Tuesday, March 13, 2012

PERJUANGAN WHOLISTIC RAJA SISINGAMANGARAJA XII


  • PERJUANGAN WHOLISTIC RAJA SISINGAMANGARAJA XII

    Paper Prof. Dr. Bungaran Antonius Simanjuntak untuk Seminar Nasional peringatan 100 tahun gugumya pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII, tgl 26 Mei 2007 di Medan.
    Prof. Dr. Bungaran Antonius Simanjunfak adalah Guru Besar Sosiologi dan Antropologi, serta Ketua Program Pasca Sarjana Antropologi Sosial Universitas Negeri Medan
    Perjuangan wholistic adalah perjuangan menyeluruh.
    (Untuk selanjutnya ditulis Sisingamangaraja saja dengan maksud menunjuk kepada Sisingamangaraja XII)

  • Ada pandangan yang berkembang di kalangan orang Batak, orang Tapanuli pada umumnya bahwa. perjuangan Raja Sisingamangaraja XII adalah perjuangan melawan Belanda, karena rasa tidak senang, karena benci, karena mau menjajah, menduduki tanah Batak dan mengambil hasil tanah Batak dan membawanya ke tanah Belanda.

  • Ada pula yang berpandangan bahwa perjuangan Raja Sisingamangaraja adalah sama dengan perjuangan pahlawan nasional lainnya, seperti Pangeran Diponegoro, Iman Bonjol, Tjut Nya’ Din, Pattimura, dll yang menentang penjajahan Belanda dan tetap mempertahankan tanah airnya serta bertekad mengusir penjajah.

  • Dikumandangkan slogan bahwa Perjuangan Raja Sisingamangaraja adalah perjuangan yang heroik, yang mempertaruhkan nyawa sampai titik darah penghabisan untuk membela dan mempertahankan tanah air, bangsa dan agamanya dari kangkangan dan pelecehan penjajah.

  • Semua pandangan di atas adalah benar bahwa Sisingamangaraja adalah pahlawan bangsa yang tidak mengenal menyerah sampai titik darah penghabisan. Demikian juga putra dan putrinya, Patuan Nagari, Patuan Anggi dan Lopian. Ia rela membawa mereka berjuang bersama diri dan pasukannya untuk mempertahankan tanah airnya. Tetapi pertanyaan kita ialah benarkah hanya sebatas itu perjuangan pahlawan nasional Sisingamangaraja? Kajian ilmiah berikut akan mencoba menganalisis dan membeberkan dengan rinci bahwa perjuangan Raja Sisingamangaraja lebih luas dan lebih universal dari pada hanya sekedar heroisme, membela tanah air, kepahlawanan, menolak menyerah, titik darah penghabisan, tidak rela ditawan dan menyerah kalah. Perjuangan Sisingamangaraja lebih dalam dari itu, lebih fungsional dan lebih strategik.

    Tentang perjuangan Sisingamangaraja secara lengkap, runtut bahkan kronologis, silahkan membaca buku-buku sejarah yang sudah cukup banyak ditulis para penulis Batak apalagi penulis Belanda (dari sisi pandang dan kepentingan mereka). Dari penulis Batak saya sarankan membaca buku karangan Dr.W.B.Sijabat, Ahu Sisingamangaraja, 1982 ; O.L.Napitupulu, Perang Batak, Perang Sisingamangaraja, 1971. Dari penulis Belanda tulisan E.E.W.G. Schroder, Memorie van Overgave van de Residentie Tapanoeli, 1920. Dan juga daftar bacaan melanjutkan yang saya cantumkan pada akhir naskah ini.

    Naskah ini menitik beratkan muatan pandangan analisis konseptual ilmiah, sebagai bukti perjuangan beliau yang luar biasa secara empiris faktual sejak perjuangan dengan strategi diplomasi 1876-1877 akhir, hingga perang phisik 1878-1907 selama 30 tahun.


    Pahlawan HAM
    Perlawanan Sisingamangaraja tidak hanya ditujukan kepada usaha mempertahankan tanah air dari penguasaan dan perebutan penjajah Belanda. Dia juga sambil bertempur melawan Belanda, beliau terus juga menolak perbudakan dan pencengkeraman terhadap kebebasan rakyat. Dia membebaskan para tawanan yang dipasung, diikat dan dihukum secara tidak manusiawi oleh kekuasaan raja-raja lokal. Dia sangat menghargai hak hidup, hak bebas, hak merdeka, hak kesehatan, hak kebebasan dari rasa takut, setiap orang. Karena itu seluruh rakyat mencintainya.
    Perjuangan HAM yang telah dirintis Raja Sisingamangaraja ini perlu diperdalam, fondasinya, essensinya dan eksistensinya untuk disumbangkan kepada Negara dun dunia internasional. Perjuangan ini adalah perjuangan universal yang telah dilakukan Sisingamangaraja


