Friday, March 23, 2012

SEJARAH BATAK - V

  • SEJARAH BATAK - V



    1830-1867 M

    S.M Raja XI, setelah naik tahta mulai menata kehidupan rakyatnya. Ada yang menyebutkan angka tahunnya adalah 1841-1871. Di beberapa wilayah dilakukan pembangunan. Hubungan diplomasi luar negeri dengan Kesultanan Aceh dijalin kembali. Sang Raja mulai menyadari kehadiran elemen-elemn penyusup yang bermaksud untuk menguasai dan meniadakan Kedaulatan Bangsa Batak. Belanda yang meneruskan kebijakan Raffles tidak bisa menerima; Bangsa Batak malah melakukan kerjasama militer dengan Aceh.
    Perkembangan pembangunan di bidang sosial dan pendidikan meningkat. Kerajaan mulai mengerjakan penulisan sejarah Batak dalam ‘Arsip Bakkara’ setebal 23 jilid. Total Satu setengah meter tebalnya. Sebagain besar mengenai undang-undang, tradisi dan kehidupan kerajaan. Sebuah usaha yang memberikan dampak baik terhadap kredibilitas otoritas raja dan kehidupan masyarakat namun sudah terlanjur terlambat. Elemen-elemen rakyat yang putus asa dengan epidemik kolera sudah banyak yang pro-Belanda.
    Arsip tersebut dijilid setebal lima sentimeter dengan jumlah jilidan 23. Bila ditumpukkan akan mempunyai lebar sekitar satu setengah meter. Ditulis dengan menggunakan pena yang terbuat dari pohon Aren. Tidak diketahui siapa penulisnya tapi yang pasti penulisannya diperintahan oleh Sisingamangaraja XI dalam sebuah usaha untuk memajukan peradaban Batak pada era pemerintahannya.
    Jilid 1 sampai dengan 10, berupa kitab raja-raja kerajaan atau “Book of Kings” seperti Pararaton, Tambo atau Sejarah Melayu dan lain sebagainya.
    Jilid 11 sampai dengan 23, merupakan annals (dokumentasi tahunan) perihal pemerintahan Sisingamangaraja XI di Bakkara. Bila buku ini diterbitkan kembali maka kemasyhurannya dipastikan akan menyamai kitab-kitab Majapahit ala Prapanca.
    Secara rinci mulai dari jilid 1 sampai dengan 3 berisikan informasi mengenai pemerintahan Dinasti Sorimangaraja selama 90 generasi di Sianjur Sagala Limbong Mulana di kaki Gunung Pusuk Buhit.
    Jilid satu dimulai dengan kalimat Ta Pa Da Na Da Na A A Sa Na yang berarti kisah tentang Putri Tapidonda Nauasan, ibu suri dari suku bangsa Batak. Diyakini oleh kepercayaan agama orang-orang Batak saat itu, diturunkan dari ‘banua ginjang” oleh Debata Mulajadi Na Bolon.
    Jilid 2 berisi kisah pemisahan diri orang-orang Batak Simalungun dari kekuasaan Dinasti Sorimangaraja dan mendirikan kerajaan Nagur. Menyusul pula orang-orang Batak Karo yang mendirikan kerajaan Haru Wampu serta kesetiaan orang Mandailing, Angkola dan Sipirok terhadap pemerintah berkuasa saat itu.
    Jilid 3 berisi tentang file-file mengenai keistimewaan dan kesaktian Raja-raja Batak. Legenda-legenda mengenai raja misalnya Sorimangaraja XC yang diyakini dapat menerbangkan benda mati ke udara, demikian juga dari pihak marga Simanullang dan Sinambela yang dapat menerbangkan pedangnya. Semuanya menjelaskan peristiwa konstalasi politik kuno dalam sebuah cerita perumpamaan dimana Dinasti Sorimangaraja dijatuhkan oleh orang-orang marga Simanullang dan dijatuhkan lagi oleh pihak Sinambela
    Jilid 4 sampai 7 berisi dokumentasi pemerintahan Dinati Sisigamangaraja di Bakkara. Semuanya berisi mengenai kelahiran raja dan pengangkatannya dan lain sebagainya. Setiap peristiwa itu juga dibarengi dengan penjelasan mengenai kejadian alam yang menyusul terjadi.
