Friday, March 23, 2012

PAUL MICHEL MUNOZ-‘Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula DAN BARUS

PAUL MICHEL MUNOZ-‘Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula DAN BARUS

Buku yang ditulis oleh Paul Michel Munoz, judulnya ‘Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula’ menceritakan lokasi-lokasi dan kerajaan yang ada di sekitar semenanjung Malaya dan Jawa. Dari buku ini disebutkan beberapa nama untuk Jawa dan Sumatra pada abad ke-7 sampai 9M dari berbagai versi yaitu:

1. Bahasa Yunani (Greek) menyebut Jawa, Sumatra (Sriwijaya dan Melayu) sebagai: ‘Sabadibae, Labadium atau Zabai’
2. Bahasa China menyebut Jawa sebagai ‘Shepo, Chopo atau Chao-wa’ dan Sumatra sebagai ‘Ye-po-ti’ atau Sriwijaya sebagai ‘Kantoli, Chelifoche, Shi Li Fo Shi, Sanfotsi atau Sanfoqi’.
3. Bahasa Sanskrit menyebut Jawa dan Sumatra sebagai ’Yavadesh’
4. Bahasa Pali menyebut Jawa dan Sumatra sebagai ’Javadesh’
5. Bahasa India Utara menyebut Jawa sebagai ‘Yavadvipa’ dan Sumatra sebagai ’Suvarnadvipa’
6. Bahasa India Selatan menyebut Jawa dan Sumatra sebagai ’Javaka – Cawaka’
7. Bahasa Arab menyebut Jawa dan Sumatra sebagai ’Zabag, Zabaj, Ranaj’
8. Eropa menyebut Jawa sebagai ‘Java’ dan Sumatra sebagai ’Java Minora’
9. Bahasa Malay menyebut Jawa dan Sumatra sebagai ’Jaba’
10. Bahasa Thai menyebut Jawa dan Sumatra sebagai ’Chawa’
11. Bahasa Khmer menyebut Jawa dan Sumatra sebagai ’Jva, Melayu’

Buku ini menarik dibaca karena menceritakan beberapa legenda dan mitos tentang awal-awal migrasi bangsa zaman dulu sehingga mendiami kepulauan Nusantara. Buku ini juga menceritakan tentang ‘Barus (Barousai, Fansur, Fansuri)’ suatu kota tua dengan sejarah yang sangat panjang, karena terkenal dengan kapur barusnya yang dipakai untuk membalsem mummi Firaun di Mesir, dan juga ada dalam catatan Ptolemeus, salah satu ilmuwan Yunani.

Ada beberapa link yang menceritakan kota ini misalnya:
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0504/01/tanahair/1552017.htm
http://dedismk.multiply.com/journal/item/26/Ziarah_Ke_Barus_tempat_masuknya_Islam_ke_Nusantara
http://tano-batak.blogspot.com/2007_06_01_archive.html

Khusus buku karya Munoz ini terasa lebih lengkap karena juga menyertakan beberapa sumber yang tidak terungkap sebelumnya misalnya dari informasi pedagang India, China, dan Arab.
Btw, kenapa ya, selalu orang lain yang lebih paham akan sejarah kita? Apa karena naskah-naskah kuno kita dibawa ke Eropa sewaktu dijajah? atau karena kita kurang minat? kurang tekun? atau kurang menarik? Mungkin lebih menarik ngomong politik kali ya di saat sekarang hehehe


Posted by Dedy on Oct 4, ’07 1:11 AM for everyone


Pelabuhan Barus dikenal sebagai pintu gerbang masuknya Islam ke Nusantara. Marcopolo, pengelana dari Eropa, juga pernah menyinggahinya ketika pertama kali datang ke Sumatera

Barus di Tapanuli Tengah dulunya adalah sebuah pelabuhan yang bernama pelabuhan Barus, pelabuhan ini sungguh sangat dikenal oleh dunia luar, para-para pedagang dari berbagai penjuru dunia singgah ke pelabuhan ini untuk melakukan perdagangan , hingga akhirnya agama islam masuk ke nusantara asal muasalnya dari kota yang terkenal dengan kapur barus ini.