    Pahlawan Social Responsibility
    Berbarengan dengan pertempuran melawan Belanda, beliau juga memperhatikan bahkan mengamati dengan cermat kehidupan dan kesehatan rakyatnya. Walau dalam perjalanan perang dia juga menyembuhkan orang-orang sakit. Memberi nasihat bagaimana melawan penyakit dengan cara memberi ramuan dan tindakan yang harus dilakukan agar semua musuh yang tampak dan tidak tampak (ula-ula, alogo na jahat, Jenis ilmu hitam yang dimiliki dan dipraktekkan orang Batak jaman dahulu) dapat dikalahkan. Pesan melawan penyakit itu juga disebarkan melalui mulut ke mulut oleh rakyatnya, sehingga tona itu menyebar ke seluruh tanah Batak. Dia memperhatikan nasib rakyat yang ditemuinya: Kalau ada orang yang terpasung segera dimintanya dibebaskan (al. di Sibaganding, 1883, dan di tempat-tempat lain). Karena itu dia sangat membela nasib sosial setiap orang.

    Prinsip beliau yang sangat mendalam ialah sambil berperang melawan Belanda, juga berperang melawan penyakit dan sumber penyakit kejahatan. Walau dalam pertempuran, namun tanggung jawab sosial kepada rakyat tetap dilakukan.

    Pahlawan Pluralisme dan Multikulturalisme
    Dia melakukan hubungan dengan Kesultanan Aceh yang pada saat yang hampir sama 1873 juga melakukan perlawanan kepada Belanda. Sisingamangaraja mendapat bantuan dari Sultan Iskandar Muda berupa panglima dan pasukan jitu yang ditakuti Belanda. Sama dengan pasukan khusus atau paratroops yang sangat ditakuti. Pada saat perang Batak dikobarkan tahun 1878, pasukan berani mati dari Aceh ini sudah mendampingi beliau melawan Belanda.

    Beliau tidak hanya mengandalkan pasukan dari tanah Batak yang digalang melalui para raja maropat, raja bius dan raja horja, tetapi juga dari sub etnik dan etnik lain misalnya Batak Timur (Simalungun), Pardembanan, dan Aceh. Adanya kebiasaan para anggota pasukan yang heterogen dan berbudaya yang berbeda itu menunjukkan bahwa beliau menguasai dan mengakui serta memelihara budaya-budaya yang beragam itu. Karena itu beliau berjuang juga memakai basis multikulturalisme (keberagaman budaya).


    Pahlawan Liberte, Egalite, Fraternite
    Dia memegang prinsip kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan (Liberte, Egalite; Fraternite) adalah hak fundamental manusia, termasuk manusia Batak. Ketika beliau mendapat informasi dari titik sandinya, bahwa Belanda akan memperluas kekuasaannya ke dataran tinggi Toba dengan dalih melindungi gerakan Zending Kristen, Sisingamangaraja mengirim surat agar maksud itu dibatalkan. Karena setiap orang berhak untuk merdeka dan berdiri sendiri, termasuk orang Batak (waktu itu disebut bangso Batak).

    Beliau mengulangi lagi mengirim masuk kepada pihak Belanda di Sibolga, agar mengurungkan maksud untuk mengirimkan bala tentara ke Silindung, dengan alasan bahwa pasukan Sisingamangaraja dan pasukan Aceh yang didatangkan dari Kerajaan Aceh (Sultan Iskandar Muda) akan menyerang Silindung dan membunuh para zendelingen. Beliau menyatakan bahwa issu itu tidak benar.

    Strategi diplomasi dengan mengirim surat dan utusan untuk membatalkan maksud jahat Belanda itu dilakukannya antara tahun 1876 – 1878 awal. Ini memperlihatkan bahwa Sisingamangaraja adalah anti pertumpahan darah. Dia menjunjung perdamaian. Azas perdamaian yang dipegangnya adalah berdasar pada hak kemerdekaan bagi setiap orang dan bangsa. Dia memandang bahwa setiap orang itu punya hak yang sama, punya hak azasi kesetaraan. Itu sebabnya dia juga selalu membebaskan budak dan tawanan perang (antar huta, antar marga). Berdasarkan pandangan itu beliau sebenarnya berprinsip bahwa semua manusia itu bersaudara. Oleh karena itu harus selalu membantu, menolong dan melindungi.

    Oleh karena itu piinsip perjuangannya tidak kalah dengan prinsip perjuangan orang Perancis. Filosofi liberte, egalite dan fraternite bukan hanya milik orang Perancis, tetapi juga filosofi dan pandangan hidup orang Batak, terutama raja Sisingamangaraja. Bahkan menjadi landasan perjuangan kemerdekaan orang Batak yang dipimpinnya melawan penjajahan Belanda.


    Pahlawan Unitarisme
    Beliau mengajak para raja maropat disegala wilayah di Sumatera. Dia juga berhubungan dengan para raja maropat di Simalungun, al. raja Raya Tuan Rondahaim, juga raja di Bandarpulo, Pagurawan Asahan, Labuhan Batu (raja Lunggur), dan mengunjungi rakyat Batak Pardembanan (Sumatera Timur). Dia menyatukan perjuangan raja-raja lokal yakni para raja maropat. Praktek perjuangan unitarisme ini terlihat ketika beliau mengumandangkan deklarasi Pulas kepada Belanda, ketika perang frontal Bahalbatu, Tanggabatu, Balige, Laguboti, maupun perang sektoral di Lobu Siregar, Bakara, Meat, Sionom Hudon, perang Asahan, dll.

