Friday, March 23, 2012

SEJARAH BATAK - IV

SEJARAH BATAK - IV


1610 M

Sultan Ibrahimsyah Pasaribu, pendiri kembali Dinasti Hatorusan (Pasaribu), wafat dalam serbuan pasukan Aceh, kepalanya dipancung dan oleh itu dia dikenal dengan nama Sultan Tuanku Badan. Perang tersebut dimulai tahun 785 H. Ibrahimsyah Pasaribu adalah keturunan Raja Uti, putra Guru Tatea Bulan, pendiri kerajaan Hatorusan yang berpusat di Singkel dan Barus.
Dinasti Pasaribu, Tengku Barus Hilir:
1. Sultan Ibrahimsyah Pasaribu (gelar Raja Hatorusan). Wafat 1610 Masehi.
2. Sultan Yusuf Pasaribu
3. Sultan Adil Pasaribu
4. Tuanku Sultan Pasaribu
5. Sultan Raja Kecil Pasaribu
6. Sultan Emas Pasaribu
7. Sultan Kesyari Pasaribu
8. Sultan Main Alam Pasaribu
9. Sultan Perhimpunan Pasaribu
10. Sultan Marah Laut bin Sultan Main Alam Pasaribu pada tahun 1289 Rabiul Akhir atau pada tanggl 17 Juni 1872 M, menuliskan kembali Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus, dari sebuah naskah tua peninggalan leluhurnya yang hampir lapuk.
1627-1667 M
Masa Pemerintahan Sisingamangaraja IV, dengan nama Tuan Sorimangaraja.
1630 M
Murid Hamzah Fansuri bernama Syamsuddin al-Sumatrani kemudian merantau ke Aceh dan menjadi penasihat politik dan agama di Pasai bagi Sultan Iskandar Muda. Dia wafat tahun 1630 M. Dia satu angkatan dengan Abdulrauf Fansuri, tokoh lain inteletual Batak.
1641 M
Belanda tercatat pertama kali masuk di Deli, Medan, tahun 1641, ketika sebuah kapal yang dipimpin Arent Patter merapat untuk mengambil budak.
1644-1699 M
Pada tahun 1050 H/1644 M, Belanda datang ke pantai barat Sumatera dan meminta ijin untuk bermukim dan mendirikan koloni perdagangan di Barus. Ijin tinggal kepada orang Belanda diberikan pada tahun 1668 . Belanda, akhirnya, mengadu domba dualitas kesultanan Barus (Hulu dan Hilir) yang berujung kepada penjajahan tanah air Barus, tanah Batak pesisir di bagian Barat Sumatera di abad ke-19.
1667-1730 M
Masa pemerintahan Sisingamangaraja V dengan nama asli Raja Pallongos.
1730-1751 M
Masa pemerintahan Sisingamangaraja VI dengan nama Raja Pangolbuk.
1736-1740 M
Penduduk Barus, khususnya Sorkam dan Korlang, mengusir VOC, perusahaan Belanda yang banyak meresahkan (monopoli) perekonomian setempat. Mereka dipimpin oleh Raja Simorang dari Tapanuli dan Raja Bukit.
1751-1771 M
Masa pemerintahan Sisingamangaraja VII, Ompu Tuan Lumbut.
1771-1788 M
Masa Pemerintahan Sisingamangaraja VIII, Ompu Sotaronggal, gelar Raja Bukit
1788-1819 M
Masa pemerintahan Sisingamangaraja IX, Ompu Sohalompoan, Gelar Datu Muara Labu. Diduga ada permasalahan politik sehingga baru pada tahun 1819 adanya suksesi kepada Sisingamangaraja X.
1790 M
Haji Hassan Nasution dengan gelar Qadhi Malikul Adil menjadi orang Batak pertama yang naik haji di Mekkah.
1809-1900 M