Perjalanan kali ini mencoba melihat peninggalan-peninggalan dan kondisi Barus saat ini. Perjalanan memang terasa sangat melelahkan. Namun, untuk seorang penapak sejati,  lama waktu perjalanan hingga  rintangan yang dihadapi tidak menjadi kendala yang berarti bagi diri, dengan backpack  yang  di panggul dan  kamera yang dirangkul, perjalanan ini akan memberikan cerita tersendiri.

Jadwal keberangkatan tertulis di tiket pukul 12.30, namun sayang jadwal penerbangan pun diundurkan.“ternyata begini penerbangan di Kota ini, sudah waktu yang tertunda  sejam, dan itu pun molor hampir sejam pula,” ungkapku, namun dihati
Hari pun sudah mulai gelap dan matahari pun mulai terbenam sedikit demi sedikit hingga hilang dari pandangan mata. Badan kini sudah mulai lelah, sedikit lagi kami kan tiba di daerah tujuan yang masih menyimpan rahasia buat kami.

Welcome to Barus, Horas..!
Melihat sebuah tulisan yang tertulis di sebuah gapura tersebut, merupakan suatu kepuasan dan kelegaan bagi kami, dan ternyata kami t’lah tiba di Kota tertua di Indonesia ini.

Akhirnya nyampai juga di Kota tertua yang juga sebagai pintu gerbang masuknya agama islam ke Nusantara. Pastilah mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia, mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.

Salah satu bukti atau petunjuk tentang muasalnya masuknya Islam masih bisa dijumpai hingga sekarang , berupa makam Islam tua di 11 lokasi. Misalnya komplek makam Syeh Machmudsyah di Bukit Papan Tinggi, dan makam Syeh Rukunuddin di Bukit Mahligai. Keduanya wafat pada tahun 440 dan 480 Hijriah. Angka itu diperoleh setelah menafsirkan tulisan pada nisannya.

Cuaca memang sedikit buruk,  gerimisnya hujan turut serta menemani perjalanan kami menuju Kota ini, namun tidak menggangu selama perjalanan, apalagi jalan ke Barus juga sudah lumayan bagus.
Di Barus terdapat 44 makam syekh, dengan keberadaanya yang bertebaran di berbagai tempat di kota ini. Tim pun  berkunjung di beberapa makam yang masih dapat dilalui dengan   kenderaan roda 4 dan juga dengan GL (goyang lutut-red).

Pertama dimulai dengan mengunjungi makam Tuan Machdum, jaraknya tidak jauh dari pnggiran  jalan raya. Hanya berjalan melewati persawahan padi milik penduduk dan menaiki 49 anak tangga makam pun telah tiba.

Dilanjut dengan mengunjungi makam Tuan Ibrahim Syah, letaknya yang persis di pinggir jalan raya bila kita telah memasuki jalan Ke Barus. Selanjutnya mengunjungi makam yang berada di Bukit papan Tinggi serta melanjutkan perjalanan ke Makam Mahligai yang terletak di desa di Desa Aek Dakka
Dikala menyambut bulan Ramadhan,  dan menjelang Lebaran banyak masyarakat muslim dari berbagai kota berkunjung ke Tempat ini. Berziarah dan  memanjatkan doa bersama dengan  keluarga.
“ Setiap tahunnya banyak pengunjung datang dari berbagai kota untuk berziarah ke makam ini, dan saya terkadang menjadi guide bagi tamu tersebut,” kilah Pak Sihotang.

Sejarahwan Islam dalam maupun luar negeri mengakui arti penting pantai Barat Pulau Sumatera (Andalas) sebagai salah satu daerah awal masuknya Islam ke Nusantara. Hal tersebut diyakini dengan adanya makam-makam syekh yang terdapat di beberapa tempat di daerah Barus ini.
Bahkan Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya
.
Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur. Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya).

Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai


Al-Fansyuri Punya Kenangan
Sosok Al-Fansyuri juga sangat terkenal dan juga dikenang  di Bandar Barus, yang  kini di Kecamatan Barus.  Menurut  Dalmi Kusnadi beliau adalah seorang pedagang dari Arab dan juga salah satu penyebar agama islam di Nusantara.

Di Barus terdapat dua buah pulau yang dan salah satu pulau yang keberadaannya tampak dari daratan barus ini adalah sebuah tempat persinggahan
Pulau Karang terlihat tidak terlalu jauh dari pinggir pantai. Kata Dalmi Kusnadi lagi di Pulau ini terdapat makam Au

Dan satu lagi ada Pulau Murshalah, di Pulau ini terdapat sebuah masjid dan peduduk yang bermukim di siti pun juga ada. Sewaktu masih hidup, Pulau Murshalah ini adalah daerah favorit-nya AL-Fansyuri.

Di Pulau tersebut menjadi tempat persinggahan bagi Al-Fansyuri, di Pulau ini terdapat air terjun yang juga sebagai tempat pemandian bagi pedagang dari Arab ini.
Untuk mengenangnya, kini nama Al-Fansyuri di kenang masyarakat setempat dengan menjadikannya nama sebuah hotel di Kota Barus, namanya Hotel Fansyuri, yang terletak di Jl. Jend.A.Yani .


710 anak tangga menuju Makam di Bukit Papan Tinggi
Dari seluruh makam syekh yang ada di Barus ini, makam ini lah yang paling tinggi tempat keberadaannya, yakni bekisar 200 meter diatas permukaan laut (Mdpl)
Ketinggian makam itu dibanding 43 makam bersejarah lainnya, menjadi alasan terdahulunya kedatangan Syekh Mahmud ketimbang para penyebar Islam lainnya.

”Dulu, konon cerita Barus sekarang ini adalah laut, dan pantainya adalah perbukitan yang menuju Bukit Papan Tinggi, atau paling tidak dulunya daratan ini masih rawa-rawa dalam. Seiring dengan perubahan ekologis, laut atau rawa-rawa itu jadi daratan yang kini menjadi Kota Barus,” kata  Pak Sihotang lagi.

Dengan penuh  rasa penasaran kami pun berangkat menuju Bukit Papan Tinggi ini, dan ternyata perjalanan menuju makam yang berada di atas bukit ini harus menempuh 710 anak tangga. Dan memang lumayan perjalanan yang memakan waktu kurang lebih satu jam ini lumayan menguras tenaga.

Setapak demi setapak “eskalator mati”  yang basah akibat gerimisnya hujan kami tapaki satu demi persatu, perlahan lahan rasa pegal pun terasa di dengkul , hingga kami beristirahat ke tangga yang ke 500, dan ditangga yang kelima ratus ini telah disediakan tempat untuk beristirahat sejenak.
Amir teman seperjalanan terlihat masih tertinggal 100 tangga ke bawah.“Jangan menyerah menir..,” gurau ku kepada rekan seperjalanan, dan dia pun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, dengan raut muka yang terlihat pucat pasi karena dia sedang berpuasa.

Cuaca saat itu sangat mendukung, teriknya matahari tak terlihat saat itu, hanya gerimis dengan angin sepoi-sepoi mengalun perjalanan kami hingga tiba di puncak.

Dengan menaiki 210 anak tangga yang tersisa, kami pun tiba di makam Syekh Machmudsyah, sebuah makam yang memiliki ketinggian kurang lebih 200 Mdpl

“ Konon cerita, banyaknya tangga menuju Bukit ini tidak dapat terhitung dengan tepat, banyaknya tangga tidak memiliki kepastianyang tepat bila dihitung,” ungkap Pak Sihotang yang juga ikut naik ke makam.

“Beri salam dan alas kaki dibuka” Tertulis di dinding pagar pintu masuk ke dalam komplek yang berada di Bukit Papan Tinggi ini. Makam nya pun tertata rapi dan juga bersih, semuanya terawat dengan apik.

