinya adalah KUTA SILEUH-LEUH
8. HUTA PARGAMBIRAN nama aslinya adalah KUTA PERGAMBIREN, dll.
Putra sulung Marcintaratus Matanari (Kembung Mbaliang) lebih duluan diajari Marcintaratus Matanari tentang ilmu kebatinan (hadatuon) dan berhasil baik Putra sulung berhasil menunjukkan eksistensinya sebagai putra sulung (boi do di jujung baringinnya) yakni menguasai ilmu kebatinan yang diajarkan orang tuanya Marcintaratus Matanari. Karena putra sulung Marcintaratus Matanari dan keturunannya berhasil menekuni atau melaksanakan ilmu kebatinan (hadatuan), maka dia dan keturunannya berhak dan bersedia menempati tempat kramat atau sakral tersebut, (yaitu tempat MBALLA SIKABENG-KABENG KEN, sekarang disebut kuta Balna Sikabeng-kabeng). Dengan demikian Kuta Gugung ditempati putra bungsu Marcintaratus Matanari (Mbalang Tiktik dan keturunannya), karena dia menghormati kedudukan atau hak abangnya.
Pinggan Matio berru Matanari istri Raja Silalahisabungan
Matio (bahada Batak Toba) sama dengan atau berasal dari kata Machiho (bahasa Batak Pakpak dan Batak Karo) artinya adalah jernih atau bening.
Pinggan Matio berru Matanari menjadi istri Raja Silalahisabungan adalah: (1) sebagai upah Raja Silalahisabungan yang telah berhasil mengobati penyakit istri Raja Matanari, dan (2) setelah Raja Silalahisabungan berhasil memilih Pinggan Matio, (seorang putri dari antara 7 gadis yang diperlihatkan Raja Matanari Pakpak Pegagan melalui Ilmu Hitam), dengan cerdik dan bijaksana tanpa mempermalukan calon mertuanya.
Setelah berhasil mengobati penyakit istri Raja Matanari, maka Raja Silalahisabungan menagih upahnya yakni sesuai perjanjian, agar Raja Matanari berkenan memberikan putrinya untuk dipersunting Raja Silalahisabungan menjadi istrinya. Kenyatan ini dipenuhi Raja Matanari dengan terpaksa (tidak sepenuhnya ihlas….?). Ditentukanlah waktu mengantarkan berru ke tempat (huta) pengantin laki-laki (Raja Silalahisabungan) di kampung (huta) Silalahi. Dalam penyerahan upah Raja Silalahisabungan (Pinggan Matio), Raja Matanari memakai ilmu hitam di sungai (binanga) Simaila di Silalahi. Raja Matanari mengizinkan (mempersilahkan) Raja Silalahisabungan memilih salah satu dari tujuh (7) gadis yang diperlihatkan Raja Matanari.
Raja Silalahisabungan sudah mengetahui bahwa hanya satu orang putri Raja Matanari (yaitu Pinggan Matio). Namun Raja Silalahisabungan cukup cerdik tidak mau mempermalukan calon mertuanya. Raja Silalahisabungan meminta/ mempersilahkan semua (7) gadis tersebut menyeberangi sungai (binanga) Simaila. Setelah semua (7) gadis menyeberang sungai tersebut, Raja Silalahisabungan menunjuk (memilih) gadis yang basah pakaiannya waktu menyeberang sungai yaitu salah seorang yang paling buruk rupanya (Cacat Matanya) dari semua (7) gadis yang diperlihatkan Raja Matanari. Gadis yang dipilih Raja Silalahisabungan tersebut adalah tepat (benar) si Pinggan Matio. Enam (6) gadis yang lain yang diperlihatkankan Raja Matanari (melalui ilmu hitamnya), tidak basah pakaiannya sewaktu menyeberangi sungai (binanga) Simaila karena mereka ini bukanlah manusia, melainkan Siluman.
Ranimbani berru Matanari istri Raja Sihaloho
Suatu ketika setelah para putra Raja Silalahi/Pinggan Matio sudah ada, mereka datang berkunjung ke daerah Balna Sikabeng-kabeng menjumpai mertua/orang tua serta keluarga Mancintaratus Matanari (saudara laki-laki Pinggan Matio). Mancintaratus mempunyai 2 putra ( Kembung Mballiang dan Mballang Tiktik) dan 3 orang putrid (Ranimbani dan dua orang adeknya). Pinngan Matio melihat, ada putri Mancintaratus yang bernama Ranimbani berru Matanari (dalam seharihari dipanggil Ranimtamende) yang cocok (diinginkannya) dikawinkan dengan putra tertuanya (yaitu Sihaloho Raja).
Guna mewujudkan keinginannya, Pinggan Matio mengambil dahan pohon beringin (jabi-jabi). Didepan orangtuanya (Raja Matanari) dan keluarga saudaranya (Mancintaratus) Pinggan Matio menenam dahan (ranting) pohon beingin tersebut seraya memohon, berjanji/bersumpah, “ jika dahan/ranting pohon beringin yang ku tanam ini tumbuh, maka tidak ada yang bisa menghalangi putranya Sihaloho Raja mempersunting parumaennya si Rumintang berru Matanari”. Ternyata apa yang dilakukan dan diharapkan Pingga Matio terwujud baik, yakni dahan/ranting beringin yang ditanam tumbuh subur (selanjutnya pohon ini disebut Tongkat = tungkot ni Pinggan Matio) dan dengan demikian Sihaloho Raja mempersunting Ranimbani berru Matanari menjadi istrinya (marboru tulang).
Catatan: Kemudian, dua adek perempuan si Ranimbani, masing-masing kawin ke marga Bintang dan marga Maha. Sihaloho Raja marpariban dengan Raja Bintang dan Raja Maha . Keturunan mereka umumnya tidak boleh saling mengawini satu sama lain (ndang boi mersiolian, berdasarkan ikrar = padan sisada boru sisada anak) karena selain istri mereka bertiga adalah kakak-adek, juga hubungan persaudaraan mereka sangat dekat dan saling membatu melawan musuh pada zaman dahulu kala.
Pinggan Matio berru Matanari Terlupakan….?
Pinggan Matio berru Matanari terlupakan (berobah menjadi berru Padang Batanghari) akibat kesalahan/kekeliruan marga Matanari (tidak kesalahan dari Panitia Tarombo Pendirian Tugu Raja Silalahisabungan). Panitia Tarombo keturunan Raja Silalahisabungan (tahun 1967) bertanya, “masuk tudia do marga Matanari”…?. Penetua (pertua) marga Matanari menjawab, “ Sada do hami dohot Sihotang”.
Jauh sebelum tahun 1967, Pakpak Pegagan (Matanari, Manik dan Lingga) sudah dekat hubungan persaudaraannya dengan marga Sihotang (Batak Toba) dan puncaknya adalah terbentuknya Ikatan (Pesta) Silima Tali di Sumbul Pegagan tahun 1957. Silima Tali teriri dari 5 unsur yaitu (1) Matanari, (2) Manik, (3) Lingga, (4) Sihotang dan (5) Berru. Keempat marga tersebut diatas menjalin ikatan persaudaraan “Sisada Anak dohot Sisada Boru” yakni keturunan 4 marga tersebut tidak boleh kawin.
Sebelum terbentuknya ikatan (pesta) Silima Tali, antara marga Matanari, Manik dan Lingga masih terjadi perkawinan (marsiolian). Akibat pengaruh ikatan (pesta) Silima Tali, waktu selanjunya sebahagian marga Matanari, Manik dan Lingga mengaku keturunan marga Sihotang, sehinnga pertanyaan Panitia Tarombo Pendirian Tugu Raja Silalahisabungan tahun 1967 sulit dijawab pertua marga Matanari dengan jawaban yang sebenarnya. (Seberarnya: Matanari, Manik dan Lingga adalah keturunan Pakpak pegagan). Lebih lanjut, dalam Pustaha Batak (Toba) dituliskan dalam Tarombo marga Matanari, Manik dan Lingga adalah keturunan marga Sihotang, adalah tulisan yang mungkin tanpa disadari menghilangkan keberadaan Pakpak Pegagan. Pakpak Pegagan adalah bagian dari Proto Batak Utara (Pakpak, Karo dan Gayo) sedangkan Toba adalah bagian dari Proto Batak Selatan (Mandailing, Angkola, Toba dan Simalungun).
Tanding Ilmu Hadatuon Raja Matanari dan Raja Silalahisabungan
Setelah berlangsung ikatan kekeluargaan yang erat antara Raja Matanari dan Raja Silalahisabungan (hubungan kula-kula-berru), suatu ketika masing-masing mereka menunjukkkan kehebatan ilmu kebatinannya (hadatuon).