    Di jilid ini juga diceritakan bahwa Sultan Alauddin Muhammad Syah, seorang Sultan Aceh, mengadakan perjanjian kenegaraan dengan pihak Singamangaraja IX dalam kerjasama pertahanan. Sisingamangaraja IX melepaskan pengaruhnya dari Singkil serta daerah Uti Kiri definitif kepada pihak Aceh. Sebagai imbalannya pihak Aceh menyerahkan pengaruhnya di daerah Uti Kanan dengan ibukotanya Lipatkajang ke pihak Singamangaraja IX. Barus yang dikuasai oleh pihak Dinasti Pardosi dan Dinasti Pasaribu Hatorusan (Tuanku Hulu dan Hilir) ditetapkan sebagai zona netral. Sementara itu pihak Aceh mengakui pengaruh Sisingamangaraja IX atas wilayah Simalungun dan kawasan Karo berada dalam pengaruh Aceh.
    Dikisahkan juga perihal peristiwa suaka politik Pangeran Gindoparang Sinambela yang diusir oleh Singamangaraja IX ke wilayah Uti. Gindoporang Sinambela sekarang ini menjadi leluhur komunitas Muslim Sinambela di Singkil. Perihal keluarga Gindoparang dan anaknya Faqih Sinambela yang menjadi seorang Jenderal di pihak Padri didapat oleh sejarawan Sutan Martua Raja dari sebuah catatan keluarga orang-orang Muslim marga Sinambela di Singkil. Di sana kebanyakan mereka menjadi guru-guru agama Islam yang menikah dengan orang-orang marga Pohan dari Barus.
    Jilid 7 ditutupi dengan sebuah dokumentasi peristiwa tragis yang menimpa Singamangaraja IX yang hendak mencoba sepucuk bedil hadiah dari Sultan Aceh. Dia menembak mati satu ekor gajah yang mengakibatkan dirinya hancur lebur diinjak oleh gajah-gajah yang lain.
    Jilid 8 seluruhnya berisi dokumentasi pemerintahan Singamangaraja X serta peristiwa konflik kerajaan dengan kekuatan Padri.
    Jilid 9 berisi mengenai mitos kepala terbang.
    Jilid 10 mengenai kehidupan Amantagor Manullang selama memerintah di Bakkara sebelum era Dinasti Sisingamangaraja. Dia tewas dan dibunuh oleh orang yang tak dikenal di dataran tinggi Tele dan dikuburkan di Paranginan, Humbang. Daerah ini sampai sekarang masih sangat rawan dan menjadi sarang para perampok dan bajing loncat. Sebelum Tele ada sebuah daerah yang bernama Dolok Partangisan yang dianggap angker dan seram karena diyakini dulunya menjadi pusat pengajaran mistik dan membutuhkan pengorbanan nyawa anak manusia.
    Di jilid 10 ini pula diinformasikan mengenai kedatangan orang Eropa yang disebut sebagai Si Bontar Mata oleh Bahasa Batak yang memasuki Silindung tapi tidak melalui Bukit Sigompulon. Agama yang mereka bawa, katanya, ditolak oleh orang-orang Batak. Tidak disebutkan mengapa.
    Jilid 11 berisi mengenai informasi penobatan Sisingamangaraja XI dalam usia 10 tahun akan tetapi telah bersikap sangat bijaksana.
    Jilid 11 sampai dengan 23, merupakan file-file pemerintahan Ompu Sohahuaon yakni Sinagamangaraja XI. Juga mengenai penanggalan pemerintahan yang dimulai dari penobatannya sebagai raja. Menyerupai angka tahun Jepang.
