Tragedi Kuta Reh, Bukti Kekejaman Belanda di Tanoh Alas
Oleh: Ruslan JusufOPINI | 09 November 2013 | 13:18
JANGAN pernah lupakan. Itulah ungkapan paling pantas untuk mengenang pembantaian ratusan orang tak berdosa oleh pasukan Marechaussee Belanda di Kuta Reh, Aceh Tenggara. Hingga kini, aksi
brutal dan biadab pasukan pimpinan Van Daalen, masih menyisakan luka
mendalam. Hingga kini, tidak ada permintaan maaf dari pihak Belanda
terkait aksi kejam pasukannya dimasa lalu terhadap masyarakat sipil di
Kuta Reh. Walau, untuk pembantaian di Rawagede (Jawa Barat) dan tragedi Westerling (Sulawesi Selatan) , Pemerintah Belanda telah meminta maaf pada Indonesia.
Kejam dan biadab. Setelah pembantaian di Kuta Reh dilakukan, para Marechaussee berdiri berjejeran sambil foto bersama dengan ratusan tubuh tak bernyawa yang bergelimpangan. Pasukan ”peliharaan” Koningin Wilhelmina (Ratu Belanda saat itu) tersenyum dan bangga dengan ”aksi” mereka. Hanya seorang bocah yang luput dari aksi pembantaian (lihat foto).
Itu mungkin karena pertimbangan usia. Tapi, pantaskah si bocah melihat
orang tuanya dibunuh tepat di depan matanya? Sungguh aksi keji dan tidak
berperikemanusiaan. Luar biasa biadab!
Apa yang dilakukan oleh Marechaussee Belanda di tanoh Alas, dapat dikategorikan sebagai kejahatan genosida (genocide). Dalam Konvensi Genosida, Statuta Roma, Statuta ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda) dan ICTY (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) memuat definisi yang sama atas genosida
dengan menyatakan bahwa genosida berarti setiap dari perbuatan berikut
yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan seluruhnya atau
sebagian, suatu kelompok kebangsaan, etnis, ras atau keagamaan, dengan cara:
1. Membunuh anggota kelompok tersebut;
2. Menimbulkan luka atau mental yang serius terhadap para anggota kelompok tersebut;
3. Secara
sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang
diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau
untuk sebagian.
4. Memaksakan tindakan-tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut; dan
5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu kepada kelompok lain.
AWAL PEMBANTAIAN
”Setiap bangsa memiliki kekejamannya sendiri-sendiri,” (Goenawan Mohamad, Tempo, 1981)
Apa
yang ditulis oleh sastrawan kawakan Indonesia, Goenawan Mohamad, pada
catatan pinggir majalah Tempo tahun 1981, menjadi refleksi penting bagi
kita. Seberapa biadabkah kekejaman suatu bangsa atau seberapa sadiskah
kekejaman suatu bangsa? Apakah kita hanya memandang kekejaman tersebut
sebagai suatu cerita belaka? Lantas, kita melupakannya begitu saja?
Pasca
keberhasilan Belanda menjadikan Sulthan terakhir Aceh, Muhammad Daud
Syah (1874 - 1903), sebagai tawanan hingga ia mangkat pada 6 Februari
1939 di Batavia (sekarang Jakarta), maka sejak saat itu, perlahan tapi
pasti, satu per satu simbol perlawanan rakyat Aceh mulai tergerus.
Perlawanan terakhir rakyat Aceh yang masih membuat Belanda kalang kabut
dan harus bekerja ekstra keras untuk mengatasinya adalah pertempuran di
region Tangse (Pidie) yang dipimpin oleh Teungku Chik Mayet di Tiro
(salah seorang anak lelaki Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman).
Perlawanan ini berakhir pada 5 September 1910, setelah pasukan KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) Belanda berhasil mengendus jejak Ulama Tiro ini dan mengakhiri hidupnya dengan tembakan.
Pembantaian
di Kuta Reh bermula dari keinginan Gubernur Militer Belanda di Aceh,
Joannes Benecditus Van Heutsz (1851-1924), yang hendak menguasai seluruh
wilayah Aceh. Ia memerintahkan Letjen Gotfried Coenraad Ernst van
Daalen (1863-1930) atau lebih dikenal Van Daalen untuk menggempur
wilayah dataran tinggi Gayo dan Alas pada 1904. Kawasan ini relatif aman
dan tidak terpengaruh oleh perang, hingga akhirnya Pasukan KNIL Belanda
tiba.
Kedatangan kaphe Belanda
ternyata tidak serta merta diterima oleh masyarakat kawasan ini.
Pertempuran pun akhirnya meletus. Dengan alat persenjataan konvensional,
sudah pasti, kolonial Belanda dapat dengan mudah mematahkan perlawanan.
Kekuatan yang tak berimbang ini, kemudian dimanfaatkan untuk meneror
penduduk pribumi agar berhenti melakukan pemberontakan dengan cara
”instan”. Salah satunya adalah pembantaian massal yang dilakukan pasukan Marechaussee Belanda di tanoh Alas (Kuta Reh), Aceh Tenggara.
Kebrutalan Marechaussee
atau marsose itu berlanjut pada penyerangan-penyerangan selanjutnya ke
berbagai daerah operasi di kawasan dataran tinggi Gayo dan Alas. Mereka
menjadi pasukan yang di luar kendali dan bertindak beringas. Kebrutalan Marechaussee
atau marsose itu berlanjut pada penyerangan-penyerangan selanjutnya ke
berbagai daerah operasi di kawasan dataran tinggi Gayo dan Alas. Mereka
menjadi pasukan yang di luar kendali dan bertindak beringas. Pasukan Marechaussee bahkan lebih ”menyukai” tebasan klewang untuk membantai masyarakat sipil, dibandingkan menggunakan senjata api.