Raja Matanari Pakpak Pegagan mengambil suatu batu relatip kecil, dengan tenaga dalam (ilmu hitam…?) batu tersebut digunakan melembar segerombolan burung yang terbang di angkasa. Sekali lempar (oleh Raja Matanari) batu tersebut ke gerombolan burung yang terbang tersebut, meneyebabkan semua burung jatuh ke tanah (kena lemparan kah…? ). Melihat hal ini Raja Silalahisabungan kagum (takut..?) kepada mertuanya Raja Matanari yang mempunyai tenaga dalam (ilmu Hitam…?) yang cukup hebat (pada zaman itu ditakuti…?).
Raja Silalahisabungan kemudian menunjukkan kehebatan ilmu kebatinannya kepada mertuanya Raja Matanari. Raja Silalahisabungan melihat seekor burung terbang di anggasa. Dengan ilmu kebatinannya, dia mengangkat tangannya dan memangil burung yang sedang terbang tersebut. Kemudian burung yang terbang tersebut hinggap (bertengger) di telapak tangan Raja Silalahisabungan (ilmu panubukan binatang…?, ilmu pawang binatang….?}. Melihat hal itu Raja Matanari semakin bangga (dan salut) kepada menantunya Raja Silalahisabungan atas kehebatan ilmu kebatinannya {hadatuon). Dengan demikian Raja Matanari memberikan kepercayaan kepada Raja Silalahisabungan untuk menguasai (mangarajai) sebahagin tanah orang Pakpak Pegagan yaitu daerah Silalahi dan sekitarnya. Raja Matanari yakin bahwa Raja Silalahisabungan dapat mengatasi (menghadapi) serangan orang lain ke daerah tersebut.
Raja Matanari Pakpak Pegagan dan Raja Silalahisabungan adalah sama-sama yang memiliki ilmu kebatinan yang sangat hebat, Raja Matanari [keturunan Raja Api atau Raja Gagan], mempunyai ilmu tenaga dalam yang menyerupai tenaga api (ilmu hitam.?) yang lebih condong menyakiti orang, sedangkan Raja Silalahisabungan mempunyai kehebatan ilmu kebatinan yang lebih condong kepada pengobatan (menolong orang). Diguga,,,,, akibat hal di atas sehingga sekarang keturunan Raja Silalahisabungan relatip sangat banyak dan berpendidikan/pengetahuan lebih tinggi/maju. Sebaliknya keturunan Raja Matanari Pakpak Pegagan relatip sangat sedikit dan berpendidikan/pengetahuan yang sangat tertinggal/rendah.
Sesuai atau mirip dengan legenda di atas, ada legenda saling menunjukkan kehebatan ilmu kebatinan (hadatuon) antara Pitu Guru Pakpak Sindelanan dengan Guru/Datu Melayu di daerah Langkat, sebagai berikut.
Suatu saat Pitu Guru Pakpak Sindelanan datang ke daerah Melayu Pesisir pantai laut Sumatera sekitar daerah Langkat, menjumpai Guru/Datu Melayu. Mereka saling menunjukkan kehebatan ilmu tenaga dalam yang mereka miliki. Pitu Guru Pakpak Sendalanen menunjukkan ilmu tenaga dalamnya (ilmu hitam…?), dengan sekali lempar (dengan satu batu kecil) maka buah- buah dari beberapa pohon kelapa jatuh ke tanah. Sebaliknya Guru/Datu Melayu dapat mengembalikan semua buah-buah kelapa yang sudah jatuh ke pohonnya (melalui ilmu tenaga dalamnya). Keadaan ini berlangsung dalam waktu relatip lama (berulang-ulang), tidak ada yang kalah di antara mereka. Akhirnya mereka saling mengakui kehebatan masing-masing dan saling mengormati atau saling takut satu sama lain.
Catatan:
Kami sangat tidak sependapat isi dua tulisan (yang pernah kami baca) yang menyatakan/menggambarkan sebagai berikut:
1. Raja/Datu Pakpak mengajari Raja Silalahisabungan di Lae Pondom menjadi Datu (mempunyai ilmu kebatinan) yang hebat hingga dapat menunjukkan kehebatannya (manandangkon hadatuon) hingga ke daerah Toba,…….berarti Datu/Raja (orang) Pakpak lebih hebat (guru) dari Raja Silalahisabungan,…?. dan sebaliknya ada tulisan yang mengatakan no 2 di bawah ini.
2. Raja Silalahisabungan dapat melemparkan batu yang ukurannya lebih besar dengan jarak lemparan yang lebih jauh ke arah bukit di Silalahi, sedangkan Raja Pakpak melemparkan batu yang ukurannya lebih kecil dengan jarak lemparan yang lebih dekat (sehingga Raja Pakpak kagum dan akhirnya memberikan tanah kepada Raja Silalahisabungan…….dst). ….berarti Raja Silalahisabungan lebih hebat (jago) dari Raja Pakpak….? Apabila hal ini terjadi zaman dahulu, maka permusuhan atau pertumpahan darah, saling membunuhlah yang akan terjadi. Hal terakhir ini tidak terjadi, karena masing masing dapat mengakui kehebatan antara satu dengan yang lain (saling menghormati, karena tidak ada yang dikalahkan).
Walaupun sebahagian keturunan Raja Silalahisabungan tidak mengakui Pinggan Matio adalah berru Matanari (mungkin adalah akibat kesalahan atau kekeliruan marga Matanari waktu lampau), namun kami marga Matanari tetap mengaku dan merasakan bahwa Raja Silalahisabungan adalah amang boru kami, suami namboru kami Pinggan Matio berru Matanari. Perasaan mengakui seperti hal di atas terutama selalu muncul pada saat-saat kami marga Matanari melintas sepanjang daerah Lae Pondom. Amang boru kami Raja Silalahisabungan adalah Datu Pengobati (mempunyai ilmu kebatinan) yang hebat (dikagumi) oleh keturunan Raja Matanari, di mana Raja Silalahisabungan juga pernah berhasil mengobati penyakit mpung berru Simeratah (istri Raja Matanari). Mpung berru Simeratah adalah keturunan (berru) dari manusia yang dijumpai masih berpakaian daun-daun berwarna hijau di daerah hutan sekitar Sicikeh-cikeh pada zaman dahulu (meratah artinya warna hijau).
Sembahan si Raja Onggu
Sembahan si Raja Onggu Ruma Sondi -Rumintang berru Matanari diyakini sebagai Penghuni Pohon Beringin yang ditanam (disebut: Tongkat) Pinggan Matio di Balna Sikabeng-kabeng
Raja Onggu Ruma Sondi Dihukum Mati Karena Menghina Pakpak, dan akibatnya istrinya Rumintang berru Matanari Mati Gantung Diri
Mpung Raja Beak (artinya kaya) Matanari mempunyai berru si Rumintang berru Matanari dengan menantu yang cukup terkenal sejarahnya di Balna dan sekitarnya adalah si Raja Onggu Ruma Sondi (keturunan Silalahisabungan) yang kawin dengan si Rumintang berru Matanari. Raja Onggu selaku menantu merga Matanari sudah bermukim di Balna dan telah menguasai bahasa suku Batak Pakpak Raja Onggu adalah orang rajin dan bekerja keras sehingga cukup bersahaja (maduma) kehidupan keluarganya.. Raja Onggu adalah orang bersifat terbuka (seperti biasanya sifat suku Batak Toba) dalam berbicara sehari-hari, berbicara seadanya, kurang memikirkan orang lain tersinggung atau tidak karena semua sudah dianggapnya anggota keluarga dekat.
Sebaliknya suku Pakpak (termasuk mertuanya marga Matanari) mempunyai sifat atau budaya malas bekerja (bertani) sehingga banyak yang miskin (kurang makan), mau meminta dari anak berru dan bersifat agak tertutup.Karena si Raja Onggu sudah merasa menantu penguasa marga Matanari dan ditambah sifat dan keadaan dia di atas, maka tanpa disadarinya dia telah sering menyalahkan (menghina) pihak kula-kulanya Matanari selaku suku Pakpak.
Raja Onggu sudah merasa sangat dekat kepada semua merga Matanari karena dianggapnya sebagai pihak kula-kula (mertuanya) dan tulangnya sebagai Raja Kuta dan Pertua Marga Matanari. Karena dia dan keluarganya rajin bekerja keras/cukup makan (maduma) maka banyak orang justru tersinggung dengan ucapannya (yang mungkin adalah benar). Misalnya, si Raja Onggu mengatakan pantas kalian (Matanari suku Pakpak/kula-kulanya) miskin/kurang makan karena malas bekerja, bukan..?. Cara pengucapan si Raja Onnggu membuat banyak orang tersinggung atau marah. Yang dikatakan si Raja Onggu Benar, tapi caranya tidak dapat diterima orang Pakpak pada zaman tersebut.
