Nenek Moyang Suku Nias (1): Dari Taiwan Ke Ono Niha
“Secara genetika, orang Nias mirip dengan rumpun Austronesia yang menghuni Taiwan pada 4.000-5.000 tahun lalu,” ujar Van Oven dalam paparan ilmiahnya di Auditorium Lembaga Biologi Eijkman, pertengahan April lalu.
Van Oven menemukan keunikan orang Nias ini setelah meneliti selama sepuluh tahun. Ia mengumpulkan 407 sampel darah dari 11 klan atau marga yang tersebar di Nias bagian selatan hingga utara. Darah orang Nias dikirimkan ke Jerman untuk ekstraksi asam deoksiribonukleat (DNA), lalu dibawa ke Rotterdam untuk dianalisis.
Pria 30 tahun ini berfokus pada analisis DNA di dalam kromosom Y yang melacak garis keturunan ayah dan DNA mitokondria untuk melacak garis keturunan ibu. Pelacakan bermuara pada haplogroup, pengelompokan manusia ke dalam klan atau marga purba berdasarkan marka genetik dengan pola unik yang disebut single-nucleotide polymorphism (SNP).
SNP merupakan perubahan kecil dalam DNA yang terjadi secara alami dari waktu ke waktu. Munculnya SNP pada satu generasi akan menjadi penanda garis keturunan unik yang diwariskan ke generasi selanjutnya. Inilah yang ditangkap oleh Van Oven untuk memetakan asal-usul suku Nias. “Manusia dari klan purba yang sama akan berbagi pola SNP yang sama,” katanya.
DNA Ono Niha–sebutan setempat untuk orang Nias–miskin variasi. Hanya dua marka genetik kromosom Y yang ditemukan, yaitu O-M119 dan O-M110. Kedua penanda ini hanya ditemukan pada suku bangsa asli Taiwan yang memulai penyebaran ras Austronesia yang kini mengisi wilayah dari Madagaskar, Asia Tenggara, Papua, hingga Easter Island.
Untuk membandingkannya, Van Oven mengintip darah Karo dan Batak serta menemukan marka DNA yang lebih variatif. Anehnya lagi, kedua etnis yang bertetangga wilayahnya dengan Pulau Nias ini tak memiliki dua marka genetik Nias.
Perbandingan menggunakan 1.500 sampel dari 38 populasi dari Asia Timur, Asia Tenggara, Melanesia, Polinesia, dan Australia mengkonfirmasi keseragaman DNA Ono Niha. “Genetik orang Nias tampak paling mirip dengan populasi dari Taiwan dan Filipina,” ujar dia.
Kesimpulan ini didukung pakar genetika Profesor Herawati Sudoyo. Lewat proyek penelitian Pan-Asian SNP Initiative, Deputi Lembaga Biologi Molekuler Eijkman ini memetakan DNA suku bangsa di Indonesia dan menemukan Indonesia tak hanya terdiri atas dua rumpun besar–Melayu di barat dan Papua di timur–tapi juga terdapat rumpun ketiga.
“Nias membentuk satu cluster dengan orang Mentawai dan Taiwan,” kata Herawati. Orang Simeulue dan Enggano, penghuni deretan pulau paling barat di Kepulauan Mentawai kemungkinan juga tergolong cluster ini.
Menurut Herawati, isolasi geografis menyebabkan keseragaman materi genetik orang Nias. Kultur perkawinan yang “eksklusif” turut memperparah kondisi ini. “Mereka kawin dengan sesama orang Nias sehingga materi genetik tidak menyebar,” ujarnya. Suku bangsa di daerah lain di Indonesia menunjukkan tren materi genetik yang lebih beragam. Kondisi ini menandakan terjadinya efek penyempitan genetik (bottleneck event) dalam sejarah orang Nias.
Penyempitan genetik ternyata juga memicu perbedaan yang sangat kuat di antara 11 klan orang Nias. “Orang di Nias utara dan selatan sangat berbeda,” kata Van Oven.
Klan Gözö, Hia, Ho, Laoya, Daeli, Zebua, Hulu, dan Zalukhu di tengah dan utara hanya memiliki marka genetik O-119. Sedangkan di selatan, tiga klan bangsawan, Sarumaha, Fau, dan Si’ulu, sama-sama mewarisi marka genetik O-110 yang dominan pada kromosom Y mereka.
Van Oven mengatakan, sistem perkawinan orang Nias, yang mengambil istri dari luar klan, turut mempengaruhi isolasi genetik ini. Sistem yang dikenal dengan patrilineal clan and exogamus marriage ini mengharuskan seorang pria dari satu klan menikahi perempuan dari klan yang berbeda. Perempuan yang dinikahi itu kemudian harus pindah ke daerah tempat tinggal pria.
Keunikan DNA orang Nias ini tak dapat dilepaskan dari aliran gen ke Nusantara. Van Oven menduga orang Nias mewarisi gen mereka dari orang Taiwan yang bermigrasi ke Indonesia lewat Filipina menuju Kalimantan dan Sulawesi–teori penyebaran Formosa, yang diambil dari nama pulau Formosa di Selat Taiwan.
Gelombang migrasi manusia modern ini sebenarnya dimulai dari Afrika. Gelombang ini sampai di Taiwan 6.000 tahun lalu. Proses aliran gen hingga mencapai Nias 1.000-2.000 tahun kemudian. Rute ini didukung bukti kemiripan DNA suku Nias dengan penduduk Filipina.
Sumber: Mahardika Satria Hadi | Anton William (Koran Tempo)
https://efriritonga.wordpress.com/category/being-indonesian/page/2/
No comments:
Post a Comment