• PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) :
    Cerita Tentang Opera Batak Yang Ditinggalkan Itu …
    Teks oleh Ester Pandiangan @ester_kotel | Foto: Istimewa

    Adalah kisah yang panjang kala bercerita tentang PLOt (Pusat Latihan Opera Batak). Ini bukan kisah komunitas yang dibentuk setahun, dua tahun, bahkan belasan tahun. Cerita ini dimulai sejak 1920-an. Mati suri di tahun 1980-an dan bangkit kembali di tahun 2005.

    TILHANG Gultom merintis Opera Batak. Almarhum mementaskannya keliling dengan peralatan yang sederhana. Cerita yang dipentaskannya keseharian, tentang kepahlawanan dan kisah-kisah sederhana yang biasa ditemui di keseharian. Dan di tahun 1930-an Opera Batak dipentaskan dengan resmi di Siantar.
    Kemudian ada Zulkaidah Harahap yang menjayakannya kembali. Namun segera tergerus kemodernan lalu mati di tahun 1980-an. Dan setelah beberapa puluh tahun, lahir kembali dengan nama PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) yang dipelopori oleh Thompson Hs bersama Sitor Situmorang (Belanda), dan Lena Simanjuntak (Jerman).

    Maka sejak 2005 PLOt memfasilitasi anak-anak muda yang berminat memelajari Opera Batak. Basecamp-nya di Siantar yang hanya berupa rumah kontrakan. Sekarang anggotanya sudah puluhan. Bahkan terkadang bila ada acara pementasan bisa mencapai 100-an. “Tidak ada sistem perekrutan, melalui pelatihan saja,” ujar Thompson Hs kepada Aplaus. Tentang komposisi anggotanya sendiri juga bermacam-macam, selain jago acting (aktor), karena ini adalah pertunjukan opera, sebagian anggotanya adalah penari, pemain aneka macam musik tradisi, narator, penata cahaya, desain interior panggung, dan sebagainya. Mereka memiliki keahlian masing-masing. Beberapa nama dari anggotanya sekarang dikenal sebagai seniman-seniman muda kota Medan lho. Sebut saja Ojax Manalu misalnya.

    Memang miris mendengar cerita Thompson Hs tentang perjalanan Opera Batak—yang sejatinya di Tanah Batak sendiri. Pun, latihan tidak dilakoni kecuali bila produksi berlangsung dan dana memungkinkan. Dengan para anggota yang menyebar di seluruh Sumatera—bahkan ada yang di Kalimantan, latihan dilakukan jika ada undangan untuk membuat pertunjukan di sebuah event.

    “Selama ini kita main kalau ada yang undang saja,” aku Thompson. Misalnya di tahun 2006 PLOt mengisi di perhelatan ulang tahun Pemkab Tobasa dengan judul Si Purba Goring-Goring. Berkisah tentang seorang anak yatim piatu yang diasuh oleh tulangnya (adik laki-laki ibu—red). Tahun 2007, Purba Goring-Goring dipentaskan kembali di Taman Budaya, me­ngenang 100 tahun kematian Sisingamangaraja XII. Srikandi Boru Lopia di tahun 2007 yang dipentaskan keliling meliputi Samosir, Salak, Balige dan Pak-Pak Barat. Maret 2008 perform di perayaan hari jadi Metro Siantar, membawakan lakon Legenda Danau Toba yang dioperasikan dengan gaya multimedia yang sebelumnya di Januari juga mereka pentaskan di Batam. “Bagaimana sebuah legenda dilihat dari sisi ilmu pengetahuan dan keyakinan daerah setempat,” papar Thompson.

    Tahun 2009 Si Jonaha dipentaskan pertama kali di Pesta Danau Toba, kemudian tahun 2010 di Batam dan tahun 2011 di Taman Budaya, Medan. “Pementasan Si Jonaha merupakan pencapaian PLOt karena kami berhasil memproduksi sendiri Si Jonaha, bukan karena permintaan seperti yang biasa terjadi,” tambah Thompson.

    Dan Kita Pun Menjadi Sinis
    “Sejatinya Opera Batak bukanlah milik suku Batak saja tapi masyarakat Indonesia. Namun kenapa seakan tiada yang peduli?” keluh Thompson. Sama halnya dengan persengketaan yang kita alami dulu dengan negeri tetangga. Menjadi masalah ketika telah diklaim oleh orang lain. “Apa mau nunggu seperti itu dulu baru Opera Batak ini dikembangkan?” pedas Thompson.

    Padahal kehadiran PLOt tak lain merupakan revitali sasi kebudayaan yang dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 1998. Namun sayang tak berjalan sesuai dengan harapan. Mungkinkah perlu kontroversi agar Opera Batak dapat berjalan sebagaimana mestinya?

    Ini Tanggung-Jawab Kita Sebagai Orang Batak
    “Ini tanggung-jawab kita sebagai orang Batak. Kalau seandainya digugat, apa sumbangsihmu sebagai orang Batak, ini lho yang saya lakukan,” kata Tumpak Hutabarat, salah seorang anggota PLOt. Baru dua tahun dia bergabung di PLOt, ini bermula dari buku-buku budaya Batak yang dibacanya. Ternyata bacaan tersebut mengusiknya hingga membuatnya mulai menaruh perhatian pada kebudayaan Batak. Akhirnya, dia bertemu Thompson dan bergabung dalam PLOt. Lakon pertamanya adalah menjadi Sipandorap dalam Si Jonaha. “Nggak ada kesukaran sih, karena bercerita soal opera berarti improvisasi. Pahami aja adegan, itu kuncinya, selebihnya improvisasi,” kata Tumpak.

    Dikatakannya lagi, semenjak tergabung di PLOt, dia semakin memahami budaya Batak. Contohnya saja, andung-andungan yang dulu menjadi tradisi dan kini telah lama ditinggalkan. “Andung-andungan itu seperti ratapan,” jelas mahasiswa Jurusan Fisika Unimed ini. Andung-andungan senantiasa dilantunkan ketika sedih. Tak hanya ratapan kematian, tapi saat dimarahi pokoknya dalam suasana kelam, andung-andungan bisa dilantunkan.

    Kini, andung-andungan telah dilupakan. Bahkan, dikatakan Tumpak, saat menghadiri pemakaman seorang kerabat di Siantar, keluarga yang sedang berduka sampai menyewa orang untuk andung-andungan.

    Kini, budaya Batak semakin lama kian terhempas waktu. Sudah sangat jarang anak muda yang paham akan budaya Batak. “Keikutsertaan saya ke dalam PLOt juga tak lain untuk ditransformasi ke kawan-kawan,” cetusnya. Lanjut dia menambahi, Opera Batak sudah tercatat selama puluhan tahun. Mulai tahun 1920-an. Beberapa kali mati suri, jalan di tempat. “Apakah mau sampai di sini saja?” tandasnya. “Kelanjutan Opera Batak ada di tangan kita, kalau terhenti di sini Opera Batak akan musnah,” tutup Tumpak.


    Sumber:
    http://www.aplausthelifestyle.com/fokus_detail.php?reqID=3124&kat=37