Pada suatu ketika Raja Beak Matanari yang ada di Balna hendak membangun Rumah Adat Pakpak yang diberi nama “Rumah Sipitu Ruang Kurang Dua Lima Puluh” dan “Bale Silendung Bulan” di Balna Sikabeng-kabeng.. Tukangnya atau arsiteknya, selain orang suku Pakpak juga cukup banyak suku Batak Toba yang terutama yang didatangkan dari daerah Silalahi (termasuk si Raja Onggu). Pada waktu pembangunan Rumah Adat merga Matanari di Balna hampir selesai, si Raja Onngu lagi-lagi melakukan kesalahan kepada marga Matanari selaku Suku Pakpak. Raja Onggu (mungkin tidak menyadari) telah mengucapkan kata-kata penghinaan kepada marga Matanari (secara umum suku Pakpak ikut dihinanya). Raja Onggu mengatakan: “orang Pakpak Bodoh, massya gagang parang/pisaunya lurus-lurus”, tidak seperti gagang parang/pisau batak Toba ada sedikit membengkok di ujungnya. Sehingga memakai parang/pisau suku Toba adalah enak, tidak was-was pisau/parang terlepas dari tangan saat dipakai (sebaliknya parang/pisau orang pakpak).
Pernyataan tersebut di atas, diucapkan si Raja Onngu dengan cara yang tidak tepat dihadapan orang-orang suku Pakpak yang ikut serta sebagai Tukang Rumah Adat di Balna dan juga terdengar pertua marga Matanari pemilik rumah tersebut. Pernyataan si Raja Onggu tersebut membuat orang-orang suku Pakpak marah, atau tidak dapat diterima (dibenarkan) suku Pakpak pada waktu itu. Akibat kesalahannya tersebut, para penetua memutuskan: “si Raja Onngu harus dihukum mati”, walaupun si Rumintang berru Matanari (istrinya) sudah menyembah-nyembah penetua, memohon agar suaminya tidak dihukum mati. Raja Kuta (merga) Matanari waktu itu pada posisi yang sulit dalam mengambil keputusan, di mana yang akan dihukum mati (di seat) didepan masyarakat umum adalah seorang menantu marga Matanari, yaitu si Raja Onggu pomparan Silalahisabungan dengan Pinggan Matio berru Matanari. Tetapi demi menjunjung tinggi Hukum Adat, marga Matanari selaku Raja Kuta tidak memperdulikan permohonan si Rumintang berru Matanari (tidak dapat mentolerir/mengampuni kesalahan si Raja Onggu tersebut).
Karena si Rumintang berru Matanari tidak dapat menerima kenyataan tersebut, dia menangis terus-menerus (mangandungi) memanggil-manggil Arwah Pinggan Matio berru Matanari ( istri Raja Silalahisabungan) dan dia menjadi bringas melawan orang tua dan saudaranya merga Matanari. Akibatnya si Rumintang berru Matanari di ikat pada pohon Beringin (jabi-jabi yang ditanam Pinggan Matio). Setelah dilakukan hukuman mati terhadap si Raja Onggu, si Rumintang berru Matanari terus menerus menangis (mangandungi) di bawah pohon beringin tempat dia diikat. Keesokan harinya ditemukan si Rumintang berru Matanari telah mengahiri hidupnya dengan cara Gantung Diri.
Kejadian ini sangat menyedihkan pada marga Matanari terutama pihak mertua kandung si Raja Onggu (bapa/ibu si Rumintang berru Matanari). Sifat kerja keras, rajin dan terbuka dari si Raja Onggu, sebenarnya adalah contoh yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan dan kemajuan kuta (desa) Balna dan sekitarnya pada zaman tersebut. Setelah dilakukan hukuman mati kepada si Raja Onngu, darahnya dioleskan pada gorga (ornament) Rumah Sipitu Ruang Kurang Dua Lima Puluh. Kemudian mayat si Raja Onggu dan si Rumintang berru Matanari diizinkan penetua marga Matanari di bawa ke Silalahi atas permintaan pihak keluarga si Raja Onggu Ruma Sondi. Keputusan Hukum Adat ini menimbulkan rasa kesedihan dan penyesalan pada keluarga marga Matanari dan keturunan Silalahisabungan. Lebih dari perasaan sedih dan penyesalan, wajar timbul perasaan benci dari keluarga si Raja Onggu Ruma Sondi dan keturunannya terhadap marga Maatanari dapat dimaklumi
Akibat peristiwa itu, maka Rumah Adat Sipitu Ruang Kurang Dua Lima Puluh tersebut tanggung selesai dipahat/diukir ornamennya pada waktu itu, tetapi tidak pernah lagi diselesaikan hingga Rumah Adat tersebut hancur disebabkan Badai Angin Topan pada tanggal 20 Oktober 1984 sekitar jam 17.30 WIB.
Kematian si Raja Onggu Ruma Sondi dan si Rumintang berru Matanari adalah di luar kewajaran, maka marga Matanari dan masyarakat di Balna dan sekitarnya menyakini (kepercayaan animisme)) bahwa pohon beringin (jabi-jabi) yang ditanam Pinggan Matio berru Matanari beberapa ratus tahun silam adalah dihuni oleh arwah/begu si Raja Onggu dan Rumintang berru Matanari (disebut sehari-hari; Sembahan si Raja Onggu).
Pohon beringin (jabi-jabi) ini mati layu kemudian setelah dilaksanakan Pesta Peresmian Tugu Silalahisabungan tahun 1981, di mana istri Raja Silalahisabungan tertulis pada Tugu tersebut bukan Pinggan Matio berru Matanari melainkan ditulis berru Padang Batanghari. Kebetulan, sebelum pohon beringin tersebut mati layu, salah seorang istri marga Matanari (boru Sijabat) mengambil ranting pohon beringin tersebut dan menanamnya, sekarang sudah cukup besar, tetapi tidak ada kenyakinan masyarakat bahwa pohon ini dihuni arwah/begu si Raja Onggu-si Rumintang berru Matanari.
Maaf…..Mungkinkah…..kejadian di atas, salah satu penyebab sebahagian keturunan Raja Silalahisabungan, bersih keras menolak marga Matanari sebagai hula-hula pomparan ni Raja Silalahisabungan dan menyatakan Pingga Matio bukan berru Matanari….?
Berdasarkan akibat Hukum Adat yang dijalankan keturunan Raja Matanari tersebut di atas, marga Matanari mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada keluarga pomparan Raja Silalahisabungan (khusus kepada si Raja Onggu Ruma Sondi-Rumintang berru Matanari dan keturunannya serta keluarganya).
Rumah Sipitu Ruang Kurang Dua Lima Puluh
Rumah ini adalah rumah berornamen budaya Pakpak yang dibangun Raja Beak (kaya) Matanari (sekitar generasi ke-7 atau ke-8) ayah dari si Rumintang berru Matanari, mertua dari Raja Onggu Ruma Sondi. Diduga nama rumah ini diberikan Raja Beak Matanari, berkaitan dengan kejadian/kematian (berkurang) dua anggota keluarganya (Rumintang berru Matanari + Raja Onggu) pada saat pembangunan rumah tersebut. Pembangunan rumah tidak dilanjutkan lagi hingga hancur disebabkan Badai Angin Topan pada tanggal 20 Oktober 1984 sekitar jam 17.30 WIB.
Sipitu Ruang adalah gabungan dua kata yang mempunyai makna penting pada daerah Pakpak dan Karo (terutama masa lampau). Sipitu Ruang diduga berhubungan dengan keyakinan: “untuk menghormati Pitu Guru Pakpak Sendelanen”. (pitu = tujuh), yakni 7 guru ilmu kebatinan yang masing-masing mempunyai keahlian khusus (spesialis} dalam bidang ilmu kebatinan yang turun-temurun dari guru kepada murid termahir.
Rumah Sipitu Ruang Kurang Dua Lima Puluh dan Bale Silendung Bulan, sudah pernah direncanakan (diusulkan) Pemerintah Kabupaten Dairi ke Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, untuk dipugar sebagai bukti peninggalan budaya Pakpak (Situs Rumah dan Bale Adat Sub Suku Batak Pakpak), namun sampai sekarang belum terwujud. Kita sangat mengharapkan rencana (usulan) tersebut dapat diwujudkan Bapak Bupati Dairi melalui perjuangan yang terus-menerus dari pihak (dinas/departenen) Kebudayaan dan Parawisata serta anggota DPR Kabupaten Dairi. Situs ini dapat menjadi lokasi tujuan Wisata (selain Taman Iman yang sudah ada) guna meningkatkan Pendapatan Daerah. Harapan dan cita-cita ini…………..Semoga Berhasil.