  • “Pulas adalah suatu deklarasi pemyataan perang kepada Belanda, dengan memakai simbol manusia tarbuat dari ubi (rambat/kayu) yang diukir berupa tubuh manusia yang ditusuk tombak bamboo kecil dan digantungi surat pernyataan perang serta digantungkan ditempat terbuka (biasanya onan/pasar). Perang antar individu diumumkan dengan manutung longit, yaitu daging yang dibakar dan dikirimkan kepada musuh. Pulas dan longit adalah simbol kekesatriaan orang Batak yang mengumumkan maksud perangnya secara terbuka kepada musuh. Tidak menyerang secara sembunyi-sembunyi. Mereka memberi kesempatan kepada musuh untuk mempersiapkan diri untuk melawan.


  • Pahlawan Pembentuk Pasukan Inong.
    Saat konsolidasi perjuangan di wilayah pulau Samosir setelah dia kembali dari Asahan, Sumatera Timur dan Simalungun dia menerima terbentuknya pasukan inong. Pasukan perempuan yang dibentuk oleh kaum perempuan di Ronggurnihuta, di puncak bukit tertinggi di pulau Samosir. Pasukan inong ini terdiri dari kaum perempuan, ibu-ibu dan anak gadis, menyertainya bertempur sampai ketempat konsentrasi terakhir di Sionom hudon Dairi. Dapat dipastikan bahwa pasukan inong ini dipimpin oleh si boru Lopian, dibantu oleh pejuang perempuan yang lebih tua darinya.
    Dari adanya pasukan inong ini, terlihat bahwa Sisingamangaraja menghargai eksistensi kaum perempuan. Persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam mempertahankan martabat bangsa dan wilayah (negara). Beliau menolak diskriminasi seksual dan gender.


    Strategi Perang Sektoral, Holistik, Frontal-Total
    Dari data dokumental yang ditulis oleh para penulis Batak, maupun Belanda, dapat disimpulkan bahwa perjuangan clan pertempuran yang diterapkan Sisingamangaraja sungguh luar biasa dan konsisten. Basis dinamika perjuangan itu al. strategi cultural (adat partuturan, adat demokrasi), strategi penyerangan dan pertahanan yang sektoral dan frontal, strategi ekologi sesuai kontur alam tanah Batak.

    Saya namakan adat demokrasi, karena bermusyawarah, marrapot, marria raja, marhata, martonggo raja adalah kebiasaan orang Batak. Kata demokrasi dipinjam dari perbendaharaan modern sekarang untuk memperlihatkan bahwa parrapotan, parriaan, partonggoon, parhataan adalah nama-nama untuk demokrasi. Jadi demokrasi adalah bahagian utama dalam adat Batak
    Sisingamangaraja selalu mengajak raja-raja huta, horja, bius dan raja maropat dan para panglimanya bermusyawarah ketika akan memutuskan perlawanan kepada usaha Belanda memperluas kekuasaannya di tanah Batak dengan pernyataan deklarasi Pulas (musyawarah Balige, 16 Februari 1878 ). Bahkan ketika beliau menyingkir dari kejaran Belanda, di tempat dia menginap, selalu bermusyawarah dengan raja setempat.

    Pertempuran dilakukan dengan strategi sektoral, yaitu melibatkan pasukan dari wilayah-wilayah terdekat dengan kawasan pertempuran, misalnya pertempuran Lobu Siregar, Meat, Tarabunga, pertempuran Muara dan Bakara, pertempuran Sionom Hudon, Uluan, Asahan Hulu (1907). Strategi frontal dilakukan ketika beliau hendak menghancurkan pasukan Belanda seluruhnya, dilakukan pada pertempuran Bahal Batu, Tangga Batu, Balige (1883), Laguboti (1883).


    Saran
    Disarankan agar para ahli, akademisi dan peminat sejarah untuk meneliti lebih lanjut dalam perjuangan Raja Sisingamangaraja XII ini. Titik pendalaman dapat dilakukan dari berbagai, adat istiadat, seni, ekonomi, hak azasi manusia, hukum maupun sosiologi.

    Dengan demikian kita akan menemukan akar pesan dan warisan perjuangan yang holistik itu yang menjadi basis perjuangan orang Batak dan rakyat Indonesia ke masa depan dalam abad globalisasi ini. Kita harus mencari nilai strategi perang, nilai strategi politik diplomasi; nilai kultural, sosial ekonomi, nilai hak azasi, untuk kita pakai membangun kesatuan bangsa Indonesia dan pergaulan internasional antar bangsa.


    (Editor Partungkoan : Satu halaman daftar bacaan tidak kami tampilkan karena copynya tidak lengkap kami terima dari panitia seminar)

     Sumber:

No comments:

Post a Comment