Friday, March 23, 2012

Tinjauan Buku; Catatan Mandailing di Masa Lalu

Tinjauan Buku; Catatan Mandailing di Masa Lalu


Oleh: Fahrin Malau
Judul : Kumpulan Catatan Lepas Tentang Mandailing
Penulis : Z. Pangaduan Lubis, dkk
Cetakan : Pertama Tahun 2010
Tebal : x + 140 halaman
Penerbit : Pustaka Widiasarana Kelompok Humaniora-Pokmas Mandiri
Ukr Buku : 13 x 20 cm
Jenis Buku : Sejarah
Buku Kumpulan Catatan Lepas Tentang Mandailing, pembaca langsung dapat menebak, buku ini kumpulan dari beberapa tulisan membahas seputar Mandailing. Kumpulan tulisan seputar Mandailing selanjutnya disusun berdasarkan beberapa naskah yang ‘berserakan’ di rumah penulis buku, Z. Pangaduan Lubis.
Buku ini memuat empat catatan. Pertama “Perlawanan Sutan Mangkutur Terhadap Balanda di Mandailing” penulis Z. Pangaduan Lubis. Kedua “Islam di Mandailing” penulis Z. pangaduan Lubis dan Imsar Muda Nasution. Ketiga “Alak Mandala Holing (Sebuah cerita pendek dalam Bahasa Mandailing) penulis Edi Nasution. Keempat “Dalian Na Tolu, Pemahaman dan Aktualisasinya” penulis Z. Pangaduan Lubis.
Perlawanan Sutan
Pada catatan pertama buku Kumpulan Catatan Lepas Tentang Mandailing, Z. Pangaduan Lubis menulis perjalanan Sutan Mangkutur melawan penjajahan Belanda. Walau hanya catatan lepas, namun pada bagian ini penulis mengulas cukup panjang sepak terjang Sutan Mangkutur melawan penjajahan Belanda.
Sebelum membahas bentuk perlawanan Sutan Mangkutur, penulis sedikit menjelaskan wilayah Mandailing tempat kerajaan Huta Godang di Ulu Pungkut sekitar 20 kilo meter dari Kotanopan. Wilayah ini dipimpin seorang raja bernama Sultan Mangkutur. Dia menggantikan abang kandungnya Raja Gadombang yang meninggal dunia pada tahun 1835 dalam perang Paderi.
Beberapa catatan menjelaskan tentang kerajaan Huta Godang di Ulu Pungkut diulas dalam buku ini. Keterangan Raja Junjungan Lubis, raja terakhir dari Huta Godang menyebutkan, kerajaan didirikan oleh nenek moyangnya dari Manambin. Kerajaan ini, salah satu kerajaan tertua di Mandailing Julu dan tidak jauh letaknya dari Huta Godang. Biografis tentang Sultan Mangkutur tidak banyak diketahui. Diduga dia dilahirkan pada akhir abad ke 18 di Huta Dolok, Ulu Pungkut, Mandailing Julu.
Kedatangan Belanda ke Mandailing diawal 10 Maret 1832 melalui surat Gubernur Jenderal Van den Bosch di Betawi yang dikirim Komandan Militer Belanda Letnan Kolonel Elout di Padang. Surat itu berbunyi: “Tujuan Belanda di Sumatera harus dilaksanakan oleh pemerintah, penaklukan seluruh Sumatera ke bawah kekuasaan kita telah diterima sebagi satu asas ketatanegaraan dan tujuan itu harus selekas mungkin seandainya keadaan di tanah Eropa dan di dalam negeri mengizinkan,”
Masuknya Belanda ke Mandailing dipermudah dengan adanya perseteruan antara Raja Gadombang dari Huta Godang di Mandaling dengan Kaum Paderi. Atas kesepakatan antara Raja Gadombang dengan Belanda bersama-sama melawan kaun Paderi dan itu dimanfaatkan Belanda untuk menguasai Mandailing.