Bale Sinendung Bulan
Balai (bale) ini dibangun pada lokasi yang berhadapan dengan Rumah Sipitu Ruang Kurang Dua Lima Puluh. Balai ini digunakan sebagai tempat melaksanakan rapat para penetua untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Tiang (pilar) Bale Silendung Bulan adalah tempat menancapkan rahang dan gigi (tengkorak) para musuh yang telah dibunuh, sebagai symbol yang menunjukkan kekuatan raja (pertua) dan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Dengan symbol tersebut diharapkan para orang pendatang tidak sembarangan melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum adat atau pertaturan yang berlaku di daerah tersebut.
Pada serambi Bale Silendung Bulan adalah tempat membunuh (maneat) dan memasak daging manusia musuh yang dianggap kuat/hebat. Daging manusia musuh yang dianggap kuat/hebat dimakan dengan keyakinan (tujuan), agar ilmu kebatinan manusia kuat tersebut berpindah ke dalam tubuh mereka, Dengan demikian tidak sembarangan manusia, dagingnya.dimakan.
Siberru Taren Matanari istri Raja Manungkun Pintu Batu
Siberru Taren Matanari istri Raja Manungkun Pintu Batu mendapat Rading Berru dari Raja Tarren Matanari. Rading berru tersebut adalah parhutaan/lahan di Temberro (arah Selatan dari Balna Sikabeng-kabeng) yang diberikan marga Matanari kepada Raja Manungkun Pintu Batu (keturunan Raja Silalahisabungan) dan keturunannya..
Tanda-tanda Kejadian di Silalahi dan Balna Sikabeng-kabeng
Hubungan batin antara kula-kula (Matanari) dengan berru/berre (Raja Silalahisabungan/keturunannya adalah sangat kuat dan dekat sejak masa lampau, sehinga keturunan Raja Matanari mengetahui beberapa legenda (turi-turian) yang berkaitan dengan Pinggan Matio berru Matanari, yakni antara lain:
1. Apabila ada melihat kayu berbentuk dayung sampan (hole) hanyut di sungai (lae) Patuak adalah merupakan tanda-tanda ada kejadian yang kurang baik di Silalahi (misalnya ada solu = sampan) yang tenggelam di Tao Silalahi. Dengan tanda-tanda ini akan terjadi kontak batin, maka otomatis (tanpa menunggu kabar pemberitahuan) otomatis keluarga Matanari berangkat ke Silalahi membawa beras sipirni tondi tujuh (7) karung (tandok bolon = bahul-bahul) untuk sipitu turpuk keturunan Raja Silalahisabungan. Hal ini diyakini berdasarkan kedekatan hubungan batin, sebab sungai (lae)Patuak adalah berada di atas Tao Silalahi (tidak ada aliran air dari Silalahi ke Balna Sikabeng- kabeng).
2. Apabila di sungai di huta Silalahi ada terlihat gabah hampa (lapung) padi terapung, hal ini diyakini merupakan tanda sudah panen padi di Balna Sikabeng-kabeng. Dengan tanda ini,otomatis keluarga berru/ berre datang dari Silalahi dengan membawa ikan (dekke) pitu lanjaan (tujuh pikulan) sebagai oleh oleh untuk kula-kula. Oleh-oleh dibagi atas 4 pikulan untuk kuta Balna Sikabeng-kabeng dan 3 pikulan untuk Kuta Gugung. Mereka datang untuk membantu panen padi. Tanda-tanda ini terlihat hanyalah berdasarkan kedekatan hubungan batin, sebab tidak ada sungai yang mengalir dari Balna Sikabeng-kabeng ke Tao Silalahi.
Sembahan Bendar Muncu
Diantara kuta Kabo dan kuta Pernantiin terdapat saluran irigasi yang relatip besar dan airnya cukup deras alirannya yang diberi nama Bendar Muncu. Sampai sekitar tahun 1950 an lokasi ini dianggap keramat, sakral dan berbahaya. Dilokasi inilah Parmangmang (Tokoh kampung = Dukun) memuja dan memohon perlindungan bagi keluarga Matanari Kuta Gugung yang masih menganut agama Animisme dan menjalankan budaya tradisional. Sebelum terlaksana musim tanam Padi, maka Parmangmang memuja dan memohon, agar kiranya hama yang menyerang tanaman Padi dijauhkan sehingga hasil panen berlimpah serta masyarakat dijauhkan dari penyakit yang mematikan.
Parmangmanglah yang mempunyai hak pertama menanam padi, dan setelah selasai boleh diikuti oleh masyarakat biasa menanam padi di lading masing-masing, demikian juga saat panen. Setelah selesai menanam Padi, semua masyarakat harus berpuasa tinggal diam di rumah masing-masing, agar hama tanaman tidak menyerang kemudian hari (berdasarkan kenyakinan agama animisme dan budaya tradisional).
Lokasi Terlarang Dimasuki Masyarakat
Terdapat lahan yang cukup luas (sekitar 4 hektar) yang tidak ada masyarakat yang berani memasukinya, karena dianggap pada tanah lahan tersebut terdapat GADAM. Menurut ceritra, bahwa kakek (mpung) dari keturunan Raja Matanari menguburkan (menyembunyikan) berbagai alat-alat bersejarah dan harta karun di lahan yang 4 hektar tersebut. Kemudian, tidak ada orang yang berani mengambilnya, karena diyakini waktu barang-barang itu dikuburkan, kemudian ditaburkan pada tanah tersebut Gadam.
Gadam adalah guna-guna yang menyebabkan gatal-gatal kulit hingga membusuk dan mematikan manusia. Menurut keyakinan masyarakat, bila kena Gadam tersebut, hanya dapat diobati oleh orang yang memasangnya (meraciknya), karena Gadam mempunyai kunci rahasia (specifik). Barang-barang ini dikuburkan mpung keturunan Raja Matanari, adalah karena dia takut barang tersebut diambil bangsa Belanda pada zaman penjajahan. Agar barang itu tidak bisa di ambil (digali), maka dijaga dengan menaburkan guna-guna Gadam pada tanah galian tersebut. Kakek (mpung) keturunan Raja Matanari tersebut sudah meninggal, tetapi beliau tidak memberitahukan kunci rahasia Gadam tersebut kepada keturunannya.
Apakah pendapat (keyakinan) ini adalah salah..?, benarkah Gadam tidak dapat diobati secara medis…?. Masih adakah cara mendapatkan barang-barang peninggalan keturunan Raja Matanari tersebut…?
Sembahan Liang Besi dan Liang Nankendeng
Liang Besi dan Nankendeng masing-masing adalah tempat menyerupai gua kecil di samping air jeram di sungai (lae) Patuak dan lae Manalsal. Pada masa lampau, masing-masing tempat ini diyakini para leluhur (sesuai kepercayaan animisme) dihuni oleh mahluk gaib. Tempat ini diyakini sebagai tempat melakukan semadi, memuja roh gaib, meminta/mendapatkan ilmu kebatinan, untuk mendapat ilmu kekebalan, ilmu hitam/siluman dan lain lain. Orang-orang yang belajar ilmu kebatinan melakukan penyelaman di jeram air sungai dekat Liang besi dan liang nankendeng (lae Patuak/lae Manalsal) untuk mendapatkan sesuatu benda yang diyakininya menjadi jimat (benda berkekuatan gaib).
Demikianlah catatan Sejarah dan beberapa Legenda pada merga Matanari Pakpak Pegagan berdasarkan ceritra dari mulut ke mulut yang didengar dan diingat penulis semenjak penulis masih anak-anak (umur sekitar 4-5 tahun).serta beberapa tulisan pertua (penetua) merga Matanari. Semoga yang dipaparkan penulis ini dapat berguna, dan jikalau ada kekeliruan dalam tulisan ini, maka penulis lebih dahulu mohon maaf dan dengan senang hati penulis dapat menerima kritik demi perbaikannya.
Pertanyaan untuk dikaji lebih lanjut:……?
Tentang Persamaan dan Perbedaan Sejarah pada marga Matanari dengan Keluarga Djauli Padang Batanghari
Catatan: Mohon Maaf…., yang sebesar-besarnya kepada marga Matanari dan marga Padang Batanghari serta keturunan Raja Silalahisabungan jika tulisan di bawah ini tidak dapat mereka terima adanya.
Kalau ada kalimat menyebut Keluarga Djauli Padang Batanghari berarti tidak semua marga Padang Batanghari.