    Tahun I dalam penanggalan Sisingamangaraja XI sama dengan tahun 1830 M. Di ajaran parmalim juga terdapat penanggalan yang berdasarkan pada era Dinasti Uti dimana tahun 497 Masehi sama dengan tahun 1450 tahun Batak. Tahun ini dipercaya merupakan tahun berdirinya agama parmalim.
    Sementara itu jilid 23 ditutup dengan tahun ke-37 dari pemerintahan Sisingamangaraja yang berarti tahun 1866 M.
    Singamangaraja XI menyesuaikan permulaan tahun dengan permulaan Tinki Ni Pangkuron yakni musim mencangkul sawah. Ini berarti tahunnya disesuaikan dengan musim hujan yang di tanah Batak adalah pada pertengahan November. Untuk tanda diambillah bintang na pintu yakni Orion sementara tenggelamnya bintang hala yakni Skorpio.
    Permulaan bulan dihitung degan naiknya bulan. Sehingga tula yakni malam terang bulan purnama selamanya jatuh pada tanggal 15 seperti penanggalan tahun Hijriyah. Sepuluh bulan pertama tidak diberi nama akan tetapi hanya penomoran seperti bulan sapaha sada sampai dengan bulan sapaha sappulu. Sementara itu bulan yang ke-11 bernama bulan hala dan bulan ke-12 bernama bulan hurung.
    Para ahli astronomi kerajaan mengerti bahwa penanggalan berdasarkan bulan berbeda dengan penanggalan berdasarkan bintang selama 11 hari setiap tahun. Akibatnya, permulaan dari bulan sapaha sada yang begitu penting untuk mencangkul sawah turut pula bergeser 11 hari dari timbulnya bintang na pitu. Singamangaraja XI juga mengadakan bulan na badia yakni bulan ketigabelas yang diselipkan antara bulan hurung dan bulan sapaha sada. Tujuannya, agar perhitungan waktunya tepat pada permulaan tahun dengan timbulnya bintang na pitu, tepat dengan permulaan musim hujan dan permulaan musim mencangkul sawah.
    Jilid 11 dan 12 kondisinya sangat rusak.
    Jilid 13 sampai dengan jilid 16 mengenai periode pembangunan ibukota Bakkara dan daerah Toba dalam periode 1835-1846. Termasuk penataan pertanian, peternakan, penetapan geografis negeri-negeri dan juga pembangunan yang bersifat sosial dan poltik.
    Dalam jilid 14 disebutkan bahwa Singamangaraja XI mengadakan kunjungan kenegaraan ke Aceh dalam usia 24 tahun. Tujuannya untuk mengikuti pendidikan militer di Indrapuri selama 2 tahun. Di sana dia satu kelas dengan pangeran Ali Muhammad Syah, Tengku Mahkota Kesultanan Aceh.
    Di sini juga disebutkan nama Teku Nangta Sati, ayah dari Cut Nya’ Dien dan mertua dari Teuku Umar, yang ikut ke Bakkara bersama Singamangaraja XI selaku ‘Chief Aceh Military Mission’ yang pertama. Selama Singamangaraja XI di luar negeri, pemerintahan kerajaan di dalam negeri dipegang oleh Panglima Panibal Simorangkir, putra dari Panglima Jomba Simorangkir, pengawal setia Singamangaraja XI.
    Dalam jilid 16 dicatat bahwa telah lahir putra mahkota Parobatu di tahun ke-16 dari pemerintahan Singamangaraja XI yakni tahun 1845 M. (Dia kelak memerintah antara tahun 1867-1907)
    Jilid 17 menceritakan datangnya dua orang Eropa, Si Junghun dan Si Pandortuk – the big nose yakni Dr. Junghuhn dan Dr. van der Tuuk. Momen inilah yang membuat adanya kesempatan bagi orang asing mengabadikan foto Singamangaraja XI. Van der Tuuk merupakan orang kulit putih satu-satunya yang pernah diijinkan menginap di Bakkara karena dia menyampaikan salam kepada Sinagamangaraja XI, dari abangnya Putra Mahkota Lambung Sinambela di Roncitan, Sipirok.