Angin sepoi-sepoi memberikan kesejukan di hati serta menghilangkan letih yang tadi menyelimuti, ditambah dengan  keindahan panorama yang mengelilingi Bukit ini menambah tentramnya suasana hati saat itu.


Kapur Barus untuk Firaun
Bisa jadi kalau kapur Barus masih eksis di Kota ini, negara kapur barus mungkin sudah bertebar diberbagai penjuru dunia.

Menurut Pak Rusli Pohan, Salah satu orang tua yang ada di Barus ini, kapur barus sudah lama tidak lagi terproduksi. “ Aneh memang, daerah yang dikenal dunia dengan wewangian khas kapur barusnya itu kini hanya menjadi cerita semata,” tambah Pak Rusli lagi.

Sangat disayangkan pastinya, yang dulunya negara luar mencari kapur Barus di sini semuanya hanya tinggal sejarah saja. Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!


Tsunami tak Melanda Barus
Masih ingatkah anda tragedi Tsunami yang melanda  Aceh dan Nias, ternyata di Kota Barus ini terjadi pula sebuah kejadian yang aneh tapi nyata, dan hal tersebut tidak terpublikasikan  oleh media.

Sama seperti di Aceh, air laut surut dan masyarakat setempat berbondong bondong mengumpuli ikan yang tertinggal di pinggiran pantai. Begitu juga di pinggiran pantai di Barus, namun bedanya tsunami tak melanda Barus

Menurut Dalmi Kusnadi saat kejadian Tsunami ke 2 yang melanda Nias, air surut hingga kurang lebih dua ratus meter dari pingiran pantai  Barus. Dan ini sempat menghebohkan masyarakat setempat dengan adanya isu Tsunami.

“ Penduduk semua pada berlarian mencari daratan yang lebih tinggi karena takut akan adanya tsunami di Barus, dan saya ditugaskan untuk tinggal di pinggir pantai untuk memantau apa yang akan terjadi,” ungkap pria ini.
Ternyata tidak terjadi apapun di daerah ini, dan tambah Dalmi Kusnadi lagi, temannya yang sedang melaut melihat 7 orang sosok memakai jubah dan sorban putih  persis seperti ulama berdiri di tengah surutnya air.

“ setelah melihat sosok itu, sikap mereka kini telah berubah delapan puluh derajat. Yang dulunya suka minuman keras dan berjudi kini telah bertobat dengan melihat kejadian tersebut,” tambah pria yang ingin mendalami sejarah kampung halamannya ini.

Dan sosok yang dilihat itu, diyakini mereka adalah sosok para aulia yang menjaga daerah ini dari hantaman Tsunami yang melanda Aceh dan Nias.

Banyak jalam menuju ke Roma, begitu juga seadanya dengan Barus. Banyak alternatife perjalanan bila anda ingin berkunjung ke daerah nyaman dan tenang ini. Selain ingin merasakan suasana dan nuansa yang tidak didapatkan di daerah perkotaan anda bisa liburan ke Barus yang berada di daerah Tapanuli Tengah.

Kalau Anda ingin berziarah ke Barus, carilah tiket penerbangan menuju Bandara Pinang Sore.  lalu dilanjutkan ke Sibolga, dan dari Sibolga hanya bekisar dua sampai tiga jam perjalanan higga  tiba di Barus, namun jangan sampai kemalaman anda berangkat dari Sibolga menuju Barus, karena angkutannya tidak akan ada lagi.

Kalau menempuh jalan darat, juga tersedia transportasi umum dari Medan yang langsung sampai Barus. Dan semua kendalinya ada ditangan anda, tinggal pilih yang mana.


=====================================000000000000000000000000000000000000000==========================================


Kompas, 1 April 2005

BARUS, sebuah nama daerah terpencil di pesisir pantai barat Sumatera Utara. Tetapi, sejarah daerah ini sebenarnya sangat tua, setua ketika kapal-kapal asing beribu tahun sebelum Masehi singgah mencari kapur barus di sana. Dari Barus pula, agama Islam dan Kristen pertama-tama dikenalkan ke seluruh Nusantara.