Kebangkitan Ulama lokal dalam perkembangan keagamaan di Tanah Batak Selatan. Abdul Fatah dari Pagaran Siantar dan Syeikh Abdul Syukur menjadi dua tokoh intelektual lokal. Mereka dikenal dengan keahlian mereka dalam Tarekat, Khalwah dan Suluk. Disiplin imu mereka dikenal dengan nama “Mazhab Natal” karena mereka mengajar di Natal, tepatnya Huta Siantar. Mazhab Natal ini banyak dipengaruhi oleh ajaran Mazhab Maliki, yang dibawa Tuan Syekh Maghribi (Maulana Malik Ibrahim) dengan dukungan adat yang dipengaruhi oleh faham syiah.
1812 M
Muhammad Faqih Amiruddin Sinambela, menjadi orang pertama dari lingkungan kerajaan Dinasti Sisingamangaraja yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Informasi ini didapat dari sebuah catatan keluarga, bertuliskan Arab, komunitas Marga Sinambela keturunan Sisingamangaraja di Singkil. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan).
1816 M
Elemen mata-mata Belanda mulai menyusup ke Tanah Batak dengan misi; memetakan daerah serta kekuatan dan menentukan titik-titik penembakan artileri di pusat-pusat kekuasaan tanah Batak.
Jenderal Muhammad Fakih Amiruddin Sinambela, Gelar Tuanku Rao, Panglima Paderi, meluaskan pengaruhnya di Tanah Batak Selatan.
1816-1833 M
Islam berkembang pesat di Mandailing dengan pembangunan universitas, pusat-pusat perdagangan dan kebudayaan Islam.
1819-1841 M
Masa pemerintahan Sisingamangarah X, Aman Julangga, Gelar Ompu Tuan Na Bolon. Setahun sebelum diangkat, dia berseteru dengan keponakannya, Fakih Sinambela, yang justru merupakan keponakan kesayangannya.
1818 M
Panglima Fakih Sinambela berseteru dengan pamannya Sisingamangaraja X, Raja Dinasti Sisingamangaraja di daerah Batak Utara.
Orang-orang Batak yang miskin dan putus asa dengan penyakit kolera dimanipulasi Belanda sebagai kekuatan anti-otoritas SM Raja. Beberapa kerajaan-kerajaan huta dihadiahi dengan pengakuan sehingga mejadi raja-raja boneka yang membangkang. Kredibilitas kedaulatan Sisingamangaraja di akar rumput menipis, dikempesi orang-orang Eropa.
Untuk kesekian kalianya epidemik penyakit menular menjangkiti penduduk. Elemen Eropa dan Belanda di pantai Timur Sumatera memanfaatkan situasi.
1818-1820 M
Perseteruan Sisingamagaraja X dan Fakih Sinambela memuncak. Pasukan Fakih Sinambela dengan komando Jatengger Siregar berhadapan dengan pasukan Sisingamangaraja X di Bakkara setelah buntu dalam perundingan.
Markas Pusat di Siborong-borong dengan komando Panglima Fakih Sinambela memerintahkan pasukannya di Bakkara untuk menguburkan pamannya S.M Raja X di pemakaman kerajaan dengan pasukan kehormatan dan melindungi keturunannya.
Fakih Sinambela menolak tawaran pamannya menjadi Sultan di Tanah Batak. Mereka mundur ke Selatan. Yang Mulia Sisingamangaraja XI naik tahta.
1820 M
Pembantu Fakih Sinambela, Tuanku Mansur Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan di pantai Timur Sumatera. Kesultanan ini masih berdiri hingga tahun 1947. Anak-anak mereka yang dikenal adalah Tuanku Sri Sultan Saibun Marpaung dan juga Dr. Mansur Marpaung, wali negara NST. Salah satu bawahan Mansur Marpaung adalah Zulkarnain Aritonang, pahlawan dalam perang Tanggabatu pada tahun 1818 mendirikan Kerajaan Merbau. Keturunannya menjadi Raja-raja Merbau, Sumatera Timur hingga tahun 1947.