Lebih setahun lamanya Belanda menduduki Mandailing, Sutan Mangkutur mulai menjadi raja di Huta Godang tahun 1835. Berbagai peraturan dibuat Belanda untuk menekan raja-raja di Mandailing. Sutan Mangkutur dengan tegas menolak peraturan yang dibuat Belanda. Sebelum melakukan perlawanan secara fisik, Sutan Mangkutur melakukan pendekatan dengan raja-raja di Mandailing untuk memerangi Belanda yang berkedudukan di Kotanopan.
Raja-raja yang ikut melakukan perwalan dengan Belanda dilaksanakan di Huta Godang yakni Yang Dipertuan, raja dari Huta Siantar, Panyabungan yang masih punya hubungan keluarga dekat dengan Sutan Mangkutur. Sayang Yang Dipertuan melakukan penghianatan, ikut membantu pasukan Belanda dan membocorkan setiap rencana Sutan Mangkutur, sampai akhirnya Belanda berhasil menangkap dan dibuang ke Ambon.
Islam di Mandailing
Buku Kumpulan Catatan Lepas Tentang Mandailing, mengulas Islam di Mandailing tidak mendalam. Alasannya karena sulitnya menemukan literatur yang berkenaan dengan sistem religi yang merupakan anutan warga kelompok etnis Mandailing.
Sebelum Islam masuk ke Mandailing, masyarakat dalam kepercayaan mengenal si Pele Begu yang berarti si pemuja begu. Begu adalah tondi orang sudah mati. Tondi adalah jiwa orang masih hidup. Apabila orang yang punya tondi sudah meninggal dunia maka tondinya berubah menjadi begu.
Begu di dalam kerajaan Mandailing juga memiliki peranan penting. Ada tiga tokoh fungsionaris yang utama. Ketiga tokoh tersebut adalah Raja, Datu dan Sibaso. Masing-masing tokoh mempunyai fungsi. Raja berfungsi sebagai pemimpin tertingi, Datu berfungsi sebagai sumber tertinggi ilmu dan pengetahuan dan Sibaso berfungsi untuk mengkomunikasikan dunia manusia dengan dunia gaib.
Adanya kepercayaan begu pada masyarakat Mandailing, banyak ditemukan patung, terbuat dari kayu dan batu, disebut Sangkalon. Sangkalon memiliki masing-masing tugas, seperti Sangkalon si Pangan anak, si pangan boru (patung pemakan anak laki-laki, pemakan anak perempuan) yang menjadi lambang hukum dan keadilan.
Sayangnya buku ini tidak menjelaskan secara detail kapan sebenarnya masyarakat Mandailing memeluk agama Islam. Ada beberapa dugaan yang mengarah pada pertama kali masyarakat Mandailing memeluk agama Islam, yaitu orang-orang Paderi yang datang menyerbu ke Mandailing dari Minangkabau.
Bila dilihat dari buku “Kehidupan Politik Suatu Kresidenan di Sumatera: Tapanulu” tahun 1915-1940, halaman 14 yang ditulis Lance Castles menjelaskan, sebelum kaum Paderi masuk ke Mandailing menjelang 1820, beberapa pemimpin Mandailing telah beragama Islam.
Buku “Madina yang Madani” ditulis Basyral Hamidy Harahap di halaman 238, menurut catatan Wilter ada dua raja Mandailing sudah memeluk agama Islam sebelum Paderi, yaitu Raja Gunung berdiam di Gunung Beringin dan Mangaraja Gunung Kuria Huta Siantar.
Terlepas mana literatur yang benar, kehadiran buku ini cukup bagus untuk menjadi catatan untuk mengetahui keadaan Mandailing pada masa lampau. Harus diakui sampai saat ini tidak banyak buku yang membahas mengenai sejarah suatu daerah.
Sumber: www.analisadaily.com
http://apakabarsidimpuan.com/2010/08/tinjauan-buku-catatan-mandailing-di-masa-lalu/

No comments:

Post a Comment