BARUS atau biasa disebut Fansur barangkali satu-satunya kota di Nusantara yang namanya telah disebut sejak awal abad Masehi oleh literatur-literatur dalam berbagai bahasa, seperti dalam bahasa Yunani, Siriah, Armenia, Arab, India, Tamil, China, Melayu, dan Jawa.

Berita tentang kejayaan Barus sebagai bandar niaga internasional dikuatkan oleh sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolemaus, seorang gubernur dari Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir, pada abad ke-2.

Di peta itu disebutkan, di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang menghasilkan wewangian dari kapur barus. Diceritakan, kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari Barousai itu merupakan salah satu bahan pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II, atau sekitar 5.000 tahun sebelum Masehi.

Berdasakan buku Nuchbatuddar tulisan Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam sekitar abad ke-7. Makam tua di kompleks pemakaman Mahligai, Barus yang di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi atau 48 Hijriah, menguatkan adanya komunitas Muslim di daerah ini pada era itu.

Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.

Penggalian arkeologi yang dilakukan oleh Daniel Perret dan kawan-kawannya dari Ecole francaise d’Extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerja sama dengan peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua, Barus, membuktikan pada abad IX-XII perkampungan multietnis dari suku Tamil, China, Arab, Aceh, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya juga telah ada di sana. Perkampungan tersebut dikabarkan sangat makmur mengingat banyaknya barang-barang berkualitas tinggi yang ditemukan.

Pada tahun 1872, pejabat Belanda, GJJ Deutz, menemukan batu bersurat tulisan Tamil. Tahun 1931 Prof Dr K A Nilakanta Sastri dari Universitas Madras, India, menerjemahkannya. Menurutnya, batu bertulis itu bertahun Saka 1010 atau 1088 Masehi di zaman pemerintahan Raja Cola yang menguasai wilayah Tamil, India Selatan. Tulisan itu antara lain menyebutkan tentang perkumpulan dagang suku Tamil sebanyak 1.500 orang di Lobu Tua yang memiliki pasukan keamanan, aturan perdagangan, dan ketentuan lainnya.

Namun, Lobu Tua yang merupakan kawasan multietnis di Barus ditinggalkan secara mendadak oleh penghuninya pada awal abad ke-12 sesudah kota tersebut diserang oleh kelompok yang dinamakan Gergasi.

“Berdasarkan data tidak adanya satu benda arkeologi yang dihasilkan setelah awal abad ke-12. Namun, para ahli sejarah sampai saat ini belum bisa mengidentifikasi tentang sosok Gergasi ini,” papar Lucas Partanda Koestoro, Kepala Balai Arkeologi Medan.

Setelah ditinggalkan oleh komunitas multietnis tersebut, Barus kemudian dihuni oleh orang-orang Batak yang datang dari kawasan sebelah utara kota ini. Situs Bukit Hasang merupakan situs Barus yang berkembang sesudah penghancuran Lobu Tua.

Sampai misi dagang Portugis dan Belanda masuk, peran Barus yang saat itu telah dikuasai raja-raja Batak sebenarnya masih dianggap menonjol sehingga menjadi rebutan kedua penjajah dari Eropa tersebut. Penjelajah Portugis Tome Pires yang melakukan perjalanan ke Barus awal abad ke-16 mencatat Barus sebagai pelabuhan yang ramai dan makmur.

“Kami sekarang harus bercerita tentang Kerajaan Barus yang sangat kaya itu, yang juga dinamakan Panchur atau Pansur. Orang Gujarat menamakannya Panchur, juga bangsa Parsi, Arab, Bengali, Keling, dst. Di Sumatera namanya Baros (Baruus). Yang dibicarakan ini satu kerajaan, bukan dua,” demikian catatan Pires.