1821 M
Belanda yang tahu bahwa daerah pesisir Sumatera Barat seperti Pariaman, Tiku, Air Bangis adalah daerah strategis yang telah dikuasai kaum Padri, maka Belanda telah membagi pasukan untuk merebut daerah-daerah tersebut. Dalam menghadapi serangan Belanda ini, maka terpaksa kaum Padri yang berada di Tapanuli Selatan di bawah pimpinan Fakih Sinambela(Tuanku Rao) dan Tuanku Tambusi dikirim untuk menghadapinya. Pertempuran sengit terjadi dan pada tahun 1821 Fakih Sinambela gugur sebagai syuhada di Air Bangis. Perlawanan pasukan Padri melawan pasu kan Belanda diteruskan dengan pimpinan Tuanku Tambusi.
1823 M
Thomas Stamford Raffles, Jenderal Inggris, tertarik untuk mengadu domba kerajaan-kerajaan di Sumatera. Idenya; Aceh yang Islam dan Minagkabau dipisah dengan Komunitas Batak Kristen. Tanah Batak harus, menurut istilah Ompu Parlindungan, “dikristenkan”; diterima atau tidak.
Kebijakan ini ditiru oleh Raffles dari Lord Moira, Gubernur Jenderal Inggris di Kalkutta yang berhasil melemahkan Kerajaan “Dehli” Islam di India; Burma yang Budha serta Thailand yang Budha harus dipisah dengan bangsa Karen yang Kristen. (Aljunied:2004)
Untuk itu, pihak Inggris mengirimkan tim-tim pendeta kerajaan ke lokasi tersebut. Di Tapanuli saja ada diutus beberapa orang, sbb;
1. Pendeta Burton yang bertugas menguasai bahasa Batak dan menerjemahkan Bibel ke Bahasa Batak, bertindak sebagai pemimpin misi.
2. Pendeta Ward, seorang dokter yang meneliti pengaruh penyakit menular, epidemik yang menjangkiti penduduk Batak.
3. Pendeta Evans, bertugas mendirikan sekolah-sekolah pro-Eropa.
Ketiganya merupakan tim ekspedisi dalam infiltrasi pasukan Inggris di Tanah batak yang akan berprofesi sebagai pendeta agar tidak terlalu mendapat penolakan di sebagian besar mayarakat Batak yang telah menganut agama Parmalim, agama S.M. Raja, di pusat-pusat Kerajaan Batak.
1823-1824 M
Pertahanan benteng SM Raja di Humbang, yang ‘splendid isolation’ dan tertutup untuk pihak-pihak tidak resmi, sangat kuat dan tidak dapat disusupi, pelabuhan Barus bebas dari penyusup.. Tim tersebut hanya berhasil masuk melalui pantai Sibolga dan daerah Angkola yang mayoritas penduduknya Muslim dan terbuka. Burton dan Ward berhasil memasuki Tanah Batak, melalui pelabuhan Sibolga tempat beberapa komunitas Inggris menetap berdagang, menyisir hutan belantara dan mencapai Lembah Silindung. Misi berhasil. Namun ketika akan menyusup ke Toba, pusat kehidupan sosial masyarakat Batak, Ward memberikan instruksi untuk mundur. Epidemik Kolera masih mengganas di Toba dan Humbang. Burton dan Ward mundur ke Sibolga. Dari sini ‘character assasination’ terhadap panglima-panglima Padri dilancarkan.
Perseteruan antar penjajah untuk menguasai Tanah Batak muncul. Belanda menggantikan posisi Inggris di Tapanuli, sesuai ‘Traktat London’. Pendeta-pendeta Inggris diusir. Mereka yang sudah berhasil memasuki wilayah privasi para Panglima tersebut dituduh bersekongkol dengan Padri.

Sumber:
http://sejarah/ batak.com

No comments:

Post a Comment