Marga Matanari Pakpak Pegagan dan keluarga Djauli Padang Batanghari (Pakpak Simsim..?) sama-sama mengaku punya namboru bernama Pinggan Matio istri Raja Silalahisabungan. Mengapa dapat terjadi demikian…..?. Apa persamaan dan perbedaan di antara mereka,..?, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Marga Matanari mempunyai tempat tinggal asal-usul (sebagai raja kuta dan pengemban hak Sulang Silima) di Balna Sikabeng-kabeng (daerah Pakpak Pegagan) di atas huta Silalahi Nabolak. Marga Padang Batanghari (keluarga Djauli) mempunyai tempat tinggal asal-usul di Sileuh yang mendapat tanah tempat tinggal berupa “rading berru” (warisan untuk anak perempuan) dari marga Solin Pakpak Simsim. Siapa raja kuta di Sileuh (kecamatan Kerajaan kabupaten Pakpak Bharat)…?, marga Padang Batanghari atau marga Solin…?.
2. Sejak dahulu sampai sekarang marga Matanari adalah penghuni dan raja kuta Balna Sikabeng-kabeng. Djauli Padang Batanghari (dan diikuti putranya Pendeta Abednego) secara tertulis (masing-masing 25 Nopember 1967 dan 15 Augustus 2003) mengaku leluhur mereka sampai generasi ke-8 mulai si Lantak tinggal di Balna Sikabeng-kabeng…?. Surat pengakuan tersebut disampaikan kepada keturunan Raja Silalahisabungan (bahan dasar/awal Pinggan Matio menjadi berru Padang Batanghari), tetapi tidak ditembuskan kepada marga Matanari selaku raja kuta (dan tidak diumumkan di mas-media), tetapi mengapa keturunan Raja Silalahisabungan dapat mengakui isi surat pernyataan tersebut…?.
3. Menurut marga Matanari, yang berjumpa dengan Raja Silalahisabungan (di Silalahi) adalah dua orang hulubalang (orang kepercayaan) Raja Matanari yang membawa Oltep (alat senjata tradisional). Orang yang sering menggunakan oltep di sebut Paroltep. Menurut Djauli Padang Batanghari, orang berjumpa dengan Raja Silalahisabungan adalah Si Lantak (Paroltep).
4. Apakah Paroltep versi marga Matanari sama (atau berbeda) dengan versi Djauli Padang Batanghari…?. Mungkinkah zaman dahulu dalam satu kuta Balna Sikabeng-kabeng (wilayah Pakpak Pegagan) terdapat beberapa orang (dengan marga berbeda) sama-sama bergelar Paroltep…?
5. Siapakah dua orang hulubalang (Paroltep) Raja Matanari..?, apakah mereka orang (marga) lain atau anak kandung Raja Matanari….?. Jika orang lain, marga apa mereka….?, apakah seorang diantaranya adalah Si Lantak..?. Pada zaman tersebut lebih logis, jika hulubalang adalah anak kandung kepala suku (Raja Matanari),..?.
6. Dalam Trombo, Raja Matanari hanya mempunyai satu putra (Marcintaratus) dan satu putri (Pinggan Matio). Jika hulubalang adalah putra Raja Matanari, berarti Marcintaratus adalah salah seorang dari hulubalang, dan seorang lagi siapa …?,, mungkinkah dia adalah Si Lantak,,,?,
7. Adakah yang disembunyikan dalam turi-turian sejak generasi pertama sampai generasi ke-8..? Apakah antara keturunan dari dua hulubalang Raja Matanari pada generasi ke-8 atau 9 berperang….?, sehingga ada ceritra atau tarombo yang disembunyikan atau dilupakan mereka masing-masing…?. Mungkinkah keturunan dari salah seorang hulubalang kalah berperang, yang menyebabkan kemudian pergi merantau ke daerah lain dan akhirnya merobah marganya menjadi marga lain..?.....ke Sileuh .menjadi marga Padang Batanghari…?
8. Apabila dua orang hulubalang (disebut Paroltep) adalah putra kandung Raja Matanari, berarti Marcintaratus abang beradik dengan Si Lantak (Paroltep)…?
9. Keturunan mereka berperang pada generasi ke-8….?. Keturunan salah seorang tetap tinggal di Balna Sikabeng-kabeng (kemudian menyusun Tarombonya tersendiri), sedangkan keturunan yang seorang lagi terusir ke daerah lain sehingga mengganti marga mereka)….?. ke Sileuh menjadi marga Padang Batanghari….?
10. Mungkinkah ada talian darah (gen = sifat keturunan) antara marga Matanari dengan keluarga Djauli Padang Batanghari…?.. Jika ternyata ada talian darah di antara mereka, maka Test-DNA (yang diusulkan beberapa orang keturunan Raja Silalahisabungan) hasilnya akan membingungkan peneliti menarik kesimpulan....?
11. Menurut Pendeta Abednego Padang Batanghari bahwa akibat perang (geraha) yang menyebabkan 99 rumah terbakar, banyak orang terbunuh, sebahagian melarikan diri ke Tanah Karo, ke Boang di Aceh, sebahagian kembali ke Sileuh serta sebahagian marga Padang Batanghari ditawan (dijadikan budak) dan kemudian merobah marganya menjadi marga Matanari (penyerang). Apakah benar beberapa Matanari di kuta Silencer mengaku keturunan leluhur Djauli Padang Batanghari…? Benarkah mereka adalah keturunan tawanan (budak) penyerang (marga Matanari)…?
12. Sampai sekarang belum ada marga dari Boang-Acaeh dan Tanah Karo yang mengaku leluhur mereka sampai generasi ke-8 berada di Balna Sikabeng- kabeng (yang mengaku hanyalah Djauli Padang Batanghari dan keluarganya). Informasi lisan yang pernah kami ketahui bahwa di daerah Subulussalam-Aceh .dijumpai keturunan bermarga Matanari (tetapi nama mereka tidak lagi bermarga), juga ke daerah Gayo- Alas dijumpai keturunan diduga dahulu bermarga Matanari.
13. Pinggan Matio menjadi istri Raja Silalahisabungan adalah sebagai upahnya yang telah berhasil mengobati penyakit istri Raja Matanari. Menurut Djauli Padang Batanghari Si Lantak (Paroltep) memberikan putrinya Pinggan Matio karena simpati dan kasihan kepada Raja Silalahisabungan.
14. Raja Matanari dalam penyerahan Pinggan Matio adalah dengan cara menguji hadatuon ni Raja Silalahisabungan (yakni Raja Silalahisabungan disuruh memilih salah seorang dari 7 gadis yang diperlihatkan Raja Matanari melalui ilmu hitam. Dari 7 gadis tersebut hanya satu orang manusia sedangkan yang 6 lagi adalah siluman). Sebaliknya Paroltep (Si Lantak) yang mempunyai 7 anak gadis (manusia) mempersilahkan Raja Silalahisabungan untuk memilih salah seorang dari 7 gadis tersebut (Paroltep atau si Lantak tidak memakai ilmu hitam..?).
15. Raja Matanari dan keturunannya sampai sekarang sudah 19 atau 20 generasi. Si Lantak (Paroltep) sampai cucu Djauli Padang Batanghari sudah 20 generasi. Padang Batanghari sampai Djauli Padang Batanghari sudah 28 generasi, maka cucu Djauli Padang Batanghari sudah generasi ke-30…?. . betulkah….?
16. Adakah hubungan trombo antara marga Padang (Padang Jambu) dengan marga Padang Batanghari…?. Apakah anak cucu dari Padang Batanghari (lihat Tarombo): Si Jambu maksudnya adalah marga Padang…?. …dan Si Pinem maksudnya adalah marga Pinem (suku Karo) yang ada di kecamatan Tanah Pinem kabupaten Dairi…?.
17. Apakah sampai sekarang, marga Padang, marga Sitakar, dan marga Tinendung telah mencapai 30 generasi seperti halnya marga Padang Batanghari…?. Apakah sampai sekarang marga Solin (mertua Padang Batanghari) telah mencapai 31 generasi..?.
18. Apakah dari beberapa pertanyaan di atas, dapat menggugah hati dan pikiran keluarga dan keturunan Djauli Padang Batanghari/ Pendeta Abednego Padang Batanghari untuk berkenan merevisi tulisannya yang telah mereka sampaikan kepada keturunan Raja Silalahisabungan, serta dapat memberikan tembusnya kepada marga Matanari….?
19. Pernyataan dan Kesaksian Pribadi oleh Dangkit Sihaloho (Raja Daotan) yang ditulis Maruba Sihaloho (Juni, 2008,Jakarta) menyatakan/menjelaskan: “ Djauli Padang Batanghari, pada waktu seminar tahun 1968 di Silalahi Nabolak dengan memukau, menarik pedang dari sarungnya di pinggangnya dan melantunkan:
a. Kemasyuran dongeng dan legenda parhulahulaan Raja Silalahisabungan dengan Silantak Padang Batanghari, dan perkawinannya dengan Pinggan Matio.
b. Kesedihan terusir dari Balna Sikabeng-kabeng, harus menyusuri sungai menggunakan batang-batang (potongan batang kayu) dengan pegangan “padang” (sejenis rumput) kembali ke huta asal Sileuh.
c. Pernyataan bahwa Padang Batanghari adalah sama dengan Pasaribu, yang kemudian membuat keturunan Raja Silalahisabungan yang hadir pada seminar tersebut tanpa ragu sepakat meresmikan Padang Batanghari adalah hula-hula Raja Silalahisabungan”.
