Sejarah Pembantaian Tanoh Gayo, Alas, dan Batak
Redaksi Luttawar on 13 Des 2013 | 05.59
Pembantaian Tanah Gayo, Alas, dan Batak dilakukan oleh KNIL di bawah pimpinan G.C.E. van Daalen pada tahun 1904 selama Perang Aceh.
Latar belakang
Markas Pasukan di Kuta Lintang |
Pada bulan Desember 1903, Pemerintah
Tanah Gayo, Alas, dan Batak mengadakan lawatan dinas dari Teluk Aru dan
Salahaji ke Kuala Simpang untuk menyelidiki beberapa sengketa yang
timbul antara Kejurun Karang, wilayah utama Tamiang, yang berbatasan
langsung dengan permukiman Gayo, yang terletak di Krueng Tamiang.
Meskipun sudah diketahui sebelumnya banyak orang Gayo - terutama dari
Gayo Lues, Serbejadi, dan Linge - turun ke Tamiang untuk menjual hasil
hutan dan ternaknya dan mereka sendiri perlu membeli barang impor,
kunjungan itu benar-benar menunjukkan bahwa kontak penduduk asli dengan
pemerintahan Hindia-Belanda jauh lebih besar ketika pegawai Belanda
tidak mencatat semua kontak dengan urusan dalam suku-suku independen itu
secara sistematis. Bahkan setelah pemerintah menetapkan bahwa Tanah
Gayo dan Alas sudah dipertimbangkan masuk pemerintahan Aceh dan
jajahannya dan harus menjadi bawahannya, tidak perlu bergantung kepada
Tamiang, hingga datangnya pemerintahan militer dan sipil di Aceh dan
Sumatera Timur - yang berunding satu sama lain - menunggu penambahan
subdivisi Tamiang ke Aceh, pemerintahan sementara dirancang.
Seorang
perwira garnisun Kuala Simpang dibebani tugas mengurusi masalah Gayo, di
saat yang sama difasilitasi dengan peleton bergerak. Dengan kunjungan
ini, pemerintah Tanah Gayo dan Alas bertemu dengan banyak orang Gayo dan
juga dengan Kejurun Petiambang, yang antara lain melaporkan bahwa di
Gayo-Lues sudah diberi penjelasan atas rencana perjalanan ke sana dan
terdapat pihak penentang, yang jalan masuk paling utama ke daerah itu -
Intem Intem, jalan di Pendeng dan Susoh - sudah berada dalam keadaan
bertahan dari pasukan Belanda yang sedang bergerak maju, seperti yang
harus dihadapi di Intem Intem pada tahun 1902. Di kejurun diberitahukan
bahwa itulah yang dimaksud, perjalanan dilaksanakan dengan dukungan
angkatan pasukan dan pasukan itu tidak kembali lagi, namun di mata orang
Gayo pasukan Belanda tidak dapat menjangkau daerah pegunungan. Di saat
yang sama pasukan diperintahkan kembali dan para pimpinannya melaporkan
ke konvoi komandan bahwa pasukan musuh akan segera tiba.
Meskipun
dengan sambutan itu kejurun tidak mengadakan perlawanan, ia - yang takut
kepada pihak-pihak yang bermusuhan di wilayahnya - tidak bertolak dan
seperti yang dapat diketahui pergi ke daerahnya bersama dengan pasukan
Belanda. Dalam hubungannya dengan rencana yang ada mengenai pandangan
atas Tanah Gayo-Lues dan Alas, konvoi juga dianggap penting, sehingga
konvoi itu diberangkatkan yang berisi anggota garnisun dari Kuala
Simpang, menuju daerah yang pernah dikunjungi Belanda dan Pendeng yang
bergolak atas 2 alasan: penaklukan wilayah itu dan meratakan jalan bagi
evakuasi orang yang terluka dan sakit di Gayo Lues. Oleh karena itu
diputuskan bahwa pemerintah sipil dan militer memerintahkan penguasa
Tanah Gayo dan Alas (yang ke arah merekalah konvoi diarahkan) untuk
merancang instruksi untuk komandan pasukan yang disebutkan tadi dari
Kuala Simpang; setelah instruksi ini disetujui oleh komandan militer
Sumatera Timur, konvoi Tamiang ditarik ke Pedeng untuk mencapai sasaran
dalam waktu yang mencukupi untuk mengantisipasi tugas berikutnya.