    Jilid 21 berisi informasi mengenai kunjungan Singamangaraja XI pada tahun 1865 kepada pendeta Nommensen di Huta Damai untuk menagih pajak atau cukai berupa ‘nyonya kulit putih’.
    Dalam jilid 23 disebutkan bahwa dalam pemerintahan yang ke-36 Singamangaraja XI di tanah Batak Utara mengamuk lagi Begu Attuk, plague epidemic, serta Begu Arun yakni kolera. (Singamangaraja XI sendiri diketahui meninggal karena kolera)
    Di jilid ini disebutkan juga bahwa Putera Mahkota Parobatu ditugaskan selama dua tahun untuk mengikuti pendidikan militer di Aceh pada tahun 1864-1866.
    1833 M
    Tentara Belanda mulai mendaratkan pasukan ekspedisi dibawah Komando Mayor Eiler, di daerah Natal dan mengangkat rajanya menjadi raja boneka dengan gelar; Regent van Mandailing. Elemen-elemen padri Minang dibasmi.
    1833-1834 M
    Pasukan Kolonel Elout menguasai Angkola dan Sipirok. Sipirok menjadi batu loncatan untuk menggempur Toba. Peta-peta sasaran tembak sudah dikumpulkan sebelumnya oleh tim penyusup dan orang-oramg Eropa yang bergerak bebas di Tanah Batak
    Kolonel Elout memerintahkan pendeta-pendeta tentara Belanda, yang menjadi bawahannya di pasukan tersebut, antara lain; Pendeta Verhoeven untuk mempersiapkan diri untuk meng-kristenkan penduduk asli Tanah Batak Utara. Verhoeven diwajibkan untuk bergaul dengan penduduk asli dan belajar Bahasa Batak.
    Eliot melalui kakaknya, saudara perempuannya, di Boston, AS, meminta tambahan tim misi dari American Baptist Mission (ABM). Permintaan ini mendapat dukungan dana oleh Clipper Millionairs yang berpusat di Boston dengan kompensasi mereka dapat menguasai kegiatan ekspor dan impor di Tanah Batak yang sangat potensial saat itu.
    Seperempat abad kemudian, Hamburg Millionairs mendanai pendeta-pendeta dari Barmen untuk mengkristenkan Tanah Batak, hasilnya sejak tahun 1880-1940, di belakang “Reinische Missions Gesselschaft”, seluruh arus perdagangan ekspor dan impor di Tanah batak dimonopoli oleh “Hennemann Aktions Gessellschaft”. Diperkirakan, paska PD II total pengusaha-pengusaha nasionalpun tidak sanggup mendekati 10 persen dari volume perdagangan “Hennemen & Co,” dulu di Tanah Batak. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan).
    1833-1930 M
    Masyarakat Mandailing menderita dengan pendudukan Belanda setelah beberapa usaha mempertahankan diri, gagal. Eksodus ke Malaysia dimulai. Komunitas-komunitas diaspora Batak di luar negeri terbentuk. Di Malaysia, Mekkah, Jeddah, dan lain sebagainya.
    1834 M
    ABM mengirimkan tiga orang pendeta ke Tanah Batak. Yakni; Pendeta Lyman, Munson, dan Ellys. Kolonel Elout menempatkan Ellys di Mandailing untuk mengkristenkan masyarakat Muslim di sana. Lyman dan Munson melanjutkan jejak Burton dan Ward.
    Lyman dan Munson memasuki Toba dengan seorang penerjemah dari Batak Muslim, Jamal Pasaribu. Di sana mereka disambut baik. Namun setelah insiden penembakan mati seorang wanita tua oleh Lyman, raja setempat, Raja Panggulamau menolak kehadiran mereka.
    Penembakan wanita tua, yang kebetulan, namboru sang raja tidak dapat diterima oleh raja. Lyman dan Munson mendapat hukuman mati oleh pengadilan lokal.
