Tuesday, June 17, 2014

Nenek Moyang Suku Nias (2): Ono Niha Menggeser Penghuni Terdahulu

Nenek Moyang Suku Nias (2): Ono Niha Menggeser Penghuni Terdahulu

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Een_familie_op_Nias_TMnr_10005771
Orang Nias yang ada sekarang bukanlah manusia pertama di Pulau Nias. Menurut arkeolog Badan Arkeologi Medan, Ketut Wiradyana, sejarah Nias bermula sejak 12 ribu tahun lalu. Ketika itu Nias didatangi manusia ras Austromelanesoid dari kebudayaan Hoabinh, yang biasanya bermukim di gua-gua Vietnam utara.

Manusia awal yang menempati Nias ini bertubuh besar, berkulit gelap, dan mempunyai tengkorak lonjong. Mereka menyusuri jalur barat melewati Thailand, Semenanjung Malaysia, dan menyeberang ke pantai timur Pulau Sumatera.  Manusia Austromelanesoid ini datang bergelombang dan hidup nomaden menyusur pantai timur ke arah utara, lalu berbelok ke selatan melewati pantai barat sampai akhirnya menyeberang ke Pulau Nias.

Selama perjalanan, mereka memanen hasil laut dan menumpuknya di Banda Aceh, Aceh Utara, Aceh Timur, Langkat, sampai Bintan.

”Jejaknya berupa bukit kerang sisa makanan dan alat batu bernama sumatralith,” ujar Ketut, pada 22 Mei lalu.  Artefak yang sama ditemukan di Gua Togi Ndrawa di Desa Lelewonu Niko’otano, Gunungsitoli, dan Nias.

 Penduduk awal Nias kemudian terdesak oleh kedatangan manusia Austronesia yang datang dari Taiwan.

Majunya peradaban manusia Austronesia menggeser eksistensi Austromelanesoid di Nias. ”Budayanya lebih maju, sudah mengenal padi dan logam,” kata Ketut.

 Jalur kedatangan ditempuh melalui Filipina, Sulawesi, dan Kalimantan, lalu menyusuri pantai Sumatera.

Peninggalan artefak manusia Austronesia tertua di Indonesia ditemukan di Minangas Sippako di Sulawesi Barat, yang umurnya diperkirakan 3.500 tahun silam. Menurut Ketut, kedatangan orang Taiwan di Nias terjadi 600 tahun lalu–3,5 milenium lebih lambat ketimbang teori Van Oven.

Bukti kedatangan ini ditemukan pada jejak peradaban megalitikum di Nias sekitar abad ke-15 dan menjadi nenek moyang bagi Ono Niha.

”Orang Nias sekarang menyebut leluhur mereka turun dari langit di Boronadu Gomo,” ucap Ketut. Boronadu Gomo adalah daerah di Nias tengah.

Manusia dari generasi yang lebih modern ini menempati kawasan di pantai Nias bagian selatan.

 Pemuka masyarakat Nias, Waspada Wau, membenarkan anggapan bahwa kepercayaan leluhur mereka berasal dari langit. Leluhur Ono Niha turun pertama kali di daerah Gomo, yang terletak di tengah pulau. Di daerah ketinggian ini mereka menetap dan mendirikan peradaban yang masih bisa dilihat sisanya hingga sekarang. ”Di Gomo banyak ditemukan menhir bikinan mereka,” ujar dia.

Menurut Wau, leluhur dari Gomo inilah yang kemudian turun ke berbagai daerah di Nias, termasuk kampung kelahirannya, Baweumataluo, di Nias bagian selatan, yang terkenal dengan tradisi lompat batu. Orang Gomo sendiri tidak memiliki tradisi lompat batu.

Penelitian Van Oven secara tidak langsung memberikan konfirmasi bukti arkeologis di Togi Ndrawa, meski ia tidak menganalisis artefak di gua kuno itu. ”Kami tidak menemukan bukti adanya hubungan genetik antara penduduk Nias kuno dan masyarakat yang ada sekarang,” kata dia.

Sumber: Mahardika Satria Hadi | Anton William (Koran Tempo)

https://efriritonga.wordpress.com/category/being-indonesian/page/2/

No comments:

Post a Comment