Pendeta Abednego Padang Batanghari menyatakan/menuliskan (15 Augustus 2003), bahwa leluhur mereka bukan Pasaribu, malainkan adalah orang Batak Pakpak yakni keturunan Parrube Haji…….. mana yang benar…ya..?
Apakah ada kaitan sejarah nama marga leluhur (mpung) dari Djauli Padang Batanghari dengan ceritra potongan batang kayu (batang-batang) dan sejenis rumput (padang) sarana yang digunakan sewaktu terusir dari Balna Sikabeng-kabeng hingga pergi/kembali ke Sileuh…?,……mohon maaf jika kami terlalu lancang bertanya.
Syukurlah selamat leluhur Djauli Padang Batanghari menelusuri sungai Lae Patuak (sungai yang paling dekat ke Balna Sikabeng-kabeng) dengan bantuan sarana batang-batang dan padang, karena sungai ini mempunyai aliran air yang deras (kencang) menuju Lae Renun, dan pada waktu itu sungai Lae Patuak adalah cukup besar (tidak seperti sekarang pasca proyek PLTA ….?).
20. Berdasarkan pengakuan Djauli Padang Batanghari tersebut di atas, kemiripan ceritra (legenda) Pinggan Matio dan Paroltep versi marga Matanari dengan versi Djauli Padang BTH, dan kekurang pastian keberadaan beberapa keturunan Raja Matanari (yang pergi merantau karena sakit hati/perang saudara..?)….. Mungkinkah…?, layak diduga bahwa dua hulubalang (disebut Paroltep) Raja Matanari adalah putranya kandung yaitu (1) Marcintaratus (keturunannya adalah marga Matanari yang kampungnya di Balna Sikabeng-kabeng dan sekitarnya) dan adiknya (2) si Lantak (Paroltep) leluhur Djauli Padang Batanghari (……pada generasi ke-8 atau ke-9 keturunannya kalah perang saudara sehingga pergi/terusir ke Sileuh…..seterusnya merobah marganya menjadi marga Padang Pabatanghari yang sudah ada di Sileuh/yakni keturunan si Sebar Padang Batanghari..?)…. Jika dugaan ini ternyata benar (dapat diterima marga Matanari dan keluarga Djauli Padang Batanghari)…….berarti ada talian darah di antara mereka (Test DNA akan sia-sia hasilnya…?)
Hal inikah penyebab, kedua kelompok (marga) sama-sama mengaku mempunyai namboru Pinggan Matio…?, mereka sama-sama sehat pergi dan pulang dari Silalahi karena sama-sama benar (tidak berbohong)……ingat di Silalahi ada Batu Gadap
Njuah-njuah….jayalah marga Matanari dan keluarga Djauli Padang Batanghari.
Penulis menyadari, bahwa tulisan ini tidak luput dari kekurangan (aneh tapi nyata…?), dan apabila ada terdapat kesalahan/kekeliruan atau hal-hal kurang berkenan, maka penulis mohon maaf kepada semua halayak terlebih-lebih kepada marga Padang Batanghari, keturunan Raja Silalahisabungan dan marga Matanari. Tulisan ini bertujuan untuk memancing atau meminta masukan (kritik) demi perbaikan.
NJUAH-NJUAH….HORAS
Hormat saya Penulis
Jawaller Matanari, Ir. MS
Putra Pendeta Ds. Josep (mpung Sich Jerry) Matanari
Ketua PERMANA (Perpulungen Matanari, Berru/Berrena) Medan dan Sekitarnya
Kontak:
Mobile 081361149346 Email: matanarij@yahoo.com
Perbedaan Pendapat tentang Marga Matanari
Ya.., syah-syah saja…asal dengan sikap kepala dingin, berjiwa besar, santun dan rindu akan kebenaran serta mengakui kebenaran itu adalah tentatif (absolute hanya milik Tuhan).,,,Maka untuk itu saya sampaikan bahan diskusi kita berikut ini:
1. Informasi lisan dari Drs. Rippe Matanari, MSi. [putra Tarima (mpu Tresna) Matanari] kepada penulis, bahwa bapak tuanya kandung (Rehniate Matanari ayah kandung Drs Hery Matanari) pada sekitar tahun 1970 telah menulis Tarombo dan Beberapa Legenda pada marga Matanari selaku orang Pakpak Pegagan (tulisan tersebut masih sedang dicari dimana keberadaannya).
2, Tarombo Matanari (yang ditulis 3 Juni 1977 oleh Torsa M (mpu Demak), Jamaruli (mpu Ranap) dan Lumban (mpu Ramos) Matanari, dapat dilihat bahwa marga Matanari tidak anak ni Sihotang.. melainkan orang Pakpak.
3. Sekitar tahun 1976 Torsa M (mpu Demak) Matanari, secara lisan (di Sidikalang dan di Jumateguh) menyatakan (didengar penulis) bahwa marga Matanari adalah orang Papak Pegagan (bukan keturunan Sihotang).
4. Tarombo Mpu Kerahan Matanari (keturunan Mbalang Tiktik -Matanari Kuta Gugung) yang tertulis, disusun ulang oleh Banua (mpu Ruben) Matanari dari hasil yang mereka susun secara bersama-sama dengan Pendeta Ds Josep (mpu Sich Jerry) Matanari serta Togi Matanari, SPd. sekitar tahun 1992.
5. Togi Matanari, SPd. mengaku, bahwa pada point 4 di atas, Tarombo Matanari sengaja tidak ditulis secara keseluruhan, dengan alasan dari “Pendeta Ds Josep (mpu Sich Jerry) Matanari”, jika diberitahukannya asal-usul Matanari yang sebenarnya maka akan berkelahilah kita keturunan Raja Matanari (ai molo hupaboa sasintong na gabe marsiseatan do hita pomparan Raja Matanari), jadi kemudian harilah setelah saya meninggal, kalian tuliskan yang sebenarnya yakni Matanari Pakpak Pegagan bukan anak Sihotang, (dung mate pe au muse, asa surat hamu Tarombo Matanari sasintong na, Matanari Pakpak Pegagan do ndang anak ni Sihotang). Beliau Pendeta Ds Josep (mpu Sich Jerry) Matanari (alm) tidak berkenan menyaksikan pertentangan (perpecahan) marga Matanari saat sekarang, (benar terjadi) di mana beliau telah meninggal dunia tanggal 19 November 1999, …..apakah kejadin ini dapat sebagai unsur pendukung….?
6. Sejarah Asal Mula Matanari menjadi Mertua Silalahisabungan yang Kawin dengan Si Pinggan Matio berru Matanari dari Balna Sikabeng-Kabeng Pegagan, ditulis tgl 01 oktober 2003 oleh 31 orang Tokoh (pertua) marga Matanari., menyatakan Matanari Pakpak Pegagan bukan anak Sihotang.
7. Buku Tarombo Matanari Pakpak Pegagan (ditulis 12 Oktober 2002 oleh Pistar (mpu Sofyan) Matanari mewakili (berdasarkan kesepakatan) 27 orang Tokoh atau Pertua marga Matanari .
8. Sejak 01 Augustus 2008 sampai sekarang, saya penulis telah menulis Tarombo Matanari Pakpak Pegagan, yang merupakan hasil gabungan dari point 2 sampai 7 di atas, serta informasi lisan dari perorangan marga Matanari (konsep sudah ada beredar baik di internet maupun bentuk copy tulisan, tinggal menungggu waktu kapan kita dapat lakukan Seminar atau Pertemuan Matanari membuat keputusan bersama……..moga terlaksana ya,,kan.?