Angkatan dan Susunan Ekspedisi
Barisan
Maréchaussée yang melakukan ekspedisi ke Tanah Gayo dan Alas tersusun
sebagai berikut: komandan barisan adalah GCE. van Daalen, letnan kolonel
staf jenderal; ajudannya adalah letnan artileri I JCJ. Kempees; sisanya
1 divisi maréchaussée, di bawah pimpinan Kapiten W.B.J.A. Scheepens
dari 10 brigade, dipecah dalam 2 divisi, masing-masing dari 2 bagian,
masing-masing dipimpin seorang letnan; 1 ambulans di bawah perwira
kesehatan kelas II HM. Neeb; 1 departemen sensor di bawah LetTu Hoedt;
kereta (penarik) 110 mandor dan pekerja paksa; disertai oleh Ir. Jansen
dengan beberapa personel untuk mengumpulkan data geologis dan seorang
mantri dari 's Lands Plantentuin te Buitenzorg (sekarang Kebun Raya
Bogor) untuk mengumpulkan data botani. Saat mendarat di Ulee Lheue pada
tanggal 8 Februari, kekuatan mencapai 10 perwira, 1 insinyur
pertambangan, 13 bintara Eropa, 1 perawat prajurit Eropa, 208 anggota
maréchaussée dari Ambon dan pribumi; kemudian personel KA, 473 mandor,
pekerja paksa dan sekitar 15 kuli, penunjuk jalan dan karyawannya;
seluruhnya 721 orang.
Tujuan:
Rumah Sakit lapangan di Lawe Sagu |
Perintah komandan barisan
berkaitan dengan tujuan operasi tersebut terutama mengadakan
penyelidikan ke daerah Raja Cik Bebesen di Raja Buket dan Kejurun Syiah
Utama, yang di sana susunan pemerintahan yang diperlukan dirancang,
melanjutkan perundingan atas kemungkinan pembangunan jalan kereta antara
Danau Laut Tawar ke Peusangan dan jalur pertama untuk jalan itu
diperpanjang. Di samping itu, tujuannya adalah untuk mengunjungi dan
bila diperlukan juga berpatroli di wilayah Raja Linggo, mencoba
berhubungan dengan tetua dan kemungkinan juga merancang aturan yang
diperlukan di wilayah ini.
Mereka harus
maju ke Gayo-Lues; di wilayah ini merebak perlawanan dari semua kepala
desa (Reje, Cik, dan Muda); kemungkinan juga tetua-tetua desa yang lebih
kecil yang bersama dengan induk maupun cabangnya akan berontak;
sehingga, terutama di kampung inti Reje Petiabang, tetua terpilih
tersebut (kemungkinan termasuk penghulu Si Sue Belas) bersama-sama
mengumumkan bahwa Kejurun Beden disahkan oleh pemerintah sebagai Kejurun
Petiambang di Gayo-Lues, yang juga dianggap pemerintah Hindia-Belanda
sebagai kepala wilayah atas seluruh daerah dan keinginan kuat dari
pemerintah adalah mengakhiri pemisahan kekuasaan dan pertempuran yang
terjadi serta penghentian sukarela dan penentuan terakhir kejurun saat
itu harus dilakukan. Hal itu juga memungkinkan Gayo-Lues mengadakan
meronda sebagian besar wilayahnya yang berpenghuni, merancang susunan
pemerintahan secara lebih lanjut, mencari hubungan kepada barisan yang
sudah ditarik dari Kuala Simpang ke Pendeng; memberikan perintah
terhadap komandan barisan serta informasi yang diberikan dan petunjuk
kepada perwira yang bertanggung jawab atas urusan administrasi di bagian
timur laut Reje Petiambang; strategi di wilayah Kejurun Abaq sepenuhnya
bertumpu pada pandangan dan kebijakan LetKol. Van Daalen.
Lebih jauh
memasuki Tanah Alas pasukan Belanda disambut perlawanan, banyak
informasi yang dikumpulkan mengenai struktur pemerintahan dan
administrasi serta pengaturan lainnya jika diperlukan ataupun
diinginkan. Apakah memindahkan permusuhan dari Tanah Alas ke Tanah Batak
yang berdekatan, atau karena urusan politik ataupun lainnya yang
diperlukan Tanah Batak untuk mencapai pantai, itulah akhir dari barisan
komandan yang tunduk pada persetujuan pemerintahan yang berwenang. Di
samping itu, jika mungkin nasihat khusus akan menguntungkan pencarian di
Singkil atas keberadaan orang Tionghoa dan penduduk non-pribumi
lainnya, yang menurut pesan tersebut akan memperbaiki senjata api dan
diperdagangkan di sana atas nama ketua bende Aceh seperti Teuku Ben
Blang Pidie, dan juga yang dilakukan penduduk Tanah Alas dan Gayo atas
senjata api dan amunisi.