Pembantaian
yang dilakukan oleh pasukan Van Daalen dimulai pada 9 Maret 1904 dengan
menyerang kampung Kela, sebuah daerah terpencil di Gayo Lues pada masa
itu. Mulai dari kampung itulah penaklukan demi penaklukan dilakukan Van
Daalen, dimulai dari benteng pasir pada 16 Maret 1904, Gemuyung pada 18,
19 dan 20 Maret 1904, Durin pada 22 Maret 1904, Badak pada 4 April
1904, Rikit Gaib pada 21 April 1904, Penosan pada 11 Mei 1904 dan
Tampeng pada 18 Mei 1904.
Hampir seluruh isi benteng dimusnahkan serta yang tertawan dan luka-luka akhirnya ikut dibunuh. Pembantaian
di Kuta Reh terjadi pada 14 Juni 1904. Kebrutalan ini menyebabkan 2.922
warga sipil merenggang nyawa, terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149
perempuan. Tapi, menurut catatan Kempes dan Zentgraaff, masyarakat yang
menjadi korban pembantaian itu mencapai 4.000 orang.
FOTO-FOTO PEMBANTAIAN
PROFIL VAN DAALEN
Gotfried Coenraad Ernst van Daalen (lahir di Makassar, 23 Maret 1863 – mati di Den Haag, 22 Februari 1930) adalah tokoh militer kolonial Belanda.
Van Daalen sangat dikenal atas tindakannya di Aceh, ketika penduduk tanoh Gayo dan Alas banyak dibantai. Saat tindakannya banyak diketahui oleh pers di Belanda, Van Daalen harus mengundurkan diri.
Van Daalen adalah putra dari Gotfried Coenraad Ernst van Daalen senior, seorang Kapten dalam Perang Aceh tahap kedua. Setelah menyelesaikan HBS (Hogere Burger School atau Hoogere Burgerschool), sekolah lanjutan tingkat menengah pada zaman Hindia-Belanda, pada usia 16 tahun, ia meneruskan pendidikan ke Koninklijke Militaire Academie di
Breda sebagai kadet kesatuan artileri di Hindia-Belanda. Pada November
1884, ia bertugas ke Jawa dengan kesatuan artileri dan berpangkat
sebagai Letda.
Pada
tahun 1888, Van Daalen dipindahtugaskan ke Aceh, yang sudah
bertahun-tahun bergolak perang. Atas keberaniannya selama pertempuran di
Kuta Tuanku, ia dianugerahi Militaire Willems-Orde kelas IV. Sebelas tahun kemudian, Van Daalen ditugaskan mengadakan kontak politik dengan para tokoh dan penduduk Aceh.
Pada tahun 1904, Van Daalen diperintahkan untuk ”mendamaikan” dan mematahkan perlawanan ke tanoh Gayo dan Alas dengan diperkuat oleh 10 Brigade Marechaussee. Ekspedisi itu berawal pada tanggal 8 Februari 1904 dan berlangsung hingga 23 Juli di tahun yang sama.
Penugasan itu terdiri atas beberapa bagian, yang terpenting:
1. Di Gayo Lues, perlawanan harus dipatahkan, 12 penghulu didatangkan bersama-sama, mengakhiri saling berperang, pilihan acak keujeuroen (kepala daerah) harus diakhiri dan mantan penjabatnya harus dijamin kedudukan dan kekuasaannya;
2. Di Tanah Alas, perlawanan juga harus dipatahkan; dan
3. Akhirnya kedatangan di Tanah Batak Karo dan Pakpak untuk mencari elemen musuh.
Pada 6 Mei 1905, Van Daalen diangkat sebagai Gubernur Militer Aceh dan sekitarnya, meskipun oleh Dewan Hindia.
Sebelumnya,
pada tahun 1903 oleh Christiaan Snouck Hurgronje yang kecewa terutama
karena sikap Van Daalen yang anti pada pribumi, kurangnya kebijaksanaan
dan juga melanggar prinsip-prinsip pemerintahan dan hukum. Hendrikus Colijn juga berpikir bahwa Van Daalen tidak memiliki kecakapan dalam pemerintahan sipil.
Pada tahun 1907, sebuah artikel yang ditulis oleh seseorang dengan nama samaran Wekker (WA. van Oorschot) berjudul Hoe beschaafd Nederland in de twintigste eeuw vrede en orde schept op Atjeh (Bagaimana Beradabnya Belanda di Abad ke-20 dalam Menciptakan Perdamaian dan Ketertiban di Aceh) muncul di surat kabar De Avondpost terbitan Den Haag, yang mengungkap penyalahgunaan wewenang di Aceh. Karena sampai tahun 1907, Oorschot bertugas sebagai Lettu di Marechaussee, sehingga
sebuah buku akan dipublikasikan. Jadi, dinas bawahan yang diboyong ke
Aceh bertindak semena-mena, sebab karena sebuah pelanggaran kecil,
bentuk hukuman yang diberlakukan antara lain: pribumi disiksa, informan
dibunuh, rendahnya moral pasukan dengan menggunakan peluru dumdum. Wekker menjelaskan kebrutalan terjadi karena ketidakcakapan pasukan. Penerbitan ini menimbulkan perdebatan sengit di Tweede Kamer dan
akhirnya hingga penyelidikan yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal J.B.
van Heutsz terhadap kebijakan di Aceh yang mengakibatkan Van Daalen
harus mengundurkan diri dari jabatannya.
FOTO-FOTO VAN DAALEN DI GAYO DAN ALAS
Sumber:
http://sejarah.kompasiana.com/2013/11/09/tragedi-kuta-reh-bukti-kekejaman-belanda-di-tanoh-alas-607877.html
No comments:
Post a Comment