9. Tetapi Ada menyatakan, bahwa Matanari adalah anak Op.Sagapulo (anak dari Op.Borsak) Sihotang Pardabuan Uruk (generasi ke-6 dari Si Raja Oloan)…..?, namun “Tarombo Matanari sebagai anak Sihotang” dalam bentuk tertulis (oleh para pertua Matanari) hingga saat ini saya belum pernah melihatnya.., jika ada,…..tolong di sampaikan kepada kita Matanari ya….?., kita sedang menunggu semua tulisan (karya) keturunan Raja Matanari yang terkait Tarombo,
10. Sesuai point 9 di atas, saya mengajukan beberapa pertanyaan di bawah ini, untuk dapat kita masing-masing menjawabnya, menulisnya dan kalau boleh disebarluaskan ke halayak (atau hanya Matanari saja) yakni.:
a. Matanari sudah ada sekitar 20 generasi….., jika Sagapulo Sihotang Pardabuan Uruk adalah generasi ke-6 dari Si Raja Oloan ……, maka Matanari sekarang sudah generasi ke 26….?, sudakah ada Sihotang generasi ke-26 dari Si Raja Oloan…?.
b. Generasi ke-15 sampai sekarang, nama-nama pertua kita marga Matanari sudah banyak namanya dari bahasa Batak Toba (karena marga Matanari umumnya telah kawin dengan orang Batak Toba, bukan…?), tetapi generasi-1 sampai 12 nama- nama mpung kita Matanari relatip semuanya dari bahasa Pakpak (missal; Kembung Mbaliang, Mbalang Titik, Taren, Kaing, Kerahan, Kepar, Mblangen-jodi, dll)…kenapa…?. Mustahil Sihotang orang Batak Toba (orang hebat dahulu maka dapat merantau ke tanah Pakpak Pegagan) tidak ada memberikan nama dari anak atau cucu atau cicitnya dari bahasa Batak Toba….bukan,,,,?,
c. Jika Raja Matanari anak Sihotang, siapakah yang mengajari mereka berbahasa Pakpak dan Adat Pakpak (Daliken Sitellu dan Sulang Silima)….?
d. Marga Matanari satu-satunya yang mempunyai Sulang Silima (marga Penegak Hukum Adat Pakpak) yang berlaku untuk semua marga yang ada di daerah sekitar Balna Sikabeng-kabeng (termasuk untuk marga Sihotang….. bukan..?)…., kenapa marga Matanari tidak mengikutsertakan Sihotang dalam hak Sulang Silima…? (anak durhaka…. ya…?).
e. Tidak ada marga Matanari mempunyai/mendapat hak tanah di bona pasogit marga Sihotang (huta Sihotang di kabupaten Samosir)….bukan..?. tetapi sebaliknya marga Matanari ada memberikan tanah dan parhutaan kepada marga Sihotang (yaitu Huta Sihotang dekat daerah Balna Sikabeng-kabeng….ya kan..?)….Matanari memberian tanah/parhutaan kepada bapaknya atau kakeknya…?, mustahil lahhhh.
f. Sudah sangat banyak saya mengikuti pesta Adat, belum pernah saya mendengar an melihat langsung marga Sihotang memanggil/memberikan jambar ni marga Matanari dan berru/berre Matanari. Sebaliknya Matanari selalu memberikan/manjouhon jambar ni marga Sihotang dan boruna, jambar ni keturunan Si Raja Oloan dan Boruna, jambar ni marga Marbun dan boruna (dongan marpadan ni marga Sihotang), jambar ni bere dan ibebere Simanjuntak Sitolu Sada ina (bere hasian ni marga Sihotang)………. amang….inang hansit nai marga Matanari on ate…?, manetek do ilu ngku ditingki na manurat on ampara/ito.,. Yah… mungkin ada juga marga Matanari yang mendapat jambar atau tumpak dari yang saya sebutkan marga-marga diatas….., tetapi pasti setelah dia mengaku marga Sihotang….ya ..kan…?
g. Berdasarkan point 8 f di atas, berarti ndang benar-benar marga Sihotang holong tu marga Matanari…..ya kan..?,….dapat dimaklumi ,,,,anak angkat..?, atau orang dan marga yang mendekatkan diri ke marga Sihotang… ya .. kan..?. Harus di akui, bahwa di tanah perantauan, marga Matanari ibarat makan buah simalakama…, ise ma dongan tubu di tano ranto on ate..? (populasi Matanari sangat sedikit dibanding marga-marga Batak Toba, pada hal adatnya sudah Adat Batak Toba karena beberapa generasi terakhir pria dan wanita marga Matanari relatip hamper semua kawin dengan orang Batak Toba)…..,baku mo mpung…?, nggo lui kalon ate kami pomparen men…?, kssa boi bagi…?, yah…marsodip kita mi Tuhan, ti…?, kssa mase mo Ate ni Tuhan i hapus dosa-dosa marga Matanari, kssa i bere Tuhan mo mbue keturunan mendahita kita Matanari.
11.Sumbul Pegagan ada dan berkembang pada waktu pembangunan jalan raya Medan- Subulussalam- Aceh zaman penjajahan Belanda. Sebelum Sumbul Pegagan ada dan berkembang sudah ada kuta Balna Sikabeng-Kabeng (marga Matanari sebagai Raja Kuta, pemangku Hak Sulang Silima), demikian juga Raja (marga) Manik di Kuta Manik dan Kuta Raja, serta Raja (marga) Lingga di Kuta Singa dan Kuta Posong di daerah Pakpak Pegagan.
12. Sudah sangat lama marga Sihotang (sejak generasi ke-5….?) datang ke daerah Pakpak Pegagan dan menjalin persaudaran dengan orang Pakpak Pegagan (Matanari, Manik dan Lingga), demikian juga dengan marga di Pakpak Keppas. Marga Sihotang sangat pintar menjalin persaudaraan, sehingga marga Matanari memberikan tanah/parhutaan “huta Sihotang” dekat Balna Sikabeng-Kabeng, demikian juga marga-marga lain dari Batak Toba diberikan leluasa mengerjakan/memiliki tanah hak wilayat (adat) marga Matanari di Pegagan. Harus diakui, kehadiran Batak Toba adalah sangat menentukan (vital) dalam pembangunan sawah dan saluran irigasi di daerah Balna Sikabeng-Kabeng.
13. Persaudaraan yang erat (dongan sabutuha = dengngan sebeltek) antara orang Pakpak Pegagan (Matanari, Manik dan Lingga) dengan marga Sihotang adalah dipicu ketakutan menghadapi tekanan dari keadaan zaman penjajahan Belanda, seterusnya setelah zaman kemerdekaan NKRI, adalah pengaruh kepentingan yang saling menuntungkan di antara mereka. Marga Sihotang ingin memperkuat keberadaannya di daerah Pakpak Pegagan dan Pakpak Keppas, sedangkan Pakpak Pegagan (Matanari, Manik dan Lingga) ingin memperlancar berbagai urusan terutama bidang pemerintahan, di mana pada waktu itu pusat pemerintahan berada di Tarutung.
14 Puncak hubungan persaudaraan mereka adalah terbentuk/terlaksananya Ikatan (Pesta) Silima Tali di Sumbul Pegagan sekitar tahun 1957. Silima Tali terdiri dari 5 unsur yaitu (1) Matanari, (2) Manik, (3) Lingga, (4) Sihotang dan (5) Berru/Boru dari 4 marga tersebut. Emapat (4) marga di atas sepakat menjadi Sisada Anak Sisada Boru (ndang marsiolian be), pada hal sebelumnya terjadi perkawinan antara Matanari dengan Lingga dan juga Lingga dengan Manik (tetapi antara Matanari dengan Manik……belum ada informasi).
15.Umumnya, hubungan persaudaraan tersebut di atas hanya diketahui marga Sihotang dan marga-marga keturunan Si Raja Oloan yang berasal atau bertempat tinggal di sekitar kabupaten Dairi (dari daerah lain tidak mengetahui kesepakatan tersebut di atas). Jadi tidak mengherankan, di daerah perantauan marga Matanari yang mendekatkan dirinya ke marga Sihotang……dan karena populasi marga Matanari sangat sedikit di daerah perantauan, orang bermarga Matanari tersebut merobah marganya menjadi marga Sihotang, Karo-Karo, Sitepu, Sinulingga dan mungkin marga lain.
16. Demikian halnya, marga Simanjuntak Sitolu Sada Ina (PSSI) secara otomatis, (karena mengikutkan tulangnya marga Sihotang) ikut serta juga marga Matanari diakui Simanjuntak sebagai tulang. (sebaliknya Matanari menganggap dan memperlakukan Simanjuntak sebagai bere naburju keturunan dari namboru mereka,….saling mengakui).
17. dan seterusnya… ? masih banyak yang harus kita diskusikan ya…kan..?
Kenapa ada yang bertahan Matanari mengaku secara lisan Anak Sagapulo Sihotang Pardabuan Uruk…?, mana Tarombonya…?
1. Kenyataannya (defacto) populasi marga Matanari adalah relatip sangat sedikit, terutama di daerah perantauan.
2. Marga Matanari sekarang umumnya sudah melaksanakan Adat Batak Toba ataupun sebahagian kecil melaksanakan Adat Karo (Adat Pakpak di ditinggalkan….. kenapa..?), karena beberapa generasi terakhir (sekitar 7 generasi terakhir…?) pria dan wanita marga Matanari kawin dengan orang Batak Toba. Hampir semua Hula-hula/parumaen dan Boru/hela marga Matanari adalah orang Batak Toba, sehingga marga Matanari tidak dapat bertahan menjalankan adat Pakpak Pegagan (dalam acara Suka dan Duka).