    1834-1909 M
    Tokoh intelektual Batak lainnya muncul ke permukaan. Syekh H. Muhammad Yunus Nasution menjadi ulama terkenal di Huraba, Angkola. (Schnitger 1983: 43-48)
    1834-1838 M
    Pemerintahan Militer Belanda di Tanah Batak Selatan didirikan secara permanen. Komplek markas Besar Belanda didirikan berikut taman perumahan para pemimpin militer.
    1838-1884 M
    Kekuatan militer Belanda bertambah kuat. Sumatera Barat dapat dikuasai. Mandailing, Angkola dan Sipirok menjadi Direct Bestuurd Gebied, Raja Gadumbang tidak jadi dijadikan Sultan oleh Pemerintah Penjajahan Belanda, akan tetapi dibohongi dan hanya diberikan gelar Regent Voor Her Leven.
    Pemimpin-pemimpin masyarakat Batak Islam yang tidak mau tunduk dengan Belanda di berbagai daerah, dibasmi. Silindung masuk ke dalam “Residente Air Bangis” tahun 1873 dan Toba, yang belum takluk, dimasukkan pada tahun 1881. Kerajaan-kerajaan lain yang berhubungan dengan Kerajaan Batak di Toba tidak dapat berbuat banyak untuk membantu. Hegemoni Eropa tidak dapat terbendung. Manusia di Nusantara hanya menunggu waktu untuk menjadi mangsa Eropa. Kerajaan Batak terisolir dan melemah. Rakyat sudah banyak yang pro Belanda.
    1839-1840 M
    Belanda kembali lagi dengan sebuah kekuatan perang ke Barus. Sebelumnya elemen Belanda yang memonopoli dan membuat kesukaran bagi penduduk Barus berhasil dideportasi oleh penduduk dan kerajaan. VOC dibenci oleh rakyat dan perdagangannya di Barus dikalahkan oleh pedagang-pedagang Aceh. Paska pendirian kantor resmi penjajah Belanda di Barus, para pedagang dan elemen Aceh diusir. Pemerintah Belanda memonopoli kembali perekonomian Kesultanan Barus .
    1843-1845 M
    Perbatasan Tanah Batak yang relatif aman hanya pelabuhan Singkil dan Barus serta perbatasan darat dengan Aceh. Sisingamangaraja XI mengikuti Pendidikan Militer di Indrapuri, Kesultanan Aceh.
    1845-1847 M
    Aceh mengirimkan satu balayon tentara di bawah komando Teuku Nangsa Sati ke Toba. Bersama Yang Mulia Sisingamangaraja XI, Teuku menyiapkan perencanaan strategi gerilya. Pasukan komando gerilya dibentuk. Pertahanan dengan menggelar pasukan sudah tidak memungkinkan. Siasat ini pada tahun 1873-1907 sangat membingungkan pihak imperialis Belanda.
    1848 M
    Putra Mahkota, Pangeran Parobatu, satau-satunya anak laki-laki Sisingamangaraja XI lahir.
    1849 M
    Neubronner van der Tuuk, atau yang dikenal di masyarakat Batak dengan nama Pandortuk (Big Nose), diberangkatkan oleh Dutch Bible Society ke Barus untuk mempelajari peradaban Batak agar dapat memberi masukan kepada misionaris, mengatakan:
    “Tidak ada harapan untuk mengkristenkan orang-orang Angkola dan Mandailing. Sebagian besar mereka telah memeluk agama Islam, begitu juga kebanyakan penduduk yang berada dalam penjajahan Belanda. Untuk menyebarkan Agama Kristen, oleh karena itu, harus diambil sebuah keputusan yang pasti. Semua anggota misi harus diarahkan ke tempat lain (tanah Batak Utara). Jika kita tidak mengikuti rencana ini, maka semua penduduk akan memeluk agama Islam tanpa kita sadari. Biasanya penyebaran bahasa Melayu (di tanah-tanah penduduk yang masih pagan) akan membawa orang-orang melayu ke tempat tersebut dan akan membuat penduduk tertarik kepada Islam” (Pedersen 1970: 54; Muller-Kruger 1959: 181-182).

    Sumber:
    http://sejarah/ batak.com

No comments:

Post a Comment