Ekspedisi (8 Februari-23 Juli 1904)
Sarkofagus di Temorong |
Pada tanggal 8 Februari pasukan
dikapalkan dan mendarat di Lhokseumawe keesokan harinya, lalu semua
penumpangnya berbaris menaiki trem ke Bireuen dan menempuh perjalanan
selama 4 jam, setelah itu berbaris ke bivak Teupin Blang Mane dan tiba
pukul setengah tujuh. Di hari berikutnya mereka berbaris kembali, pada
tanggal 18 Februari melewati beberapa ngarai dan di tengah hari mereka
tiba di Tunjang yang berada pada ketinggian 900 m dan bivak dipindahkan
ke Kampung Pertek; penduduk tidak menunjukkan sikap bermusuhan, beberapa
penduduk yang sakit diperiksa oleh petugas kesehatan dan pada tanggal
14 Februari ekspedisi dilanjutkan. Antara tanggal 16-20 Februari bivak
dipindahkan ke Kong, dan waktu tersebut dimanfaatkan oleh komandan
barisan untuk mengumpulkan para tetua, mengadakan pembahasan dan
menyusun ketetapan pemerintahan di wilayah Laut dan meronda lebih lanjut
daerah tersebut. Antara tanggal 22-28 Februari, dibangun bivak di Kuta
Rayang dan di sini dirancanglah rencana pemerintahan.
Selama
ekspedisi berikutnya, mereka kehilangan arah dan harus menaiki batang
pohon yang tinggi untuk menentukan arah yang benar. Di samping itu,
barisan tersebut harus menghadapi medan tak rata yang berat dan ngarai
yang curam sehingga harus mendaki dinding gunung menggunakan tangan dan
kaki, sementara batang dan akar menjadi pegangan arah. Berulang kali
mereka harus menghindari aliran sungai yang deras (20-30 kali sehari).
Pada tanggal 9 Maret, mereka mencapai Kela, esoknya mereka berbaris ke
Rerebe, dan menghadapi perlawanan pertama di sini. Musuh kehilangan 3
orang dan satu-satunya yang terluka dapat dihalau dan sebagian dikejar,
dan bivak dipindahkan ke kampung tersebut hingga tanggal 13 Maret.
Setelah wilayah tersebut dibersihkan oleh patroli itu, banyak anggota
yang tewas, dan besoknya perjalanan dibagi dalam 2 kelompok; kesatuan
yang berjumlah 16 orang dipimpin menuju Pasir; kesatuan di bawah
pimpinan Let. Winter, Hans Christoffel dan Kempees beranggotakan 14
orang dan dipimpin melintas sepanjang Krueng Tripa, Paser setelah
menghadapi perlawanan berat sementara musuh juga banyak yang dibantai;
pada tanggal 18 Maret, pasukan tersebut berjalan ke Gemuyang dan Peparik
Gaib; setelah perlawanan sebuah keluarga yang fanatik tersebut yang di
dalamnya banyak pula wanita yang turut perang akhirnya jatuh juga; dari
sini juga banyak jatuh korban dari pihak musuh dengan korban sebanyak
308 orang, di antaranya 168 orang laki-laki, 92 orang wanita dan 48
orang anak-anak. Sedangkan yang luka-luka sebanyak 47 orang, di
antaranya seorang pria, 26 orang wanita dan 20 orang anak-anak. Hanya 12
orang yang tertangkap hidup-hidup, terdiri atas 3 orang wanita dan 9
orang anak-anak.
Di saat yang
sama perlawanan masih berlanjut: Belanda terus-terusan memborbardir
perkampungan di wilayah bergunung-gunung tersebut; dari laporan yang
datang diketahui bahwa penduduk yang dibakar semangatnya oleh ulama
sudah lama mempersiapkan diri untuk menghadapi pertempuran sengit itu.
Pada tanggal 22 Maret, sebuah perkampungan yang luas ditaklukkan setelah
pertempuran yang lama dan sengit; Durin, Kuta Lintang, Reje Silo dan
Kuta Blang telah ditaklukkan Belanda; di sini banyak pula korban yang
berjatuhan dari pihak musuh. Kini Kuta Lintang akan dijadikan bivak
permanen, sebagai pusat kampung-kampung sekitarnya yang mungkin masih
bergolak. Lalu barisan tersebut menuju ke daerah tersebut hingga tanggal
4 Juni, ketika usulan ekspedisi ke Tanah Alas disetujui. Selama masa
tersebut, kampung-kampung ini jatuh: Badak (4 April), Cane Uken dan
Tungel (21 April), Penosan (11 Mei), dan Tampeng (18 Mei); setiap hari
diadakan ronda dan penyergapan malam hari juga banyak membunuh musuh.
Setelah jatuhnya Tampeng, perlawanan di Gayo Lues dapat dipatahkan, dan
para tetua suku memenuhi panggilan komandan barisan pada tanggal 2 Juni.