3. Dalam menjalankan Adat Toba (dalam acara Suka dan Duka) marga Matanari wajib membutuhkan (mangalului) dongan tubu (dengngan sebeltek) untuk menghadapi pihak hula-hula maupun pihak boru. Karena populasi marga Matanari sangat sedikit di daerah perantauan, maka marga Matanari mendekatkan dirinya kepada marga Sihotang dan keturunan Si Raja Oloan.(atau Karo-Karo di Tanah Karo).
4. Marga Matanari di daerah perantauan menghadapi masalah yang termaktub dalam point 1, 2, dan 3 di atas………ibarat makan buah simala kama dalam memilih atau mengaku “ Matanari Pakpak Pegagan atau Matanari anak Sihotang, atau Karo-Karo, atau Sitepu, atau Sinulingga, atau dll…?”
5. Sebagian marga Matanari di daerah perantauan memilih (menyatakan) Matanari anak Sihotang, karena pilihan ini lebih menguntungkan dirinya dalam menjalankan Adat (dalam Suka dan Duka) terkait keluarga besar/famili yang hampir seluruhnya dari orang Batak Toba. Mereka juga mempunyai pengaruh kuat terhadap keluarga (dengngan sebeltek dan berru) Matanari di kampung asal (sekitar kuta Balna Sikabeng-kabeng)……….ah lebih maruntung do mengakui, Matanari anak Sihotang …(….kata mereka), ….nungnga saotik marga Matanari gabe ni pametmet muse diri gabe Matanari Pakpak Pegagan.? ……holan alani si Pinggan Matio…?, ba unang pe taho hula-hula ni Sihaloho/Silalahi hita,…., aha untung sian i…?, on nungga jelas gabe torop dongan sabutuha niba di Paradaton …ah ibana ma i,…..Sihotang do hita ate (kata mereka)…………….dst. Marga Matanari di perantauan sudah ada Pengurus/Ketua “Punguan Sihotang” maupun “Punguan Si Raja Oloan”……….tu dia nama bahenon bohi on…?.........maila hian iba di bahen angka dongan tubu nta on ate..?(….keluh mereka).
6. Apa yang dikatakan sebahagian marga Matanari pada point 5 diatas, dapat diterima akal sehat (benar) melihat kepentingan kebutuhan akan Paradaton di lapangan (defacto),,,,,, akan tetapi segetir apapun masalah yang harus kita telan, kita marga Matanari harus mau (rela berkorban) menjunjung tinggi harkat keberadaan (sejarah yang benar) dari mpung (leluhur) kita selaku orang Batak Pakpak Pegagan, sesuai bukti-bukti sejarah (berdasarkan turi-turian) yang dapat diterima akal sehat. Sejarah yang benar (logis) menunjukkan bahwa Matanari Pakpak Pegagan bukan anak Sihotang orang Batak Toba……jadi bukan karena kepentingan agar menjadi Hula-hula ni Sihaloho atau Silalahisabungan.
7. Alangkah naifnya kita menurunkan sejarah yang salah kepada keturunan Raja Matanari di hari-hari mendatang……..adalah dasar kita untuk menyatakan sejarah yang benar (jangan sekali-kali atas dasar kepentingan sesaat)……kalau dalam Paradaton, untung-rugi dalam marhula-hula-marboru adalah sama.
8. Marga Matanari seharusnya tidak boleh melupakan (menyepelekan) keberadaan Pinggan Matio, Ranimbani, Rumintang dan Siberru Taren berru Matanari……, karena mereka semua adalah namboru kita marga Matanari. Mereka adalah saudara (ito = turang) dari para mpung kita mulai dari Marcintaratus Matanari. Bayangkan kedekatan hubungan diantara mereka pada zaman dahulu kala dengan cara membandingkan hubungan keluarga kita masing-masing sekarang (hubungan orang tua dengan anak-laki-laki dan anak perempuan dan hubungan na mar ito = mar turang……..indah bahagia yak an…?)……..mereka bersedih juga jika dilupakan oleh keturunan saudaranya…. Ya…kan..?. Sangat banyak orang merasakan lebih dekat (akrap) dengan (tulang/namboru dan keturunannya) dibanding dengan (bapa tua/ bapa uda dan keturunannya) dalam hidup sehari-hari…. ya..kan..?. Marilah kita contoh hubungan Sihotang dengan Simanjuntak.
9. Marilah kita marga Matanari membangun sejarah yang benar tanpa ragu dan ikhlas (tanpa embel-embel tententu) asli milik kita sejak dari leluhur (mpung) kita Raja Matanari Pakpak Pegagan, dengan mendekatkan diri (membangun ikatan persaudaran yang erat) dengan marga-marga berikut:
I. Manik Pakpak Pegagan (panggil; ampara/ abang jika lebih tua/anngia jika lebih muda)
II. Lingga Pakpak Pegagan/Karo/Simalungun/Gayo (panggil, ampara/ abang jika lebih tua/anngia jika lebih muda)
III. Sihotang (panggil ampara/abang jika lebih tua/anngia jika lebih muda), berdasarkan sejarah Ikatan (Pesta) Silima Tali di Sumbul Pegagan sekitar tahun 1957, dan kemudian dapat mengikut ke pomparan Si Raja Oloan dan marga Marbun, serta bere na burju ni Sihotang (Simanjuntak Sitolu Sada Ina).
IV. Sihaloho – Silalahisabungan (panggil, amang boru)
V. Bintang (panggil, amang boru)
VI. Maha (panggil, amang boru).
Mendekatkan diri kepada saudara-saudara bermarga tersebut di atas tidak akan membuat marga Matanari menet (kecil/hina) akan tetapi sebaliknya…..semoga Matanari Pakpak Pegagan semakin Jaya ke masa depan
Kepada kita keturunan Raja Matanari, kita harap dapat menjauhan sikap “mudah menyalahkan” pendapat sesama kita, tetapi mari kita saling menghargai perbedaan pendapat……kemudian kita masing-masing coba menuliskan apa kebenaran atau legenda yang kita ketahui tentang/terkait Tarombo Matanari, untuk selanjunya menjadi bahan pelajaran buat kita semua yang berguna kelak dalam mengambil satu kesimpulan yang kebenarannya paling akurat……Bagi mo ti kaltu..? . Pesan ini saya sampaikan terutama buat kita yang aktip memberikan komentar di inter net (misalnya; Mpantas Matanari, Antonius Matanari, Stefanus Matanari, Marganda Matanari, Antony Matanari, Drs. Asiroha Matanari, Sich Jerry Matanari, SE, Ir. Sofyan Matanari dan Sadakata Matanari, SH, MA)…… ta enget mo sada daroh mo kita karina ti, boi ngo beda pendapat tapi ulang mo kita rubat i,….. mela kita situk mendahi kalak ti..?. Pos ngo ukur ku mendahi kita karina, belgah mo kelleng nta mendahi kita na mardengngan sebeltek marga Matanari karina.
Bage kata situa-tua simendokken:
Makam Ndates Cundut, Makam nterrem jabu-jabu
Koden mak mbelgah ngo, kssa oda kita sada perdakanen
Kayu kurang nggeddang ngo asa oda kita sada bagas
Njuah-nyerdik mo kita karina
Aceh mo nina sipihir tulan, tanoh na mahan pilih-pilihan,
Maseh mo ate Tuhan, ulang lot mendahi kita perselisihan
…….oang ….oang.
Tumpak simerpara, mermbuahi dahan parira,
Manumpak mo Tuhan Debata, iperkininjuahi kita karina
……………..oang….oang
Dua lubang ni sige, sada mo mahan gerrit-gerritan,
Mella laus merga Matanari barang mike, ulang mo mbernit-mberniten.
………oang….oang
NJUAH-NJUAH ……HORAS
Tidak ada gading yang tidak retak, maka jika ada tutur kata yang salah mohon penulis dimaafkan, dan tolong diberikan kritik demi perbaikannya.
LIAS ATE
Hormat penulis
Jawaller Matanari, Ir. MS
Putra Pendeta Ds. Josep (mpu Sich Jerry) Matanari par kuta Great-Kuta Gugung
Ketua PERMANA Medan dan Sekitarnya
Kontak: mobile 081361149346
matanarij@yahoo.com
www.geocities.com/matanarij
www.jerrymatanari.blogspot.com
www.pakpakpegagan.blogspot.com
Sumber:
No comments:
Post a Comment