Tahun 1550, Belanda berhasil merebut hegemoni perdagangan di daerah Barus. Dan pada tahun 1618, VOC, kongsi dagang Belanda, mendapatkan hak istimewa perdagangan dari raja-raja Barus, melebihi hak yang diberikan kepada bangsa China, India, Persia, dan Mesir.

Belakangan, hegemoni Belanda ini menyebabkan pedagang dari daerah lain menyingkir. Dan sepak terjang Belanda juga mulai merugikan penduduk dan raja-raja Barus sehingga memunculkan perselisihan. Tahun 1694, Raja Barus Mudik menyerang kedudukan VOC di Pasar Barus sehingga banyak korban tewas. Raja Barus Mudik bernama Munawarsyah alias Minuassa kemudian ditangkap Belanda, lalu diasingkan ke Singkil, Aceh.

Perlawanan rakyat terhadap Belanda dilanjutkan di bawah pimpinan Panglima Saidi Marah. Gubernur Jenderal Belanda di Batavia kemudian mengirim perwira andalannya, Letnan Kolonel Johan Jacob Roeps, ke Barus. Pada tahun 1840, Letkol Roeps berhasil ditewaskan pasukan Saidi Marah, yang bergabung dengan pasukan Aceh dan pasukan Raja Sisingamangaraja dari wilayah utara Barus Raya.

Namun, pamor Barus sudah telanjur menurun karena saat Barus diselimuti konflik, para pedagang beralih ke pelabuhan Sunda Kelapa, Surabaya, dan Makassar. Sementara, pedagang-pedagang dari Inggris memilih mengangkut hasil bumi dari pelabuhan Sibolga.

Barus semakin tenggelam saat Kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada permulaan abad ke-17. Kerajaan baru tersebut membangun pelabuhan yang lebih strategis untuk jalur perdagangan, yaitu di pantai timur Sumatera, berhadapan dengan Selat Melaka.

Pesatnya teknologi pembuatan kapur barus sintetis di Eropa juga dianggap sebagai salah satu faktor memudarnya Barus dalam peta perdagangan dunia. Pada awal abad ke-18, Barus benar-benar tenggelam dan menjadi pelabuhan sunyi yang terpencil.

Kehancuran Barus kian jelas ketika pada tanggal 29 Desember 1948, kota ini dibumihanguskan oleh pejuang kemerdekaan Indonesia karena Belanda yang telah menguasai Sibolga dikabarkan akan segera menuju Barus.

Barus yang berjarak 414 km dari Medan benar-benar dilupakan. Pemerintah lebih tertarik mengembangkan perdagangan di kawasan pantai timur Sumatera, khususnya di sekitar Selat Malaka, dengan pusatnya di Batam dan Medan.

Dominasi pembangunan pantai timur ini bisa dilihat pengiriman hasil bumi dari pedalaman pantai barat Sumatera yang harus melalui jalur darat untuk kemudian dibawa dengan kapal dari pelabuhan Belawan, Medan.

Sedangkan untuk melayani arus perdagangan skala lokal di kawasan pantai barat Sumatera, pemerintah lebih tertarik mengembangkan pelabuhan yang lebih baru seperti Singkil di utara dan Sibolga di selatan. Kehebatan Barus sebagai bandar internasional benar-benar dilupakan.
Kini, Barus tak lebih dari kota kecamatan lain di daerah pinggiran yang hampir-hampir tak tersentuh roda pembangunan. Sebagian warganya meninggalkan desa, mencari pekerjaan atau pendidikan di luar daerah.

“Kami yang tinggal di sini hanyalah warga sisa. Yang sukses atau yang berpendidikan enggan menetap di sini. Kota ini telah berhenti, tak ada dinamika, tak ada investasi,” kata Camat Barus Hotmauli Sitompul. (AHMAD ARIF)



Sumber:
http://roysianipar.wordpress.com/batak-peoplefrom-the-early-to-the-latest-this-days-dying-out-of-soul-no-more-unity-in-cultures-like-baliness-every-one-in-batak-society-wanted-to-be-lawers-so-they-can-be-rich-menwomenbribes-and/

No comments:

Post a Comment