Dalam pertemuan resmi itu, Belanda mengumumkan bahwa mereka harus
menaati pihaknya. Program tersebut berakhir, dan pada tanggal 4 Juni,
ekspedisi menuju Tanah Alas dijalankan.
Overste Van Daalen mengumpulkan semua tetua Gayo-Lues. |
Di hari berikutnya,
barisan tersebut melanjutkan perjalanan. Pada tanggal 10 Juni, penduduk
yang melawan di kampung N. Tualang dihalau dan dikejar hingga
Penampaan, lalu bivak dipindahkan. Besoknya, mereka memasuki bagian
tengah Tanah Alas, yang sebagian diperkuat namun sudah ditinggalkan oleh
penduduk sehingga Kampung Lawe Sagu diduduki dan tetap di sana hingga
tanggal 16 Juni; tak hana oleh pemborbardiran dan ronda yang
terus-menerus ke wilayah tersebut, namun laporan yang masuk juga
mengatakan bahwa penduduk Tanah Alas, yakni Kejuron Bambel, bukan Batu
Mbulan, telah mempersiapkan diri menghadapi serangan itu, dan dibakar
semangatnya oleh sejumlah alim ulama. Pada tanggal 14 Juni, dengan
dikuasainya benteng Kuta Rih setelah perlawanan yang amat berat.
Tindakan keras dilakukan dengan membunuh juga 189 orang wanita, dan 59
orang anak-anak. Yang luka-luka sebanyak 51 orang, antaranya 25 orang
wanita dan 31 orang anak-anak, yang tertangkap hidup-hidup dua orang
wanita dan 61 orang anak-anak.
Kampung
Bambel yang berada di atas Krueng Singkil dijadikan bivak; dari tempat
itu, berturut-turut kubu di Likat dan Kute Lengat Baru jatuh pada
tanggal 20 dan 24 Juni setelah perlawanan berat. Dalam pertempuran di
Likat, pasukan Belanda membantai tanpa pandang bulu, sehingga 432 orang
mati terbunuh, di antaranya 220 pria, 124 wanita, dan 88 orang
anak-anak. Yang luka-luka berat dan ringan sebanyak 51 orang, di
antaranya 2 orang pria, 17 orang wanita dan 32 orang anak--anak, yang
tertangkap hidup-hidup hanya anak-anak sebanyak 7 orang. Dengan jatuhnya
kubu pertahanan tersebut, perlawanan di Krueng Bambel dipatahkan,
sementara Kejuron Batu Mbulan - di mana terdapat 2 kubu, Batu Mbulan dan
Tanjung yang telah ditinggalkan tepat pada waktunya - tetap tenang
dengan pimpinan Berakan, putera Reje Mbulan, tanpa sikap permusuhan
apapun. Pada tanggal 29 Juni, tetua Bambel dan Batu Mbulan muncul
bersama rombongannya, yang setelah itu ditahan oleh komandan barisan.
Seusai
menyelesaikan tugas di Tanah Alas, Van Daalen meneruskan perjalanan ke
Tanah Karo pada tanggal 1 Juli, dan mencapai Tanah Pakpak. Di hari
berikutnya barisan tersebut meneruskan perjalanan dan melakukan
penyerbuan, selanjutnya tiada lagi perlawanan. Pada tengah hari tanggal
20 Juli ekspedisi tersebut berakhir di Sibolga setelah perjalanan
panjang. Esoknya pasukan tersebut berlayar menaiki kapal uap Albatros
dan Gier dan tiba pada tengah hari tanggal 23 Juli di Ulee Lheue, dan
disambut oleh Gubernur Aceh dan Jajahannya bersama pejabat lainnya.
Sumber: Wikipedia
Van
Daalen GCE. 1902. Journaal van de commandant der marechaussees colonne
ter achtervolging van de pretendent-sultan in de Gajolanden. Lampiran
ekstra Indisch Militair Tijdschrift. Seri I. Hal. 31-86.
Kempees
JCJ. 1905. De tocht van overste van Daalen door de Gajo-, Alas- en
Bataklanden van 8 februari tot 23 juli 1904. Amsterdam: J.C. Dalmeijer.
1905.
Verslag van de tocht naar de Gajo- en Alaslanden in de maanden februari
tot en met juli 1904 onder luitenant-kolonel van de generale staf G.C.E.
van Daalen. Met 4 kaarten en 17 bijlagen. Lampiran ekstra Indisch
Militair Tijdschrift no. 14.
1905.
Geneeskundig rapport betreffende de excursie naar de Gajo- en Alaslanden
onder luitenant-kolonel G.C.E. van Daalen. Lampiran ekstra Indisch
Militair Tijdschrift no. 15.
Sumber:
http://www.luttawar.com/2013/12/sejarah-pembantaian-tanoh-gayo-alas-dan.html
No comments:
Post a Comment